1. Langit Sebagai Penentu Nasib
Di dalam pemikiran konfusianisme, “Langit” adalah penentu, penentu nasib manusia, dan pemberi berkat kepada manusia yang manusia sendiri tidak sanggup mengubahnya. Kalau Tuhan memberikan umur panjang, kita menerimanya; jika diberi umur pendek, kita tidak bisa menolaknya. Pada intinya, yang menentukan umur kita bukanlah diri kita sendiri. Itu ditetapkan “Langit.” Jadi, Konfusius tidak menganggap manusia berhak untuk menentukan hidup atau matinya, kerugian atau keberuntungannya, atau bahkan kejengkelan dirinya. Yang menentukan umur kita panjang atau pendek, kita akan mendapat banyak berkat atau banyak kecelakaan, itu dari “sana.” Di dalam kalimat-kalimat yang ia ajar, terdapat kalimat-kalimat tentang mandat sorga (天命 – tianming). Jadi hidup manusia sudah ada penentuan mandatnya. Seseorang bisa kaya dan bisa terhormat ditetapkan dari atas, bukan dari dunia.
2. Hidup Ditentukan Sorga
Istilah 命 (ming) artinya hidup atau nyawa. Tetapi di dalam bahasa kuno dan filsafat, diartikan sebagai mandat sorga. Pengertian ini sangat besar. Hal ini dipakai di dalam Alkitab bahasa Mandarin di dalam 2 Petrus 3, yang dimengerti sebagai suatu dekret yang kekal dari Allah yang tertinggi. Ini merupakan penetapan Allah yang tertinggi. Semua ini ditetapkan Allah di dalam kekekalan. Kapan kita hidup atau kapan kita mati sudah ditetapkan oleh penentuan sorgawi, dan ada yang menetapkan di sorga. Demikian pula kita bisa menjadi kaya atau kita menjadi orang terhormat adalah karena penentuan dari sorga.
Di sini kita melihat dengan jelas konsep Konfusius bahwa Tuhan adalah pemberi hidup panjang atau pendek, serta yang menetapkan bagaimana keadaan nasib manusia. Dan juga tidak ada yang lebih tinggi dari Langit. Langit adalah the ultimate highest supreme (Oknum Ultima yang Tertinggi). Tidak ada siapa pun atau apa pun yang bisa melampauinya. Ada satu kalimat Konfusius yang mengatakan, “Alangkah besarnya raja yang disebut Yao itu. Dia bagaikan raja yang seperti gunung yang agung sekali. Namun demikian, yang lebih besar dari dia adalah Langit, sehingga ia hanya bisa menjadi yang kedua.” Jadi Konfusius melihat raja sebesar apa pun tidak lebih tinggi dari Langit. Raja bukan yang paling tinggi. Di dalam konsep Konfusius, raja yang terbaik dalam sejarah pun bukan yang tertinggi. Langit itulah yang tertinggi.
3. Langit Nomor Satu, Manusia Nomor Dua
Dari konsep tentang Langit ini, Konfusius ingin mengajarkan bahwa siapa pun tidak boleh sombong. Bahkan raja pun tidak boleh sombong, karena raja bukanlah yang tertinggi; masih ada yang lebih tinggi dari raja. Ada sorga, ada Langit yang lebih tinggi dari raja. Raja hanya di posisi kedua. Maka kalau ada orang mengatakan bahwa dia nomor satu, maka ia belum belajar konfusianisme, karena dia harus mengetahui bahwa ia paling-paling hanya bisa nomor dua, bukan nomor satu, karena yang nomor satu hanyalah Langit. Maka, sejak Konfusius, semua raja hanya menyebut diri sebagai son of Heaven (anak sorga), tidak berani menyamakan diri dengan sorga.
