Dipilih Sejak Semula? Sadis…

Percakapan Acong (A) dan Bohuat (B) di sebuah concert hall di Jakarta…
A: Aneh banget gila. Tuhan menentukan umat pilihan dari awal sebelum dunia diciptakan?
B: Iya. Lebih tepatnya menurut kedaulatan dan kehendak-Nya sih Cong.
A: Terus, lu uda ditetapin selamat, gua ngga. Klo gitu gua ngapain berbuat baik, ato lu bisa bebas berbuat jahat dong. Toh, lu udah ditentuin Tuhan untuk selamat dan gua ngga. Sadis Huat.
B: Liatnya bukan gitu Cong. Kita kan ga tau siapa yang Tuhan pilih.
A: Aaah ngeles lu. Gua mau tanya lagi Huat, Tuhan udah pilih yang selamat, Tuhan juga berarti secara ga langsung pilih yang ga selamat alias go to hell dong? Sadis banget.
B: Nah, itu gua kurang tau Cong. Gw tanya pendeta dulu yah..
A: Laah lu bukannya pendeta Huat??
B: Iya Cong tapi yang lu tanya gw kurang paham, mesti nanya yang senior dulu nih.
A: Hmm… (sambil menggaruk kepala yang tidak gatal)

Ide yang tebersit di pikiran Acong menjadi ide yang banyak orang Kristen gumulkan secara pribadi, baik ringan maupun hingga menjadi pergumulan yang begitu berat. Bukan secara kontekstual saja secara orang Kristen umum, namun sesungguhnya menjadi perdebatan yang panjang hingga menimbulkan perpecahan di kalangan Bapa-bapa Gereja kekristenan dari abad awal hingga zaman ini. Pada artikel ini akan dibahas mengenai doktrin pemilihan Allah sejak semula (sering kali dikenal sebagai Doktrin Predestinasi). Bagaimana kaitan kehendak atau kedaulatan Allah dengan kehendak atau kebebasan manusia (free will)? Untuk memulainya, kita harus mengetahui perkembangan doktrin ini seiring dengan waktu dan zaman yang terus berubah.

Runut Pijar Pandangan (Sejarah Gereja)
Periode Kuno (1-500 AD)
Selain dari Alkitab, kita juga dapat mempelajari Doktrin Pilihan dan Kebebasan Manusia dari Bapa-bapa Gereja Mula-mula. Thomas Torrance menekankan moralism sebagai tema, melebihi tema anugerah, yang menjadi standar atau norma yang dapat diterima. Kemudian tema ini dikembangkan oleh Clement of Alexandria dan John Chrysostom yang mengangkat mengenai kebebasan manusia (free will).

Pada abad ke-4 lahir dua orang besar yang membuat kontroversi Doktrin Predestinasi sepanjang sejarah Gereja, Agustinus dan Pelagius. Agustinus yang sempat memeluk Manichaeism dan kemudian Neoplatonism, tertarik dengan kekristenan lewat pengaruh Ambrose. Pandangan Agustinus adalah ide mengenai divine monergism, atau berdasarkan kedaulatan Allah yang mutlak. Setelah Adam jatuh, kehendak bebas manusia telah diikat dalam dosa. Karena original sin (dosa asal) ini, kehendak itu sudah dibengkokkan oleh dosa. Sehingga dosa menjadi hal yang tidak dapat terelakkan dan tindakan kita sepenuhnya menjadi tindakan berdosa. Prevenient grace (anugerah yang telah terlebih dahulu diberikan) menjadi dasar keselamatan, di mana anugerah ini bersifat partikular dan tidak umum. Agustinus menambahkan, bahwa alasan anugerah diberikan Tuhan pada orang tertentu dan tidak diberikan pada orang lain adalah rahasia penghakiman Tuhan Allah. Prinsip yang sepenuhnya milik Allah, dan manusia tidak seharusnya berspekulasi mengenai alasan Allah beranugerah.

