Tak disangka, National Reformed Evangelical Convention (NREC) yang baru saja usai ternyata telah berjalan untuk yang ke-14 kalinya di tahun 2022 ini. NREC XIV yang berlangsung dari tanggal 26 hingga 29 Desember 2022 ternyata telah berjarak 18 tahun semenjak NREC yang pertama diadakan pada tahun 2004. Saat itu konvensi Gerakan Reformed Injili dan Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) ini masih berlangsung di Wisma Kinasih, Bogor. Tentu setelah 18 tahun ada hal-hal yang tidak sama lagi. Pola pikir, gaya hidup, hingga kondisi masyarakat secara umum tentu sedikit banyak mengalami pergeseran. Namun, di balik semua perubahan itu ada hal yang tetap sama: “panggilan gereja untuk tetap setia melayani Tuhannya”; dan NREC 2022 hadir untuk menjawab pergumulan tersebut.
NREC 2022 kali ini dihadiri oleh sekitar 700 peserta yang berasal dari berbagai daerah di dalam dan luar negeri. Ada peserta yang sudah menghadiri konvensi ini sedari kali pertama NREC diadakan pada tahun 2004, dan ada pula peserta yang baru pertama kali mengikutinya pada tahun 2022. Interaksi lintas generasi melalui wadah ini menunjukkan bahwa pekerjaan Tuhan melampaui waktu, generasi, dan latar belakang setiap orang. Pekerjaan Tuhan adalah milik-Nya, dan akan terus dikerjakan oleh-Nya dengan mengumpulkan banyak orang dari berbagai konteks.
Delapan belas tahun tentu bukanlah waktu yang singkat, tetapi juga sekaligus bukan waktu yang cukup panjang untuk menggembalakan umat dan gereja Tuhan. Setiap zaman memiliki generasinya sendiri; setiap masa ada orang-orangnya, dan setiap orang ada masanya. Tetapi pada saat bersamaan, kesinambungan visi dan misi gerejawi perlu dirawat untuk memelihara pelayanan hingga berpuluh-puluh tahun ke depan. Lalu, bagaimana NREC 2022 menjawab perjalanan waktu lintas generasi ini dari waktu ke waktu?
“If you want to understand today, you have to search yesterday.” Kalimat ini tampaknya menjadi cukup relevan bagi refleksi NREC 2022. Untuk dapat mengerti hari ini, tampaknya kita harus belajar dari masa lalu, melihat kembali bagaimana kekristenan dibangun dari masa ke masa dan secara khusus melihat kembali bagaimana NREC menjadi wadah untuk membagikan beban iman dari pendiri gerakan. Menariknya, kalimat di atas merupakan sebuah kutipan dari Pearl S. Buck (1892-1973), seorang novelis dan penulis asal Amerika Serikat, yang pernah meraih dua penghargaan paling bergengsi di dunia: Pulitzer Prize pada tahun 1932 dan Nobel Prize in Literature pada tahun 1938. Pearl mendapatkan Nobel Prize karena karyanya yang menjelaskan secara mendetail dan mendalam tentang kehidupan petani di negeri Tiongkok. Kedua orang tuanya (Absalom Sydenstricker dan Caroline Maude Stulting Sydenstricker) ternyata merupakan misionaris dari Southern Presbyterian Church yang diutus ke Tiongkok.
Bukan suatu kebetulan pula bila tema khusus NREC 2022 adalah “Hidup sebagai Saksi Injil”. Kita melihat bagaimana kekristenan boleh terus eksis hingga saat ini adalah karena di masa lalu Tuhan memunculkan banyak orang dengan hati yang penuh beban untuk pemberitaan Injil. Pekerjaan Allah terus dikerjakan untuk menuai tuaian yang begitu banyak, dan NREC 2022 menjadi salah satu kesempatan untuk mengobarkan dan meneguhkan kembali panggilan tersebut; baik secara internal bagi pelayanan gerejawi di GRII, maupun eksternal, yaitu bagi pembangunan iman kekristenan secara umum.
Selain itu, kita pun turut bersyukur ketika tema besar dari NREC, yaitu “Iman, Pengetahuan dan Pelayanan”, boleh terus terpampang dari tahun ke tahun sebagai sebuah kerangka yang berkesinambungan. Tiga kata ini terus menjadi pengingat dan penunjuk arah bagi setiap generasi untuk melihat substansi dan pergumulan di balik kehadiran konvensi tersebut sedari NREC yang pertama.
“Iman, Pengetahuan dan Pelayanan” dimengerti sebagai panggilan bagi orang Kristen untuk bersiap dalam membangun hidup mereka untuk melayani Tuhan, bagaimana orang Kristen bisa memiliki iman yang teguh, kerohanian yang baik di dalam kehidupannya dengan Sang Firman. Iman ini juga harus disertai dengan wawasan atau pengetahuan yang mumpuni akan dasar-dasar kekristenan, sehingga iman orang Kristen tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran yang salah. Dan keduanya dibentuk, diekspresikan, serta didewasakan melalui pelayanan yang dinamis berdasarkan pimpinan Tuhan.
