Kebanyakan orang tak tertarik untuk mempelajari filsafat padahal setiap kita punya filsafat. Kita melihat dunia, merasakan apa yang kita lihat, dan mengambil keputusan untuk bertindak sesuai dengan filsafat kita masing-masing. Masalahnya hanya sedikit orang yang menyadari filsafat apa yang ia pakai karena untuk mengetahuinya dibutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk berpikir secara jernih dan konsisten. Tak ada orang yang tak dipengaruhi filsafat. Semakin sedikit ia mempelajari filsafat, semakin besar pengaruh filsafat yang secara tak sadar ia hidupi dengan taat. Pernah dengar orang mengatakan, “Buat apa belajar filsafat? Yang paling penting itu ilmu-ilmu yang ada hasilnya secara nyata. Kedokteran, teknik, akunting, atau desain grafis misalnya. Ngapain belajar sesuatu yang nggak ada kesimpulannya dan nggak memberikan pengaruh nyata buat kehidupan kita?” Orang semacam ini adalah penganut pragmatism yang fanatik. “Saya orangnya nggak fanatik kok, semua itu kan berpulang pada kepercayaan masing-masing orang. Kalau kamu pikir itu benar, ya sudah, itu benar buat kamu; semua itu kan ada benarnya sendiri-sendiri, tiap orang lain-lain.” Nah, orang ini adalah penganut relativism yang pasti mengabsolutkan dirinya kalau ditentang.
Berdasarkan filsafat kita ini setiap hari kita mengambil ratusan, bahkan mungkin ribuan keputusan yang pada akhirnya keseluruhan keputusan itu mengarahkan seluruh hidup kita. Siapapun kita, kita akan cenderung mengambil keputusan berdasarkan apa yang kita pikir, anggap, atau rasa benar. Paling tidak kita akan berusaha untuk membenarkan keputusan yang telah kita ambil. Dengan demikian apa yang kita pikir sebagai benar atau salah akan mengarahkan hidup kita. Masalahnya, sangat sedikit orang yang mau meluangkan waktu untuk memikirkan proses yang membawa kita untuk menerima sesuatu sebagai benar atau salah. Sebagai contoh, sebagian orang yang tidak pergi ke gereja adalah orang yang tidak percaya bahwa Tuhan itu ada. Mereka mengambil keputusan-keputusan penting dan menjalani hidup berdasarkan asumsi ini. Demikian kita yang tiap minggu pergi ke gereja, tiap hari berdoa beberapa kali (terutama setiap kali berhadapan dengan sepiring nasi), kita mengambil keputusan-keputusan berdasarkan asumsi bahwa Tuhan itu ada. Tapi kita meluangkan waktu dan upaya yang terlalu sedikit untuk memikirkan bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan yang kita pakai sehari-hari ini.
Dalam artikel ini kita akan meluangkan sedikit waktu untuk melihat-lihat (secara dangkal tentunya) bagaimana proses dasar filsafat yang dalam bahasa keren-nya disebut epistemologi ini terjadi—kemungkinan-kemungkinan apa saja yang ada dan bagaimana kita sebagai orang Kristen seharusnya berpikir dan menjawab dunia.
Cara Pra-Modern: Udah, Percaya Aja!
“Ya memang begitu,” “Dari dulu juga begitu,” “Nggak usah banyak tanya, jangan macem-macem,” “Kata pak guru ….” Inilah cara orang berpikir sebelum masuknya modernisme. Sesuatu dianggap benar karena orang tua, guru, orang bijak, kepala kampung, Pak Pendeta juga ngomong begitu. Itu benar karena pihak yang punya otoritas mengatakan demikian. Bagi saya orang-orang masa kini pun masih banyak yang memakai epistemologi jenis ini. Kebanyakan kita tidak betul-betul paham apa yang salah dengan Arminianisme misalnya (bahkan banyak yang baru kali ini denger istilah ini). Kita mengatakan Arminianisme salah karena denger-denger Pak Pendeta mengatakan demikian, atau lebih parah lagi, denger-denger ‘ada yang bilang’ itu salah. Jenis ini bisa membuka peluang bagi kemalasan berpikir dan kesimpangsiuran serta penindasan melalui ‘cuci otak’[1] jika pihak yang berotoritas saling konflik atau menyalahgunakan otoritasnya. Inilah yang terjadi pada Katolik Abad Pertengahan Akhir, zaman Orde Baru dengan penyuluhan-penyuluhan P4 dan propaganda-propagandanya, bahkan sampai kini setiap kali musim kampanye parpol. Itulah sebabnya muncul orang-orang seperti Socrates di zaman Yunani kuno, atau Descartes, Locke, dan Hume di zaman modern.
