Setiap manusia yang hidup tidak memiliki pengalaman mati. Yang hidup tidak pernah mati, yang mati tidak bisa hidup kembali. Maka pembicaraan tentang kematian adalah rahasia yang mustahil dimengerti oleh para filsuf, disadari oleh para rohaniwan, diuraikan oleh para sastrawan, atau dibahas oleh para budayawan. Kematian merupakan misteri terdalam dan tersulit dimengerti oleh rasio dan inteligensi manusia.
Ketika Allah menciptakan manusia dan memberikan kehidupan kepadanya, Ia memberikan peringatan, “Jika engkau melanggar perintah-Ku, di hari engkau makan buah terlarang, engkau akan mati.” Ketika kalimat itu diucapkan kepada Adam, ia mustahil mengerti dan menyadari apa artinya “mati”. Kata “mati” yang keluar dari mulut Allah ini melampaui baik pengetahuan maupun kapasitas rasio dan pengalaman manusia. Adam hanya dapat mendengar kata tersebut tanpa mampu mengertinya. Sampai pada saat ia makan pun, Adam belum dapat mengerti, tetapi ia mulai merasa sedang menuju kematian.
“Kematian” dalam pikiran Tuhan memiliki tiga lapisan arti: (a) Berhentinya fungsi organ tubuh. Ini adalah arti yang terdangkal. (b) Terpisah dari hidup Allah. Ini arti yang lebih dalam. Pencipta hidup ialah Sumber Hidup. Allah ialah Sumber hidup, Allah mempunyai hidup pada diri-Nya sendiri, yang melampaui semua ciptaan. Hanya Allah ialah Sang Pencipta, sehingga hidup yang ada pada Allah lebih tinggi dari segalanya. Pada saat manusia melanggar perintah, memakan buah pohon terlarang, akibatnya terpisah dari Sumber Hidup. Itu artinya, “Di hari engkau makan, engkau akan mati.” Berarti, saat itu manusia akan hidup tersendiri tanpa relasi dengan Allah yang sejati. (c) Ditinggalkan Tuhan selamanya dan akhirnya dibuang ke neraka. Ini kematian yang kedua kalinya.
“Mati” memiliki arti yang hanya terkandung dalam firman Allah, yang dipaparkan melalui iluminasi Roh Kudus kepada setiap orang. Firman bukan saja berbicara tentang seluruh kebenaran Tuhan Allah, tetapi Firman itu sendiri pernah datang menjelma menjadi manusia, bersalutkan darah dan daging, dan mengalami segala pengalaman manusiawi. Tetapi bedanya, Ia tidak berdosa. Alkitab mengatakan bahwa hal itu terjadi agar Ia secara khusus dapat mengalami kematian dan melenyapkan kuasa kematian itu dan penguasanya, yaitu Iblis. Yesus rela berdarah dan berdaging seperti kita untuk mewakili kita mati melunaskan tuntutan dosa, karena upah dosa itu maut. Inilah kandungan kasih Allah yang terbesar sehingga Yesus rela mati disalibkan. Semua kematian manusia adalah akibat dosa, hanya kematian Yesuslah yang merupakan kematian karena kehendak dan rencana Allah. Di dalam Yesaya 53:5 dinyatakan, “Allah telah menetapkan untuk menindas-Nya dan menimpakan seluruh dosa kita ke atas diri Yesus.” Maka, Yesus mati menerima hukuman dan kutukan dosa yang seharusnya hanya ditimpakan kepada para pendosa. Galatia 1:4 mencatat, “Kristus telah menyerahkan diri-Nya karena kehendak Allah untuk menggantikan kita.” Karena kematian merupakan rahasia besar, maka jika Allah tidak mewahyukan kebenaran-Nya melalui firman-Nya dan tidak mengirimkan Roh Kudus untuk memberikan pencerahan kepada kita, tidak ada seorang pun yang dapat mengerti apa artinya mati dan bagaimana caranya melepaskan diri dari kuasa kematian. Hal ini dicantumkan dalam Alkitab dan dirumuskan dalam Pengakuan Iman Rasuli.
