“Penderitaan adalah suatu didikan,” demikian ditekankan oleh Pdt. Nico Ong ketika Pillar mendapat kesempatan untuk mewawancarai beliau di NREC 2006 lalu. Dalam sharing-nya tentang panggilan beliau untuk melayani orang-orang Indonesia di Taiwan dan China, Pdt. Nico menegaskan urgensi pengejaran kebenaran khususnya dalam theologi Reformed. Apa yang melatarbelakangi panggilan ini? Dan apa artinya panggilan ini ditinjau dari sudut pandang Theology of Suffering? Simak wawancara Pillar (P) bersama Pdt. Nico (N) berikut ini.
P: Bisa tolong sharingkan profil dan latar belakang pendidikan Pdt. Nico?
N: Saya lulusan SMA Petra, kemudian melanjutkan di LBMK (Lembaga Bisnis Manajemen Komputer) program D3. Sempat kerja dua tahun, kemudian melanjutkan studi di Overseas Chinese Pre-University, lalu ke Ming Chuan University untuk studi di fakultas Financial Management. Setelah itu ada panggilan untuk menjadi hamba Tuhan sejak kuliah tingkat 1, kemudian melanjutkan studi di Thosand Seminary untuk program misi Underground Church di China, dan kemudian pulang ke Jakarta untuk ambil studi lanjut di Reformed Institute dan STTRII – program tiga semester saja (1 tahun), kemudian balik lagi ke Taipei karena ada suatu tantangan/panggilan pelayanan pada tahun 1998, dan melanjutkan studi di China Reformed di bawah Prof. Andrew McAfferty, salah satu dosen yang memiliki kerjasama dengan Westminister Theological Seminary.
P: Bisa ceritakan sedikit mengenai latar belakang keluarga?
N: Saya menikah pada tahun 1999 dengan Susana Cahyadi dan memiliki seorang anak, Daniel Ong, sekarang sudah kelas 1 SD. Sampai detik hari ini kami benar-benar melayani dan meninggalkan pekerjaan, khususnya istri saya mengambil komitmen, berkorban dalam pengertian meninggalkan jabatan sebagai senior lawyer dan mengambil bagian dalam pelayanan yang sama sekali tidak menuntut suatu fasilitas dan biaya maupun tunjangan – bukan mental “harus ada tunjangan dulu baru pelayanan”.
P: Mengapa Pdt. Nico berani menjawab tantangan/panggilan ke Taiwan?
N: Awalnya saya melihat teman-teman kakak perempuan saya banyak yang studi ke Taiwan, dan juga kerinduan dari orang tua saya bahwa dari delapan bersaudara, ada satu yang bisa lancar untuk berbicara dan menulis bahasa Mandarin untuk mempertahankan kebudayaan Chinese – banyak orang Indonesia yang mengaku Chinese tapi tidak bisa berbicara bahasa Chinese. Di Taiwan, saya juga melihat tantangan dan kebutuhan lain, karena selain harus belajar, saya juga melihat banyak pelajar-pelajar di sana yang disimpangsiurkan dalam doktrin yang tidak benar – Liberal dan Kharismatik; terutama Kharismatik, karena langsung dari induk Kharismatik itu sendiri, misalnya Benny Hinn, Kenneth Hagin, Miller, dan Peter Wagner. Mereka semua hadir dan membuka sekolah di Taiwan. Juga munculnya Toronto Blessing dari John Wimber. Banyak orang-orang Indonesia yang dibodohi dan tidak berada dalam kebenaran yang harus diperjuangkan. Gereja sudah menyimpang. Orang Indonesia pada saat itu dianggap rendahan dan murahan sekali, karena dianggap miskin, hanya bisa bikin onar. Apalagi ditambah dengan gereja-gereja Kharismatik Indonesia, yang pada tahun 1998 banyak yang meminta bantuan kepada gereja Taiwan, dengan alasan Gereja Taiwan seharusnya membuka diri untuk menolong orang-orang Indonesia Kristen yang miskin dan tidak memiliki apa-apa. Bukan masalah menuntut belas kasihannya, tetapi mereka sudah terbiasa dengan hati yang sedikit-sedikit mengemis, tidak mempunyai jiwa yang mempertahankan harga diri pribadi dan nilai yang harus dipertahankan, sehingga saya mulai memiliki suatu pergumuluan. Dari tingkat 1 saya sudah mulai membimbing suatu persekutuan kecil, lalu meninggalkan gereja yang tadinya Injili, dan karena salah satu pimpinan menjadi Kharismatik ekstrim.