Hingga sampailah pada masa pemberontakan Taiping di abad ke-19, Hong Xiuquan, pemimpin revolusi yang melawan dinasti Qing dan mendirikan kerajaan Kristen di Tiongkok. Dia memiliki diagram yang sangat rapi dengan perencanaan yang lengkap dan menyeluruh, di mana dia merancang adanya satu gereja untuk setiap 20 rumah tangga. Di seluruh dunia, belum pernah ada perencanaan kekristenan yang lebih ketat dari ini. Tetapi sayangnya, dia begitu bermandat sorgawi, sehingga ketika ia berhasil menang dengan mengalahkan tentara yang dipimpin jenderal dari Manchuria, dan mendirikan Nanjing sebagai ibukota, ia lupa diri. Begitu ia menjadi raja, hidupnya berfoya-foya, korupsi, dan rusak. Akhirnya dia kembali dijatuhkan oleh tentara Manchuria dan akhirnya dibunuh. Sayang sekali. Ia satu-satunya yang mengakui Yesus sebagai Tuhan, dan tidak mengakui Langit. Dia menyebut Yesus sebagai kakak sorga (Tiandi), sementara menyebut dirinya sebagai Tiansheng, yaitu adik sorga. Ini mirip seperti di Filipina, ada orang mendirikan gereja yang diberi nama Ecclesianic Christo (Gereja Kristus), tetapi ini bukan gereja Katolik tetapi gereja bidat. Pendirinya Bernardo, yang sekarang punya pengikut hingga 6 juta orang. Akibatnya presiden pun takut dan harus menyenangkan mereka supaya tidak kehilangan suara mereka. Dia menyebut diri adik Yesus. Yesus itu kakaknya. Ini mirip Hong Xiuquan yang menyebut diri adik sorga. Sementara orang-orang lain hanya menyebut diri sebagai anak sorga atau anak Langit. Di dalam lingkaran konfusianisme, yang paling besar, bahkan Yi Hao, raja yang paling hebat, paling bijak, dan paling baik pun tidak berhak menyebut diri nomor satu, karena masih ada yang nomor satu (天 – tian).
4. Barang Siapa Bersalah kepada Langit, Tidak Ada Pengampunan
Selain hal pertama tentang Langit, maka ada kalimat kedua dari Konfusius, yang saya interpretasikan sebagai, “Barang siapa bersalah kepada Langit, tidak ada lagi orang yang dapat menolong engkau untuk berdoa kepada dia.” Engkau pun bahkan tidak bisa lagi berdoa mohon pengampunan dari dia jikalau engkau sudah bersalah kepada Langit. Jadi seberapa pun kurang ajarnya manusia, ia hanya boleh bersalah kepada manusia. Jika dia sampai bersalah kepada Allah, maka Konfusius mengatakan, “Sudah tidak ada lagi kemungkinan pengampunan bagi dia.” Tidak ada orang yang bisa berdoa minta pengampunan untuk dia.
Orang Kristen mengatakan, “Ada, yaitu Yesus Kristus.” Orang Katolik mengatakan, “Ada, yaitu Maria.” Jika kita bersalah kepada sorga, kita minta tolong Yesus, dan jika bersalah kepada Yesus, minta tolong mama-Nya, yaitu Maria – ini pandangan orang Katolik. Jadi kita melihat perbedaan antara ketiganya: konfusianisme, Kristen, dan Katolik. Dalam hal ini, Islam lebih mirip dengan konfusianisme, karena di dalam Islam tidak perlu ada pengantara. Demikian juga Yudaisme mengatakan tidak perlu perantara, langsung datang kepada Tuhan. Jadi Yudaisme dan Islam sama, keduanya sama-sama monotheisme. Mereka sama-sama percaya bahwa Allah itu hanya satu, dan antara Allah dan manusia tidak ada pengantara. Konfusianisme juga percaya tidak ada pengantara antara sorga dan manusia. Jika engkau bersalah terhadap sorga, tidak ada siapa pun juga yang dapat berdoa untukmu. Jika engkau berdosa melawan sorga, tidak ada lagi gunanya berdoa.
5. Memikirkan Sesuatu Harus Sampai kepada Sumbernya
Kalimat lain yang juga pernah diucapkan oleh Konfusius adalah, “Jika engkau mau mengingat, engkau harus mengingat hingga ke sumbernya.” Manusia harus belajar berpikir sejauh mungkin, hingga yang paling jauh, yaitu sorga. Jadi jika engkau sekarang berpikir tentang adanya minuman (gelas air) di depan kita, maka kita perlu bertanya mengapa bisa ada minuman ini. Itu karena ibu saya bekerja keras sehingga saya bisa minum. Tetapi kemudian perlu bertanya lagi, ibu saya itu berasal dari mana? Dan mengapa ia bisa ada? Maka itu dari kakek saya, dan kakek sayalah yang membesarkan ibu saya. Lalu, mengapa kakek bisa membesarkan ibu saya? Itu karena kakek saya berhasil hidup dari pekerjaannya. Lalu mengapa kakek bisa sukses, itu karena ayahnya kakek saya bekerja keras dan mendidik kakek saya dengan baik. Terus hal ini dirunut dengan berpikir adanya kebajikan dan sumber anugerah. Sampai akhirnya tiba di titik yang tertinggi, kebajikan yang paling besar, yaitu sorga. Maka, Konfusius mengatakan, “Ketika engkau berani menipu, sebenarnya engkau sudah berani menipu sorga.” Dengan demikian, engkau berani menipu sorga, itu adalah dosa besar, karena berani menipu yang paling tinggi, berani bersalah kepada Tuhan.
