Penyaliban adalah hukuman yang paling tragis di dalam sejarah. Setiap pemerintahan pasti memikirkan cara-cara untuk menakuti rakyatnya. Sejak dahulu kala hingga saat ini, hal seperti ini tidak pernah berubah. Ini merupakan kuasa yang Allah berikan kepada pemerintah, yaitu memberi hadiah kepada mereka yang melakukan kebajikan dan menghukum mereka yang melakukan kejahatan.
Setiap manusia memiliki kemungkinan berbuat salah, setiap manusia memiliki kemungkinan untuk hidupnya kacau, maka mereka yang tidak hidup seturut dengan hukum pasti harus dihukum. Dibutuhkan penghakiman dan hukuman yang benar agar masyarakat bisa kembali hidup tenteram, dan mereka yang berambisi liar tidak bisa terlalu sembarangan. Roma 13 berkata, “Siapa yang melakukan kebajikan akan mendapat hadiah, siapa yang melakukan kejahatan pasti akan dihakimi, karena ini merupakan kuasa yang Allah berikan kepada pemerintah.” Tetapi pemerintah sendiri bisa melakukan kesalahan. Ketika melaksanakan keadilan, sering kali kita melakukan kesalahan. Yang salah kita anggap benar, yang benar kita anggap salah. Maka, di pengadilan banyak kejadian peradilan yang salah. Pengadilan merupakan tempat yang terpenting untuk kita menuntut keadilan, tetapi hal yang paling tidak adil sering kali terjadi di pengadilan. Maka, kita melihat banyak sekali kasus salah vonis terhadap seseorang dan mereka ini mustahil mempunyai kekuatan untuk membela diri.
Seorang sastrawan Rusia yang penting, Leo Tolstoy, pernah menulis novel tentang seorang yang divonis seumur hidup dan dibuang ke suatu tempat karena mereka mendapati bahwa ia membunuh. Mereka membuangnya ke Siberia yang suhunya beberapa puluh derajat di bawah nol. Ia tidak memiliki pakaian yang cukup, maka puluhan tahun ia harus menderita kedinginan. Tetapi ia memberi tahu orang-orang, “Bukan aku! Aku tidak membunuh siapa pun.” Pemerintah tidak mau tahu dan tetap membuangnya ke Siberia. Ia berada di Siberia selama enam puluh tahun. Ketika ia berusia 84 tahun, tiba-tiba ada seseorang mengetuk pintu selnya dan masuk, lalu berkata, “Silakan berpakaian rapi, sekarang ada berita penting yang mau disampaikan.” Setelah ia berpakaian lengkap, orang itu berkata, “Pemerintah mengumumkan bahwa engkau tidak bersalah. Pembunuhnya bukan engkau, maka hari ini engkau dibebaskan.” Ketika ia mendengar berita itu, perasaannya sangat kacau. Pertama, sekarang aku sudah bersih, karena sudah dibuktikan bahwa aku tidak bersalah. Kedua, setelah meninggalkan penjara, ke mana aku akan pergi? Ini Siberia, jarak ke Moskow lebih dari 8.000 km. Mustahil aku bisa kembali ke sana. Aku tidak punya uang untuk kembali. Aku bebas, tetapi aku ada di Siberia, mungkin aku akan mati kelaparan atau mati kelelahan. Maka ia sangat susah. Ketiga, sekalipun aku bisa menempuh 8.000 km kembali ke Moskow, siapa yang masih mengenalku? Sanak keluargaku dan banyak teman-temanku mungkin sudah meninggal, dan orang yang masih mengenalku mungkin tinggal beberapa. Dan mereka yang sudah seusiaku juga mustahil bisa memberi aku makan. Maka, untuk apa lagi aku hidup di dunia ini? Hidupku sudah dihabiskan seluruhnya, aku sudah dipisahkan dari istri dan anakku selamanya, sekarang aku tidak tahu di mana mereka. Maka, ketika orang tua ini akan meninggalkan penjara, di satu sisi ia bersukacita, tetapi di sisi lain ia sangat susah. Ia terus menangis dan menangis. Ketika di usia 20 tahun saya membaca novel ini, setelahnya saya sangat bersusah hati. Mereka yang tidak bersalah namun dipenjarakan, siapakah yang bisa menolong atau menyelesaikan kesulitan mereka?
