Buku Harian Anton Si Pelukis

Sudah beberapa saat lamanya Anton tertegun di depan lukisan karya Rembrandt tersebut. Matanya tampak terus mengamati dengan seksama lukisan “The Return of the Prodigal Son” itu. Lalu lalang orang di sekitarnya sama sekali tidak membuyarkan konsentrasinya. Sambil memandang lukisan itu, Anton terus merenungkan kisah yang tercatat di dalam Lukas 15: 11-32. Terlihat air mata mulai membasahi matanya dan mengalir melalui pipinya.

Kunjungan Anton ke The Hermitage Museum, di kota St.Petersburg, Rusia tersebut sudah direncanakannya beberapa bulan yang lalu. Melalui khotbah-khotbah dan kelas-kelas progsif di GRII yang telah diikutinya sejak 6 tahun yang lalu, Anton sadar bahwa dirinya sebagai seorang Kristen tidak boleh hanya berpangku tangan dan menikmati kenyamanan hidup di dunia ini saja. Ia sangat terdorong untuk menjalankan dua tugas utama seorang Kristen yaitu menjalankan mandat Injil dan mandat budaya di dunia ini. Oleh karena itu, ia sedapat mungkin berusaha menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk memperlengkapi diri dengan belajar baik firman Tuhan maupun kebudayaan terutama seni lukis yang menjadi bidang yang digelutinya sebagai seorang pelukis. Anton bersyukur atas talenta melukis yang Tuhan berikan kepadanya, dan ia rindu tidak hanya semakin mahir melukis dan menghasilkan karya-karya yang indah, tetapi ia juga rindu agar dapat menyatakan firman Tuhan di dalam setiap bidang kehidupannya termasuk bagaimana firman Tuhan menyinari bidang seni lukis.

Anton juga bersyukur kalau pada saat ini berkesempatan pergi ke The Hermitage Museum. Dari informasi yang sudah dikumpulkan sebelum berangkat, Anton sudah bertekad untuk melihat secara langsung karya Rembrandt yang dilatarbelakangi kisah perumpamaan anak yang hilang[1] tersebut. Di luar dugaannya, keindahan lukisan itu membuatnya begitu terkagum-kagum bahkan ia sangat tersentuh olehnya.

Begitu melihat lukisan yang menggunakan cat minyak tersebut, mata Anton langsung terpaku pada tokoh sang ayah yang terlihat begitu lembut dan penuh cinta kasih menerima sang anak yang telah bersalah besar kepadanya. Anton bisa melihat bagaimana Rembrandt mengatur pencahayaan dengan memainkan perbedaan warna sehingga setiap orang yang melihat lukisan itu akan diarahkan pandangannya untuk fokus kepada sang ayah. Rembrandt seolah-olah menggunakan lampu sorot di panggung untuk menyoroti tokoh utama dari suatu adegan, dan lebih fokus lagi adalah pada bagian tangan sang ayah yang sedang merangkul bahu the prodigal son dan mendekapkan ke dadanya. Sungguh gambaran cinta kasih yang begitu intim dari sang ayah kepada anaknya terlepas dari fakta bahwa sang anak telah bersalah begitu besar kepada sang ayah. Adegan mengharukan yang diangkat ke atas kanvas itulah yang menyebabkan Anton terharu dan mulai merenungkan kehidupannya.

Pada malam harinya di kamar hotel, Anton mengambil buku hariannya sebelum ia tidur dan mulai menuliskan pengalamannya pergi ke museum hari itu …

St. Petersburg, 2 Oktober 2008, 22:15 Waktu Moskow (GMT+3)

Tadi setelah makan pagi, aku pergi mengunjungi The Hermitage museum di kota St.Petersburg ini. Museum ini memuat sekitar 3 juta koleksi kesenian yang mewakili tiap zaman mulai dari “zaman batu” sampai abad XX. Aku telah berkeliling selama 8 jam untuk mengunjungi berbagai fasilitas museum termasuk beberapa gedung di kompleks museum seperti istana Menshikov, istana musim dingin Peter the Great, dan juga museum porselen. Yang paling menarik perhatianku adalah ketika berada di ruang Rembrandt di lantai satu. Terpampang lukisan Rembrandt yang berjudul “The Return of the Prodigal Son”. Aku berdiri menatap lukisan itu selama kira-kira 15 menit. Bayangkan, 15 menit! Mungkin tadi orang-orang yang di sekelilingku bingung melihat aku seperti mematung di depan lukisan itu.

Aku sangat terkesan dengan lukisan itu dan bahkan membuatku terharu serta menitikkan air mata. Aduh, malu juga ketika dilihat para pengunjung yang lain. Tapi air mata ini tidak dapat terbendung lagi.

Ketika melihat bagaimana sang ayah merangkul dan mendekap the prodigal son, aku langsung teringat kisah di kitab Lukas 15:11-32. Rembrandt sangat jeli untuk menggunakan warna yang sangat kontras antara Sang Ayah (warna merah untuk jubah yang anggun serta bersih bersinar) dengan the prodigal son (warna pucat, kelam, dan kumuh). Melihat kontras itu, aku teringat perkataan the prodigal son, “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa” (Lukas 15:21). Ketika aku teringat kesalahan yang begitu besar yang telah dilakukannya terhadap sang ayah, memang hanya ada satu jawaban yang dapat meresponi kondisi itu yaitu: Tidak layak!  Tapi yang mengharukanku adalah bagaimana respon sang ayah yang menatap, mendekap dan menerima dia dengan penuh cinta kasih.

