Sepuluh Hukum adalah patokan dan dasar etika dunia di sepanjang sejarah. Landasan hukum Tuhan mutlak, berbeda dengan landasan hukum manusia yang bersifat relatif dan subjektif. Tuhan Pencipta yang mutlak suci sedangkan manusia hanyalah ciptaan dan tercemar dosa, sehingga tidak mungkin hukum manusia bisa mencapai kualitas dan standar hukum Allah. Hukum manusia hanya bisa menjangkau sifat horizontal, relasi antar manusia dan alam, dan tidak sah untuk menjangkau Allah. Itu sebabnya, hukum pertama hingga keempat berbicara tentang hukum vertikal, menyatakan relasi antara Pencipta dan ciptaan.
Mengakhiri era Pencerahan (Enlightenment) yang dimulai pada abad 17, manusia menyadari akan kelemahan dan keterbatasan diri. Kierkegaard, Martin Buber, Karl Barth, Emil Brunner, para filsuf dan theolog abad 19 dan 20 masuk ke dalam suatu fase yang baru. Mereka mengajak manusia untuk memperhatikan hal yang selama ini sudah diabaikan, yaitu hubungan interpersonal (interpersonal relationship). Ini semua menunjukkan hukum yang sudah lewat 3.500 tahun sejak Musa adalah yang paling benar. Penekanan hukum ketiga yang menyatakan realitas bahwa Allah adalah penguasa hidup dan matinya umat manusia, sehingga tanpa membereskan hubungan dengan Tuhan, bertobat, hidup takut akan Tuhan, dan menjalankan perintah-Nya dengan kasih, relasi manusia dengan sesamanya tidak mungkin beres. Maka, di dalam Doa Bapa Kami terdapat kalimat “dikuduskanlah nama-Mu”. Orang Kristen harus menyadari bahwa Allah itu hidup. Kesadaran relasi interpersonal ini menyebabkan kita menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi kita. Allah memang tidak kelihatan, tetapi orang beriman bisa melihat apa yang tidak dilihat oleh orang dunia. Yesus mengatakan, “Tanpa lahir baru dari Roh Kudus, engkau tidak dapat melihat Kerajaan Allah” (Yoh. 3:3). Kita harus selalu hidup menyenangkan Tuhan.
Hari atau Sabat?
Di dalam hukum keempat Allah memberi perintah yang cukup panjang dan itu hanya untuk membahas satu kata, yaitu ‘hari’. Di sini sebenarnya bukan ‘hari’ yang terpenting. Paulus menegaskan bahaya orang yang terlalu sibuk memelihara ‘hari’. Yesaya 1 juga mengatakan, “Aku membenci hari Sabatmu.” Maka kita perlu melihatnya secara rohani, bukan harfiah. Semua peraturan yang ketat tidak menjamin kita beres karena ada faktor X yang melampaui segala sesuatu. Bahasa kita sering terlalu terbatas dan terlalu rendah, dibandingkan dengan makna rohani yang kekal dan dinamis dari Tuhan. Maka orang yang mengikuti perintah Tuhan secara harfiah tidak akan dapat menaati perintah Tuhan yang dinamis dengan lincah. Orang Yahudi berupaya melakukan Hukum Taurat secara harfiah. Hotel Hilton di Tel Aviv adalah hotel pertama yang memiliki 15 lantai. Demi menghindarkan orang harus memencet tombol lift di hari Sabat, maka mereka membuat lift berhenti di setiap lantai.
Orang Israel harus ‘memelihara hari Sabat’ karena Allah membebaskan mereka dari Mesir (Kel. 20:2). Maka, di sini penekanannya bukan pada ‘hari’, tetapi justru pada ‘Sabat’. Hari hanyalah wadah di mana kita menikmati istirahat sejati. Sabat yang penting, hari adalah wadahnya. Ketika manusia mementingkan ‘hari’-nya dan melupakan ‘Sabat’-nya, Tuhan akan marah. Tuhan memberi perintah, “Ingat dan kuduskan hari Sabat.” Alasan Tuhan adalah engkau sudah bekerja enam hari lamanya, maka hari ketujuh adalah Sabat Tuhan. Hari ini adalah hari milik Allah. Dari tujuh hari yang Allah berikan kepada manusia, ada satu hari yang harus dikembalikan kepada Tuhan, itulah Sabat Tuhan.
