Dimiliki Allah, Apa Artinya?

Bicara mengenai kepemilikan, paling gampang orang memulai dari benda-benda yang kelihatan daripada hal-hal yang kurang atau tidak kelihatan. Uang biasanya menduduki urutan pertama daftar kepemilikan. Hampir tak ada yang menyebut “waktu” atau “kesempatan” atau “hikmat” atau “damai sejahtera” ketika dihadapkan pertanyaan “Apa yang kau pikirkan secara spontan jika ditanya tentang kepemilikan?”

Di kantor pajak, saya berpikir ulang tentang definisi kepemilikan dan harta kekayaan. Kepemilikan atas “yang terlihat” adalah tolak ukur universal. Mungkin itu sebabnya ketika kita melaporkan harta kekayaan ke kantor pajak, tak ada yang terpikir untuk melaporkan berapa banyak waktu yang kita punya. Kita mengikuti definisi harta kekayaan yang ditetapkan kantor pajak: uang, rumah, tanah, peralatan elektronik, dan sebagainya. Kantor pajak juga tak tertarik memajaki waktu kita. Kenapa? Sederhana, karena waktu bukan kekayaan dalam definisi mereka. Titik.

Inilah atmosfer yang melingkupi dunia ini, di mana orang Kristen juga ada di dalamnya. Definisi kekayaan atau kepemilikan yang diberikan dunia seperti tak terbantahkan. Sebuah contoh, coba tanyakan kepada orang bukan Kristen, atau bahkan sebagian orang Kristen “Mengapa bekerja?” Jawaban yang jamak adalah “Cari uang. Supaya gue bisa terus hidup.” Atau pernahkah membaca/mendengar kalimat celetukan “Orang miskin dilarang sakit” atau “Orang miskin dilarang sekolah”?

Kedua contoh di atas, menyatakan satu hal yang sama: pengakuan manusia atas kebergantungan penuhnya pada uang. Tanpa uang tak bisa makan, tak bisa sekolah, tak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, dan seterusnya. Dari lahir sampai mati, semua perlu dan pakai uang. Betapa hebatnya allah ekonomisme menjajahi pikiran dan hidup milyaran manusia di muka bumi. Ia telah memberi definisi yang mutlak, bahwa hanya dengan uanglah manusia bisa terus hidup. Eksistensi manusia tergantung dari kepemilikan atas harta terlihat, uang. Di dalam uang, kita bernafas. Di dalam uang, kita hidup. Terpujilah uang selama-lamanya! (Visi yang Membaharui, 170-171)
Konsep derivatif lain yang bisa ditarik dari contoh di atas adalah, bahwa manusia tak bertanggung jawab pada siapapun atas kepemilikan harta terlihatnya. Ordo Allah-manusia dipotong. Uang naik takhta, sehingga ordonya menjadi: uang-manusia, di mana uang adalah jalan dan keselamatan dan hidup. Relasinya tentu bukan antar pribadi. Relasinya adalah tuan (yang palsu dan jahat) dan hambanya yang setia. Tak ada tanggung jawab kepada tuan palsu ini, yang ada hanya ketaatan mutlak. 

Ordo Allah-manusia
Allah menciptakan manusia dari tidak ada menjadi ada atau yang kita sering dengar istilah ”creatio ex nihilo”. Implikasi dari doktrin ini adalah bahwa manusia tak mungkin ada tanpa Allah mencipta sehingga ia ada. Allah juga tak berhutang apa-apa pada siapa-siapa atas raw material menciptakan manusia (dan ciptaan lain). Dengan demikian, keberadaan manusia sepenuhnya hanya bergantung kepada-Nya, sepenuhnya hanya milik-Nya.

Ambil contoh, makan. Sadarkah ketika kita memasukkan makanan ke dalam mulut, mengunyahnya, menelannya, sistem tubuhlah yang kemudian mengerjakan tugasnya. Ia mencerna makanan itu, mengubahnya menjadi energi, menyalurkan nutrisi melalui darah, dan membuang residunya. Sekali lagi saya katakan sistem tubuhlah yang melakukannya. Bukan kita! Kita telah (dan harus) menerima bahwa kita mempunyai tubuh yang telah punya sistem sendiri. Given!!! Sesuai rancangan Pencipta tubuh. Maka keberlangsungan hidup natural kita diakui atau tidak, suka atau tidak, telah di-set sedemikian rupa oleh Yang Membuatnya. Saya tak dapat membayangkan jika saya yang lalai ini harus otonom, dan harus mengatur sendiri seluruh kerja tubuh saya. Saya tak akan pernah sanggup melakukannya! Begitu pula dengan allah ekonomisme, berapa lezatnya pun makanan yang sanggup dibelinya, dia tidak berkuasa mengatur jalan kerja tubuh kita baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui makanan terlezat itu.

Oleh karena itu, betapa kita berbahagia atas given-ness ini. Sekaligus betapa banyak ucapan syukur yang layak diterima-Nya yang tidak pernah kita kembalikan kepada Dia. Jadi, sadarkah kita bahwa “dimiliki Tuhan itu ternyata indah”?

Tetapi di sisi lain, dimiliki Tuhan juga susah, paling tidak dari kacamata manusia berdosa. Kepemilikan menunjukkan adanya posisi subjek-obyek. Dalam konteks orang Kristen, Tuhanlah subjek pemilik, kita obyek yang dimiliki. Tetapi Sang Subjek Pemilik itu mendesain obyek yang dimiliki-Nya bukan sebagai benda mati dan impersonal, melainkan sebagai subjek personal.

Sebagai Subjek Pemilik, Tuhan tentu berhak menetapkan aturan main atas subjek yang dimiliki, aturan-aturan yang pasti bertentangan dengan aturan main ilah-ilah zaman ini dan berlawanan dengan keinginan daging manusia. Maka bagi orang Kristen, ketaatan berarti perlawanan terhadap keinginan daging dan menuntut penyangkalan diri. Ketaatan berarti meninggalkan zona nyaman “atmosfer dunia” yang kita kasihi.

Lebih jauh lagi, bukan hanya ketaatan, tetapi juga subjek yang dimiliki dituntut bertanggung jawab kepada Subjek Pemilik. Hal ini tak diminta allah-allah lain, sebab bagi mereka manusia semata-mata obyek impersonal. Di hadapan allah-allah itu, manusia tak (mungkin) punya keinginan atau pilihan lain selain taat. Namun di hadapan Allah yang berpribadi, manusia tidak diperlakukan demikian. Manusia diciptakan sebagai subjek yang berpribadi, sehingga ia memiliki kemungkinan untuk membangkang, sekalipun ia didesain untuk mampu taat. Dengan demikian maka tuntutan pertanggungjawaban sangat relevan. Itulah manusia!

Dengan hidup taat dan bertanggung jawab kepada Sang Pencipta kita, kita menyatakan kemanusiaan kita yang seutuhnya. Sekaligus kita juga menyatakan siapakah Allah kita dan makna dimiliki oleh-Nya. Ehmm.. dimiliki oleh Allahkah kita?

Dini Y. Rachman
Pemudi GRII Pusat