Sekalipun filsuf dari zaman ke zaman sering tidak mengerti atau salah mengerti akan firman Tuhan, tetapi firman Tuhan tidak pernah salah. Ketika kita membandingkan Sokrates, Konfusius, Mensius, aliran Heraklisian, Plato, Aristoteles, dan yang lainnya, kita akan menemukan bahwa manusia sudah tercemari dosa Adam, sehingga hanya Kitab Suci sajalah yang murni, yang Allah berikan dari takhta-Nya yang paling objektif, paling netral dan kekal. Prinsip-prinsipnya tidak pernah perlu berubah. Oleh karena itu, kita melihat bahwa di setiap zaman, semua pemikiran dan filsafat yang tidak setuju, yang tidak mengerti Alkitab, harus terus berubah; sementara Alkitab sendiri tidak pernah perlu berubah. Inilah Sola Scriptura. Kita bersyukur kepada Tuhan karena hukum kedelapan ini Tuhan pakai untuk menghakimi semua pemerintah yang melawan Alkitab dan yang berusaha menghakimi atau mengoreksi firman Tuhan. Seperti filsafat komunisme yang berusaha untuk melempar Kitab Suci ke belakang, akhirnya ia sendiri yang dilempar ke belakang oleh Kitab Suci, karena bukan manusia yang menghakimi Allah, tetapi Allah yang kekal yang menghakimi manusia yang sementara.
Sepuluh Hukum jauh lebih tinggi daripada semua hukum dunia yang dipakai untuk mengatur tindak tanduk seseorang agar tidak menyeleweng. Itu terjadi karena hukum dibuat oleh manusia yang sendirinya sudah menyeleweng. Sepuluh Hukum bukanlah produk otak manusia, melainkan pemberian Allah Pencipta, maka Sepuluh Hukum dibutuhkan oleh dunia sampai kiamat, bukan hanya sekadar menjadi standar tingkah laku manusia, tetapi juga untuk menyatakan sifat moral Allah kepada manusia. Jika kita bandingkan dengan Roma 7, Hukum Taurat membawa kita untuk mengenal tiga sifat Allah yang paling dasar, yaitu: suci, adil, dan bajik. Hal ini membuat kita seharusnya membenci dosa, ketidakadilan, dan ketidakbenaran, serta menyadarkan kita bahwa diri kita sudah meleset jauh dari target yang Allah tetapkan ketika Dia mencipta kita. Tepat seperti pengertian yang digambarkan oleh istilah bahasa Yunani tentang “dosa” di dalam Perjanjian Baru, yaitu: hamartia (artinya: tidak mengenai sasaran); atau adikia (artinya: tidak adil atau tidak benar di hadapan Tuhan). Kita yang dicipta seturut peta teladan Allah disebut berdosa ketika kita tidak memantulkan kemuliaan-Nya, kesucian-Nya, dan kebajikan-Nya.
Kita telah membahas empat kasus pencuri, yaitu: Akhan, Saul, Yudas, dan Ananias-Safira. Dari keempatnya hanya Yudas yang secara tegas disebut pencuri. Ananias dan Safira disebut penipu. Terlihat di sini bagaimana Allah murka dan menjatuhkan hukuman yang keras kepada mereka. Tidak seorang pun yang dapat luput dari murka Allah. Tuhan tidak pernah memaksa kita untuk memberikan persembahan, kecuali perpuluhan. Tetapi Tuhan juga tidak suka kita menipu dan mengambil sebagian dari apa yang kita nyatakan sebagai persembahan. Di dalam Pengkhotbah 3 ditegaskan bahwa Allah di sorga dan manusia di bumi, maka kita tidak boleh banyak bicara, berdiamlah dan menghadap hadirat-Nya dengan langkah yang ringan. Kalimat yang kelihatannya sederhana ini dipikirkan begitu mendalam oleh seorang filsuf Denmark yang terkenal, Søren Aabye Kierkegaard, yang mengembangkan konsep “Perbedaan kualitatif antara Allah dan manusia, antara waktu dan kekekalan, antara sorga dan bumi”. Ini adalah perbedaan kualitatif yang sangat penting untuk dimengerti dan disadari oleh manusia, karena manusia bukan Tuhan. Biarlah Allah itu Allah dan manusia itu manusia (Let God be God, and man be man). Hal ini mengharuskan manusia senantiasa gentar dan takut kepada-Nya. Jika engkau berjanji kepada Tuhan, tepatilah janji itu, jangan ingkar, karena Tuhan melihat sampai ke dalam hati sanubari kita yang paling dalam. Ananias dan Safira bersekongkol untuk menipu orang, seolah-olah mereka sudah memberikan semuanya, tetapi ternyata tidak seperti yang mereka katakan. Mereka mengambil sebagian dari yang mereka janjikan. Kita harus melihat penipuan seperti ini bukan kepada manusia, tetapi kepada Allah.
