Calvin’s Perspective on Suffering

Sejak dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1509 di Noyon, Perancis, John Calvin menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam penderitaan. Ibunya meninggal ketika ia masih kecil. Ayahnya, Gerard Calvin, meninggal ketika John berusia 21 tahun. Dari lima anak laki-laki Gerard dari ibu kandung John (ayahnya menikah lagi ketika ibu kandung John meninggal), hanya ia dan seorang adik lelakinya yang hidup melewati masa kanak-kanak. Istrinya meninggal ketika ia memasuki usia 40 tahun, meninggalkan John Calvin melewati 15 tahun sisa hidupnya seorang diri. John Calvin tidak meninggalkan anak, satu-satunya anak lelaki yang dimilikinya meninggal beberapa hari sesudah ia dilahirkan. Seumur hidupnya, Calvin bekerja berat dan berperang dengan berbagai penyakit dalam tubuhnya. Calvin tidur rata-rata dua jam sehari, makan hanya satu kali, sering mengalami migrain, di samping menderita gangguan pencernaan yang parah, selesma, batu ginjal, demam, radang sendi, dan asma[1]. Semua penulis biografi Calvin setuju mendeskripsikan Calvin sebagai “seorang yang kelihatan jauh lebih tua dari usianya”. Pada usia 40 tahun, Calvin telah beruban banyak, berbadan bungkuk, dan berambut kisut. Ia kelihatan seperti seorang kakek berusia 70-80 tahun. Ketika berkhotbah, ia seringkali harus berbicara perlahan karena asma yang dideritanya. Kehidupan sosial Calvin juga tidaklah enak. Selama Calvin hidup, tidak sedikit yang menjadi musuhnya – baik secara golongan (Roma Katolik dan Anabaptis) maupun pribadi (Servetus, Pierre Caroli, Jerome, Castellio, dan lain-lain) oleh sebab ajarannya yang tidak berkompromi. Bahkan, ia pernah diusir keluar dari Jenewa (1538), kota di mana ia dengan sepenuh hati memberikan pelayanannya, sebelum akhirnya diundang kembali (1541) setelah orang-orang Jenewa menerima Reformasi. Selama hidupnya, Calvin menghabiskan sesedikit mungkin uang untuk kepentingan pribadi. Ia hidup hemat dan disiplin. Namun demikian, ia sangat murah hati dalam menggunakan uangnya untuk kepentingan pelayanan dan orang lain. Ketika meninggal, tidak banyak uang yang ia tinggalkan[2].

Melihat sepintas kehidupan John Calvin di atas, seandainya kita adalah orang belum pernah mendengar tentang dia, sulit bagi kita untuk membayangkan orang yang ditimpa berbagai penderitaan semacam itu dapat bertahan hidup. Jauh lebih mungkin bagi orang yang hidupnya demikian sulit untuk mencari jalan pintas dan mengakhiri hidupnya seperti yang sering kita baca dalam surat kabar ataupun kita lihat di televisi. Calvin sendiri setuju bahwa bagi orang yang tidak mengenal Tuhan tetapi mengenal penderitaan hidup, yang paling baik baginya adalah untuk tidak pernah dilahirkan dan yang kedua terbaik baginya adalah untuk mati secepatnya.[3] Namun, lebih sulit lagi membayangkan bahwa orang yang hidupnya sedemikian menderita dapat menjadi orang yang berpengaruh begitu besar baik terhadap dunia Kristen maupun non-Kristen selama berabad-abad. Melihat kehidupannya, bahkan orang yang paling tidak peka sekalipun dapat merasakan adanya kekuatan ajaib (miraculous power) dalam diri Calvin yang mendorongnya untuk terus hidup dan berbuah.

Melihat kehidupan Calvin, nampak bahwa baginya penderitaan bukanlah halangan melainkan dorongan untuk terus hidup dan berbuah bagi Tuhan. Penulis percaya hal ini tidak terlepas dari pemahaman Calvin yang tepat mengenai penderitaan. Calvin melihat penderitaan sebagai suatu akibat yang harus diterima oleh semua manusia akibat dosanya sendiri dan yang keberadaannya sama sekali tidak mencemari kesucian Allah.[4] Dua sisi dalam pemikiran Calvin ini yaitu kesucian Allah dan keberdosaan manusia tidak saling berbenturan dan harus dilihat secara seimbang, tidak saling meniadakan, dan tidak berat sebelah. Kecuali kita bisa melihat kedua sisi ini secara berdampingan, maka tidak mungkin bagi kita untuk mengerti hakikat penderitaan yang dimengerti oleh Calvin. Maka penderitaan yang ada di dalam dunia bukan semata-mata diizinkan, melainkan dikehendaki keberadaannya oleh Allah sendiri,[5] ia menjelaskan,