Ketiganya menjadi warisan “rumusan” pergumulan yang dicetuskan oleh Pdt. Dr. (H.C.) Stephen Tong, dan yang beliau bagikan bagi setiap generasi dari waktu ke waktu. Pekerjaan Tuhan memang melintasi waktu dan melampaui generasi, karena itu setiap generasi dirasa perlu untuk melihat kembali ke belakang agar dapat melangkahkan kaki-kaki pelayanan ke depan.
Bila demikian, bagaimanakah kita sebagai warga gereja harus memaknai “Hidup sebagai Saksi Injil” di dalam kesinambungan dari perjalanan “Iman, Pengetahuan dan Pelayanan” gereja Tuhan?
Hal ini diuraikan sejak hari pertama NREC 2022 melalui belasan pengkhotbah. Pdt. Jimmy Pardede memulai sesi pembukaan dengan membicarakan bagaimana agama-agama di dunia berbeda dengan Kristus dan semangat kekristenan yang sejati. Agama-agama dunia selalu melihat dewa yang tinggi, dan mereka ingin mewakili dewa mereka dalam rangka mengejar kekuasaan (libido dominandi).
Sedangkan kekristenan seharusnya berbeda, sebab Injil menyatakan bahwa Allah malah berinkarnasi menjadi manusia dan mati di salib. Keselamatan yang sejati bukanlah upaya manusia yang berlomba-lomba untuk naik ke atas melalui agama, melainkan Allah yang justru turun untuk menanggung dosa manusia. Karena itulah manusia perlu Injil, sebab tanpa Injil, agama-agama hanya akan terus dipakai sebagai alat manipulasi dari keberdosaan manusia. Kekristenan pun harus berhati-hati, karena tak jarang kekristenan yang palsu malah menjalankan spirit dari agama-agama dunia.
Selanjutnya khotbah hari pertama disambung oleh Pdt. Eko Aria, talkshow dari Bapak Yance (konteks penginjilan pribadi), Bapak Daniel (konteks misi ke tanah Papua), Bapak Supratman (konteks penginjilan ke rumah sakit), Pdt. Johanis Putratama Kamuri (konteks penginjilan mahasiswa), dan Pdt. Aludin Yauw sebagai moderator[1]. Pada penutupan hari pertama, Pdt. Dr. (H.C.) Stephen Tong memulai rangkaian khotbah beliau tentang kisah pertobatan Saulus menjadi Paulus.
Pada hari kedua, beberapa highlight misalnya dapat kita temukan pada sesi pagi yang dibuka oleh Pdt. Romeo Mazo. Beliau mengajak segenap warga gereja untuk melihat misi dari gereja sebagai sebuah panggilan yang holistik. Bukan saja bicara Injil untuk ke luar, tetapi juga ke dalam gereja itu sendiri. Perintah bermisi pada Matius 28 adalah untuk menjadikan “segala bangsa” sebagai murid, bukan hanya sekadar memiliki label Kristen. Gereja harus menguatkan kerohanian umat yang berada di dalam gereja, namun juga pada saat yang bersamaan menjalankan mandat untuk keluar menjangkau jiwa-jiwa.
Hal senada pun disampaikan oleh beberapa pembicara selanjutnya. Pada hari kedua, sesi diisi oleh Vik. Maria Mazo, Pdt. Edward Oei, Pdt. Calvin Bangun, Pdt. Ivan Kristiono, dan talkshow oleh Pdt. Jadi S. Lima, Pdt. Christiady Cohen, dan Pdt. Michael Densmoor, yang dimoderasi oleh Pdt. Eko Aria. Hari kedua ditutup dengan khotbah dari Pdt. Dr. (H.C.) Stephen Tong.
Salah satu poin yang menarik, dari banyak penguraian yang insightful dari berbagai narasumber, adalah bagaimana Pdt. Calvin menyadarkan kembali peran jemaat awam. Bahwa sedari awal, gereja merupakan gerakan kaum awam. Kebangkitan kaum awam dalam Kisah Para Rasul terjadi karena kematian dari seorang awam (Stefanus), dan Roh Kudus pun turun kepada kaum awam di Hari Pentakosta. Karena itulah kita memahami bahwa kuasa Roh Kudus bukanlah monopoli dari para hamba Tuhan, melainkan kehendak Tuhan dalam memakai siapa pun, termasuk kaum awam.