Sedangkan Pelagius berbeda dengan Agustinus. Pelagius berpandangan mengenai ide tanggung jawab moral. Apabila Tuhan memercayakan tanggung jawab dalam hal tertentu, pasti Tuhan memiliki alasan sehingga kita diberi kekuatan untuk menjalankannya. Tentu Tuhan menjadi tidak adil apabila menuntut tanggung jawab manusia apabila sepenuhnya berdasarkan kedaulatan Allah (monergism, di sini Pelagius juga menggunakan istilah monergism namun memiliki arti berbeda, yakni hanya berdasarkan jasa manusia). Pelagius menolak original sin Agustinus, dan menurutnya semua orang memiliki kehendak untuk melakukan yang baik dan yang jahat. Anugerah Allah adalah wahyu Allah dalam kehendak moral. Meskipun kedua pandangan ini memiliki massa masing-masing, namun pandangan Pelagius akhirnya ditolak Gereja pada Konsili Efesus tahun 431.

Periode Medieval (500-1500 AD)
Pada periode ini muncul Semi-pelagianism, yakni pandangan yang menolak bondage of the will Agustinus, tetapi tidak setuju absolute free will Pelagius. Sehingga mereka mengembangkan doktrin baru di mana terdapat anugerah serta bantuan penghargaan Tuhan. John Cassian menulis, “Ketika (Tuhan) mulai melihat ada kehendak baik dari diri manusia, Dia menerangkan dan menguatkan lewat keselamatan.” Kemudian muncul juga aliran Semi-augustinianism di Synod of Orange (529).

Figur yang paling penting di zaman Medieval adalah Thomas Aquinas, yang mendukung dan menyetujui Agustinus. Ia menekankan providensia Allah, yang memercayai segala sesuatu ditentukan Allah, termasuk manusia. Pada zaman Medieval, selain Aquinas masih banyak orang lain yang sejalan dengan Agustinus, bahkan sebelum pada zaman-zaman sebelum Aquinas berada.

Periode Reformasi (1500 – 1700 AD)
Di dalam periode ini lahir pandangan protestan tentang predestinasi yang dikenal sebagai Calvinisme, tapi orang-orang seperti Martin Luther, Ulrich Zwingli, juga mengikuti pandangan dari Agustinus dan Aquinas.

Berawal dari perdebatan antara Luther dan Desiderius Erasmus tentang free will, di mana Erasmus lebih condong ke Semi-pelagian dan Luther berespons dengan tulisannya De Servo Arbitrio (On the Bondage of the Will). Luther setuju ada absolute free will, tetapi hanya milik Tuhan saja. Menurutnya segala bentuk sinergisme adalah theologi kemuliaan yang bersandar pada kebanggaan manusia, berbeda dengan theologi salib yang menghancurkan segala kebanggaan.

Di sisi lain, John Calvin menuliskan dalam karyanya yang besar yakni Institutes of the Christian Religion, bahwa Allah dalam kehendak-Nya yang kekal dan abadi menentukan baik dia yang diselamatkan maupun dia yang dihukum. Penerus Calvin, Theodore Beza, menekankan lebih kepada hal yang tidak ditekankan baik Luther dan Calvin yaitu philosophical theology. Sistem Beza lebih lengkap dan membangun brand calvinism yang lebih kuat.

Jacobus Arminius, yang belajar di Geneva Academy, menerima pendekatan basic theology yang diajarkan gurunya Beza, tetapi mempunyai pengertian yang berbeda tentang rencana keselamatan. Arminius percaya pandangan Calvin dan Agustinus tentang ketidakmampuan spiritual (spiritual inability), tetapi menambahkan yakni anugerah cukup untuk keselamatan yang diberikan kepada elect maupun non-elect people, di mana menurutnya anugerah (prevenient grace) itu universal dan potential (ditawarkan ke semua orang dan berpotensi untuk diselamatkan), berbeda dengan Calvin yang bersifat particular dan effective (bersifat terbatas tetapi secara efektif diselamatkan). Menurut Arminius faktor penentu keselamatan seseorang adalah kehendak orang itu (free will). Perbedaan dari kedua pandangan ini, Calvinism dan Arminianism, menimbulkan perseteruan di dalam Gereja.