Here they recur to the distinction between will and permission, the object being to prove that the wicked perish only by the permission, but not by the will of God. But why do we say that he permits, but just because he wills? Nor, indeed, is there any probability in the thing itself—viz. that man brought death upon himself merely by the permission and not by the ordination of God; as if God had not determined what he wished the condition of the chief of his creatures to be. I will not hesitate, therefore, simply to confess with Augustine that the will of God is necessity, and that every thing is necessary which he has willed; just as those things will certainly happen which he has foreseen” (Institutio III, 23, 8)

Calvin sama sekali tidak menyalahkan Allah atas adanya penderitaan dan menerima dengan sepenuh hati bahwa manusia pada dasarnya layak menerima segala penderitaan.[6] Demikian dia katakan dalam Institutio,

“Those who have learned this modesty will neither murmur against God for adversity in time past, nor charge him with the blame of their own wickedness” (Institutio I, 17, 3)

Calvin, mengutip Agustinus, menerima dengan rendah hati bahwa Allah sama sekali tidak bersalah dalam menetapkan keberadaan dosa dan penderitaan dalam dunia. Walaupun dosa dan penderitaan itu pada dirinya sendiri tetap merupakan hal yang buruk, akan tetapi dalam hubungannya dengan rencana Allah atas manusia, keberadaan dosa dan penderitaan – bukan dosa dan penderitaan itu sendiri – adalah tetap baik, sebab tidak ada yang berada dalam penetapan Allah yang buruk.[7] Ia menuliskan,

“This question, like others, is skillfully explained by Augustine: “Let us confess with the greatest benefit, what we believe with the greatest truth, that the God and Lord of all things who made all things very good, both foreknow that evil was to arise out of good, and knew that it belonged to his most omnipotent goodness to bring good out of evil, rather than not permit evil to be, and so ordained the life of angels and men as to show in it, first, what free-will could do; and, secondly, what the benefit of his grace and his righteous judgment could do” (Institutio III, 23, 7)

Pemahaman ini menjadi titik tolak untuk mengerti mengapa bagi Calvin penderitaan dapat diterima. Selanjutnya kita akan melihat mengapa Calvin mengajarkan bahwa penderitaan, bagi orang percaya bukan hanya dapat diterima tetapi juga dapat diatasi; dan bukan hanya diatasi, melainkan diatasi dengan sukacita dan penuh ucapan syukur. Namun sebelumnya kita akan melihat masalah yang umumnya dimiliki manusia dalam menerima titik tolak cara pemikiran Calvin.

Mengapa kita sulit sekali menerima pemikiran Calvin ini? Justru karena manusia telah jatuh di dalam dosa: pikiran kita menjadi begitu condong pada kesombongan diri sehingga kita senantiasa mengangkat diri kita lebih tinggi dari pikiran Allah; dan berpikir bahwa seolah-olah Allah, dengan keberadaan dosa dan penderitaan, telah berbuat tidak adil pada manusia (Rm. 3:7); serta berpikir bahwa kita seolah-olah layak untuk menerima segala sesuatu yang baik secara kognitif maupun praktis. Padahal sesungguhnya jauh daripada pemikiran manusia, khususnya kaum atheis, yang menyatakan bahwa adanya dosa dan penderitaan menunjukkan kalau Allah yang Maha Baik, Maha Tahu, dan Maha Kuasa tidak mungkin ada; justru sebaliknya memperjelas kebobrokan manusia yang sedemikian parah dalam menyangkal kerusakan natur mereka, dan dengan demikian memastikan diri mereka layak untuk menerima segala sesuatu yang buruk (Rm. 3:8) dari Allah yang Maha Baik, Maha Tahu, dan Maha Kuasa, yang mereka sangkali keberadaannya tersebut (Rm. 1:18-32), dan yang mendeklarasikan kebenaran universal ini pada manusia: bahwa semua manusia sudah berdosa (Rm. 3:23). Sebab bahkan ketika manusia belum jatuh ke dalam dosa, pada dasarnya kita juga tidak layak menerima segala sesuatu yang baik dari Allah. Jika Allah mau memberikan segala yang baik pada manusia, pasti hal itu bukan dikarenakan manusia yang layak menerimanya, tetapi karena Allah yang begitu baik. Maka terlebih lagi ketika manusia telah jatuh ke dalam dosa. Bukan hanya manusia tidak layak menerima segala sesuatu yang baik, tetapi manusia layak untuk menerima segala sesuatu yang buruk. Dengan demikian, pemikiran bahwa Allah berhutang sesuatu kepada manusia sekecil apapun itu, justru tidak membuktikan hal lain kecuali bahwa manusia memang telah jatuh ke dalam dosa. Sebab tanpa kejatuhan, pikiran semacam itu tidak mungkin ada. Maka Calvin menuliskan: “Kecuali manusia merasa (bangkrut dan) berhutang seluruhnya terhadap Allah di mana mereka kemudian terhibur oleh kebaikan Allah dan diyakinkan bahwa hanya dari Dia saja mereka dapat memperoleh segala sesuatu yang baik sehingga menyadari kesia-siaan untuk mencari sumber lain kecuali Dia, tidak mungkin bagi mereka untuk menyerahkan [dirinya] kepada Allah dalam ketaatan secara sukarela, tidak mungkin, kecuali mereka meletakkan seluruh kebahagiaan mereka di dalam Dia, mereka tidak akan menyerahkan diri mereka kepada Allah dalam kesungguhan dan ketulusan.[8] Dengan kata lain, mereka akan bersikukuh mempertahankan kelayakan mereka seolah-olah mereka layak menerima segala sesuatu yang baik, dan senantiasa mencari sumber lain selain Allah untuk bisa mendapat segala sesuatu yang baik tersebut. Singkat kata, manusia berdosa selalu berpikir bahwa manusia tidak layak menderita.