Di setiap awal era yang baru, Allah selalu menyatakan kuasa-Nya, keadilan-Nya secara dahsyat, tegas, dan menakutkan. Allah menyatakan kepada manusia bahwa Dialah penguasa hidup dan mati kita, yang tidak boleh dipermainkan atau disepelekan oleh manusia. Tuhanlah yang memberi kita uang, harta, talenta, waktu, hidup, dan kesempatan. Semua itu pemberian yang tidak boleh dipermainkan atau diperlakukan sewenang-wenang, karena semua berkat itu baik, indah, dan berasal dari Tuhan. Semua yang dari Tuhan sebenarnya adalah milik Tuhan (Yak. 1), yang Dia percayakan kepada kita untuk menguji kita. Setiap kali kita membuka paspor kita, di situ ada tertulis: Paspor ini milik negara. Jadi sekalipun paspor itu ada di tangan saya, dan ada nama saya di situ, paspor itu tetap bukan milik saya. Itu dipercayakan kepada saya untuk memudahkan saya bepergian ke luar negeri. Tetapi jika saya melanggar hukum, maka pemerintah berhak dan bisa mencabut paspor itu dari tangan saya, dan menuntut saya di pengadilan.
Seorang ketua majelis dari sebuah gereja yang kurang simpati dengan Theologi Reformed bertanya kepada saya, “Apa bedanya Reformed dan non-Reformed?” Saya katakan kepada dia, “Satu, Reformed mengutamakan kedaulatan Allah…” Dia langsung memotong dan berkata, “Wah, kalau begitu saya juga Reformed karena saya mengakui kedaulatan Allah.” Apakah ‘mengakui’ sama dengan ‘mengutamakan’? Apakah hanya dengan mengakui Theologi Reformed seseorang sudah menjadi Reformed? Abraham Kuyper, seorang theolog, ahli pendidikan, dan politikus yang pernah menjabat sebagai perdana menteri Belanda, mengatakan, “Di dalam hidupku, tidak ada satu inci pun tempat di mana Tuhan tidak bertakhta.” Saat kita menggunakan uang, harta kita, kita harus mengutamakan kedaulatan Allah di dalam keputusan kita. Orang yang sadar bahwa semua yang dia miliki harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, pasti akan sangat berhati-hati dan berhemat. Inilah sikap orang Reformed yang sejati. Orang yang mengaku Reformed tetapi hidupnya tidak pernah diubah oleh firman Tuhan, sedang mencoreng nama Reformed.
Jadi ketika kita mengartikan istilah ‘mencuri’ hanya mengambil barang orang, itu adalah pengertian yang sangat dangkal, hanya pengertian yang di permukaan saja. Sebenarnya, mencuri juga meliputi pengertian keserakahan dan keberanian seseorang mengganggu hak milik orang lain. Dalam hal hak milik ini, tidak hanya dipandang dari aspek horizontal, tetapi juga vertikal. Hak milik ini bukan hanya hak milik manusia, tetapi juga hak milik Tuhan. Semua yang ada di dunia ini berasal dari Tuhan, bergantung kepada Tuhan, dan kembali kepada Tuhan. Kita harus mempertanggungjawabkan semua itu dengan benar.
Apa saja harta yang Tuhan percayakan kepada kita yang harus kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan? Sebenarnya banyak sekali. Maka kita akan memperhatikan beberapa di antaranya yang sangat penting, karena kalau tidak diperhatikan dan disadari dengan baik, kita telah mencurinya.
1. Mencuri Waktu
Harta kita yang paling penting di hadapan Allah adalah wadah yang di dalamnya kita hidup, yaitu ruang dan waktu. Ini adalah wadah seluruh ciptaan yang Tuhan cipta. Kebanyakan orang menghitung harta berdasarkan banyaknya uang yang dimilikinya. Sebenarnya, uang bukan harta kita yang terpenting. Harta yang terpenting adalah ruang dan waktu. Itulah yang memungkinkan kita berada di dunia ini.