Istirahat atau Melayani?
Sabat itu hari istirahat atau hari melayani. Bagi saya, istirahat adalah tidak punya rasa cemas, khawatir, tegang (stress), menikmati damai, dan penyertaan Tuhan yang indah. Itulah Sabat. Ada orang menafsirkan istirahat sebagai tidak mengerjakan apa pun, sampai yang paling ekstrem harus berbaring terus di ranjang. Banyak orang yang tidak mengerjakan apa pun tetapi begitu lelah dan lesu. Sabat bagaikan seorang ibu yang rela dan penuh sukacita menggendong anaknya selama sembilan bulan di dalam kandungan tanpa jeda.
Di dalam Sabat, kita juga melihat bukan hanya kita yang istirahat, tetapi Allah juga istirahat. Ada masa kita bekerja keras, ada masa libur. Sirkulasi ini membuat kita bisa menikmati hidup. Puji Tuhan, Allah membawa orang Israel keluar dari Mesir, di mana lebih dari 430 tahun mereka hidup seperti kuda. Sabat Tuhan adalah damai sejati setelah kita menjadi milik-Nya. Sabat berarti menikmati Allah di dalam kedamaian dekapan-Nya. Terkadang saya merasakan letihnya pelayanan yang harus dikerjakan, tetapi di dalam keadaan sedemikian pun saya masih merasakan keindahan kedamaian di dalam Tuhan. Ketika orang Israel mencobai Tuhan, maka Tuhan berkata, “Mereka tidak akan memasuki Sabat.”
Setelah Yesus menjanjikan damai-Nya, Ia dihakimi bahkan disalibkan. Ia tidak meninggalkan apa-apa bagi murid-murid-Nya. Ia hanya berjanji, “Aku memberikan damai sejahtera-Ku kepadamu.” Banyak orang bekerja sambil mengomel, tetapi ada orang yang bekerja berat dan tidak mengomel. Ada orang yang melakukan begitu banyak pelayanan dan pekerjaan tanpa mengomel. Ia melakukan semua dengan sukacita. Itulah damai Kristus.
Ketika saya berusia 21 tahun, saya ditodong oleh perampok yang meminta arloji saya. Dengan tenang saya berikan arloji saya sambil saya berkata, “Engkau berdosa, Yesus mencintai kamu, bertobatlah.” Tukang becak yang saya tumpangi gemetar, tetapi saya sangat tenang dan damai. Itulah pertama kalinya saya merasakan damai Tuhan yang begitu nyata dalam hidup saya. Di usia 26 tahun, saya ada pelayanan di Palopo. Jarak dari Makassar 400 km, dengan jalan berbatu dan sangat berbahaya karena ada tentara pemberontak. Panitia menyediakan jeep berikut tiga pengawal bersenjata untuk menyertai saya. Dua kali mobil itu mogok dan para pengawal begitu ketakutan. Saya sangat tenang saat itu. Saat ini, saya tahu mungkin sekali ada banyak kesulitan, penderitaan, kerugian, bahkan mungkin sekali saya dibunuh. Tetapi saya sadar bahwa Sabat Tuhan sudah beserta saya. Kalau mungkin cobalah tidak membuka toko atau tidak bekerja pada hari Minggu, memakai waktu itu untuk datang kepada Tuhan, menikmati damai sejahtera-Nya, melayani Dia. Inilah perintah hukum keempat.
Yesus dan Sabat
Tuhan menjadikan tujuh hari sebagai satu sirkulasi waktu pendek dalam hidup kita, “Enam hari kau bekerja dan berhenti pada hari yang ketujuh.” Sistem ini adalah sistem sirkulasi yang paling sehat bagi masyarakat maupun setiap orang yang Tuhan cipta. Tuhan berhenti mencipta di hari ketujuh, tetapi itu adalah hari di mana Allah menopang dan memelihara ciptaan-Nya. Yesus berkata, “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga” (Yoh. 5:17). Berhenti mencipta tidak bisa diindikasikan sebagai kepasifan total, melainkan suatu peralihan aktivitas. Ciptaan Allah perlu ditopang dan dipelihara. Inilah pengertian yang lebih lincah dan komprehensif. Dengan demikian, kita tidak dibelenggu oleh pengertian harfiah dari hukum keempat ini.
