, ,

Belajar di Universitas Reformed

Suatu hari kelak, ketika Universitas Reformed berdiri, akan seperti apakah universitas ini? Akankah ia berbeda dari universitas-universitas lainnya? Apa yang membuatnya lain dari yang lain? Aktivitas inti dari suatu universitas adalah belajar. Maka, jika kita membayangkan seperti apakah Universitas Reformed itu nantinya, secara otomatis kita membayangkan seperti apakah belajar dalam Universitas Reformed itu. Artikel ini ditulis bukan dari sudut pandang seorang pakar pendidikan, melainkan dari sudut pandang seorang yang belum lama mengecap pendidikan di sebuah universitas—apa yang pernah dilihat dan dialaminya, dan dari situ, apa yang ia impikan dilihatnya dalam sebuah Universitas Reformed. Ia akan membahas dua hal: mengapa belajar—sebuah pertanyaan tentang motivasi—dan, bagaimana seharusnya kita belajar—sebuah pertanyaan tentang sikap. Ia akan membahas kedua hal ini khususnya dalam setting universitas.

John Milton berkata, “The end of all learning is to know God, and out of that knowledge to love and imitate Him.” Saya percaya tidak ada motivasi yang lebih kuat bagi kita untuk belajar daripada kalimat ini. Mengapa kita belajar? Karena belajar adalah untuk mengenal Tuhan. Jarang sekali orang belajar demi mengenal Tuhan. Pada umumnya orang belajar demi masa depannya—demi sekuritas. Karena itu, tidak heran kalau seorang calon mahasiswa memilih jurusan yang sedang populer, sehingga ia mudah mendapatkan pekerjaan, atau jurusan yang diperkirakan akan menghasilkan banyak uang. Belajar di universitas menjadi sebuah batu loncatan atau keharusan mekanis guna menggapai kesuksesan. Akibatnya, yang menjadi tujuan utama berada di universitas bukanlah untuk belajar, tetapi untuk lulus dan mendapat ijazah. Tanpa ijazah, tidak bisa melamar pekerjaan. Tidak jadi soal entah yang dipelajari nanti berguna atau tidak, yang penting bisa lulus dan mendapat ijazah. Lagipula, bukankah banyak dari mereka yang sudah lulus berkata bahwa apa yang mereka pelajari semasa kuliah hampir tidak terpakai dalam pekerjaan mereka? Sungguh sayang jika seorang mahasiswa lulus dari universitas tetapi tidak pernah peduli apa yang ia pelajari selama ia berada di sana. Seperti dikatakan dalam sebuah studi, “… ‘learning not to learn’ may become the most long-lasting lesson of a college education.”[1]

Belajar juga bisa dilakukan demi membuktikan diri. Kita seringkali masuk ke dalam semangat kompetisi—berusaha mendapatkan nilai yang terbaik atau menyelesaikan studi dalam waktu yang paling singkat, tidak peduli apakah kita menyukai yang kita pelajari atau tidak. Di dalam hati kita tersimpan keinginan untuk diakui baik oleh universitas, orang tua, maupun teman-teman kita. Celakanya, semangat membuktikan diri ini bisa mengaburkan apa yang sesungguhnya menjadi panggilan kita. Seorang mahasiswa mungkin tidak begitu menyukai bidang studi tertentu, tetapi ketika ia—didorong oleh semangat membuktikan diri—bekerja keras dan akhirnya mendapatkan nilai yang baik, ia akan merasa bahwa ia menyukai bidang itu. Nyatanya ia berhasil mendapatkan nilai yang baik. Akibatnya, ia akan terus menuntut dirinya mengerjakan apa yang bukan bagiannya, sementara sebenarnya Tuhan sudah mempercayakan bidang yang lain kepadanya, yang mungkin dapat ia kerjakan dengan begitu alami, karena Tuhan sudah memperlengkapinya untuk itu. Sungguh sayang jika demi membuktikan diri, seseorang mengaburkan panggilan Tuhan bagi dirinya sendiri.