Di dunia banyak hal yang tidak adil, tetapi dari semua itu, ada satu yang paling tidak adil, yaitu pengadilan dan penghakiman Pontius Pilatus terhadap Yesus, Seorang teragung di dalam sejarah, yang berkeliling ke mana-mana mengajarkan kebenaran, melakukan kebajikan dan mukjizat yang tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun di sepanjang sejarah. Yesus harus ditangkap dan dihakimi oleh Pilatus karena bangsa Yahudi dan para pemimpin agamanya, termasuk para kaum Farisi, tidak dapat menerima Yesus yang membuka dan menegur semua dosa dan kesalahan mereka. Mereka mendendam dan memutuskan untuk membunuh-Nya. Namun, mereka begitu munafik dan licik, maka mereka memakai tangan orang lain untuk membunuh-Nya. Mereka menganggap Yesus harus mati karena telah melanggar Hukum Taurat, tetapi hukum Romawi berbeda dengan Hukum Taurat, maka sebetulnya Yesus tidak melakukan kesalahan apa pun di hadapan hukum Romawi. Tiga kali Pilatus mengumumkan bahwa ia tidak menemukan kesalahan apa pun pada diri Yesus, tetapi orang-orang Yahudi berteriak, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” Ini merupakan kebencian yang menimbulkan ketidakadilan.
Hal seperti ini tidak aneh, karena Alkitab mencatat bahwa Yusuf pun dipenjarakan tanpa ia berbuat kesalahan. Apakah Allah tidak melihat penderitaan umat-Nya? Apakah Allah tidak tahu bahwa mereka tidak bersalah? Melalui penderitaan, Allah melatih seseorang agar kelak punya keberhasilan besar. Jika tidak dipenjarakan selama 26 tahun, Nelson Mandela (dari Afrika Selatan) mustahil menjadi presiden yang penting dari Afrika. Seluruh dunia menghormatinya dan ia pun dianugerahi Penghargaan Nobel. Allah mengizinkan Yusuf, Yohanes Pembaptis, Mandela, dan Ahok dipenjara. Bukan Allah tidak melakukan apa-apa atau tidak adil, tetapi karena ada rencana besar Allah yang tidak mungkin manusia mengerti.
Yesus dihakimi merupakan hal yang paling tidak adil selama ribuan tahun sejarah. Ia dihakimi di bawah Pilatus, seorang yang kafir, berdosa, dan menentang Allah. Bukan karena ia berhak menghakimi Yesus, Sang Kudus, Anak Allah, tetapi hal itu boleh terjadi atas seizin Allah. Yesus harus mati baru bisa menggantikan kita menerima hukuman atas segala dosa kita. Yesus harus mati dan bangkit kembali untuk menyatakan kuasa-Nya, barulah manusia berpengharapan. Seperti yang dikatakan Yesaya 53:10, “Tuhan berkehendak meremukkan dia … sebagai korban penebus salah.” Yesus menggantikan kita, maka kita diselamatkan. Yesus dihukum, maka kita mendapat damai sejahtera. Yesus dicambuk, maka kita disembuhkan.