Properti penting manusia adalah ruang. Laozi, seorang filsuf Tiongkok yang terkenal, menulis di dalam bukunya Dao De Jing: “Tidak keluar rumah, tetapi tahu segalanya.” Ini menggambarkan orang yang geraknya begitu terbatas, tetapi memiliki pengetahuan yang tidak terbatas. Betapa luar biasa orang sedemikian. Itu orang yang sangat ekonomis, karena dia berhasil mendapatkan yang terbesar dari yang terkecil. Kita bisa melihat bahwa negara Indonesia yang tanahnya begitu luas dan subur, terdapat begitu banyak orang miskin, sementara negara Belanda, negara Denmark, negara Swiss yang begitu kecil, dengan hasil bumi yang minim bisa lebih makmur. Itu karena mereka mengerti dalil ekonomi yang paling dasar di atas. Ruang gerak Tuhan Yesus juga hanya di daerah Yudea dan Galilea, tetapi pengaruh-Nya sampai ke seluruh dunia. Begitu pula, salah satu filsuf terbesar dalam sejarah, Immanuel Kant, lahir di kota kecil Königsberg. Dia besar, belajar, kuliah sampai lulus di Universitas Königsberg, menjadi profesor di universitas itu, terus sampai meninggal di Königsberg. Ruang geraknya sangat terbatas, tetapi pengaruhnya sedemikian besar, hingga setiap orang yang tidak mempelajari pemikiran filsafatnya dianggap tidak mengerti filsafat. Dengan ruang gerak kecil menghasilkan pengaruh terluas, yaitu seluruh dunia.
Salah satu properti terpenting lainnya yang Allah karuniakan kepada kita adalah waktu. Saya tidak tahu berapa panjang usia yang Tuhan berikan kepada saya, namun saya tahu bahwa nilai hidup seseorang tidak ditentukan oleh panjangnya waktu hidupnya. Ada orang-orang yang panjang sekali usia hidupnya, tetapi hidupnya penuh dengan kekosongan, kemalasan, dan kebodohan. Ada orang lain yang usianya pendek, tetapi hidupnya penuh bijaksana, rajin, dan memberi pencerahan kepada banyak orang lain. Kita mungkin telah berdosa di dalam hal mencuri ruang dan waktu yang Tuhan berikan.
Kita mencuri waktu jika kita memakai waktu untuk hal-hal yang kita suka, yang dapat binasa, dan bukan untuk hal-hal yang mulia, yang hormat, yang kekal, dan yang menjadi berkat bagi sesama. Istilah “mencuri waktu” banyak orang sudah mengerti, karena kita sering menggunakannya. Seseorang berani mencuri waktu dan mempermainkan waktu karena dia tidak mengerti Theologi Reformed yang menuntut setiap orang untuk bertanggung jawab kepada Tuhan atas apa yang dipercayakan kepadanya. Jika Kuyper mengatakan tidak ada satu inci dalam hidupku yang tidak dimiliki Allah, apakah kita juga boleh mengatakan bahwa tidak satu detik pun hidup kita yang tidak di dalam penguasaan Tuhan? Betapa sulitnya melakukan hal ini. Itulah orang Kristen. Menjadi orang Kristen memang sulit, tetapi menjadi orang Kristen yang Reformed, jauh lebih sulit daripada sekadar menjadi orang Kristen Injili, apalagi orang Kristen Karismatik. Orang Kristen Reformed sadar bahwa dirinya harus mempertanggungjawabkan seluruh hidupnya, seluruh ruang, seluruh waktu, kesehatan, kesempatan, dan semua karunia yang ia miliki kepada Tuhan.
Saya pernah mengatakan, “Kesempatan tersimpan di dalam waktu.” Namun, sering kali kesempatan yang sangat penting kita lewatkan begitu saja, kecuali kesempatan yang mendatangkan keuntungan bagi kita. Padahal kesempatan mendapat keuntungan adalah kesempatan yang sangat tidak berarti dibandingkan dengan kesempatan bersumbangsih, menolong orang, melakukan kebajikan, dan memuliakan Tuhan. Kita sering kali menganggap diri kita sangat pandai, padahal sesungguhnya kita sangat bodoh, karena kita telah menukarkan kesempatan penting yang kita anggap tidak penting dengan sesuatu yang tidak penting tetapi kita anggap penting, karena konsep dan cara penilaian kita salah. Bagai tokoh Aladin yang menukar lampu ajaib yang sudah tua dengan lampu baru yang dapat diperoleh di mana-mana. Oleh karena itu, marilah kita menata ulang pengertian aksiologi (ilmu nilai) kita agar sesuai dengan ajaran Kitab Suci, sehingga kita tidak bersalah dengan mengagungkan apa yang Tuhan benci. Itulah cara yang benar agar kita bisa menggunakan waktu kita – harta yang Tuhan karuniakan kepada kita – dengan baik dan penuh tanggung jawab, karena setiap orang mendapatkan jumlah waktu yang sama, yaitu 24 jam x 365 hari dalam setahun.