Lalu, Synod of Dort (1618-19) merumuskan TULIP (Total Depravity – Unconditional Election – Limited Atonement – Irresistable Grace – Perseverance of the Saints), yaitu poin-poin dari ekstraksi pemikiran Calvin yang terkenal (istilah yang lebih dikenal masyarakat sebagai 5 poin Calvinism), sebagai respons terhadap 5 poin yang diajukan oleh Arminianism.

Periode Modern (1700-sekarang)
Nama yang begitu terkenal di periode modern adalah John Wesley dan George Whitefield, dua tokoh yang memberi kebangunan rohani besar di Inggris. Keduanya memiliki pandangan masing-masing, Whitefield mengikuti tradisi Calvin sedangkan Wesley mengikut Arminianism. Namun hal yang begitu menarik, di tengah perbedaan pandangan ini adalah mereka berdua bersahabat walaupun berjalan masing-masing dan keduanya memberi pengaruh dan menjadi berkat di tempat pelayanan masing-masing.

Lalu ada juga Charles Finney, yang memegang tradisi Arminianism, namun melampaui leluhurnya dan terkenal sebagai seorang yang ‘lebih arminian daripada Arminius’. Ia mengangkat ukuran baru dan berbagai cara praktikal untuk memaksimalkan respons terhadap khotbah.

Selain ada yang lebih arminian daripada Arminius, tentu juga ada yang lebih calvinist dibanding Calvin, atau yang disebut Hyper-Calvinism. Charles Haddon Spurgeon pernah bertemu dengan kaum hyperist ini dan Spurgeon dikritik tajam oleh seorang hyperist bernama James Wells. Salah satu poinnya adalah mengenai Tuhan yang mencintai umat pilihan namun membenci yang tidak.

Friedrich Schleiermacher memberi pandangannya tentang pilihan Allah, yakni dengan mengasumsikan semua orang pada akhirnya diselamatkan (universalist). Kesulitan dari Doktrin Predestinasi baginya tentu berkisar pada pertanyaan bagaimana mungkin Allah memilih sebagian dan menolak sebagian yang lain. Tetapi Schleiermacher mengasumsikan bahwa sejak awal Allah tidak dapat menolak siapa pun.

Karl Barth, seorang yang dilatih dalam theologi liberal, melayani di gereja Reformed di Swiss yang menganut tradisi Calvin. Barth bukanlah seorang liberal dan juga bukan seorang arminian ataupun calvinist tradisional. Ia meneguhkan double predestination (predestinasi yang melakukan pembagian kelompok orang yang akan ke sorga dan ke neraka), tetapi dengan christocentric twist. Jadi menurut Barth, Kristus yang mengalami double predestination. Kristus sebagai the elect Man dan sebagai the reprobate Man. Jika election teraplikasi kepada seluruh umat dalam Kristus dan reprobation teraplikasi dalam diri Kristus (sebagai sin-bearer), maka terlihat seperti semua orang diselamatkan. Namun, Barth menolak dengan tegas bahwa dirinya adalah universalist.

Hari ini
Hingga zaman sekarang, perdebatan dan perbedaan antara Calvin dan Arminius terus berlangsung. Di bangku gereja arminian lebih menonjol, namun di seminari calvinist lebih mendominasi. Kita telah menelusuri cerita mengenai election dan free will dari abad awal Bapa-bapa Gereja hingga sekarang. Isu monergism (hanya kedaulatan Allah) dan synergism (kedaulatan Allah dan respons manusia) membawa kita kembali pada Gereja Mula-mula dan mendapati bahwa masalah ini bukan berkaitan dengan konsensus sejarah Kristen. Kita tidak berurusan dengan Doktrin Allah Tritunggal atau dwinatur Kristus, di mana di konsili-konsili telah jelas ditetapkan di abad-abad awal (Konsili Nicea, Konstantinopel, Efesus, dan Chalcedon).