Peristiwa Yesus mati merupakan fakta sejarah. Sejarah, dimulai sejak Allah menciptakan alam semesta, dan langit dan bumi mulai berproses, sampai nanti berakhir pada hari Yesus datang kembali menggenapi sejarah umat manusia. Mereka yang selamat akan diberikan hidup yang kekal beserta Tuhan selamanya. Yang tidak menerima Yesus akan dihukum selamanya. Sebelum Yesus disalibkan, pemerintah Pontius Pilatus telah menyerahkan Yesus untuk dicambuk, lalu dibawa untuk disalibkan di Bukit Golgota. Sesudah Yesus mati, beberapa jam kemudian Yusuf dari Arimatea mendatangi Pilatus dan meminta jasad Yesus. Maka Alkitab menyatakan bahwa Pilatus memberikan jasad Yesus kepada Yusuf dari Arimatea untuk dikuburkan. Pada saat Yesus hidup, Herodes memperalat agama untuk mendapat faedah politis. Menjelang Yesus mati, orang dan pemimpin agama Yahudi memperalat politik untuk mendapat faedah bagi agama mereka. Melalui saling memperalat seperti ini, Yesus akhirnya disalibkan.
Pilatus tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan diri dan mengalahkan suara orang Yahudi. Ketika ia berusaha melepaskan Yesus, ia memilih seorang yang paling jahat dan dibenci orang Yahudi, lalu meminta mereka untuk memilih antara Barabas dan Yesus. Tetapi aneh, mereka berkata, “Barabas!” Pilatus tidak berdaya. Ia masih berusaha bertanya, “Apa yang harus kulakukan kepada Yesus?” Mereka menjawab dan berseru-seru, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” Maka ia menyerahkan Yesus kepada mereka untuk disalibkan. Yesus diperintahkan untuk memikul salib-Nya sendiri ke Golgota, lalu disalibkan. Pilatus tidak berdaya menolong Yesus, karena ia telah masuk ke dalam jerat orang Yahudi yang memperalat dia untuk membunuh Yesus. Oleh karena itu, ia sangat membenci orang Yahudi. Pada saat ia merasa tidak dapat menolong lagi, maka ia memasang tulisan “Yesus dari Nazaret, Raja orang Yahudi” di bagian kepala salib Yesus.
Golgota ada di persimpangan jalan, di mana semua yang ingin ke Yerusalem harus melewati Golgota. Mereka yang datang dari jauh dan melalui Yerusalem dapat melihat tulisan di atas salib Yesus itu. Pilatus sengaja memakai tulisan itu untuk mempermalukan orang Yahudi. Maka, para imam memprotes Pilatus atas peletakan tulisan itu, tetapi Pilatus berkeras, “Apa yang kutulis tetap tertulis.” Mereka pulang dengan kecewa, karena semua bangsa yang melalui Yerusalem akan membacanya. Meski tampaknya Pilatus tidak berdaya terhadap orang-orang Yahudi itu, tetapi akhirnya ia memakai cara ini untuk membuat orang-orang Yahudi itu tidak berdaya terhadapnya.
Hari itu hari Sabat, sehingga tidak boleh ada orang mati yang tetap tergantung di salib. Maka kedua perampok di kanan kiri Yesus dipotong kakinya, sehingga darah mengalir turun dengan deras lalu mati. Tetapi beberapa jam sebelum matahari terbenam, tentara Romawi mau tahu Yesus masih hidup atau sudah mati, maka mereka menusukkan tombak ke rusuk Yesus. Pada saat ditusuk, keluar gumpalan darah yang terpisah dari cairan darahnya. Menurut seorang ahli medis dari Inggris, hal ini terjadi menunjukkan jantung Yesus pecah karena terlalu sedih. Maka akhirnya tidak satu pun tulang-Nya dipatahkan. Hal ini menggenapi nubuat Mazmur yang sudah tertulis sekitar seribu tahun sebelumnya.
Yesus mati tanpa memikirkan kepentingan diri atau merencanakan hari depan-Nya sendiri, karena Allah sudah mengatur semuanya. Banyak orang penuh kekhawatiran, tetapi Yesus mengajarkan, “Jangan khawatir akan makanan dan mati hidupmu, karena Bapamu di sorga memelihara engkau.” Selama puluhan tahun ini saya belajar bagaimana hidup bersandar kepada Tuhan, bagaimana hidup tanpa perlu khawatir. Bagi saya, ada dua hal yang sedikit saya lakukan, yaitu khawatir dan iri hati. Kedua hal ini tidak pernah ada gunanya bagi hidup manusia. Tidak pernah karena khawatir hidupmu akan menjadi lebih baik. Tidak pernah karena iri hati membuat hidupmu lebih bernilai. Orang yang iri hati, menurut Alkitab, merusak dan menghancurkan tulangnya sendiri. Iri hati tidak pernah menolong seseorang, melainkan hanya membunuh yang bersangkutan, sehingga hidupnya lebih tidak bernilai, karena kuasa kematian beredar di dalam hidupnya sendiri. Saat kita hidup, kesulitan apa pun seharusnya menimbulkan dan memberikan inspirasi kepada kita. Alkitab berkata kepada kita, “Berimanlah dan jangan khawatir.”