Hukuman salib yang ditemukan orang Romawi sangat mengerikan. Ketika para perampok, pembunuh, atau pelanggar hukum Romawi divonis hukuman salib, maka mereka akan dibawa ke suatu gudang untuk memindahkan keluar kayu berat, ditaruh di atas pundak mereka, dan harus mereka pikul sampai ke atas Bukit Golgota. Sesampainya di atas, mereka menggali lubang, lalu salib ditaruh di atas tanah, dan si penjahat ditaruh di atas salib itu. Mereka merentangkan kedua tangannya, dengan paku-paku besar kedua tangannya dipaku, lalu kedua kakinya pun dipaku, kemudian diikat tali. Setelah kukuh, mereka pun mengangkat dan menegakkan salib itu dan ditancapkan di atas lubang yang tadi dibuat. Setelah salib itu ditancapkan, maka berat dari seluruh badan orang itu akan menumpu pada beberapa lubang paku itu. Banyak dari mereka akan berteriak histeris di sana dan mengutuki para penyalibnya. Perlahan-lahan mereka mengalirkan darah setetes demi setetes. Ada yang satu hari, ada yang tiga hari baru mati. Sejarah mencatat, yang terlama tujuh hari baru mati. Saat darahnya pelan-pelan mengalir, tekanan darahnya pun akan berubah, jantungnya akan melemah, suhu badannya akan naik, dan ada yang langsung pingsan, ada yang langsung mengigau, ada yang mengutuki orang-orang.
Salib merupakan salah satu hukuman paling mengerikan dalam sejarah. Mau turun tidak bisa, mau segera mati juga tidak bisa, maka tiap detik dilewati dengan sangat menderita. Di Nazaret pernah terjadi suatu pemberontakan terhadap Romawi. Pasukan Romawi pun mengepung Nazaret dan menangkap semua pemberontak itu, lalu mereka menyalibkan seratusan orang pada saat yang bersamaan. Mereka disalibkan seperti lampu jalan di kedua sisi sepanjang jalan dari suatu kota lain sampai ke Nazaret. Saat itu Yesus berusia sekitar 11 tahun. Sekalipun tidak dicatat oleh Alkitab, namun sejarah mencatat, bahwa pada saat masih kecil Yesus dengan mata kepala sendiri melihat keadaan seratusan orang yang disalibkan itu. Meski masih kecil, dalam hati-Nya tentu Ia berpikir, kelak kematian-Nya akan seperti itu. Maka, di tahun berikutnya di Yerusalem, saat Ia berdiskusi dengan kaum Farisi dan para ahli Taurat, mereka semua terkagum-kagum dengan begitu mendalamnya Ia memahami Alkitab.
Allah mengutus Kristus datang ke dunia ini. Ia memahami semua hal. Ia pernah menyaksikan dan kemudian mengalami sendiri bagaimana disalibkan. Tetapi, Alkitab berkata, dengan kerelaan-Nya Ia menaati kehendak Bapa-Nya. Ibrani 10 berkata, “Engkau telah menyediakan tubuh bagiku. … Sungguh, Aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang Aku untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku.” Yesus bersyukur kepada Allah karena telah menyiapkan tubuh bagi-Nya, karena tanpa inkarnasi menjadi manusia, mustahil Ia mati bagi kita. Kematian Yesus itu aktif dan penuh kerelaan, itulah kerendahan hati dan ketaatan-Nya.
Suatu hari menjelang kematian-Nya, Yesus mengumpulkan para murid-Nya. Yohanes 13:1 berkata, “Yesus sudah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi para murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya.” Yesus pun bangkit dan mencuci kaki para murid-Nya. Demikian rendah hati-Nya, demikian Ia ingin sekali menjadi teladan. Saya percaya bahwa Ia pun mencuci kaki Yudas. “Yudas, Yudas, meski engkau akan mengkhianati Aku, sekarang Aku sebagai teladan memberitahu kamu, Aku datang ke dunia bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani, bahkan engkau pun Kulayani.” Bagaimana perasaan Yudas saat itu? Alkitab tidak mencatat. Petrus berkata, “Oh Tuhan, bagaimana mungkin Engkau mencuci kakiku?” Yesus berkata, “Jika seseorang telah dibersihkan tubuhnya, ia tidak perlu lagi mencuci seluruh tubuhnya, ia hanya perlu membersihkan kakinya.” Apakah makna kalimat ini? Yesus mau mengatakan, jika engkau sudah diselamatkan, Allah telah mengampuni dosamu, engkau sendiri harus melalui jalan yang bersih, kakimu harus berjalan dalam kebenaran Tuhan. Aku datang ke dunia menjadi manusia, Aku datang melayani manusia, Aku mencuci kakimu. Jika kau bukan milik-Ku, Aku tidak membersihkanmu dan engkau pun tidak suci. Petrus berkata, “Oh Tuhan, jika demikian biar Engkau bersihkan sekujur tubuhku.” Yesus berkata, “Tubuhmu sudah dibersihkan, Aku hanya perlu membersihkan kakimu saja.”