Namun, di dalam ortodoksi terdapat berbagai posisi mengenai pandangan election dan free will. Kita juga telah melihat banyak faktor yang memengaruhi pandangan seseorang terhadap kepercayaannya. Ketika sampai kepada keyakinan tertentu, kita dipengaruhi oleh konteks masa di mana kita berada dan pengaruh psikologis serta keyakinan Alkitabiah. Sering kali pandangan kita terhadap isu tertentu dipengaruhi oleh sesuatu yang secara khusus kita anggap penting.

Sebagai contoh, Pelagius yang menekankan kepada kebebasan manusia karena ia memiliki kekhawatiran yang dalam akan ketaatan seorang Kristen. Martin Luther, yang begitu tertangkap dengan kemurahan Allah semata dalam Doktrin Justifikasi, membuat pandangannya tentang predestinasi diperkuat dalam prinsip itu. Charles Finney yang mengangkat kembali kebangunan abad ke-19 membantu memperkuat pandangannya tentang inisiatif manusia dan bantuan ilahi.

Ini tidak berarti tidak ada pandangan yang salah, tetapi kita melihat bahwa setiap orang mempunyai alasan yang kompleks ketika menganut suatu pandangan tertentu. Hal ini juga tidak berarti timbul keputusasaan di dalam diri kita untuk mengetahui ajaran Alkitab, karena adanya lumpur yang mengotori air. Sejarah dari doktrin ini menunjukkan kepada setiap generasi betapa pentingnya untuk kita kembali kepada Alkitab, kepada firman Allah, dengan hati yang murni dan sejujur-jujurnya.

Pandangan Lain dan Pandangan Alkitab
Mari kita coba melihat sedikit pandangan lain yang penulis coba angkat untuk kita kenali bersama, yakni pandangan dari Eastern Orthodox. Terdapat 4 rumpun gereja besar. Pertama, Gereja Assyria Timur (Nestorian). Nestorius menganggap yang dilahirkan Maria adalah manusia Yesus dan bukan Firman Allah. Kristus adalah manusia yang dilekatkan Firman Allah (di-condemned dalam Konsili Efesus 431). Kedua, Gereja Ortodoks Oriental, Euthikes yang mengajarkan monofisit (satu wujud/kodrat Kristus), menurutnya kodrat kemanusiaan tenggelam dalam keilahian-Nya, analoginya adalah seperti susu di mana air sudah tidak disebut karena bercampur (di-condemned dalam Konsili Chalcedon 451). Ketiga, Gereja Ortodoks Timur (dianut Konstantinopel dan Eropa Timur) yang pada tahun 1054 berpisah dengan Gereja Katolik Roma/Barat. Keempat, Gereja Barat atau Latin. Hingga saat ini masih ada penganut dari pandangan Gereja Assyria Timur, Gereja Ortodoks Oriental, dan Gereja Ortodoks Timur, namun tidak dalam jumlah yang besar.

Gereja Ortodoks Timur percaya, di dalam kekekalan Allah memilih orang yang diselamatkan dan menghukum orang yang ditolak, tetapi tidak percaya Allah melakukan hal ini tanpa alasan. Kuncinya, ketika percaya predestinasi, mereka tidak percaya kalau tanpa alasan. Alasannya bukan pada kedaulatan Allah, seperti pada unconditional election calvinist, namun pada kehendak bebas manusia. Mengenai total depravity (kerusakan total) juga ditolak oleh Ortodoks Timur. Menurut mereka ada kesalahan Agustinus dalam menginterpretasi Roma 5:12. Karena Agustinus tidak berbahasa Yunani, tetapi ia membaca dari versi Latinnya. Konsep Agustinus tentang keadilan Allah banyak dipengaruhi oleh teori hukum yuridis ala Romawi, yang juga dipertegas Anselmus dan Calvin yang sama-sama ahli hukum, yaitu konsep murka/hukuman Allah atas dosa (Kristus sebagai tebusan untuk menjembatani).