Pandangan Yesus tentang Sabat sangat berlawanan dengan pandangan orang-orang Yahudi saat itu. Dia dipandang sesat dan haram karena tidak mematuhi Sepuluh Hukum. Padahal Yesuslah Pemberi Sepuluh Hukum. Pengertian seseorang terhadap Alkitab bisa berbeda dari arti asli Alkitab itu sendiri. Itu sebabnya ada orang yang bisa beranggapan bahwa Kitab Suci bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Saya sempat menggumulkan hal ini ketika pikiran saya diracuni oleh komunisme, logical positivism, evolusi, dialectical materialism, dan lain-lain. Bagaimana kita bisa menyelaraskan abad 20 dengan berita Alkitab yang ditulis 3.500 tahun lalu. Akhirnya saya sadar bahwa penafsiran kita terhadap Alkitab sering kali dibatasi oleh subjektivitas pengertian manusia. Maka, kita harus berusaha mencari pengertian Firman Tuhan yang sungguh. Agustinus mengatakan, “Jika kamu menemukan sesuatu yang salah dalam khotbahku, tinggalkan khotbahku dan kembalilah ke Alkitab.” Sangat berbeda dengan begitu banyak pengkhotbah hari ini yang mengatakan, “Tidak perlu mempelajari Alkitab, asal engkau mendengarkan khotbahku, karena ini firman yang langsung dari Tuhan.” Ini adalah pemalsuan otoritas rasul.
Hukum keempat yang dimengerti dengan pengertian harfiah menimbulkan cara pikir yang sesat. Itu sebab hukum keempat jangan dimengerti dengan konsep antroposentris yang terbatas. Kristus mengajak kita mengerti Sabat dengan benar. Kristus tidak mau pikiran manusia dibelenggu oleh pengertian antroposentris yang sering kali terlihat lebih akademis, tetapi tidak sesuai dengan kebenaran Allah.
Orang Farisi mengerti Sabat secara harfiah, maka mereka melarang orang melakukan aktivitas apa pun di hari Sabat. Yesus mengajarkan bahwa di hari Sabat tetap beraktivitas. Yesus mengecam mereka yang memelihara hari Sabat secara harfiah ternyata akan tetap menyelamatkan sapi mereka yang tercebur di sumur pada hari Sabat, sementara ketika Tuhan Yesus menolong orang pada hari Sabat, Dia dipersalahkan. Di sini Tuhan Yesus ingin kita semua melihat pengertian Sabat secara lebih esensial dan lincah. Bukan berarti kita boleh sembarang bekerja dan giat bekerja di hari Sabat, tetapi bukan juga kita tidak berani beraktivitas apa pun, tidak melayani Tuhan di hari Sabat.
Enam Plus Satu
Mengapa komposisi satu minggu harus tujuh hari, di mana seorang bekerja enam hari dan berhenti satu hari? Mengapa tidak lima hari, di mana orang bekerja empat hari dan berhenti satu hari; atau sepuluh hari, di mana orang bekerja sembilan hari dan berhenti satu hari? Di dalam sejarah, pernah terjadi dua kali orang berusaha merombak perintah Sabat, tetapi gagal total.
1) Di abad ke-18, Revolusi Perancis pernah merombak komposisi satu minggu hanya lima hari. Revolusi Perancis adalah pemberontakan terhadap Tuhan yang sangat kurang ajar, namun banyak orang menganggapnya sebagai induk demokrasi di seluruh dunia. Margaret Thatcher pernah mengatakan di peringatan 200 tahun Revolusi Perancis, “Revolusi Perancis
hanyalah gejala pemberontakan masyarakat biadab yang melampiaskan dendam mereka terhadap orang-orang yang mereka benci, sehingga terjadi pertumpahan darah di Paris.” Di tahun yang sama, di Inggris, John Wesley, George Whitefield, Robert Raikes, tiga orang pemimpin agama yang terpenting, yang membawa begitu banyak rakyat Inggris bertobat, membawa Inggris memasuki zaman modern tanpa pertumpahan darah seperti yang terjadi di Perancis. Di Revolusi Perancis, orang tidak mau mematuhi perintah Allah di Alkitab, terutama komposisi satu minggu tujuh hari, lalu mengubahnya menjadi lima hari. Awalnya mereka menyambut dengan senang karena hanya perlu bekerja empat hari lalu libur satu hari! Setiap bulan bukan empat minggu melainkan enam minggu.