Bagi Calvin, pemahaman semacam ini dalam melihat hakikat penderitaan hanya akan merugikan diri sendiri. Sebab, mereka yang berpikir demikian tidak akan mendapatkan bukti apapun dari teori mereka yang sia-sia.[9] Betapa bodohnya mereka. Calvin menjelaskannya,

“My meaning is: we must be persuaded not only that as he once formed the world, so he sustains it by his boundless power, governs it by his wisdom, preserves it by his goodness, in particular, rules the human race with justice and Judgment, bears with them in mercy, shields them by his protection; but also that not a particle of light, or wisdom, or justice, or power, or rectitude, or genuine truth, will anywhere be found, which does not flow from him, and of which he is not the cause; in this way we must learn to expect and ask all things from him, and thankfully ascribe to him whatever we receive. For this sense of the divine perfections is the proper master to teach us piety, out of which religion springs. By piety I mean that union of reverence and love to God which the knowledge of his benefits inspires. For, until men feel that they owe everything to God, that they are cherished by his paternal care, and that he is the author of all their blessings, so that nought is to be looked for away from him, they will never submit to him in voluntary obedience; nay, unless they place their entire happiness in him, they will never yield up their whole selves to him in truth and sincerity.” (Institutio I, 2, 1)

Sejauh ini, kita telah melihat pemikiran Calvin mengenai penderitaan dan masalah manusia dalam menerima pemikiran ini. Pada bagian yang terakhir, Penulis ingin menjelaskan mengapa bagi Calvin, orang percaya bukan hanya dapat menerima penderitaan tetapi sanggup mengatasinya; dan bukan hanya mengatasi melainkan mengatasi dengan sukacita dan penuh ucapan syukur.

Dalam menebus manusia berdosa, Kristus memilih untuk datang ke dalam dunia, memikul salib-Nya, dan mati menggantikan umat-Nya. Dan kepada umat yang ditebus-Nya, Kristus berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23). Ketika pertama kali membaca ayat ini, kita mungkin memiliki kesan bahwa Yesus sedang mengajarkan kepada kita kehidupan seorang Kristen yang penuh dengan penderitaan, bahkan perlu memikul salib yang sebenarnya tidak layak untuk dipikulnya, seperti Kristus. Calvin menuliskan bahwa pemahaman seperti ini adalah keliru. Satu-satunya hal yang membuat Kristus memikul salib-Nya adalah untuk bersaksi [pada dunia] dan membuktikan ketaatan-Nya pada Allah Bapa. Akan tetapi ada berbagai macam alasan yang membuat kita harus hidup di bawah salib secara konstan.[10] Termasuk di antaranya adalah natur kita yang sudah jatuh ke dalam dosa.