Mungkin kedua motivasi di atas bukan sepenuhnya kesalahan mahasiswa. Para pengajar punya andil yang tidak kecil dalam memupuk pola pikir seperti itu. Mungkin kerusakan ini lebih bersifat timbal balik. Pengajar mempengaruhi cara mahasiswa belajar, sementara mahasiswa mempengaruhi cara pengajar mengajar. Apapun penyebabnya, kerusakan pola pikir semacam ini harus dikoreksi. Bagaimana kita meninggalkan kesalahan pola pikir tersebut? Yaitu dengan kembali menyadari bahwa belajar adalah untuk mengenal Tuhan. Seringkali kita merasa bahwa bidang ilmu selain teologi seperti tidak memiliki kaitan dengan firman Tuhan. Kita merasa begitu kering. Tidak demikian seharusnya. Belajar adalah untuk mengenal Tuhan, apapun bidang yang kita pelajari. Segala kebenaran adalah kebenaran Tuhan, sehingga ketika kita menemukan suatu kebenaran, kita sedang mengerti kebenaran Tuhan—kita lebih mengenal Tuhan. Jika kita mencintai belajar, kita sedang mencintai Tuhan. Jika kita berkata bahwa kita mencintai Tuhan, masakan kita tidak mencintai belajar? Motivasi inilah yang seharusnya mendorong orang Kristen untuk mempelajari ciptaan Tuhan. Dalam ciptaan tersimpan bijaksana Tuhan, dan pengejaran ilmiah adalah usaha menguak bijaksana Tuhan yang Ia simpan dalam ciptaan-Nya. Para ilmuwan bersukacita ketika menemukan bijaksana itu. Seperti dikatakan oleh Galileo Galilei, “Mathematics is the language with which God wrote the universe.” Sebagai orang Kristen, jika kita percaya bahwa segala kebenaran adalah kebenaran Allah, tidak ada alasan mengapa kita tidak memiliki sukacita yang sama. Dan lagi, seperti dikatakan oleh Laura Smit, “God designed us to be knowers, and He designed the world to be knowable. Our natural desire to know is a desire he has given us, and it is meant to draw us towards him, to make us restless with any knowledge short of seeing him face to face. … We may not know that’s what we’re doing, but the goodness which is the world’s meaning is the same goodness which finds full expression in Jesus Christ. Every truth is a step toward the one who is the Truth.”[2] Lebih dari itu, bagi kita, yang telah Tuhan tebus, belajar harus menyadari dan melihat hubungan antara kemuliaan dan kehinaan ciptaan, serta mendorong kita untuk mengembalikan ordo yang telah Tuhan tetapkan. Dalam setiap dimensi kehidupan, kita melihat pengharapan akan saat itu, ketika segenap ciptaan akan dipulihkan. Ada suatu kesadaran bahwa keberadaan segala sesuatu itu berarti. Dalam garis pemikiran semacam inilah kita mempunyai landasan untuk mengetahui, untuk belajar. Alangkah indahnya jika setiap mahasiswa belajar karena ia ingin mengenal Tuhan.

Setelah berbicara tentang motivasi, kita beralih kepada sikap. Bagaimana seharusnya kita belajar? Pertanyaan ini tidak dapat dipisahkan dari pertanyaan yang pertama. Bagaimana kita bersikap terhadap belajar banyak dibentuk oleh bagaimana kita melihat belajar itu sendiri. Saya akan membahas empat sikap yang seharusnya kita miliki jika kita melihat belajar sebagai pengenalan akan Tuhan: integrasi, keberanian, keluasan hati, dan kerendahan hati.

Dalam esainya yang berjudul “The Lost Tools of Learning,” Dorothy Sayers bertanya, “Do you often come across people for whom, all their lives, a ‘subject’ remains a ‘subject,’ divided by watertight bulkheads from all other ‘subjects,’ so that they experience very great difficulty in making an immediate mental connection between let us say, algebra and detective fiction, sewage disposal and the price of salmon—or, more generally, between such spheres of knowledge as philosophy and economics, or chemistry and art?”[3] Pertanyaan ini bersifat retoris, dan jika mau jujur, kita akan menjawab, “Ya, sayalah orangnya.” Kita biasanya tidak peduli di manakah posisi suatu bidang studi tertentu dalam kaitannya dengan keseluruhan ilmu pengetahuan. Kita hanya peduli bagaimana caranya memecahkan soal-soal yang akan keluar dalam kuis atau ujian akhir semester. Kita bahkan tidak mau tahu mengapa ada soal-soal seperti itu. Kalau mungkin, tidak usah belajar atau cukup belajar sedikit saja, asal bisa mengerjakan soal-soal ujian dan mendapat nilai yang bagus. Akan tetapi jika belajar hanya menjadi rutinitas memecahkan soal, akan sulit bagi kita untuk menyukai apa yang kita pelajari. Sebaliknya, jika kita dapat melihat the big picture dari segala bidang ilmu yang kita pelajari, saya percaya belajar akan menjadi sesuatu yang menyenangkan dan memperkaya kita. Integrasi berarti melakukan sintesis bidang-bidang ilmu yang berbeda-beda, menemukan analogi di antara mereka, dan mengerti relasi suatu bidang tertentu dengan bidang-bidang yang lain. Sumber dari segala kebenaran hanyalah satu, yaitu Tuhan, dan karena itu ada kesatuan dalam keragaman.

Ketika kita mengerti perlunya integrasi segala bidang, kita akan berani menuntut diri mempelajari segala sesuatu, tidak terbatas kepada apa yang kita tekuni saja. Ini tidak mudah. Kita adalah orang-orang yang gampang puas dan kita cenderung takut menjelajahi area yang asing bagi kita. Belajar memerlukan keberanian. Diperlukan keberanian untuk mempelajari sesuatu yang sulit. Kebenaran diperlukan untuk mengambil langkah pertama dan untuk bertahan dalam langkah-langkah selanjutnya. Ketika kita mengambil langkah pertama, ada resiko bahwa bidang itu terlalu sulit dan kita mungkin tidak dapat menyelesaikan pencarian akan kebenaran di dalamnya—mungkin kita akan gagal. Akan tetapi, kegagalan pun adalah bagian dari belajar. Kita harus berani menerimanya. Belajar adalah ujian keberanian—keberanian untuk bertahan, bertekun, dan bersabar dalam pencarian kebenaran.

