Di dalam kebudayaan Tiongkok ada teladan pemimpin yang jujur, bijaksana, dan baik, yang mencintai rakyat dan tahu bagaimana tidak egois. Maka kita perlu belajar hal-hal yang baik dari kebudayaan kuno. Pemerintah yang sekarang jangan menghina kebudayaan kuno. Di Alkitab kita juga belajar bagaimana Yesus, sekalipun adalah Anak Allah, tetap harus melalui ujian, melalui ketaatan, melalui kesengsaraan, menderita untuk belajar ketaatan, sehingga sampai kesempurnaan. Hal ini, secara wahyu umum pernah terjadi di Tiongkok, dan secara wahyu khusus dicatat di Alkitab.
Sebenarnya, ketika manusia dalam abad ke-20 beranggapan sudah maju karena teknologi, itu adalah hal yang tidak benar. Jika manusia tidak mau belajar dari kebenaran Kitab Suci, atau juga seperti orang Tionghoa tempo dulu di zaman kuno yang patuh pada hukum alam, maka manusia tetap tidak memiliki jalan keluar. Ini yang disebut di dalam kebudayaan Tiongkok sebagai hao zhi , yaitu pikiran yang sempurna. Orang Tionghoa merasa bahwa tanpa perlu Tuhan Yesus mereka sudah bisa mencapai etika atau keadaan hao zhi. Ini adalah kesombongan orang Tionghoa. Orang Tionghoa merasa mengapa perlu Tuhan Yesus, toh mereka sudah memiliki teladan yang baik. Hao zhi sudah mempunyai contoh yang luar biasa. Mereka memandang Yesus mempunyai Ayah yang membiarkan dan bahkan membunuh Anak-Nya supaya menyelamatkan orang lain; itu merupakan teladan yang buruk. Ini menyebabkan pikiran orang Tionghoa sulit diterobos.
Engkau tidak seharusnya berpikir bahwa ketika sudah bisa mempelajari filsafat Asia ini, maka engkau akan dengan mudah menginjili orang Tionghoa. Kebudayaan yang sudah mengakar di dalam diri dan pikiran orang Tionghoa sulit diubah. Tetapi, jika engkau memiliki hidup yang beres, betul-betul jujur dan agung, maka orang Tionghoa mulai kagum dan mereka akan mulai membuka telinga mendengar Injil yang kau katakan. Jadi penginjilan bukanlah dengan engkau belajar satu teori penginjilan, tetapi merupakan seluruh kehidupan. Mungkin bagi beberapa orang, diberi berita yang sederhana mereka sudah bisa percaya, namun bagi sebagian orang lain sangat tidak mudah. Diperlukan kekuatan yang sangat besar untuk merobohkan tembok-tembok yang sudah mereka bangun sebelumnya.
Orang Tionghoa dari sejak dahulu kala sudah memiliki buku-buku tentang tata krama (礼), musik (乐), puisi (诗), perubahan (春秋), literatur (书), yaitu The Book of Changes. Buku-buku ini telah ada sebelum Konfusius. Oleh karena itu, seumur hidup Konfusius mempelajari buku-buku kebijaksanaan kuno yang telah ada sebelumnya di dalam kebudayaan Tionghoa. Buku-buku kuno ini masih bisa kita dapatkan hingga saat ini. Ketika membacanya akan segera disadari betapa luar biasanya para penulis menuangkan pikiran mereka. Setiap tulisan memiliki arti yang begitu dalam dan hal ini sangat mengagumkan saya. Banyak lulusan universitas hingga masa kini masih begitu sulit untuk mengerti tulisan-tulisan ini. Mereka tidak mampu untuk mengerti dengan tepat dan mendalam. Maka kita tidak boleh menghina orang kuno dan menganggap mereka kurang berpengetahuan. Justru mungkin terbalik, banyak orang sekarang yang sangat kurang mengerti kebijaksanaan yang mendalam. Jangan menganggap orang kuno tidak memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan yang tinggi. Terbalik. Itu sebab Konfusius mengatakan bahwa ia tidak menulis apa-apa, dia hanya belajar dari orang kuno, lalu memberitahukan kristalisasi pengalaman mereka untuk menjadi teladan bagi generasi yang kemudian. Jika kita mau memikirkan pemikiran-pemikiran orang kuno ini, engkau akan mendapatkan kebijaksanaan.
Salah satu keunikan filsafat Tiongkok justru juga sekaligus menjadi kelemahan filsafat Tiongkok. Karena sudah merasa hebat, sudah memiliki tradisi dan teladan yang hebat, maka mereka tidak mau yang baru, terus mau mempertahankan yang kuno. Dari sini kita melihat dunia kita memiliki dua arah. Ada sekelompok orang atau kebudayaan yang berjalan ke belakang, memperhatikan sejarah dan ingatan; dan sebagian lain mengarah ke depan, yaitu melihat pengharapan dan pembaharuan. Dua-duanya sebenarnya sama-sama unik. Dan dalam hal ini, kita akan secara lebih spesifik melihat pemikiran filsafat Tiongkok.