Tetapi Perancis kemudian kembali ke tujuh hari karena setelah beberapa tahun mereka mulai merasa jenuh, baru bekerja sudah harus libur. Banyak pekerjaan yang terbengkalai, psikis mereka mulai terganggu luar biasa, maka akhirnya mereka kembali ke pola semula: enam hari bekerja libur satu hari. Karena mereka merasa itulah komposisi yang paling pas, membuat orang lebih bertanggung jawab akan tugasnya, dan rutinitas kerja pun tidak sampai membuat mereka jenuh. Karena AIlah Penciptalah yang paling tahu timetable yang Dia letakkan dalam diri manusia.
2) Di abad ke-20, pada tahun 30-an, sepuluh tahun sesudah Lenin meninggal, Stalin menjadi diktator yang terkejam di sepanjang sejarah, kemudian dilampaui oleh Mao Zedong. Kira-kira sepuluh tahun setelah Lenin mati, Stalin berkata, “Demi meningkatkan produktivitas kerja di Soviet, kita tidak perlu mengikuti ketetapan Alkitab, bekerja enam hari berhenti satu hari. Itu adalah mitos dari orang Yahudi yang merugikan masyarakat negara komunis. Maka saya memerintahkan semua orang bekerja sembilan hari, istirahat satu hari.” Awalnya orang-orang berterima kasih pada komunis yang telah menetapkan kebijakan ini, dengan bayangan produksi pasti meningkat. Nyatanya, setelah berlangsung beberapa tahun, orang menemukan bahwa produktivitas kerja malah menurun, kualitas produksi juga sangat buruk. Ternyata manusia tidak sanggup melawan dalil Tuhan, terbukti dari hasil kerja di hari ketujuh, kedelapan, kesembilan sangat jelek, karena orang sudah terlalu lelah. Akhirnya mereka terpaksa harus kembali pada sistem semula: enam hari bekerja, istirahat satu hari.
Sejak itu, tidak pernah ada negara yang berani mengubah sistem yang Tuhan sendiri tetapkan. Jadi jangan lagi kau berkata, “Di mana ada Tuhan? Aku tidak melihat Dia!” Ketahuilah, Tuhan tetap berkuasa atas seluruh umat manusia. Hukum keempat adalah dalil yang tidak mungkin diubah: bekerja enam hari, istirahat satu hari. Barang siapa menjalankannya diberkati oleh Tuhan. Di Amerika, orang bekerja lima hari, hari Sabtu istirahat, hari Minggu ke gereja. Ternyata orang yang bekerja lima hari cenderung bermabuk-mabukan, peristiwa tabrakan bertambah banyak. Itu sebabnya jangan bermain-main, taatilah dalil yang telah Tuhan tetapkan, bekerja enam hari, istirahat satu hari. Barang siapa mematuhi perintah Tuhan pasti diberkati, barang siapa melawan karena tidak mengerti makna yang sesungguhnya hanya akan menyiksa, melukai, dan mempermainkan diri saja.
Siklus Sabat, di mana satu minggu tujuh hari: enam hari bekerja, satu hari berhenti sesuai Alkitab, telah berpengaruh luas bagi seluruh dunia, khususnya dalam hal mengatur rotasi antara bekerja dan istirahat. Sejarah membuktikan, masyarakat yang menganut siklus ini sehat jasmani dan hasil kerjanya pun bagus, karena siklus ini ditetapkan oleh Allah Sang Pencipta. Barang siapa mencoba mengubahnya pasti mengundang malapetaka.
Soren A. Kierkegaard mengatakan, “Allah bukanlah topik filsafat atau bayang-bayang imajinasi kita. Dialah satu-satunya objek yang patut kita sembah.” Pernyataan ini telah berhasil menghentikan Theologi Natural yang terus berdebat membuktikan keberadaan Allah. Tetapi sebenarnya, empat ratus tahun sebelum Kierkegaard, Theologi Reformed sudah memveto Theologi Natural, karena Calvin sudah menegaskan, “Kami tidak membutuhkan Theologi Natural.” Theologi Reformed melampaui filsafat yang hanya mengandalkan rasio dan tidak mengerti Kitab Suci. Mengerti Kitab Suci adalah betul-betul menyelidiki hingga mengetahui isi hati Tuhan.