6. Orang Agung Meyakini Sesuatu Kepercayaan
Kalimat lain Konfusius adalah, “Seorang gentleman memiliki keyakinan yang ia percayai dan takuti.” Konfusius banyak berbicara tentang gentleman, orang yang agung dan berbijaksana. Konfusius membagi manusia menjadi dua golongan, yaitu orang yang betul-betul gentleman yang harus dihormati, berwatak agung, mempunyai keberanian, memiliki kebijaksanaan, serta mempunyai ikatan diri di dalam moral dan etika yang kuat. Ini disebut sebagai 君子 (junzi = gentleman). Lalu ada sekelompok orang lain yang disebut 小人 (xiaoren = small man) atau orang yang rendah atau hina. Orang seperti ini adalah orang yang hanya bisa meributkan hal-hal kecil yang tidak berguna, mencari keuntungan hal yang tidak penting, dan yang hanya bisa marah-marah untuk hal-hal yang tidak signifikan. Orang seperti ini disebut orang kecil (xiaoren). Ketika kita menyebut seseorang xiaoren, itu artinya kita menghina dia sebagai orang yang berakhlak rendah. Dia adalah manusia yang tidak layak dianggap sebagai manusia. Dia bertubuh manusia, tetapi perilakunya seperti binatang, karena dia tidak tahu bagaimana hidup menjadi manusia.
Pengertian gentleman dalam bahasa Inggris adalah seseorang yang lembut dan sopan. Tetapi bagi Konfusius, menjadi gentleman adalah jauh lebih dari itu. Seorang gentleman adalah seseorang yang hidup mulia. Istilah yang dipakai akhirnya juga dipakai untuk menunjuk kepada raja. Seorang yang berwibawa, berkuasa, berpangkat, memiliki keanggunan, disebut qin atau qinshi (anak raja). Di dalam kekristenan, sebenarnya ini akhirnya menunjuk kepada Kristus, Anak Allah, Raja di atas segala raja. Setiap orang Kristen harus menjadi qinshi,Kristus kecil, pengikut Kristus, imitator dari Sang Juruselamat kita. Orang yang agung memiliki tiga hal yang ia takuti. Pertama, takut kepada mandat sorga. Semua orang yang beres, yang agung, harus takut kepada mandat sorga. Semua hal yang melanggar prinsip sorgawi tidak boleh kita kerjakan. Maka, orang agung harus mempelajari mandat sorga. Mandat sorga bisa dimengerti sebagai kehendak Allah dan harus saya mengerti, lalu dengan perasaan takut dan penuh tanggung jawab berusaha saya jalankan. Ini tanggung jawab pertama seorang gentleman. Kedua, menghormati orang suci. Yang disebut orang suci adalah mereka yang benar-benar memiliki meditasi dan mempunyai pelatihan diri, sehingga mereka memiliki keagungan watak dengan hidup suci dan menjadi teladan. Jika engkau mengetahui siapa orang yang sudah melatih diri sampai tahap itu, engkau harus takut kepada dia dan mendengarkan perkataannya. Ketiga, takut kepada orang yang lebih besar. Orang agung takut kepada orang yang berkedudukan lebih tinggi, berpangkat lebih besar daripadanya. Dengan demikian kita bisa mematuhi apa yang menjadi kehendak sorga. Dan seberapa tinggi manusia, tetap Allah di tempat yang paling tinggi. Inilah tiga ketakutan dari seorang gentleman.