Pandangan Gereja Timur mengenai konsep keadilan ‘dikaiosune’ adalah terjemahan dalam pemaknaan semitiknya, yakni ‘tsadeka’ dekat dengan ‘khessed’ (belas kasih) dan kebenaran (tsadik). Penderitaan karena dosa bukan dimaknai sebagai hukuman, tapi konsekuensi logis dari sikap menjauhi Allah. Mereka tidak percaya konsep Kristus sebagai tebusan. Mengenai original sin juga mereka tolak, mereka memercayai ancestral sin. Gereja Ortodoks percaya konsekuensi yang dialami manusia karena hukuman atas kesalahan Adam, ada kecenderungan alamiah untuk berbuat dosa karena image of God yang rusak, tetapi tidak percaya dosa melekat sejak awal dalam diri tiap manusia karena warisan dosa Adam.

Mereka juga menentang pandangan Protestan dengan begitu jelas yakni menolak kebenaran (atau dibenarkan) hanya berdasarkan anugerah melalui iman (by grace through faith alone), tetapi lewat iman dalam kasih, atau dengan kata lain dengan usaha manusia (faith and works). Menganggap sebagai bidat yang keji bila memercayai Allah yang ketika menentukan tidak mempertimbangkan usaha manusianya, itu adalah pandangan duniawi menurut mereka.1 Calvin dianggap memiliki pandangan theologi yang sempit karena tidak mengacu kepada konsensus patristik, kesaksian Bapa-bapa Gereja2, seperti Justin Martyr, Cyril of Jerusalem, John of Damascus, dan lain-lain. Calvin dianggap hanya bersandar pada pandangan Agustinus. Menurut Gereja Timur seberapa hebat Agustinus pun, ia hanya merupakan satu di antara yang lain.

Untuk mengerti dengan lebih jelas, kita akan menyelidiki beberapa pandangan yang diberikan Alkitab baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.

Perjanjian Lama
Pertama, pemilihan Abraham dan Yakub. Cerita tentang pemilihan Allah berawal dari Perjanjian Lama di mana Allah memasuki perjanjian-Nya lewat satu orang yakni Abraham. Pemilihan Allah kepada Abraham adalah contoh yang begitu luar biasa. Tuhan memanggil Abraham keluar dari tanah Ur dan berjanji untuk memberkatinya, dan melaluinya Tuhan akan memberkati banyak bangsa (Kej. 12:1-3, 17:7). Kemudian anak Ishak yakni Yakub, dipilih Tuhan dari semula untuk meneguhkan rencana pemilihan Allah (Rm. 9:11). Walaupun kita tahu Yakub adalah seorang penipu (Kej. 27:19, 24, 35; 31:20, 31). Allah menjanjikan suatu bangsa yang besar dari Yakub (Kej. 25:23; Mal. 1:2-3).

Kedua, pemilihan bangsa Israel. Pemilihan Allah bermula dari Abraham dan Yakub, tapi merujuk kepada pemilihan-Nya terhadap bangsa Israel (Ul. 7:7). Allah memilih berdasarkan kasih-Nya (Ul. 4:37; 10:15). Allah memilih secara khusus bangsa Israel dan bukan bangsa-bangsa lain (Ul. 7:6; 10:15; 14:2). Walau ada yang berpikir tidak adil, tetapi itu adalah anugerah Allah kepada salah satu bangsa berdosa di antara yang lain, yang harusnya menerima penghakiman Allah. Ada tanggung jawab yang besar sebagai umat perjanjian. Israel harus menghidupi kehidupan yang kudus dan takut akan Tuhan. Alkitab menuliskan kegagalan umat Israel yang berkali-kali merusak perjanjian dengan Allah dan mendatangkan murka-Nya. Maleakhi mencatat Israel yang terus melawan Tuhan, sehingga hanya tersisa sedikit yang percaya (Mal. 3:16-18). Pemilihan Allah tidak berakhir di sini karena Ia mengingat janji-Nya kepada Abraham. Seperti yang telah dinubuatkan Yesaya (Yes. 42:1), Tuhan akan mengirim hamba-Nya yang Ia perkenan untuk segala bangsa, melakukan apa yang gagal dilakukan oleh bangsa Israel.