Semakin lama menatap lukisan itu, aku menjadi semakin terharu dan tadi tiba-tiba aku terpikir bahwa aku pun sebenarnya juga sama seperti the prodigal son yang telah memilih jalan sendiri yang berdosa, melawan Tuhan, dan bahkan menjadi musuh Tuhan Allah. Di hadapan Tuhan Allah yang Maha Suci, aku adalah orang berdosa yang selayaknya menerima penghukuman dari-Nya. Segala usaha dan kemampuan yang ada padaku tidaklah mungkin menjadikanku berstatus benar di hadapan-Nya. Tidak mencapai standar yang ditetapkan Tuhan Allah, itulah dosa. Tetapi justru di tengah-tengah kondisi demikian, Tuhan telah menyatakan kasih anugerah-Nya yang begitu besar dengan memberikan Anak-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus Kristus untuk datang ke dunia, mati di atas kayu salib untuk menggantikan aku yang seharusnya menerima hukuman kematian kekal sebagai upah dosaku. Sama seperti sang ayah yang menerima dengan hati yang terbuka serta kasih yang besar, Tuhan Allah juga telah menerima aku yang berdosa ini.

Sungguh ajaib, dari status orang berdosa aku sekarang sudah dibenarkan melalui kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus. Dan lebih dari itu, Tuhan Allah telah memberikan status yang begitu tinggi dan mulia yaitu dengan mengadopsi aku menjadi anak-Nya. Coba bayangkan, dari musuh, sekarang aku telah diperdamaikan dengan Allah; dari status orang terhukum, sekarang aku telah dibenarkan dan dibebaskan dari hukuman; dari orang yang terasing, sekarang aku telah diangkat masuk ke dalam keluarga Allah menjadi anak-Nya. Begitu indah anugerah yang aku terima sebagai orang Kristen. Tidak hanya aku dinyatakan benar di hadapan Allah sebagai Hakim di pengadilan-Nya, tetapi juga diterima, diangkat, dikasihi, dan dipelihara oleh Allah sebagai Bapa kita.

Aku jadi teringat bagian lain dari firman Tuhan yang menjadi bahan saat teduh minggu lalu yaitu kitab Efesus 1:3-14. Di ayatnya yang ke-5 tertulis: “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.” Rasul Paulus menggunakan kata adopsi untuk menyatakan keanggotaan kita di dalam keluarga Allah. (Istilah yang dipakai di dalam bahasa Inggris adalah ‘to be adopted as His sons’, dan dalam bahasa Yunani ‘huiothesia‘). Ini menyatakan bahwa kita menjadi anak-anak-Nya bukan melalui kelahiran secara alami, tapi melalui adopsi.

Setelah kembali merenungkan bahan saat teduh minggu lalu tersebut, aku jadi semakin mengerti bahwa pengangkatan kita menjadi anak-anak-Nya adalah inisiatif dari Allah Bapa melalui karya Allah Anak yaitu Tuhan Yesus Kristus yang telah mencurahkan darah-Nya di atas kayu salib. Pengangkatan sebagai anak-anak Allah ini telah ditetapkan sejak semula (di ayat 4 dikatakan sebelum dunia dijadikan) berdasarkan kerelaan kehendak-Nya. Jadi bukan karena kita layak atau ada jasa kita yang dapat diperhitungkan, melainkan hanya karena kasih karunia-Nya (Sola Gratia). Sama seperti the prodigal son yang tidak layak disebut anak Bapa, demikianlah aku.

J. I. Packer di dalam tulisannya di buku yang pernah aku baca, menuliskan tentang identitas baru seorang Kristen. Ada banyak jawaban yang dapat diberikan ketika orang bertanya tentang siapakah orang Kristen itu, tetapi J. I. Packer mengatakan bahwa jawaban paling kaya adalah karena orang Kristen memiliki Allah sebagai Bapanya.

Moment di museum tadi telah membuat aku berpikir apakah hidupku yang sudah diadopsi menjadi anak Allah sungguh telah mencerminkan identitas baru tersebut. Bukankah seorang anak seharusnya taat dan meneladani Sang Bapa? Bukankah seorang anak seharusnya menyenangkan Sang Bapa? Bukankah seorang anak seharusnya merefleksikan kemuliaan Sang Bapa? Aku yang telah menerima anugerah yang begitu besar sering kali menganggapnya sebagai hal yang biasa dan tidak hidup sebagaimana seharusnya. Hari ini aku bersyukur atas teguran firman Tuhan. Aku bertekad untuk semakin mengerti dan menggumulkan tentang menjadi anak Allah serta memiliki hidup yang menyaksikan bahwa Allah adalah Bapaku, hari demi hari.