Sabat dan Agama
Musa hanya menerima perintah Tuhan untuk enam hari bekerja dan satu hari istirahat. Maka menjalankan Sabat tidak bisa membuat orang sombong. Kalau ‘hari’ Sabat itu begitu penting sampai bisa disombongkan, mengapa Tuhan berfirman, “Aku benci hari Sabatmu,” dan Paulus berkata, “Aku khawatir kamu yang memelihara ‘hari’”? Di sini kita melihat, jika seseorang salah mempelajari Firman, dia akan semakin melawan Yesus, semakin memusuhi Allah. Antusiasme agama tanpa Kristus jauh lebih jahat dari atheisme. Tanpa mengerti yang asli, semua yang harfiah akan membelenggu manusia. Iman yang terpaku pada harfiah, sulit menemukan kehendak Tuhan di dalam perintah-Nya yang bersifat paradoks. Kristus adalah interpretator Taurat yang paling akurat. Hanya Yesus yang berhak memberi tahu pengertian Taurat yang asli. Richard Niebuhr berkata, “Jika engkau mau mempertahankan tradisi, maka engkau harus membunuh Yesus; jika mau mempertahankan pengajaran Yesus, maka tradisi Yahudi akan digeser. Maka mereka memilih membunuh Yesus.” Tuhan Yesus melontarkan pertanyaan retorik yang sangat jitu, “Apakah karena Aku menyatakan kebenaran, engkau ingin membunuh Aku?” Tidak ada konflik yang lebih besar dalam sejarah daripada konflik agama dan penebusan. Tujuan Taurat adalah agar manusia, khususnya orang Israel, menyadari akan dosa. Tetapi kita malah melihat mereka menjadi sombong dengan Taurat. Tuhan tidak memberikan Taurat untuk mereka menyombongkan diri. Tuhan memberikan Taurat agar mereka mengakui dosa mereka, bertobat, meminta pengampunan Allah, dan menundukkan diri kepada Allah. Firman Allah jauh melampaui segala kepandaian dan kehebatan pikiran manusia. Wahyu Tuhan jauh melampaui semua filsafat. Anehnya, manusia yang merasa pandai tidak mau Tuhan, begitu rela dipermainkan oleh filsafat yang menyesatkan.
Sabat bukan sekadar istirahat agar kita sehat dan segar untuk bekerja. Tuhan ingin kita beristirahat di pangkuan-Nya. Manusia berbeda dari sapi. Sapi yang bekerja keras bisa tidur dengan nyenyak. Manusia yang sudah mendapatkan segalanya tetap tidak bisa tidur nyenyak. Agustinus di bagian akhir bukunya Confessions, mengatakan, “Allahku yang agung, Engkau telah mencipta manusia dengan hati yang lelah. Kami tidak memiliki damai hingga kami kembali kepadamu dan hanya mendapatkan damai sejahtera di dalam-Mu.”
Jenis-jenis Sabat
Alkitab mengungkapkan beberapa jenis Sabat: 1) The Sabbath of God (Sabat Allah Pencipta). Ini adalah Sabat setelah Allah selesai menciptakan segalanya. Penciptaan adalah karya eksklusif Allah Tritunggal sehingga tidak ada yang berbagian dalam Sabat-Nya. Sabat bukan berarti Allah tidak bekerja sama sekali, melainkan Allah berhenti mencipta dan mulai menopang ciptaan-Nya. Jadi, di dalam Sabat Allah tidak ada yang berbagian. 2) Unclear Sabbath (Sabat yang tidak jelas). Sejak Adam sampai Musa menerima Sepuluh Hukum, selama ribuan tahun itu tidak ada catatan tentang hari Sabat. 3) Sabat di Sepuluh Hukum (Kel. 20). Semua negara mempunyai hari libur umum. Ada yang tiga belas hari per tahun, atau empat belas hari, tetapi Tuhan memberikan umat manusia hari libur umum lima puluh dua hari per tahun. Jadi, hari Sabat di sini adalah untuk orang Israel yang keluar dari Mesir; berbeda dengan hari Sabatnya orang Kristen yaitu hari Minggu. Mrs. Ellen White, penulis buku The Great Controversy, sekaligus pendiri Gereja Advent mengatakan bahwa orang Kristen melanggar hukum Sabat yang Tuhan tetapkan di hari ketujuh, yaitu hari Sabtu. Padahal, Sabat di Sepuluh Hukum, Tuhan berikan kepada orang Israel yang pernah menjadi budak di Mesir. Pelepasan yang Tuhan berikan kepada mereka adalah simbol dari keselamatan yang akan Dia berikan, di mana manusia menerima pengampunan dosa, dapat berelasi secara pribadi dengan-Nya, dan menikmati damai sejahtera-Nya. Inilah arti Sabat yang sesungguhnya. 