Celakalah orang yang ketika uangnya berkurang sedikit saja langsung sadar dan marah, tetapi ketika waktunya hilang dia tidak menyadarinya, karena ia tidak memandang waktu dari sudut pandang kedaulatan Tuhan. Di dalam sejarah, ada orang-orang yang usianya relatif singkat. Pergolesi meninggal di usia 26 tahun, Schubert di usia 31 tahun, Mozart di usia 35 tahun, Mendelssohn di usia 38 tahun, Wagner di usia 40-an. Tetapi mereka semua telah berpengaruh besar selama ratusan tahun. Di antara para “pendiri agama”, Yesuslah yang paling singkat umurnya, yaitu 33,5 tahun. Sokrates berusia 68 tahun, Konfusius 72 tahun, Muhammad 62 tahun, Sakyamuni lebih dari 80 tahun, demikian pula Laozi. Yesus berusia paling singkat dan paling menderita di antara semuanya. Namun, Dia senantiasa mengerjakan pekerjaan Bapa-Nya. Ketika saya membaca ayat: Yesus berkata: ‘Aku selalu mengerjakan pekerjaan yang memperkenankan Bapa-Ku, maka banyak orang percaya,’ air mata saya bercucuran. Kita sering kali terlalu percaya kepada takhayul, bahwa pelayanan yang tidak disertai dengan mujizat, kuasa supranatural, kesembuhan ilahi, dianggap tidak cukup kuasa untuk mengabarkan Injil. Padahal kita melihat bahwa Islam tidak pernah melakukan mujizat, namun jumlah mereka terus bertambah. Sementara orang Kristen sudah kehilangan yang paling penting, yaitu iman akan kuasa firman. Kita telah kehilangan keyakinan yang paling penting dan paling hakiki di dalam iman kita. Untuk menjadi suatu gerakan yang penting dan berpengaruh besar di dunia, dibutuhkan satu syarat penting, yaitu: membangkitkan kembali keyakinan yang telah diberikan kepada para rasul, yaitu komitmen kesungguhan menjalankan kehendak Tuhan dengan jujur, berani, bijaksana, dan kasih. Itulah yang Yesus Kristus senantiasa lakukan untuk memperkenan Bapa-Nya, sehingga banyak orang percaya kepada-Nya.
Orang melihat baik pada zaman Yesus maupun saat ini, bahwa para pemimpin agama hanya melakukan kegiatan agama, mengenakan jubah kebesaran agama; sementara Yesus – meskipun tidak mengenakan jubah agama, tidak memiliki kuasa politik, ekonomi, akademi, militer, atau kuasa apa pun di dunia ini – melakukan apa yang dikehendaki Bapa-Nya. Yesus senantiasa hidup memperkenankan dan memuliakan Bapa-Nya, sehingga mereka beriman kepada-Nya. Jadi, Yesus bukan menaklukkan dunia dengan kuasa, melainkan dengan melakukan pekerjaan Bapa-Nya. Jika engkau rindu suatu pelayanan diberkati Tuhan, engkau harus berlutut di hadapan Tuhan, meminta Dia memampukan engkau untuk mengerti kehendak-Nya, lalu memaksa diri dengan rela untuk menjalankan kehendak-Nya tersebut, sehingga pelayanan itu memperkenan hati-Nya.