Kemudian sebelum Perjamuan Kudus diadakan, Ia makan bersama murid-Nya dan menaruh sedikit makanan ke atas piring Yudas, lalu berkata kepada Yudas, “Yang engkau ingin lakukan, lakukanlah sekarang.” Apa yang ingin disampaikan kepada kita melalui ucapan ini? Yudas mengkhianati Yesus bukan rencana Allah, tetapi rencana Yudas. Maka Yesus berkata, “Yang engkau ingin lakukan, lakukanlah sekarang.” Setelah Yudas mendengar ucapan ini, ia pun berdiri dan meninggalkan tempat itu mencari mereka yang mau membeli Yesus. Yudas menjual Yesus dengan harga 30 keping perak. Yesus berkata kepada murid-Nya, “Kalian menyebut Aku, Tuhan dan Guru, dan memang demikian. Sekarang Aku yang adalah Tuhanmu dan Gurumu, Aku mencuci kaki kalian, menjadi teladan bagimu. Demikian juga kalian harus meneladani Aku, kalian harus saling mencuci kaki.” Pada hari itu Yudas telah menjual Yesus. Yesus dihakimi enam kali dalam semalam di beberapa tempat, dan tidak ada sedikit pun makanan ataupun minuman yang masuk ke mulut-Nya, sampai keesokan harinya pukul sembilan Ia dibawa ke atas Golgota, dan disalibkan di sana.
Penyaliban yang Yesus alami berbeda dengan semua orang yang disalibkan. Orang Yahudi yang disalibkan banyak. Orang Romawi tidak menyalibkan warganya sendiri, karena warga Romawi ialah warga tingkat atas, yang juga memandang diri jauh lebih tinggi daripada bangsa-bangsa lain, maka mereka menindas bangsa-bangsa lain. Mereka tidak akan menyalibkan warganya sendiri. Yesus orang Yahudi sekaligus bukan warga Romawi, maka mereka menyalibkan-Nya. Sejarah tidak mencatat sudah berapa banyak orang yang telah mati disalibkan. Tetapi Yesus berbeda dengan semua orang yang disalibkan. Hanya orang yang melakukan kesalahan besar yang harus disalibkan. Jika tidak begitu berat, tidak perlu disalibkan, tetapi dicambuk. Cambuk juga merupakan bentuk hukuman di banyak negara. Inggris dan negara-negara Persemakmuran (seperti Malaysia dan Singapura) masih melaksanakan hukuman cambuk. Di negara-negara Persemakmuran, cambuknya sangat panjang dan punya peraturan: (a) Saat dicambukkan kali yang pertama harus mengeluarkan darah. Jika dicambuk dan tidak berdarah, artinya yang mencambuk itu tidak setia kepada negara. Maka, kekuatan mereka harus sangat cukup agar saat mencambuk, kulit si terhukum pecah dan darahnya mengalir. Para pencambuk ini pasti harus dilatih dengan ketat. Saat cambuk itu diangkat, ia harus menyiapkan tenaganya lagi sebelum mencambuk kali selanjutnya, demikian seterusnya; (b) Cambuknya tidak boleh mengenai kepala dan leher, hanya boleh mengenai punggung, dan harus dengan penuh kekuatan. Jadi, saat cambuk diangkat, kulitnya pun akan pecah dan darahnya pun mengalir. Dicambuk satu kali, lukanya perlu beberapa minggu baru bisa pulih. Jika hukuman lebih berat, ada yang harus dicambuk bahkan sampai 10 kali. Tetapi, hukuman cambuk Romawi tidak demikian.