Menurut psikologi, kekhawatiran terbesar akan berubah menjadi kecemasan total (Jerman: der Angst), yang berarti kekhawatiran di mana eksistensi kita menjadi tidak ada. Kaum Eksistensialis memakai istilah ini dalam arti bahwa jika kita khawatir barang kita diambil, kesehatan kita dirusak, rumah kita dimasuki maling, itu hanyalah kekhawatiran yang masih bisa dibicarakan. Tetapi kekhawatiran total terbesar, yaitu anxiety, tidak bisa dijelaskan lagi apa yang dikhawatirkan. Di dalam teori psikologi, ini disebut sebagai khawatir hilangnya eksistensi akibat ditelan oleh non-eksistensi. Eksistensi akan berubah menjadi tidak ada. “Aku tahu dan aku punya perasaan karena aku sekarang ada. Tetapi, jika suatu saat tiba-tiba aku berubah menjadi tidak ada, aku tidak tahu apa itu tidak ada, karena aku yang bisa khawatir sekarang sedang ada. Aku yang ada belum pernah tahu dan belum pernah mengalami apa itu tidak ada.”
Jika kematian datang, ia akan menelan eksistensi hidup, sehingga hidup menjadi mati; ada menjadi tidak ada; sesuatu yang sama sekali belum pernah aku alami. Pada saat aku sekarang sedang berpikir dan bisa khawatir, itu menandakan aku masih ada. Dalam bahasa Jerman, die Existenz (keberadaan) dan das Dasein (ada) itu sangat berbeda. “Ada” dan “Yang Ada” dan “Merasa Ada” semuanya berbeda. Jika aku yang ada ini, karena kematian tiba menjadi tidak ada, aku belum pernah mengalaminya. Karena aku tidak pernah mengalami apa itu tidak ada, maka dalam eksistensi aku tidak bisa lari, aku ketakutan itu datang.
Apakah kematian hanya berarti tidak ada? Kita tidak mengerti apa arti “tidak ada”, khususnya hubungannya dengan Ada yang menjadi sumber ada, yaitu bagaimana hubungan dengan Allah. Oleh karena itu, barang siapa yang memiliki kekhawatirantotal(anxiety), ia belum sadar. Inilah hal dahsyat yang membuatnya tidak memiliki semacam kesadaran dan pengertian untuk menganalisis dan memberi pengetahuan apa yang akan terjadi. Inilah manusia.
Yesus pernah datang ke dunia, dari ada yang hidup mengalami kematian yang tidak ada, untuk mewakili kita. Kematian Yesus merepresentasikan yang dari ada menjadi tidak ada, menggantikan orang lain yang harus menjadi tidak ada. Yesus sendiri mengalami kematian, sehingga Ia sendiri berkata kepada Allah Bapa, “Jika boleh cawan ini lalu dari pada-Ku. Tetapi, bukan kehendak-Ku yang jadi, melainkan kehendak-Mu terjadilah” (Mat. 26:39). Cawan yang Yesus ingin singkirkan bukanlah ketakutan akan kematian, karena jika Yesus takut mati, pasti Ia tidak rela turun dari sorga ke dunia. Jika Yesus memang tidak mau mati, Ia mustahil menjelma menjadi manusia. Pada saat Ia menjelma menjadi manusia, datang di dunia, justru Ia bersukacita, rela, dan bersyukur kepada Allah. Di dalam Mazmur 40, “Engkau telah menyediakan tubuh bagi-Ku.” Berarti Ia bersyukur. Pada saat kematian-Nya tiba, berbeda dengan orang-orang yang ketakutan dari ada menjadi tidak ada, kekhawatiran total yang tidak bisa dibandingkan dengan kekhawatiran biasa, karena kekhawatiran total tidak bisa menunjukkan apa yang ditakuti.