Ada orang-orang yang bingung dan bertanya-tanya, saya akan membawa seluruh pelayanan ini ke arah mana. Hal sedemikian memang merupakan hal yang sulit. Sangat berbeda dengan perusahaan dunia yang menetapkan arah dan target dengan jelas. Hidup iman adalah hidup yang berani meninggalkan tanah Mesopotamia tanpa tahu akan pergi ke mana dan menetap di mana. Inilah pengalaman Abraham dan semua tokoh Alkitab yang hidupnya dipimpin Tuhan. Inilah pelayanan rohani, yang berbeda dari cara kerja perusahaan dunia. Yang dibutuhkan adalah ketaatan kepada Tuhan. Dia yang akan memimpin Anda untuk meraih hasil yang jauh lebih besar dari seluruh cara kerja dunia. Dua puluh tahun yang lalu saya tidak tahu di mana gereja yang akan didirikan, bentuknya seperti apa, berapa luas, dan seterusnya, tetapi saya tahu bahwa kita sedang dalam pimpinan Roh Kudus. Itu sebabnya, saya senantiasa mengingatkan rekan-rekan kerja saya: Hendaklah kalian selalu peka akan pimpinan Roh Kudus yang baru. Ia akan membuat segala sesuatu semakin lama semakin jelas. Relakan dan buatlah dirimu senantiasa siap untuk mengikuti pimpinan-Nya. Rela setiap saat berubah, mau taat dan tunduk kepada pengarahan Allah. Gereja sering terlena di dalam keberhasilan yang pernah diraihnya, akibatnya gereja itu tidak bisa lagi berkembang, bahkan mulai menyusut. Pendeta-pendeta yang menganggap gerejanya sudah memiliki target, memiliki cukup banyak pengalaman, membangun tata gereja yang kuat, akan lupa atau kehilangan kesungguhan untuk bersandar kepada Tuhan, yang memberikan talenta, kesehatan, ruang dan waktu, untuk kita pergunakan secara maksimal.
2. Mencuri Perpuluhan
Selain kita bisa mencuri ruang, waktu, kesehatan, kesempatan, kita bisa juga mencuri perpuluhan. Jangan katakan kepada orang lain berapa banyak yang sudah engkau berikan sebagai persembahan, tetapi tanyakan kepada diri sendiri, berapa kali lipat lebih banyak yang telah engkau sisihkan bagi kepentinganmu sendiri. Tuhan selalu memperhatikan berapa banyak yang engkau sisihkan untuk dirimu, kepentinganmu, kenikmatanmu, keluargamu, ketimbang untuk Dia. Pernyataan ini sempat membuat saya gentar, karena hati kita bukan milik kita. Itu Tuhan pinjamkan untuk menguji kesetiaan kita.
Sudahkah kita mengembalikan perpuluhan kepada Tuhan karena itu milik-Nya? Tuhan Yesus mengatakan, “Kembalikan kepada kaisar yang kaisar punya, dan kepada Tuhan yang Tuhan punya.” Jika kita belum mengembalikan yang Tuhan punya, berarti kita mencuri uang Tuhan. Di dunia ini terdapat banyak ketidakadilan, orang yang mencuri sedikit dijebloskan ke penjara, sementara orang yang mencuri banyak dipuji-puji. Tetapi Alkitab mengingatkan kita bahwa Tuhan pasti akan menghukum orang yang tidak bertanggung jawab.
Søren Aabye Kierkegaard berkata, “Apakah di dunia ini masih ada orang Kristen yang bertanggung jawab, yang sungguh-sungguh setia di hadapan Tuhan?” Jawaban yang ia berikan sangat menakutkan, “Satu-satunya orang Kristen yang menjalankan kehendak Allah dengan tuntas, memperkenan hati-Nya, dan menjadi teladan bagi setiap orang Kristen hanyalah Yesus Kristus yang sudah tersalib.” Memang saya tidak menyetujui sepenuhnya pernyataan tersebut, tetapi pernyataan itu membuat saya takut dan gentar. Sebab, kita memang tidak sempurna, kita butuh kuasa Tuhan untuk mengubah kita menjadi semakin sempurna.
Menurut John Wesley, manusia dapat mencapai kesempurnaan asal semasa hidupnya terus menuntut hal-hal rohani. Pemikiran ini berbeda dari pemikiran Calvin tentang kesempurnaan. Saya pernah mengkhotbahkan, “Kesempurnaan ciptaan sebagai ciptaan yang dicipta Allah menurut peta teladan Allah telah hilang setelah kejatuhan Adam. Dan kesempurnaan yang diberikan oleh Tuhan Yesus setelah penebusan adalah kesempurnaan di dalam kekekalan.” Pemikiran ini didasarkan pada pemikiran Agustinus tentang posse peccare, non-posse non-peccare, posse non-peccare, dan non-posse peccare (dapat berdosa, tidak dapat tidak berdosa, dapat tidak berdosa, tidak dapat berdosa). Kita tidak mungkin sempurna, tetapi paling tidak kita harus memiliki niat untuk menjadi sempurna dengan taat kepada Roh Kudus. Memang tidak ada seorang pun yang sempurna menurut standar Allah, tetapi Dia memandang motivasi dan tekad kita yang sederhana. Selain itu, kesempurnaan yang sejati bersifat progresif, yang menuntut kita terus bertumbuh semakin peka terhadap dosa, kesalahan dan kekurangan diri; mau bertobat dan meminta pengampunan-Nya. Tuhan ingin kita tidak membiarkan kemauan kita berada di atas kemauan Tuhan, sebaliknya membiarkan tangan Tuhan mencampuri hidup kita, mengubah dan memimpin kita untuk hidup semakin bertanggung jawab kepada-Nya.