Mengenal Konfusius
Sekitar 551 BC, Konfusius dilahirkan di provinsi Shandong. Shandong adalah daerah muara dari sungai Huang He. Di Shandong ini lahir seorang yang bernama Kong Qiu. Inilah nama lahir dari Konfusius. Kala itu, Konfusius kagum kepada seorang yang bernama Zhou Gong. Zhou Gong adalah seorang pemimpin di Shandong yang sangat bijaksana. Ia membuat banyak orang kagum dan senantiasa mengingat dia. Zhou Gong adalah seorang yang melakukan restorasi atau kebangunan tata krama yang paling sempurna.
Konfusius dilahirkan di sebuah kota kecil Zou sekitar 80 km dari Qufu. Saat itu ibunya berdoa minta anak di sebuah bukit kecil yang bernama Nishan. Akhirnya terjawab dan ibunya mengandung dan melahirkan Qiu. Qiu berarti bukit kecil. Seperti saya juga, ketika Qiu berusia 3 tahun, ayahnya meninggal. Maka ibunya membawa Qiu ke Qufu ke tempat kakeknya. Kita tidak perlu terlalu bersedih atau putus asa jika kehilangan orang tua di masa kecil. Ada orang-orang yang agung kehilangan ayahnya di saat usia masih kecil. Yang memiliki ayah juga tidak perlu sombong. Ada orang yang mempunyai papa yang sukses, tetapi kehidupannya sendiri buruk.
Di Qufu ini ada satu kelenteng untuk mengingat Zhou Gong. Manusia tidak lepas dari penyembahan. Penyembahan terjadi karena ketidakmengertian manusia akan Allah Tritunggal, sehingga akhirnya dialihkan kepada orang-orang atau pahlawan-pahlawan yang agung. Kelenteng di Qufu ini adalah untuk mengingat seorang pemimpin mereka yang bernama Zhou Gong, karena ia begitu hebat. Terus mengingat terus-menerus, mengajar tentang dia, mengagungkan dia, lalu membakar kemenyan di sana, akhirnya ini sama seperti menyembah dia.
Konfusius berada di kota itu, dan ayah dari ibunya, kakeknya, adalah seorang yang sangat terpelajar. Ia menyadari bahwa cucunya juga sangat pandai, maka ia mendidik cucunya. Di dalam sejarah Tiongkok, memang baru sesudah Mencius baru pria lebih penting dari wanita. Sebelumnya, tidak selalu seperti itu, di mana memang pada umumnya pria lebih utama dari wanita. Wanita yang sudah menikah menjadi milik orang lain (suaminya). Tetapi ketika suaminya meninggal, maka wanita itu akan kembali ke keluarganya sendiri. Kakek Konfusius melihat cucunya sangat berbakat, maka ia mulai mendidiknya sendiri. Konfusius dari sejak kecil sudah memiliki hasrat yang tidak dimiliki kebanyakan orang lain, yaitu terus-menerus mau tahu segala sesuatu, mau mendengar segala sesuatu, dan mau belajar terus sampai tuntas. Inilah keunikan Konfusius. Setiap ada kesempatan belajar, ia tidak mengabaikannya. Saya lihat di dalam sejarah Tiongkok, sulit sekali menemukan orang yang lebih suka belajar dari Konfusius. Pokoknya ada kesempatan, di segala bidang ia mau belajar.
Musik di Era Konfusius
Pada masa sebelum Konfusius hidup, kondisi masyarakat Tiongkok sangat makmur. Kehidupan saat itu begitu damai dan juga subur, mengakibatkan mereka memiliki musik-musik yang indah. Konfusius hidup di masa peralihan dari kondisi masyarakat yang begitu damai menjadi kondisi peperangan, di mana semua kedamaian dan kemakmuran yang ada berubah menjadi kekacauan. Terjadi banyak kesulitan politik. Hal itu menyebabkan Konfusius memikirkan bagaimana mengatasi kondisi seperti itu dan membawa kembali Tiongkok ke dalam masa kedamaian.
Musik Tiongkok
Kemajuan Tiongkok di bidang musik di zaman Konfusius sebenarnya sangat luar biasa. Banyak orang menyukai musik, tetapi tidak mengerti musik. Di masa Konfusius, masih ada alat-alat musik yang betul-betul sempurna, melebihi piano di masa sekarang ini. Bertahun-tahun kemudian setelah masa Konfusius, musik di Tiongkok menjadi musik pentatonik. Yang disebut pentatonik berarti lima nada (penta = lima; tone = nada). Pentatonik Tiongkok berbeda dari pentatonik Jawa. Pentatonik Tiongkok terdiri dari nada: C – D – E – G – A. Musik Barat terdiri dari septatonik, yaitu tujuh nada: C – D – E – F – G – A – B (do-re-mi-fa-so-la-si). Di masa Konfusius, hal ini masih ada, dan disebut sebagai qi-lu (tujuh dalil). Jadi musik septatonik sudah ada di zaman Konfusius. Tetapi Konfusius masih menambahkan bahwa selain qi-lu, masih ada wu-yin (lima suara). Adanya qi-lu dan wu-yin ini begitu jelas dituliskan di dalam buku Konfusius. Jadi di sekitar 2.500 tahun yang lalu, musik di Tiongkok sudah jauh lebih maju. Tetapi kemudian akhirnya menjadi sangat mundur.