Epikuros berkata, “Tidak usah takut mati, karena mati belum datang. Jika mati sudah datang, tidak usah takut mati juga, karena mati sudah lewat.” Cara berpikir paradoks Epikuros ini secara dangkal menghindarkan manusia dari kekhawatiran akan kematian. Yesus berbeda. Kita tidak tahu jika mati itu bagaimana, sedangkan Yesus sudah siap mati menggantikan kita. Ia tidak khawatir dan tidak takut. Ketika Yesus menuju Yerusalem pada masa Paskah, Ia tahu di sana berbahaya, di mana Ia akan ditangkap, diikat, dihakimi, dan dibunuh, mati disalibkan. Tetapi Ia tetap berjalan menuju Yerusalem. Semua melihat dengan takut, murid-murid-Nya melihat dengan tercengang. Yesus berjalan menuju kematian-Nya, menuju yang tidak ada, dan Ia tidak takut sama sekali. Ini contoh terbaik bagi kita.
Di makam Benjamin Franklin ada sepuluh dalil penting, dan dalil terakhir yang tertulis, “Belajarlah dari kematian Sokrates dan Yesus Kristus.” Yesus berkata, “Anak Manusia harus berjalan terus ke Yerusalem, dan di hari yang ketiga, semua catatan tentang hidup-Nya akan terlaksana di sana.” Setelah Yesus disalibkan, Ia tidak khawatir. Ia berkata, “Aku menyerahkan nyawa-Ku ke dalam tangan-Mu, ya Bapa,” lalu Ia menundukkan kepala dan menghembuskan napas yang terakhir. Kemudian Yusuf Arimatea mendatangi Pilatus meminta jasad-Nya dan diberikan, karena ia seorang anggota Sanhedrin (seperti parlemen dan mahkamah agama orang Yahudi) yang dikagumi bangsanya sendiri dan disegani penjajah.
Setelah tubuh Yesus diturunkan dari salib, Yusuf Arimatea dan Nikodemus, yang tiga setengah tahun lalu pernah mencari Yesus, mendekati tubuh-Nya lalu membungkusnya dengan sekitar 45 kilogram rempah-rempah dan obat-obatan untuk memumikan jasad-Nya. Dengan kain yang hampir 50 meter panjangnya mereka membungkus tubuh Yesus dari kepala hingga kaki, lalu dimasukkan ke kuburan. Yusuf Arimatea membeli sebidang tanah di pinggir pintu gerbang Yerusalem lalu membuat taman di dalamnya dan di tengah taman itu dibuatnya suatu kuburan yang merupakan lubang yang dalam yang memakai batu besar untuk menutup pintunya. Perlu paling tidak tujuh orang untuk bisa menggerakkan batu itu.
Selama tiga setengah tahun Yesus tidak pernah meributkan nafkah-Nya atau memikirkan jika Ia mati akan dikuburkan di mana. Ia tidak pernah memiliki uang untuk membeli kuburan. Bapa sudah menyiapkan semua bagi-Nya. Sekarang banyak pendeta selalu ketakutan jika ia mati, anak istrinya makan apa, jika sudah tua, uang pensiun berapa, anaknya dipelihara siapa; tidak habis khawatir tentang kehidupan sendiri. Yesus tidak pernah satu kalimat membicarakan, jika Ia tua dan sudah pensiun hidup-Nya bagaimana. Memang seharusnya gereja menjaga dan memelihara hamba Tuhan, istrinya, dan keturunannya dengan baik, apalagi saat mereka tua dan pensiun. Tetapi jangan lupa bahwa hamba Tuhan pun harus bersandar kepada Tuhan, tidak usah terlalu mengkhawatirkan tentang apa yang akan terjadi.
Yesus tidak khawatir apa pun, dan pada saat Ia mati, Allah mengerjakan dua hal besar: (a) Tidak mengizinkan tulang-Nya dipatahkan Kekaisaran Romawi. Mereka tidak tahu dan tidak pernah membaca ayat itu, tetapi Allah menjaga agar Yesus tidak dipatahkan tulang-Nya. Padahal kedua perampok itu dipatahkan tulangnya. Ini berarti kaum kafir pun ialah hamba Tuhan tanpa mereka sadari. Mereka dipakai Tuhan untuk toleran dan sabar hingga tidak mematahkan tulang-Nya. Jika kita sungguh bersandar dan menjalankan kehendak Tuhan, meski kita tidak sanggup mengerjakan segala yang kita perlukan, tetapi saat diperlukan, Tuhan bisa memelihara kita melalui malaikat yang tidak tampak atau kaum kafir agar kita tidak dipermalukan. (b) Menyediakan kuburan yang terbaik. Ini adalah kuburan baru yang belum pernah dipakai satu orang pun. Peristiwa penguburan Yesus adalah peristiwa yang penting. Dalam 1 Korintus 15:3-4 dicatat, “Yesus mati, dikuburkan, dan telah dibangkitkan merupakan catatan yang tidak boleh tidak ada.” Kita harus tahu Yesus betul-betul dikuburkan. Jika Yesus tidak dikuburkan, kita tidak akan tahu apakah kisah kematian Yesus mitos atau fakta. Kelahiran-Nya ada tempatnya, yaitu Betlehem, ada palungannya, orang yang mengasuh-Nya, Yusuf dan Maria, wanita yang dinaungi Roh Kudus, maka hingga kematian-Nya juga harus bisa dipertanggungjawabkan, harus dikuburkan, ada tempat di mana Ia dikuburkan. Ini faktanya, ada tanahnya, kronologinya, dan tempatnya. Hal ini menyatakan bahwa intervensi Tuhan dalam sejarah sungguh terjadi.