7. Patuh Semua Pengaturan Sorga
Jika percaya kepada sorga, maka semua yang diatur oleh sorga harus diterima. Jangan mengeluh dan mengomel kepada sorga dan jangan selalu mempersalahkan orang lain. Ini adalah watak yang anggun, yang diinginkan oleh Tuhan, jadi taatlah. Apa yang diatur oleh Langit sudah seharusnyalah diterima. Jika ada orang lain kaya dan kita dilahirkan di dalam keluarga yang miskin, kita tidak boleh mengomel. Kita tidak boleh mempertanyakan mengapa orang lain bisa sukses, jualannya begitu lancar, sementara saya hidup begitu susah, atau mengapa orang lain tidak memedulikan nasib saya. Itu adalah hal-hal yang tidak patut diperkatakan karena semua itu sudah ditetapkan sorga dengan mandat dan kehendak yang tertinggi.
Kita tidak boleh bersungut-sungut dan menggerutu kepada Tuhan, tidak boleh sembarangan mempersalahkan orang lain. Jadi, menjadi gentleman berarti berjuang untuk mencari Tuhan dan kehendak-Nya, berjuang untuk bagaimana menjadi lebih baik, dan bagaimana berjuang dengan pertanggungjawaban pribadi kita sendiri. Jadi, engkau harus bertanggung jawab memperbaiki dirimu, kalau ada salah ditanggung sendiri, tidak boleh mempersalahkan orang lain. Orang yang mencela sorga, mencela orang lain, adalah orang yang tidak beres.
Hal seperti ini, jika kita perhatikan, terbukti di dalam masyarakat Tionghoa. Anak-anak remaja yang nakal persentasenya kecil. Di dalam masyarakat Tionghoa, banyak perempuan yang sebenarnya mendapat banyak kesulitan, siksaan, penderitaan, lebih daripada perempuan bangsa lain, tetapi sedikit sekali yang bunuh diri. Jadi prinsip menerima nasib itu menjadi suatu kekuatan untuk tabah dan bertahan, sabar di dalam penderitaan. Ini kebudayaan yang sudah mendarah daging dalam kehidupan orang Tionghoa. Di dalam kebudayaan Tionghoa, kita harus berani menertawakan diri sendiri. Semua yang menjadi menantu disiksa, dipelonco seumur hidup, supaya tahu menjadi menantu itu susah, yang menjadi mertua itu sewenang-wenang. Menantu tidak boleh berkata apa-apa, karena mereka harus taat kepada yang lebih tinggi. Giliran dia menjadi mertua, seharusnya kan sudah pernah mengalami menjadi menantu begitu menderita, sehingga ia tidak menyiksa menantu, tetapi yang terjadi sebaliknya, giliran dia yang sekarang menyiksa menantunya. Sikap ini lucu. Mereka bisa bertahan ketika menderita karena mereka berpikir suatu saat kelak gantian dia bisa melakukan balas dendam. Jadi mereka bisa bertahan karena ada pengharapan, yaitu pengharapan bisa menyiksa orang lain. Saya bertemu beberapa mertua yang dahulunya disiksa luar biasa. Sesudah giliran dia menjadi mertua, dia berkata, “Kapan lagi, sudah tunggu lama baru ada hari ini bisa memelonco orang lain.” Menantu, yang bagi anak laki-lakinya bagaikan malaikat yang begitu cantik, bagi sang mertua tetap adalah objek untuk dipelonco. Secantik apa pun tetap adalah orang yang harus disiksa, karena menantu itu telah mengambil anak laki-lakinya. “Anak saya kamu ambil, itu kurang ajar sampai saya kehilangan anak, sudah merebut anak saya, maka engkau harus disiksa.” Itu juga alasan di dalam keluarga Tionghoa di dalam segala kesusahan mereka mengharapkan memiliki anak laki-laki, supaya kalau dia besar, dia bisa mendapatkan anak perempuan orang lain untuk bisa dipelonco. Jadi dengan pemikiran inilah mereka bisa bertahan di dalam semua kesulitan. Mereka tidak berani mempersalahkan Langit, tidak berani mempersalahkan orang lain, tetapi menunggu harinya dia bisa “main”. Kebudayaan bisa menjadi seperti ini. Hal ini tidak ada di kebudayaan Barat. Kalau di dunia Barat, kalau tidak setuju, hantam saja, tidak peduli orang tua, atau bunuh saja lalu masuk penjara. Itu terjadi karena mereka tidak tahan dan langsung melampiaskan pembalasan. Di kebudayaan Tionghoa tidak demikian. Bagaimanapun juga mereka bertahan. Kebudayaan Barat adalah kebudayaan mana tahan. Belum nikah sudah naik tempat tidur, mana tahan. Kebudayaan Timur, disiksa pun tetap harus bertahan. Tetapi ketika gilirannya tiba, dahulu saya dibuat menangis, sekarang kamu harus menangis lebih banyak, itu baru menantu yang baik.