Cambuk Romawi tidak panjang, tidak sampai 90 cm. Maka, antara satu cambukan dan cambukan berikutnya sangat cepat dan leluasa. Tiap cambuk ada tujuh cabang dengan panjang yang sama, di mana di setiap cabang ada tujuh kaitan. Maka, sebuah cambuk punya 49 kaitan. Sekali mencambuk menghasilkan 49 lubang atau luka. Demikianlah darah terus mengalir. Lalu, berapa kali yang terbanyak untuk hukuman cambuk? Maksimal 40 kali cambukan. Jika seseorang dicambuk 40 kali, di sekujur tubuhnya ada hampir 2.000 luka yang terjadi dan bisa dikatakan seluruh tubuhnya mengalirkan darah. Setelah tahu akan hal ini, saya pun meneliti pelukis Barat yang melukis tentang keadaan Yesus saat dicambuk. Saya melihat tidak seorang pun yang sungguh mengerti kondisi seseorang yang dicambuk. Karena Yesus dicambuk 40 kali, berarti Ia hampir mendapat 2.000 luka. Ini hukuman yang sangat berat.
Apakah orang yang sudah dicambuk masih harus disalibkan? Apakah orang yang disalibkan itu juga dicambuk? Fakta sejarah membuktikan tidak demikian. Orang yang dicambuk belum tentu disalibkan dan orang yang disalibkan mungkin juga tidak pernah dicambuk. Salah satu hukuman itu saja sudah sangat menderita, tetapi Yesus bukan hanya menderita amat sangat dengan dicambuk, Ia pun kemudian harus disalibkan. Maka, penderitaan Kristus itu ganda. Mungkin sepanjang sejarah, hanya Yesus saja yang mengalami dua macam hukuman ini. Maka, Paulus berkata, jika ada orang yang tidak mengasihi Tuhan, terkutuklah orang itu.
Jika kita mau mengasihi Tuhan, kita harus terlebih dahulu memahami penderitaan Kristus yang terluka dan menderita demi kita. Jika tidak, mustahil kita bisa mengasihi Tuhan. Kita disembuhkan karena bilur-bilur di seluruh tubuh-Nya. Ia dihukum agar kita mendapat damai sejahtera. Yesus berdiri di posisi kita yang seharusnya menerima hukuman. Itu sebab, Yesus ketika disalibkan berseru dengan keras, “Allah-Ku, Allah-Ku, kenapa Engkau meninggalkan Aku?” Pertanyaan ini bukan mau jawaban Tuhan. Pertanyaan ini mau kita sendiri yang sadar dan memberikan jawaban. “Oh Tuhan, Engkau disalibkan demi aku, Engkau disalibkan demi menanggung hukuman yang seharusnya kutanggung.”
Pada saat kita sungguh mengerti penderitaan Tuhan dan sungguh merasakan kasih-Nya, barulah kita bisa datang kepada Tuhan dan berkata, “Oh Tuhan, ampunilah aku, selamatkanlah aku, biarlah kasih-Mu sampai kepadaku, karena Anak-Mu Yesus Kristus telah mati bagiku.” Yesus menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Ia sudah disalibkan dan mati demi kita. Pengakuan Iman Rasuli mencatat semuanya dan telah merangkumkan semua nubuatan tentang penderitaan dan apa yang Yesus alami. Maka, sepanjang sejarah setiap orang yang percaya kepada Kristus, dari dalam hati mereka akan timbul suatu pengakuan yang diungkapkan melalui kata-kata ini. Amin.