Alkitab mencatat bahwa ada beberapa wanita yang melihat tempat Ia dikuburkan sebelum mereka pulang. Kalimat ini menyatakan beberapa kebenaran Tuhan yang ajaib sekali. Para wanita ini disiapkan Allah untuk mengerti, menjalankan, dan mengetahui kuburan Yesus di mana. Tuhan menciptakan pria berbeda dengan wanita. Jika pria sudah menetapkan sesuatu, ia tidak peduli lagi jika dalam penetapan dan rencananya tersebut banyak celah dan kelemahan yang ia tidak ketahui. Tetapi wanita diberikan perasaan yang halus, sempurna, dan perinci. Pria mementingkan hari depan dan hal-hal yang besar, wanita tidak mau melupakan hari yang lampau dan meneliti sudut-sudut yang kecil. Adanya wanita membuat kebudayaan manusia lebih indah, membuat komik lebih teliti dan detail.
Alkitab mencatat Maria dan Maria yang lain tidak mau pulang sampai mengetahui di mana jasad Yesus dikuburkan. Jika tidak ada para wanita yang tahu Yesus dikuburkan di mana, di hari ketiga tidak ada orang yang pagi-pagi sudah mendatangi kuburan mencari jasad Yesus. Tuhan memakai para wanita itu dengan teliti mau mengetahui secara detail sehingga mereka melihat di mana Ia dikuburkan. Pada hari ketiga, mereka kembali lagi, langsung mereka tahu tempatnya dan baru mereka sadar, bahwa kuburan itu ada dan sekitarnya sama, tetapi hari itu di kuburan-Nya sudah tidak ada orang, Yesus sudah bangkit.
Yesus pernah dikuburkan di mana, harus dicatat. Kuburan itu suatu realitas, sama seperti Betlehem itu suatu realitas. Yesus dilahirkan di Betlehem, lahir di tempat yang bisa diselidiki. Yesus dikuburkan juga sama, suatu tempat yang bisa diselidiki. Yesus mati dan dikuburkan. Yesus dikuburkan berarti keselamatan-Nya menjamin, karena keselamatan dari orang yang tidak bertubuh tidak terjamin. Ia disalibkan, mati, dan dikuburkan. Ini catatan yang penting. Melalui dikuburkan di sana dan ketiga wanita itu tahu tempatnya di sana, akhirnya mereka dapat memberitahukan Petrus dan para murid yang lain, “Kami sudah bertemu dengan-Nya, kami tahu Ia dikuburkan di sana.”
Para imam kepala berkata, “Jika Ia bangkit, kita tidak boleh membiarkan orang-orang menjadi percaya bahwa Ia bangkit. Katakan saja bahwa jasad-Nya hilang dicuri para murid-Nya. Kami akan memberimu uang, asal kalian menutup mulut dan tidak mengatakan Yesus bangkit.” Ketika Yesus mati, Ia berbeda dengan semua orang mati yang lain, Ia dikuburkan di kuburan yang diketahui tempatnya di mana, dan pagi-pagi benar para wanita itu mendatangi lagi kuburan itu dan melihat sudah tidak ada jasad-Nya. Maria mulai menangis, karena ia tahu itulah kuburan Yesus.
Sebenarnya setan sudah memakai uang orang Romawi dan orang-orang Yahudi untuk menutupi fakta bahwa Yesus sungguh-sungguh dikuburkan di sana dan sudah bangkit. “Beri tahukan saja bahwa jasad-Nya dicuri orang.” Mereka mau menyangkali fakta bahwa Yesus bangkit, tetapi Tuhan tidak mengizinkan. Amin.