P: Bagaimana perkembangan pelayanan di Taiwan dan China sekarang?
N: Gereja di Taiwan dan China sangat unik dan mungkin sangat sulit dimengerti oleh orang-orang yang berada di Jakarta, dan mungkin di Singapura. Karena, Kekristenan di Taiwan sudah dingin, dipengaruhi oleh paham-paham materialisme, atheisme modern, dan banyak dipengaruhi feminisme, relativisme, new age – lebih menekankan hal-hal yang menyenangkan diri saja. Di Taiwan, gereja-gereja yang besar hanya dua atau tiga saja, sedangkan sisanya kecil-kecil. Dan kalau pada saat ini bisa mengumpulkan seperti kapasitas MRII Taipei, kurang lebih 50-60 orang, bisa dianggap tengah-tengah walaupun tidak besar. Banyak sekali gereja yang sudah berumur 20 tahun tapi hanya ada 5-15 orang; dana tetap ada karena sudah disediakan terlebih dahulu, tetapi tidak ada semangat juang. Apalagi gereja di Taiwan itu berbeda dengan gereja di Indonesia, Singapura, dan sekitarnya. Di sini gereja menggunakan apartemen, jadi kecil sekali dan harganya benar-benar mahal. Tempat MRII Taipei itu tidak seberapa besar tetapi bisa mencapai sekitar empat miliar Rupiah. Ini merupakan suatu bagian tantangan kami juga, karena jemaat di MRII Taipei, Taichung, dan di China, bisa dikatakan semuanya mahasiswa, kecuali di Shanghai, 70% keluarga dan 30% mahasiswa. MRII Beijing, PRII Xiamen, PRII Hong Kong, MRII Taipei (red. sekarang GRII Taipei), dan MRII Taichung, 95% adalah mahasiswa. Tapi apakah perbedaan gereja di Taiwan dan China? Di China, tidak ada kebebasan beragama. Gereja masih dilarang, tidak memiliki kebebasan mutlak, harus bersifat underground church yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah, tapi harus mempertahankan eksistansi gereja yang benar dan mempertahankan kebenaran, khususnya dalam Theologi Reformed, apalagi yang masuk dalam gerakan Reformed Injili. Maka, itu suatu tantangan bagi saya bagaimana sebagai seorang pemimpin untuk sekaligus melihat keadaan jemaat, mengajar jemaat untuk berdiri dan bertumbuh, mendidik mereka, selain harus menyelesaikan studi, dan juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan gereja – tidak terjebak dalam arti hanya bekerja tapi menelantarkan studi atau pelayanan gereja, atau sebaliknya hanya konsentrasi pelayanan tapi tidak mau studi atau bekerja. Dalam bimbingan dan pembinaan, itu yang harus saya perhatikan dengan konsisten dan stabil.
P: Pdt. Nico mengambil tesis Theology of Suffering, mengapa? Bisa memberikan penjelasan singkat apa itu Theology of Suffering?
N: Theology of Suffering sudah dilupakan oleh banyak gereja, khususnya yang banyak mengutamakan theologi kesuksesan, kemakmuran, dan social gospel. Penderitaan adalah suatu eksistensi yang tidak dapat kita hindari. Penderitaan adalah suatu didikan, artinya penderitaan adalah suatu didikan yang harus kita perjuangkan dan pelajari, yang tidak dapat kita hindari. Maka panggilan orang Kristen yang baik adalah bagaimana mempersiapkan jemaat untuk tidak melarikan diri dari penderitaan dan tantangan, tapi berani menghadapi dan menikmati.
P: Dalam session Church Planting di NREC 2006, Pdt. Nico menekankan konsep “bukan cara”, bisa tolong dijelaskan?
