Ecce Homo

Istilah di atas merupakan terjemahan Yohanes 19:5 dari Alkitab Vulgate. Vulgate adalah Alkitab berbahasa Latin yang diterbitkan pada awal abad kelima yang sebagian besar merupakan karya dari Jerome. Ia mendapat tugas dari Paus Damasus I pada tahun 382 untuk membuat revisi dari terjemahan Latin yang lama. Ecce Homo atau dalam bahasa aslinya (Yunani) “dou ho Anthrōpos” dalam Alkitab bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi: “Lihatlah Manusia itu!”

Pontius Pilatus mengucapkan kata-kata di atas ketika membawa Yesus dari Nazaret yang sudah babak belur, diikat, dan bermahkota duri ke hadapan publik Yahudi yang menginginkan kematian Yesus. Adegan ini kemudian tersebar luas dalam lukisan-lukisan Kristen Abad Pertengahan yang kerap menggugah kesadaran jiwa.

Salah satu lukisan Ecce Homo telah mengubah hidup seorang bangsawan muda bernama Count Nicholas Ludwig von Zinzendorf (1700 – 1760).  Saat melakukan Grand Tour (sebuah perjalanan menjelajahi Eropa yang menjadi tradisi kalangan muda kelas atas Eropa untuk melengkapi pembelajaran mereka), Zinzendorf mengunjungi sebuah museum seni di Dusseldorf. Di situ ia melihat lukisan karya Domenico Feti berjudul Ecce Homo. Di bawah lukisan Kristus yang menderita tersebut tertera sebuah tulisan berbunyi: “Ini yang telah Kulakukan untukmu – Sekarang apa yang engkau akan lakukan bagi-Ku?” Bangsawan muda tersebut sangat tergerak hatinya dan berjanji untuk menyerahkan hidupnya melayani Kristus. Zinzendorf kelak memulai gerakan Protestant World Mission yang merintis misi-misi kekristenan ke berbagai penjuru dunia.

Ecce Homo tidak hanya memengaruhi Zinzendorf, tetapi juga telah mempengaruhi seorang tokoh penting lain. Berbeda dengan Zinzendorf yang digerakkan lewat lukisan, tokoh kedua ini tergerak untuk menulis sebuah buku dengan judul yang serupa. Bukunya berjudul “Ecce Homo: How One Becomes What One Is”. Penulisnya adalah Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 – 1900). Ini adalah judul buku terakhir yang ditulis Nietzsche pada tahun 1888 sebelum filsuf tersebut menjadi gila sampai akhir hidupnya. Buku yang secara historis menjadi pernyataan otobiografinya, sesungguhnya adalah sebuah buku yang menyanjung dirinya sendiri. Jadi, judul bukunya tidak dimaksudkan untuk menarik sebuah paralel dengan Kristus tetapi sebagai sebuah kontra yang menyatakan bahwa Nietzsche sesungguhnya adalah “manusia itu”.

Dua tokoh yang digambarkan di atas menjadi dua buah pilihan respons saat seseorang diperhadapkan kepada “Manusia itu”, Anak Manusia yang datang untuk menjalankan seluruh kehendak Bapa-Nya. Pada paskah kali ini kita diperhadapkan kembali dengan peristiwa Ecce Homo. Apa yang akan menjadi tanggapan kita? Zinzendorf dan Nietzsche, keduanya berasal dari keluarga Kristen yang taat, bahkan Nietzsche berasal dari keluarga pendeta Lutheran. Tetapi keduanya memberikan respons yang berbeda terhadap iman Kristen yang telah mereka kenal dari lahir. Thus, apa yang ingin saya sebenarnya sampaikan pada Anda kali ini? Ecce Homo!

 

Ev. Maya Sianturi

Pembina Remaja GRII Pusat

Kepala Sekolah SMAK Calvin