4) Sabat Babilonia. Ini adalah Sabat yang tertulis di dalam kitab Yeremia: Pada hari itu, engkau tidak akan mengatakan “aku pernah diperbudak di Mesir”, melainkan “aku pernah ditawan ke Babilonia”. Jadi, kau memelihara hari Sabat karena kau pernah ditawan di Babilonia dan Tuhanlah yang membawamu kembali ke tanah perjanjian yang Dia janjikan pada nenek moyangmu. Penekanan di sini bukan lagi ‘hari’ melainkan alasan mereka memelihara Sabat, yaitu campur tangan Tuhan dalam membebaskan mereka dari penawanan. 5) The Paradoxical Sabbath (Sabat Yesus Kristus). Saya menyebut demikian karena bagi orang Yahudi, Yesus justru melanggar Sabat, tetapi bagi orang Kristen, Yesus tidak melanggar melainkan menggenapi. Yesus menyembuhkan orang lumpuh di tepi Betesda. Yesus berkata, “Dosamu diampuni,” dan ini menyebabkan orang Farisi menganggap Yesus telah menghujat Allah. Yesus menyembuhkan orang itu untuk menyatakan dua tahap: i) menyatakan Dia adalah Allah dengan mengampuni dosa orang itu; ii) menyatakan tanda keilahian-Nya dengan menyuruh orang itu berjalan. Melalui hal ini, Yesus memberikan pengertian tentang relasi manusia dengan Sabat, yaitu “manusia bukan dicipta untuk hari Sabat, tetapi hari Sabat ditetapkan bagi manusia”. Maka, makna Sabat adalah manusia menikmati istirahat di dalam Dia. 6) Sunday Sabbath (Sabat hari Minggu). Mrs. White menuduh Paus yang memindahkan Sabat ke hari Minggu. Prof. Hoekema di dalam bukunya menegaskan bahwa Mrs. White tidak pernah bisa memberikan bukti apa pun bahwa Paus yang memindahkan Sabat ke Minggu. Kita berbakti di hari Minggu karena Tuhan Yesus bangkit di hari Minggu setelah Dia mengalahkan kuasa maut dan kuasa setan, lalu membebaskan manusia dari dosa, dari belenggu Taurat, dan dari kutukan Tuhan. Tuhan Yesus bangkit di hari pertama, maka hari pertama disebut hari Tuhan (the day of the Lord). Hari itu merupakan hari pertama, hari yang baru, suatu era yang baru, yang dinyatakan sebagai ‘hari pertama minggu itu’. Di mana pada hari itu kita boleh menikmati istirahat di dalam Dia yang telah membebaskan kita dan memberikan hidup kekal. Jadi, di dalam Perjanjian Lama, Allah membebaskan Israel dari perbudakan Mesir; di Perjanjian Baru, kebangkitan Kristus membebaskan Gereja dari perbudakan dosa. Maka, makna Sabat adalah pelepasan dari belenggu perbudakan dosa. Oleh karena itu, datanglah kepada Kristus, Ia akan memberikan Sabat sejati. 7) That Sabbath – Sabat itu (di kitab Pentateukh dan di Ibrani). Tuhan berkata kepada orang Israel, “Empat puluh tahun lamanya nenek moyangmu mencobai Aku di padang gurun. Maka Aku bersumpah dalam murka-Ku: Mereka takkan masuk ke tempat perhentian-Ku” (Ibr. 3:9, 11). Tempat perhentian Allah di mana kita menikmati Sabat itu (that Sabbath) adalah di mana kita bisa beserta dengan Kristus selama-selamanya, untuk menikmati dan mengalami damai sejahtera yang kekal. Setelah Kristus bangkit, kita dapat menyalami orang yang kita temui dengan mengatakan, “Sejahteralah kamu!” Kita selalu memiliki damai sejahtera sekalipun mengalami kesulitan, dicaci maki, difitnah karena that Sabbath yang Tuhan janjikan. Amin.