Berpikir tentang menjadi anak Allah juga jadi membuat aku teringat ayat hafalan waktu saat teduh beberapa bulan yang lalu dari Kitab Roma. Ayat hafalannya dari Roma 8:14, “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.” Ayat itu kembali mengingatkanku bahwa Roh Kudus telah dan sedang bekerja memimpin hidup setiap anak-anak Allah untuk terus-menerus mematikan perbuatan-perbuatan kedagingan (dosa) dan hidup menjadi semakin serupa dengan Kristus. Sebagai bagian dari satu keluarga, seorang anak sudah sepatutnya mencerminkan hidup keluarga tersebut. Orang tua yang baik pasti ingin agar anak-anaknya juga menjadi orang baik. Orang tua yang sopan dan dihormati pasti akan mendidik anak-anaknya untuk hidup sopan. Ketika anaknya berbuat salah, maka orang tua yang baik akan menegur, dan kalau perlu menghukum anaknya agar mengerti bahwa perbuatannya tidak baik dan harus berubah. Aku sekarang jadi semakin mengerti mengapa dulu ketika nakal, pasti papa dan mama marah dan menegur aku. Itu justru menunjukkan mereka mengasihi aku, dan tidak mau aku menjadi anak yang tidak baik.

Lalu kalau aku pikir lebih lanjut, Bapa kita di sorga pasti juga ingin supaya hidup kita sebagai anak-anakNya, mencerminkan karakter Diri-Nya, Sang Bapa. Allah kita adalah Allah yang Maha Kudus, tentu aku pun harus hidup sesuai dengan karakter-Nya. Tapi siapa yang mungkin sanggup mematikan hidup kedagingan di dunia ini? Mana mungkin dengan mengandalkan kemampuanku sendiri aku dapat hidup berpadanan dengan status keanggotaan dalam keluarga Allah? Oh, alangkah indah Firman Tuhan di kitab Roma ini yang dengan tegas menyatakan bahwa Roh Kudus-lah yang memimpin hidup baru kita dan terus bekerja di dalam hati kita untuk menuntun kita untuk mengetahui kehendak moral Allah, kepekaan serta kekuatan untuk meninggalkan dosa, dan hidup hanya menaati Bapa kita di sorga. Itu berarti setiap proses didikan Tuhan selama ini di dalam hidupku seharusnya tidak membuatku menggerutu dan marah-marah kepada Tuhan, tetapi aku seharusnya bersyukur karena Ia sangat mengasihi aku dan ingin aku hidup seturut Firman-Nya.

Wah, semakin merenungkan hal ini semakin aku menikmati kelimpahan firman Tuhan. Aku juga jadi teringat pada salah satu pelajaran di kelas katekisasi yang sempat membahas Pengakuan Iman Westminster bab ke-12 tentang doktrin adopsi. Aku perlu lihat lagi catatan katekisasiku untuk detailnya. Yang aku masih ingat adalah bahwa di bab itu dituliskan konsep yang terdapat di Roma 8:15 dan Galatia 4:6, yaitu: kita sebagai anak-anak-Nya beroleh keberanian untuk menghampiri takhta kasih karunia Allah serta dimampukan untuk berseru ya Abba, ya Bapa, kepada-Nya. Berdoa adalah bagaimana kita dapat berkomunikasi dengan Allah Bapa kita dengan intim. Ini adalah hak istimewa kita sebagai anak-anak-Nya. Tapi justru ini yang aku masih kurang menikmati-Nya. Konsepku mengenai doa memang perlu dikoreksi. Selama ini aku menganggap doa sebagai rutinitas ataupun hanya sebagai ciri orang Kristen. Malam ini mata rohaniku dibukakan dan menjadi mengerti bahwa doa adalah hak istimewa kita untuk boleh berkomunikasi dengan Bapa kita, Sang Pencipta dan Penebus kita. Aku rindu semakin bisa menikmati kehidupan sebagai anggota keluarga Allah, termasuk di dalam kehidupan berdoa. Aku mau belajar untuk tidak lagi memandang doa sebagai hal mekanis ataupun sebagai komunikasi kepada sesuatu yang impersonal atau yang tidak aku kenal. Kita dapat berdoa kepada Bapa di sorga karena kita telah mengenal Dia dan tentunya karena Dia terlebih dahulu mengenal kita.

Tidak terasa hari sudah semakin larut malam, sebenarnya aku masih mau menulis lebih panjang, tetapi aku pikir lebih baik aku berhenti dulu di sini dan dilanjutkan besok malam karena sebelum tidur aku mau berdoa kepada Allah Bapa di Sorga, tentunya dengan pengertian yang telah diperbaharui. Aku ingin mengucap syukur kepada-Nya atas hari ini. 

Daniel Gandanegara

Pemuda GRII Singapura

Endnotes

[1] Judul yang diberikan Lembaga Alkitab Indonesia.

Referensi

-Burke, T. J. (2006). Adopted into God’s Family: Exploring a Pauline metaphor. Apollos Intervarsity Press.

-Packer, J. I. (1975). Knowing God with Study Guide. Holdder and Stoughton.

The Westminster Confession of Faith (1646).

The State Hermitage Museum. Website: http://www.hermitagemuseum.org