Cara Modern: Ah, Masa Sih?
Konteks Sejarah: Problem Skeptisisme
Dalam membahas awal mula modernisme (yang memakai Foundationalism sebagai epistemologinya), orang biasanya memulai dari Descartes. Sebenarnya, menurut Toulmin orang harus mundur enam puluh tahun dan mulai dari seorang tokoh skeptis, Michel de Montaigne (lahir: 1533), yang tulisan-tulisannya sangat dikagumi baik oleh Descartes maupun Bacon. Proyek keraguan Descartes dalam Meditations (1639-1640) tidak lain hanyalah langkah balasan bidak hitam menjawab langkah pertama bidak putih Montaigne dalam Apology of Raimond Sebond (1570-1580). Di tengah-tengah atmosfer perang dogma akibat Reformasi, dalam Apology-nya Montaigne memakai skeptisisme Yunani kuno sebagai jalan keluar dari kekacauan epistemologi. Montaigne-lah (bukan Descartes) yang pertama-tama menulis,
“Kecuali kita dapat menemukan satu hal saja yang benar-benar pasti, kita tak akan dapat pasti mengenai apa pun juga.” (Montaigne) percaya tidak ada kebenaran umum yang mungkin untuk benar-benar pasti dan menyimpulkan bahwa kita tak dapat mengklaim kepastian mengenai apapun juga.
Sekitar enam puluh tahun kemudian, duduk di sofa Belanda yang mewah di depan perapian saat musim dingin tahun 1639, Descartes membulatkan tekad untuk menjawab skeptisisme Montaigne ini. Perang Tiga Puluh Tahun dan terutama kondisi Descartes yang mendapat tahanan rumah dan diancam penyiksaan oleh Inquisition akibat mendukung pandangan astronomi dari Copernicus, telah mendorongnya menjawab tantangan Montaigne. Ia menetapkan diri untuk tenang, bermeditasi, mengadakan ‘housecleaning’ dalam pikirannya untuk menyusun ulang pengetahuannya.
Descartes, dan juga Bacon sangat curiga dengan tradisi dan otoritas. Seperti telah diutarakan sebelumnya, zaman itu otoritas (Gereja) yang mengatasnamakan tradisi (dan Tuhan) memang bejat. Sebagai penguasa mereka telah memperalat otoritas dan tradisi demi kepentingan politik busuk mereka, kebenaran diputarbalikkan demi kepentingan golongan. Maka didorong kerinduan (yang murni?) untuk memurnikan kebenaran, Descartes dan Bacon menetapkan diri untuk mengkritisi tradisi. Bacon mengambil jalur observasi empirik, sedangkan Descartes perenungan Metafisis-rasionalistik. Hal inilah yang membuat mereka bersikap negatif terhadap tradisi dan mendorong tiap orang untuk memikirkan ulang sendiri segala sesuatunya secara rasional (Descartes) atau mengeceknya terhadap pengamatan empiris (Bacon). Dari sinilah berasal sikap individualistik modern dalam mencari kebenaran. Ukuran kebenaran (otoritas epistemologis) bergeser dari otoritas eksternal (dalam hal ini Paus, yang mengatasnamakan Tuhan) ke internal (dalam hal ini rasio dari tiap individu pemikir).
Dalam memeriksa ulang setiap kepercayaan yang dipegangnya, Descartes melakukan editing ketat atas sistem kepercayaan yang diperolehnya sejak muda. Dalam Meditations yang ditulisnya selama musim dingin 1639-40 dan diterbitkan pada tahun 1641, Descartes menulis:
… Aku yakin bahwa aku harus, sekali untuk selamanya, dengan serius membebaskan diri dari semua opini yang telah kuterima selama ini, dan mencoba untuk membangun ulang dari fondasi (yang baru), jika aku ingin menetapkan sebuah struktur yang kokoh dan permanen di dalam sains.