Perjanjian Baru
Cerita Alkitab dari PL ke PB merujuk kepada Kristus sebagai Mediator dari Perjanjian Baru. Pertama, pemilihan Yesus. Matius mencatat ketika Yesus menyembuhkan orang yang mati sebelah tangannya, orang Farisi berniat membunuh Yesus. Pada saat Yesus meminta untuk tidak memberi tahu siapa Dia, Ia menggenapkan nubuatan Yesaya, “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya…” (Mat. 12:19-20 mengutip Yes. 42:2-3). Matius mengidentifikasi Yesus sebagai Hamba yang dipilih Allah (Mat. 12:18 mengutip Yes. 42:1). Yesus juga dipilih? Sama seperti Abraham, Ishak, dan bangsa Israel? Lukas menjawab dalam dua tempat mengindikasikan Yesus yang dipilih Allah. Pertama adalah saat transfigurasi Yesus di gunung, ketika Ia sedang berdoa bersama Petrus, Yohanes, dan Yakobus, kemudian Musa dan Elia menampakkan diri dalam kemuliaan (Luk. 9:28-31). Kemudian awan menaungi mereka menyatakan kehadiran Tuhan dan Bapa berkata, “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia.” (ay. 35; Ul. 18:15). Yesus diutus ke dunia untuk menjadi Nabi dan Penebus manusia. Petunjuk pada ayat 31, kata ‘kepergian-Nya’ adalah exodus dalam Yunani, yang sesuai dengan karya penebusan dalam PL. Kematian Yesus adalah eksodus Perjanjian Baru yang menebus semua yang percaya pada-Nya. Kemudian pada Lukas 23:35, secara tidak disengaja, orang banyak menyebut Yesus sebagai orang yang dipilih Allah. Memang benar! Yesus dipilih untuk mati disalib bagi orang berdosa.

Kedua, misi Yesus. Pemilihan Kristus bertujuan menjadi sama dengan kita adalah untuk menebus kita. Yesus sama seperti kita sebagai manusia yang dipilih Allah. Tetapi pemilihan Kristus tidak sama dengan kita, di mana kita yang dipilih adalah manusia berdosa yang diselamatkan sedangkan Kristus manusia yang tidak berdosa yang adalah Penyelamat.

Ketiga, pengajaran Yesus. Grant Osborne mengatakan, “Motif pemilihan adalah elemen penting dalam theologi Yesus.” Yesus mengajarkan tentang pilihan dalam Injil Yohanes, menggunakan gambaran pemberian Bapa mengenai keselamatan sebelum percaya pada-Nya. Pada saat Yesus berkata, “Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku” (Yoh. 6:37), Ia mengajarkan predestinasi yang mendahului iman dan menghasilkan iman.

Selain menunjukkan pemilihan Yesus, Perjanjian Baru juga menunjukkan pemilihan dua belas murid. Yesus merencanakan untuk membangun Israel baru dan Ia memilih keduabelas murid (Luk. 6:13-16; Mat. 10:1-4; Mrk. 3:13-19). Matius menyebutkan keduabelas murid Yesus sebagai keduabelas rasul. Pilihan Yesus ini adalah pemilihan historis di mana Yudas Iskariot termasuk di dalamnya. Tidak seperti yang sebelas lain, Yudas hanya dipilih secara historis dan tidak dalam kekekalan. Alkitab secara konsisten menyatakan kesalahan Yudas sendiri yang adalah orang fasik dan melawan Tuhan (Yoh. 12:4-6; 13:21, 26-30; 18:2-5). Mengapa Yesus memilih dua belas dan bukan lima atau tujuh? Karena Ia menggunakan angka ‘dua belas’ sebagai makna simbolik yang mengindikasikan bahwa Ia memilih dua belas orang untuk menggantikan dua belas suku Israel. Ini menjelaskan mengapa para murid memilih murid yang menggantikan Yudas setelah ia mengkhianati Kristus. Alkitab mencatat Matias terpilih menggantikan Yudas.