8. Menghormati Sorga
Pada suatu waktu, seorang murid Konfusius, Zigong datang menghadap. Konfusius tiba-tiba berkata, “Hari ini saya tidak ingin berbicara.” Jadi hari itu muridnya tidak mendapatkan pelajaran apa pun. Jika di satu kebaktian Minggu, semua jemaat sudah hadir, lalu Stephen Tong naik mimbar lalu berkata, “Hari ini saya tidak mau berkata.” Bagaimana pikiran Anda? Lalu ada kalimat: tidak boleh mempersalahkan orang lain. Tetapi saya sudah rugi sampai di sini dan tidak mendapat apa-apa. Maka murid Konfusius bertanya, “Kalau guru tidak berbicara, maka murid-murid bagaimana bisa belajar?” Konfusius menjawab, “Apakah Langit pernah berbicara sesuatu?” Lihatlah Langit yang diam tanpa kata, tetapi segala kebenaran berjalan di dalam alam semesta, segala sesuatu merangsang orang berpikir, walau tanpa berbicara. Yang tidak berbicara ternyata berbicara lebih banyak daripada yang bicara terus. Di dalam keadaan sedemikian, tidak bersuara lebih baik daripada bersuara.
Sebenarnya pemikiran ini ada kebenarannya. Ketika kita berumah tangga, kebanyakan yang paling banyak bicara itu ibu, tetapi yang justru paling banyak didengar adalah kalimat ayah. Makin banyak bicara, makin sedikit pengaruhnya. Jadi teori dari Konfusius ini sangat penting. Langit tidak berbicara apa pun, sehingga terkadang kita perlu belajar diam. Ketika kita diam, kita baru sadar kebenaran lebih daripada suara dan bahasa.
Doktor Eddie Lo, seorang doktor theologi yang disertasinya tentang Horace Bushnell, setelah menjadi pendeta puluhan tahun, dia merasa perlu belajar lagi. Dia pergi ke suatu tempat untuk studi tidak berbicara. Bayar uang sekolah mahal untuk dua minggu penuh tidak boleh berbicara satu kata pun. Setelah dua minggu itu dia mulai menyadari bahwa dia biasanya berbicara terlalu banyak, sehingga suaranya yang setiap hari berbicara telah menekan yang tidak bersuara, yang berbicara di dalam hatinya. Selama beberapa hari pertama, susahnya luar biasa. Tetapi beberapa waktu terakhir, ia bisa menikmati hidup tanpa suara. Dan dengan itu dia selalu dapat mendengar suara dari hatinya yang merefleksikan kelemahannya, membuat ia bisa mengintrospeksi diri, dan mulai mengerti banyak hal yang selama ini tidak pernah disadarinya.
Jadi Konfusius pernah pada suatu hari berkata bahwa ia tidak mau berbicara. Dia hari itu tidak mau bersuara, karena Langit juga tidak berbicara. Bagi Konfusius, Langit itu bagaikan unmoving mover (penggerak yang sendiri tidak bergerak). Ini mirip pemikiran Aristoteles. Dia adalah unspeaking talker (pembicara yang tak berbicara). Aristoteles juga berpikir sama, adanya Allah yang unmoving mover. Bagaimana sesuatu yang sendirinya tidak bergerak bisa menggerakkan semua yang lain? Seorang profesor memberikan gambaran unmoving mover dengan sebuah ilustrasi. Di sebuah kelas yang berisi murid-murid pria, tiba-tiba masuk seorang siswi yang cantik sekali. Gadis ini diam, cantiknya tidak bersuara. Namun, itu mulai menggerakkan setiap pria yang ada di kelas itu. Satu per satu pria mulai melihat, semua mulai bergerak menengok ke arah gadis itu. Ia tidak bergerak, tetapi menyebabkan semua yang lain bergerak. Ini terjadi jika ada kekuatan daya tarik yang luar biasa. Ini unmoving mover. Tuhan juga demikian. Allah tidak bersuara, tetapi tanpa suara telah mengakibatkan seluruh musim berjalan rotasi menurut kehendak-Nya, seluruh tanaman bertumbuh menurut kehendak-Nya, seluruh hidup bertumbuh dan berbiak menurut kehendak Tuhan. Inilah keagungan Langit. Inilah konsep Allah dari Konfusius.