Kita bisa berani, tetapi tidak rendah hati. Keberanian yang tidak terkontrol bisa menjadi kesombongan yang didorong oleh semangat membuktikan diri. Saya cenderung berpikir bahwa seseorang belum mengejar sesuatu yang berharga untuk dikejar jika apa yang dikejarnya adalah sesuatu yang sanggup dikejar oleh orang lain. Akan tetapi saya berpikir bahwa ini adalah semacam kesombongan. Hak apa sehingga saya boleh menghakimi kemampuan orang lain? Apa yang diperlukan justru sebaliknya: ia harus tahu bahwa orang lain juga bisa mengerti apa yang ia mengerti. Titik permulaan belajar adalah kerendahan hati. Hanya pada saat itulah ia dapat menjelajahi apapun tanpa batasan, apalagi batasan yang ia ciptakan sendiri. Seseorang mungkin menjadi kehilangan semangat ketika menyadari dirinya belum mengerjakan apa-apa yang berharga. Akan tetapi, bagaimana seseorang menentukan mana yang berharga untuk dikejar dan mana yang tidak? Jika ia melakukannya tanpa kerendahan hati, saya ragu akan ada banyak pilihan yang tersisa, dan mungkin ia akan kehilangan kesukaannya segera setelah ia mengetahui sesuatu tentang apa yang dipelajarinya. Mengapa? Karena ketika ia menyadari bahwa ia mengetahui sesuatu tentang hal itu, ia mungkin berpikir, “Lho, ini tidak terlalu sulit. Orang lain pun bisa mengerti hal yang sama. Mengapa saya perlu melanjutkan mempelajari apa yang orang lain bisa pelajari?” dan akhirnya ia tidak mau mengejar hal itu lagi. Bagaimana mungkin seseorang belajar dengan cara ini? Apa yang diperlukan, sebaliknya, adalah kerelaan untuk mengerjakan apa yang orang lain dapat kerjakan. Kerendahan hati sangat penting dalam belajar. Kita tahu bahwa seseorang telah belajar, bukan karena ia melihat tidak ada lagi yang dapat dipelajari, melainkan karena ia masih melihat sesuatu untuk dipelajari, dari fakta-fakta yang tepat sama. Kita tahu bahwa ia telah berpindah ke pengertian yang lebih dalam, karena ia sekarang sanggup melihat hal-hal yang sebelumnya tidak terlihat. Orang yang rendah hati selalu melihat ada sesuatu yang baru baginya bahkan dari fakta-fakta yang lama.

Selain itu, mereka yang belajar dan mengajar perlu memiliki hati yang luas. Hati seorang pengajar dipersembahkan untuk melayani mereka yang diajarnya. Segala sesuatu yang dimilikinya, ia bagikan kepada mereka. Demikian juga dengan seorang pelajar. Ia harus siap melayani sesama pelajar. Saya tersentuh ketika membaca kalimat ini: “The graduate students were housed in some big rooms and they educated each other.”[4] Hati yang siap untuk berbagi, tanpa semangat persaingan, melainkan hanya demi mencari kebenaran—inilah sikap ideal seorang pelajar. Alangkah indahnya jika pertemuan mingguan dengan profesor dan sesama mahasiswa tidak dinanti dengan kecemasan, melainkan dinanti dengan pengharapan akan mendapat inspirasi dan pertolongan dari mereka untuk mengerti kebenaran. Laura Smit mengatakan, “We lend our minds to each other, because what I have been able to see and to notice and to learn will be different from what you have been able to see and to notice and to learn, but when we lend our minds to each other we extend our vision and our ability to delight in the world. Lending our minds is what teaching is all about. It’s an act of generosity and hospitality, letting other people share our perspective on the world.”[5] Betapa indahnya jika ini terjadi dalam Universitas Reformed.

Seperti apakah Universitas Reformed itu nantinya? Saya membayangkan sebuah universitas di mana setiap mahasiswanya tahu mengapa mereka belajar—demi mengenal Tuhan—dan bagaimana seharusnya mereka belajar—dengan integratif, berani, luas hati, dan rendah hati. Biarlah artikel ini memulai kita untuk bermimpi, meskipun ini barulah secuil dari apa yang dapat kita impikan mengenai sebuah Universitas Reformed. Sambunglah mimpi ini dan kiranya mimpi ini menjadi nyata suatu hari kelak. Soli Deo Gloria.

Adi Kurniawan

Redaksi Bahasa PILLAR


[1] Howard R. Pollio dan Hall P. Beck, When the Tail Wags the Dog: Perceptions of Learning and Grade Orientation in, and by, Contemporary College Students and Faculty, “The Journal of Higher Education”

[2] Laura Smit, Banquet Devotional, “Christian Scholarship … for What? An International, Interdisciplinary Conference”

[3] Dorothy Sayers, “The Lost Tools of Learning”

[4] E. O. Tuck, “A Biography of J. N. Newman”

[5] Banquet Devotional