Di akhir pelayanan-Nya, Yesus mengatakan bahwa di hari Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan, kamu akan mengikuti Aku, dan akan duduk di atas dua belas takhta untuk menghakimi keduabelas suku Israel (Mat. 19:28; Luk. 22:30). Di akhir cerita Alkitab, Yerusalem Baru muncul, dan kota Allah terdiri dari dua belas pintu gerbang (Why. 21:12). Tembok kota itu mempunyai dua belas batu dasar dan di atasnya tertulis nama kedua belas rasul Yesus (Why. 21:14). Yesus memilih dua belas murid untuk menyertai Dia (Mrk. 3:14) dan untuk menjadi rasul, yang memberitakan Injil. Ini mengindikasikan dua belas suku Israel telah gagal menjalankan misinya dan berniat memanggil dua belas murid untuk melakukan apa yang gagal dilakukan dua belas suku. Yesus, sebagai Israel sejati, akan membangun Israel yang baru melalui dua belas rasul. Caranya dengan menjadi saksi kebangkitan-Nya. Melalui proklamasi para rasul, gereja Perjanjian Baru dibangun.

Baik PL maupun PB dengan begitu jelas menyatakan Allah yang memilih dalam rencana kekekalan-Nya baik Abraham, Yakub, bangsa Israel, dan yang kemudian digenapi dalam Kristus yang Tuhan pilih sebagai Penebus. Begitu pun dengan dua belas rasul, telah dipilih Allah dalam kedaulatan-Nya. Ajaran Gereja Timur yang tidak melihat Kristus sebagai tebusan (atau jembatan penghubung antara Allah Bapa dan manusia) jelas tidak sesuai Alkitab. Kristus sebagai tebusan telah jelas dinyatakan dalam Taurat. Ketika tulah ke-10 menimpa bangsa Mesir, harus ada darah anak domba yang dikorbankan. Kristus harus menjadi tebusan. Demikianlah kedaulatan Allah tidak menghilangkan tanggung jawab manusia, sedangkan kita sering kali jatuh di salah satu sisi (memberi penekanan hanya kepada salah satu saja). Menanggapi ancestral sin ajaran Gereja Timur, kita sebenarnya tidak bisa memungkiri pengertian Alkitab yang sudah begitu jelas menyatakan semua manusia telah berdosa dan tidak ada yang benar (Rm. 3:10, 23; 5:12). Bayi yang baru lahir pun tidak perlu diajarkan untuk berdosa sudah bisa berdosa. Memang sebagai manusia yang hanya ciptaan kita tidak mungkin bisa mengerti Allah sepenuhnya. Tetapi sering kali pikiran kita lebih dipengaruhi doktrin atau konsep dunia dibanding Alkitab ketika menyatakan ketidakadilan Allah.

Reasons Why People are Saved and Condemned
Alkitab memberi jawaban mengapa kita diselamatkan. Pertama, mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita. Ayat-ayat dalam Alkitab memberitahukannya kepada kita, seperti pada Yohanes 1:12; Roma 10:9; 1 Petrus 1:8b-9. Kedua, Roh Kudus membuka hati kita kepada Injil. Kita melihat sepanjang sejarah serta cerita Alkitab di mana kejatuhan manusia dalam dosa membuat manusia tidak mampu untuk percaya kepada karya keselamatan. Tetapi Tuhan sendiri yang sesungguhnya bekerja terlebih dahulu dalam hati kita (Kis. 16:14; 1Kor. 12:3). Allah membuka hati kita kepada Kristus, dan Roh Kudus memampukan kita mengakui Yesus adalah Tuhan (Yoh. 6:44). Ketiga, kita selamat karena Kristus mati dan bangkit untuk menyelamatkan. Seseorang tidak diselamatkan hanya karena percaya fakta historis tentang Yesus. Orang bisa percaya segala kebenaran tentang Yesus tetapi tidak selamat. Iman keselamatan berarti percaya Kristus yang mati dan bangkit untuk menyelamatkan orang berdosa (1Kor. 15:3-4; Kis. 16:31). Keempat, kita selamat karena Bapa telah memilih sebelum penciptaan. Alasan utama kita diselamatkan adalah karena Bapa terlebih dulu memilih dan mengasihi kita sebelum dunia diciptakan (Ef. 1:4; 2Tim. 1:9; Why. 17:8).