N: Ada empat hal, yaitu:
- Man
- Message
- Mission field
- Money/financial
Ini bukan dicetuskan oleh saya, tapi adalah didikan dari pendiri Gerakan Reformed Injili, yaitu Pdt. Dr. Stephen Tong, yang sudah mendidik dan melatih saya. Maka saya harus mengakui dan memakai apa yang sudah beliau katakan. Ini merupakan suatu bagian pergumulan saya, karena banyak yang merasa biasa-biasa saja jika mendengar konsep yang dicetuskan oleh John Piper, Rick Warren, dan lain-lain, tetapi ketika ada sesuatu yang dicetuskan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, maka banyak yang risih atau mengalami kegelisahan tersendiri, sehingga saya terpanggil bagaimana saya, yang berada dalam Gerakan Reformed Injili sendiri, mau benar-benar taat dan mempelajari apa yang menjadi prinsip/konsep dari seorang pemimpin yang saya akui sebagai pemimpin saya pribadi.
P: Bagaimana Pdt. Nico bisa mengimbangi tiga jabatan gerejawi dengan tempat yang begitu banyak saat ini?
N: Itu kembali kepada panggilan kita. Melihat suatu kebutuhan terutama tujuh GRII/MRII/PRII di Taiwan dan China yang saya pimpin, itu adalah terminal church, yang setiap kalinya mengalami fluktuasi keluar masuk yang tidak bisa diterka/diprediksi. Kadang-kadang ada masalah mendadak, pekerjaan, frustrasi, atau harus back for good. Ada juga yang hanya bisa stay 1-2 tahun, paling lama adalah yang dari pre-university dua tahun, dan university empat tahun, total enam tahun. Maka saya harus terus-menerus setiap satu minggu dua kali melatih tim penginjilan sehingga memiliki suatu beban mengabarkan Injil. Maka pada saat jiwa yang baru masuk, harus mengajar, at the same time ada penggembalaan dengan sendirinya. Tidak mungkin tidak ada penggembalaan pada saat mengajar, begitu juga sebaliknya. Pada saat menggembalakan, pasti dihadapkan dengan problema manusia, pada saat mendengar problema itu kita juga harus mengajar. Sehingga tidak mungkin seorang hamba Tuhan itu hanya mengajar saja. Pasti secara tidak langsung melakukan dua atau tiga jabatan sekaligus. Bersyukur dalam hal keseimbangan tersebut – kalau betul-betul terpanggil menjadi hamba Tuhan yang pernah merintis dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, dari tangan kosong menjadi riil. Saya berani memberi kesaksian ini, saya harus berani dibandingkan, dan memberi pertanggungjawaban di NREC di depan pendiri Gerakan Reformed Injili. Kalau kesaksian hanya basa-basi, itu hanyalah rekayasa dan bukan kesaksian.
P: Apa tantangan Pdt. Nico dalam pelayanan menggembalakan begitu banyak tempat, dan mungkin beberapa pokok doa yang bisa kita doakan?
N: Tantangan pada saat menginjili, yaitu hinaan, cercaan, ditertawakan, dan dipermainkan. Dalam mengajar, theologi Reformed sulit untuk diterima oleh orang-orang Kristen awam, maupun yang sudah pernah melayani/menjadi pengurus di gereja lain – sering menjadi sesuatu yang dipermasalahkan, contoh dalam pembahasan doktrin predestinasi, itu adalah hal yang sulit. Saya bersyukur sudah ada beberapa jemaat yang menjadi hamba Tuhan: Penginjil Susan, Daniel, dan Jenny, dan ada satu lagi yang sedang kami persiapkan. Di China juga saya menunggu, di dalam kehendak dan rencana Tuhan, supaya ada orang-orang yang pernah bersama-sama melayani dan mungkin terbeban menjadi hamba Tuhan untuk kembali ke China untuk memberitakan Injil, dan juga menantikan orang-orang yang digerakkan Tuhan untuk menjadi hamba Tuhan. Untuk doa syafaat, doakan di dalam segala kesibukan saya diberikan kesabaran, dan lebih memiliki hikmat, kebijaksanaa, dan juga keberanian – lebih berani lagi untuk menyatakan kebenaran Firman Tuhan.
Wawancara oleh Heruarto Salim dan Heryanto Tjandra