Calvin menafsirkan “memikul salib” yang dikatakan oleh Tuhan Yesus sebagai “penderitaan (sebagai konsekuensi dari dosa) yang dimiliki oleh setiap manusia dan tanpa diskriminasi[11]”. Melalui titik tolak ini, kita dapat mencoba memahami ungkapan “memikul salib” yang dimaksud oleh Tuhan Yesus dengan suatu perspektif lain. Memikul salib, dapat dilihat demikian: Tuhan, dengan kebaikan-Nya yang tidak terbatas, memberikan “kesempatan kedua” bagi manusia agar mereka tidak langsung binasa melainkan sekali lagi dapat hidup menurut kehendak-Nya; namun tidak lagi dengan patokan seperti yang difirmankan-Nya di Taman Eden, yaitu dengan mengusahakan dan memelihara Taman Eden serta tidak memakan buah pengetahuan baik dan buruk (sebagai respons terhadap firman Allah); melainkan dengan dengan patokan yang baru, yaitu: mengikut Kristus dan memikul salibnya masing-masing (sebagai respons terhadap Firman yang menjadi daging). Ketika masih hidup di Taman Eden, manusia diberikan “kesempatan pertama” untuk hidup menurut kehendak Allah yaitu memuliakan dan menikmati Dia, tanpa dosa dan penderitaan, melalui ketaatan yang dibuktikan dengan tidak memakan buah pengetahuan baik dan jahat. Akan tetapi ketika manusia jatuh ke dalam dosa, mereka telah kehilangan patokan pertama dan tidak mungkin bagi mereka untuk hidup sesuai dengan patokan pertama yang diberikan Allah bagi mereka seperti di Taman Eden, sebab dosa dan penderitaan telah masuk. Maka, di dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa dan penuh dengan penderitaan ini, Allah memberikan “patokan yang baru” untuk hidup sebagai manusia, yaitu dengan memikul salib secara sukarela dan mengikut contoh dari Allah sendiri, yaitu Yesus Kristus, yang memilih untuk turun dan memberikan contoh bagi manusia dalam memikul salibnya masing-masing, walaupun Ia sendiri sebenarnya tidak berada di bawah kewajiban apapun untuk melakukannya, demi menunjukkan kasih-Nya kepada kita. Jadi dari perspektif ini, kita bisa melihat bahwa semua orang, baik orang percaya maupun orang tidak percaya, diberikan sebuah salib. Salib bukanlah sesuatu yang ditanggung oleh manusia sesudah pertobatan saja, melainkan sesuatu yang ditanggung oleh manusia bahkan sejak sebelum pertobatan – semua orang berada dalam perahu yang sama.

Demikian juga perbedaan antara seorang yang memikul salib sebelum pertobatan dengan sesudah pertobatan adalah bahwa mereka yang memikul salib sebelum pertobatan tidak mau menerima bahwa mereka menderita karena dosa, dan dengan demikian tidak memiliki baik kekuatan maupun alasan untuk memikul salib (mengatasi penderitaan) tersebut dengan penuh sukacita dan ucapan syukur. Tetapi bagi mereka yang memikul salib setelah pertobatan, mereka mengetahui bahwa mereka memikul salib atas kehendak Allah dan karena itu mampu memikul salib tersebut dengan penuh sukacita dan ucapan syukur sebagai respons terhadap firman Allah. Jadi, menjalankan penderitaan pun merupakan respons terhadap kehendak Allah. Dari dua perspektif mengenai penderitaan yang tertulis di atas, jelas terlihat bahwa hanya perspektif kedua yang dapat membuat seorang memikul salibnya dengan sukarela, sukacita, dan penuh ucapan syukur. Sekarang kita pasti dapat melihat dari antara kedua perspektif di atas, perspektif mana yang dimiliki oleh Calvin yang membuatnya mampu mengatasi segala penderitaan dalam hidupnya dengan anugerah Tuhan.

Maka terhadap penderitaan Calvin menantang para pembaca tulisannya, “Kita adalah orang-orang yang paling menyedihkan, jika kita tidak mampu menerima didikan-Nya ketika Dia ingin menyatakan kehendak-Nya yang baik dan kepedulian-Nya terhadap keselamatan kita. Alkitab menyatakan perbedaan antara orang-orang percaya dan orang-orang tidak percaya, yaitu orang-orang yang tidak percaya, mereka, sebagai budak-budak [yang terbelenggu di bawah kekerasan hati mereka] dan orang-orang yang berada di bawah jerat kesalahan yang mendalam, hanya [akan] menjadi lebih buruk dan lebih bersikukuh di bawah cambukan [Allah]; akan tetapi orang-orang percaya, seperti anak-anak yang bebas, akan yang berbalik pada pertobatan [oleh karena cambukan yang serupa]”. “Karena itu, sekarang, pilihlah”, lanjut Calvin, “pada kelas mana kamu berada.”[12]

 

Ian Kamajaya

Pemuda GRII Singapura

 


[1] The Godly Life of John Calvin, by Rev. Prof. Dr. Francis Nigel Lee.

[2] The New Schaff-Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge, Philip Schaff Vol. II: John Calvin.

[3] Institutes of the Christian Religion III, 9, 4.

[4] Calvin’s Commentary on Genesis 3:1-24.

[5] Institutes of the Christian Religion III, 23, 8.

[6] Institutes of the Christian Religion I, 17, 3.

[7] Institutes of the Christian Religion III, 23, 7.

[8] Institutes of the Christian Religion I, 2, 1.

[9] Institutes of the Christian Religion I, 2, 1.

[10] Institutes of the Christian Religion III, 8, 2.

[11] Harmony of the Evangelists, Commentary on Matthew 19:20-28, Mark 8:30-38, and Luke 9:21-27.

[12] Institutes of the Christian Religion III, 8, 6.