Di dalam musik, nada C dan D di tengahnya ada nada C#. Demikian juga antara D dan E ada D#. Tetapi antara E dan F tidak ada tengahnya, karena memang jarak nadanya kecil. Demikian juga antara B dan C. Jadi dari 7 nada, ada dua nada yang tidak ada tengahnya. Sehingga ada 7 nada utama dan 5 nada tengah. Total semuanya ada 12 nada. Kedua belas nada ini memiliki jarak suara yang hampir mirip. Ini disebut sebagai well-tempered (Jerman: wohltemperiert) – equal tone.
Di zaman Konfusius, dituliskan musik memiliki 5 suara 7 dalil, sehingga itu pun total berisi 12 nada. Namun nada kromatis (12 nada) ini kemudian hilang. Tujuh dalil itu hilang, tersisa 5 suara (pentatonik) ini yang tersisa sampai sekarang. Dan mengapa ketujuh nada utama bisa hilang?
Ada seorang yang bernama Zeng bermarga Te. Dia berjasa besar bagi raja dan raja sangat menyukainya. Maka, raja memberikan kepadanya hadiah. Raja sendiri tidak begitu mengerti musik, tetapi Te sangat mengerti musik, maka hadiah yang diberikan adalah 74 gong yang membentuk 12 suara (well-tempered), lengkap 5 suara 7 dalil. Ini adalah set yang paling sempurna. Pada zaman itu, ketika raja berterima kasih kepada pejabat penting di kerajaan, maka ia akan memberikan pemberian yang paling berharga, sesuatu yang hanya ada satu buah di dunia, sehingga menjadi pemberian yang sangat istimewa karena tidak bisa didapatkan dari tempat lain. Maka, alat musik yang paling sempurna, paling bagus ini diberikan raja kepada Te. Karena ini hadiah yang luar biasa, maka Te tidak berani memainkannya, disimpan baik-baik, dan ketika ia meninggal, barang itu dikubur bersama dengan dia. Itu penghormatan bagi orang tua yang meninggal di dalam tradisi Tionghoa. Ketika ada orang tua yang meninggal, semua miliknya yang paling berharga ikut dikubur bersama dia. Ini adalah tragedi besar penguburan kebudayaan musik terbesar di dunia yang telah ada di Tiongkok dari sejak 2.500 tahun lalu. Alat musik ini baru saja ditemukan pada tahun 1976. Ketika pemerintah Beijing melakukan penggalian arkeologi di wilayah Hunan, alat musik ini ditemukan lengkap, dan ketika dipukul, baru disadari bahwa gong ini mengeluarkan 12 suara well-tempered. Baru tahu bahwa sejak 2.500 tahun lalu kebudayaan Tiongkok telah kehilangan 7 nada, sehingga yang dimengerti dan diketahui hanya sisa 5 suara.
Ketika musik terdiri hanya dari pentatonik, maka variasi harmoni sulit dikembangkan dan tidak bisa kaya variasi. Dengan itu juga variasi polifoni juga sulit dikembangkan dan akibatnya ritme juga susah dikembangkan. Variasi struktur musik, polifoni, counterpoint semuanya hilang. Variasi yang ada hanyalah variasi nada musik, lalu disertai iringan dan mungkin ditambah perkusi (pukulan tambur atau genderang), tetapi tidak dapat dikembangkan lebih lagi. Maka kita perlu studi musik hingga tuntas untuk mendalami pengertian musik. Satu musik dari Mozart lebih indah dan lebih lengkap dari 2.500 tahun musik seluruh Tiongkok. Di sini dunia Barat mempunyai keunggulan yang luar biasa dalam bidang musik.
Konfusius sebagai Musikus
Di masa hidupnya, Konfusius adalah seorang musikus. Dia bukan saja seorang guru, dia juga seorang musikus. Terkadang ia memainkan musik, sehingga murid-muridnya datang untuk menyaksikan dia main musik. Dia mengerti bagaimana hidup di dalam keadaan harmonis dengan alam, dan itu dia ungkapkan salah satunya dengan musik. Suatu hari muridnya datang melihat dia lama tidak main musik, karena dia terlalu sedih dan dia sudah tahu bahwa waktunya sudah hampir tiba. Dia berkata, “Sorga sudah mau menghentikan aku. Sorga sudah mau menghentikan aku.” Beberapa hari kemudian ia meninggal. Jadi di dalam buku-buku tentang tata krama, musik, puisi, buku perubahan, dia juga ikut menyusun buku musik.