3. Mencuri Kemuliaan Tuhan
Pencurian yang paling berat adalah mencuri kemuliaan Tuhan. Tuhan sudah mengerjakan segala sesuatu di dalam hidup kita, maka sudah sepatutnya kita hanya memberikan kemuliaan kepada Allah, dan tidak ada apa pun yang boleh kita ambil untuk diri kita sendiri. Allah adalah Allah yang satu-satunya berhak menerima semua kemuliaan. John Sung, seorang penginjil yang sangat terkenal, kerap menyanyikan lagu “Muliakanlah Nama-Nya”. Dia sadar Iblis selalu mengganggu dia pada saat pelayanannya sukses. Ada upaya untuk menggoda dia mengatakan, “Lihat, betapa hebatnya engkau. Kalau tidak ada engkau, semua ini tidak akan terjadi. Engkau telah dipakai Tuhan dengan sangat besar.” John Sung sangat takut kalau pada akhirnya setan menang dan dia dibuang oleh Tuhan.
Betapa malangnya seseorang yang sudah meninggalkan segala-galanya, mau mengikut Tuhan, tetapi akhirnya dia dibuang oleh Tuhan. Kita perlu senantiasa mengingat peringatan dari ungkapan Tuhan Yesus di dalam Matius 7:21-23. Yesus berkata, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: ‘Tuhan! Tuhan!’ akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, tetapi dia yang melakukan kehendak Bapa di sorga.” Hanya mereka yang sungguh-sungguh mau melakukan kehendak Allah yang dapat masuk Kerajaan Sorga. Pada hari itu akan ada banyak orang yang berkata, “Tuhan, Tuhan, bukankah aku sudah bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan melakukan banyak mujizat demi nama-Mu juga?” Tetapi saat itu Tuhan Yesus akan menjawab, “Aku tidak pernah mengenal engkau. Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu sekalian pembuat kejahatan.” Itulah nasib kekal bagi mereka yang terbuang, tidak ada lagi kesempatan untuk naik banding bagi mereka.
Di dalam kitab Yesaya, Tuhan mengatakan dua kali, “Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada ilah-ilah palsu.” Jadi barang siapa berani mencuri kemuliaan Tuhan, dia menjadikan dirinya sebagai allah palsu yang sedang menudungi kemuliaan Allah. Setiap orang yang merebut hak untuk menerima sembah sujud adalah allah palsu yang sangat dibenci oleh Tuhan. Jikalau ada seseorang memuji engkau, baiklah engkau mengatakan, “Semua ini memang adalah hal yang harus hamba kerjakan, tetapi bukan aku, melainkan Dialah yang patut dimuliakan.” Di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, masing-masing ada satu orang yang mencuri kemuliaan Allah. Di Perjanjian Lama adalah Nebukadnezar. Dia berdiri di atas kota Babel, memandang kota yang megah, mewah, dan mulia itu, lalu berkata, “Bukankah semuanya ini karyaku, seorang raja yang hebat?” Karena dia memuliakan dirinya, maka Allah memperlakukan dia seperti sapi. Ia diusir dari istananya dan makan rumput, tidak bisa memerintah selama tujuh masa. Baru setelah bertobat, ia dipulihkan ke posisinya. Di dalam Perjanjian Baru adalah Herodes. Herodes, saat berpidato disambut dengan sangat meriah. Dia berbicara bagai Allah. Maka malam itu Allah mengirimkan seekor ulat untuk menggigit dia dan dia mati. Jadi, janganlah seseorang berupaya mencuri kemuliaan Tuhan Allah dengan cara memuliakan dirinya sendiri. Kita harus senantiasa belajar seperti John Sung yang terus-menerus mengembalikan kemuliaan kepada Allah.
Apakah arti lagu Doksologi yang kita nyanyikan di penutup kebaktian? Kemuliaan bagi Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus, karena Dia yang telah mencipta, menyelamatkan, membawa kita masuk ke dalam segala janji-Nya. Kiranya ini bukan hanya berada di bibir kita saja, melainkan dari hati kita yang terdalam. Amin.