Manusia yang dihukum Allah juga dinyatakan di dalam Kitab Suci. Pertama, karena actual sin kita. Kita dihakimi Allah karena kesalahan mengggunakan free will kita (Hos. 4:9; Yoh. 5:28-29; Rm. 2:8-9; Gal. 6:7-8). Penghakiman Allah berdasarkan apa yang kita pikirkan (1Kor. 4:5), ucapkan (Mat. 12:36), dan perbuat (Why. 20:12-13). Kedua, karena original sin dari Adam. Adam sebagai manusia pertama dan wakil seluruh umat manusia yang jatuh dan berdosa (Rm. 5:12-19). Ketiga, manusia dihukum Allah karena Allah membuang (passed over, reprobate). Dalam Yoh. 10:25-28 Yesus mengatakan hal yang mungkin terbalik dari yang kita pikirkan. Yesus tidak mengatakan, “Kamu bukan domba-Ku karena kamu tidak percaya,” melainkan berkata, “Kamu tidak percaya karena kamu bukan domba-Ku.” Tuhan memilih dan membagi siapa yang adalah domba-Nya dan siapa yang bukan (mana domba dan mana kambing). Yesus berkata domba-Nya mendengarkan suara-Nya dan mengenal-Nya, dan mengikuti-Nya. Tetapi kepada kambing Ia berkata, “Kamu tidak percaya karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku.” Inilah reprobasi. Tuhan memilih siapa yang Ia tidak selamatkan. Petrus juga mengatakan hal serupa dalam suratnya (1Ptr. 2:7-8 mengutip Mzm. 118:22; Yes. 8:14).

Penutup
Acong menganggap pemilihan Allah itu sadis adanya, di mana Allah telah menentukan sejak semula siapa umat-Nya dan siapa yang bukan. Sadis! Begitu katanya. Sadis! Sadis! Itu yang seharusnya Bohuat kembali katakan pada Acong. Sadis kalau tidak memercayai Allah yang berdaulat dan merupakan satu-satunya Pribadi yang berhak untuk menentukan segala sesuatu di dalam rencana kekekalan-Nya. Sadis! Siapa kita berhak menentukan apa kehendak dan kedaulatan Allah? Karena Allah adalah Allah dan kita bukan Allah. Allah berhak menentukan segala sesuatu, dan segala sesuatu dijadikan oleh Dia (Yoh. 1:3). Respons kita terhadap Doktrin Predestinasi adalah bukan meragukan atau mempertanyakan, melainkan bersyukur kepada Tuhan. Bersyukur dengan segala kerendahan hati melihat Tuhan yang mau memilih sampah seperti kita. Bertekun dalam hidup kudus sebagai umat pilihan Allah tidak seperti yang gagal dilakukan bangsa Israel, serta berserah dan percaya sepenuhnya pada Tuhan. Kiranya Tuhan memimpin kita untuk berespons dengan benar.

Hansen Wiguna
Pemuda GRII Bandung

Referensi:
1. An Eastern Orthodox View of Predestination
2. Plucking the TULIP (1) – An Orthodox Critique of the Reformed Doctrine of Predestination
3. Robert A. Peterson. Election and Free Will. New Jersey: P&R Publishing, 1948.
4. Insight dari Risdo Simangunsong, seorang Eastern Orthodox.