Hari ketiga dibuka dengan khotbah dari Pdt. Billy Kristanto. Pdt. Billy mengajak gereja untuk kembali merefleksikan semangat reformasi dan Injil dengan tidak melupakan bahwa gereja pun tetap memerlukan Injil setiap hari. Beliau mengungkapkan bahwa gereja seharusnya lebih peka untuk melihat dosa dalam tubuh gereja terlebih dahulu ketimbang dosa di dalam masyarakat. Karena kalau tidak, gereja akan selalu merasa self-righteous. Umat Tuhan yang selalu merasa self-righteous dan melupakan teguran Tuhan untuk terus mereformasi diri akan sulit untuk dipakai oleh Tuhan.
Khotbah pada hari ketiga disambung oleh Pdt. Benyamin F. Intan, Pdt. Liem Kok Han, Pdt. Aiter, Pdt. Michael Densmoor, dan ditutup kembali oleh Pdt. Stephen Tong. Highlight khotbah berupa kalimat kutipan dapat diakses melalui media sosial Instagram reformed.injili.
Salah satu potret yang menarik dari hari ketiga ini adalah ketika Pdt. Stephen Tong mengajak peserta untuk menyanyikan lagu “Belum Pernah ‘Ku Rendah Hati” sebagai sebuah refleksi atas pertobatan dari orang-orang yang melawan Tuhan seperti Paulus. Lagu ini beliau gubah pada tahun 1975 ketika beliau sedang melayani di Kanada[2]. Nyanyian ini ingin mengingatkan kepada kita bagaimana banyak orang yang dulunya pernah begitu melawan dan benci sekali terhadap Injil, namun yang selanjutnya justru malah diubah oleh Tuhan menjadi pemberita-pemberita Kristus yang paling gigih, ngotot, dan berani.
Hari keempat, hari terakhir NREC 2022, dipimpin oleh tiga hamba Tuhan, yaitu Pdt. Antonius Steven Un, Pdt. Agus Marjanto, dan Pdt. Stephen Tong. Pdt. Anton menekankan bahwa kepenuhan Roh Kudus yang sejati mengindikasikan sebuah keberanian untuk memberitakan Injil yang sejati, meninggikan Kristus yang sejati, dan peneguran atas dosa. Lalu Pdt. Agus melanjutkan bahwa pemberitaan Injil menjadi sebuah tanda, di mana hal tersebut merupakan satu-satunya cara kerja Allah untuk menghancurkan kuasa kegelapan di dunia ini. Tak ada cara yang lain, dan cara-cara yang lain bukanlah berasal dari Tuhan.
Pada akhirnya, segenap rangkaian NREC 2022 ditutup dengan seruan apa artinya menjadi seorang Reformed. Berikut ini kutipan dari pernyataan Pdt. Stephen Tong:
“Reformed is to think after God’s thinking,
to feel after God’s feeling,
to act after God’s actions,
to do after God’s guidance,
and to live in the will of God. This is Reformed!”
Sekali lagi kita bersyukur atas berlangsungnya NREC 2022, yang melaluinya kita semua mendapatkan kesempatan untuk merenungkan kembali panggilan kita, baik secara personal maupun komunal (gereja), di dalam memasuki tahun yang baru. Delapan belas tahun sudah NREC dihadirkan sebagai bagian dari “teriakan” untuk membangunkan umat Tuhan. Sejak khotbah pertamanya pada tahun 2004, Pdt. Stephen Tong terus membagikan bebannya atas kondisi gereja dan umat Tuhan hingga kini (2022).
Kiranya beban yang sama ada pada kita dalam merespons Tuhan yang sama, yang adalah Pemilik gereja. Kalau tidak, kita hanya akan melihat NREC sebagai sebuah acara rutin tahunan yang berlalu begitu saja. Memang setiap kesempatan ada waktunya dan setiap momen ada masanya. Tak jarang kita menyaksikan yang dahulu pernah ada, sekarang sudah tidak ada lagi, dan yang dahulu belum pernah ada, kini baru muncul. Kita juga menyadari bahwa apa yang ada pada kita sekarang pun tak tentu akan terus ada di masa yang akan datang. Karena itulah gereja hanya dapat berharap kepada Tuhannya.
Kesempatan, kekuatan, ingatan, masa muda, kesehatan, kekayaan, dan sebagainya, semua itu akan berlalu. Namun, satu hal yang tak akan pernah sirna dalam kehidupan umat Tuhan: bahwa kematian dan kebangkitan Kristus adalah fondasi gereja, dan Sang Pemelihara gereja itu akan selalu ada. Baik dahulu, sekarang, dan sampai selama-lamanya, Dialah satu-satunya yang setia dan yang akan terus menyertai umat kepunyaan-Nya dalam menjadi saksi-saksi Injil yang hidup!
“Tuhan datanglah segera. Amin.”
Nikki Tirta
Peliput NREC 2022
[1] Seluruh ringkasan khotbah dan talkshow NREC 2022 dapat diakses melalui tautan yang disediakan oleh panitia bagi para peserta.
[2] Kidung Persekutuan Reformed Injili; 2009.






