Segala sesuatu yang tidak lolos uji keraguan ini harus dibuang, karena jika kita membangun struktur kebenaran di atas dasar yang salah/rapuh, kerumitan masalah akan menjadi berlipat-ganda. Fondasi pengetahuan haruslah kebenaran yang tak dapat diragukan (indubitable).
Descartes berniat mendirikan bangunan kebenarannya hanya atas dasar yang sungguh-sungguh kebenaran; dan bagi dia kebenaran haruslah tak dapat diragukan. Sedikit saja keraguan ditemukan dalam suatu pernyataan sudah cukup bagi Descartes untuk membuang kepercayaan itu. Sendirian, di depan perapian, di atas sofa Belandanya yang nyaman, Descartes bersikeras mencari dasar yang tak tergoyahkan bagi sistem kepercayaannya.
Sekarang kita bisa melihat dengan jelas bahwa Descartes sebenarnya sedang berusaha untuk mencari jalan keluar dari kekalutan zamannya, dan ia melihat bahwa kekalutan itu disebabkan oleh kekacauan epistemologi. Seperti juga Bacon, Descartes tidak puas dengan sikap skeptis-nihilistik dari Montaigne. Ia berusaha menghindari skeptisisme Montaigne dengan mencari “satu hal yang pasti yang membuat kepastian-kepastian lain mungkin”, yang tidak berhasil ditemukan oleh Montaigne sehingga menyebabkannya berakhir pada kesimpulan yang skeptis-nihilistik. Descartes membulatkan tekadnya untuk membuktikan bahwa epistemologi tidak harus berakhir pada jalan buntu.
Dengan begini Descartes memakai sikap skeptis untuk menghancurkan skeptisisme Montaigne. Tidak seperti Montaigne, Descartes tidak pernah memaksudkan kepercayaan yang dipegangnya selama ini salah total atau tidak ada satu pun yang benar sehingga ia harus terus-menerus meragukan kepercayaannya tanpa henti. Hanya saja, jika kita ingin membangun struktur kebenaran yang ‘kekal’, maka kita harus memperlakukan kepercayaan yang hanya sekedar uncertain sama skeptisnya dengan kepercayaan yang lain yang jelas-jelas salah. Standar keraguan yang dipakai untuk menguji setiap belief haruslah sama ketat. Ia memakai skeptisisme (keraguan) yang berlebihan (extravagant) untuk mengidentifikasi kepercayaan-kepercayaan yang tak dapat diragukan dari kepercayaan-kepercayaan lain yang dapat diragukan. Descartes berharap (dan dalam hal ini ia percaya tanpa ragu)bahwa dengan meruntuhkan bangunan kepercayaannya yang lama secara terus-menerus dengan menggunakan keraguan skeptis sebagai martilnya, suatu saat ia akan menyentuh rock bottom—suatu kepercayaan yang betul-betul tak dapat diragukan/diruntuhkan lagi. Pada bagian selanjutnya kita akan melihat bahwa di akhir pencariannya, Descartes menemukan bahwa kebenaran dasar yang tak dapat diragukan itu adalah keberadaan dirinya yang sedang ragu, Je pense, donc je suis atau cogito ergo sum.
Di sinilah, bagi Descartes keraguan harus berhenti, dan di atas fondasi ini kita dapat mulai membangun struktur kepercayaan baru yang terjamin kebenarannya. Descartes berhasil membuktikan bahwa ujian skeptis bagi kepastian tidak harus berakhir dengan skeptisisme-nihilistik. Inilah titik awal berdirinya Epistemologi Modern.
Epistemologi Modern: Foundationalism
Setelah meninjau latar belakang sejarah pergumulan Descartes dan orang-orang sezamannya, kita akan meninjau lebih dekat proyek yang mereka kerjakan. Pertama-tama kita akan melihat metodologi Descartes, apa-apa saja yang menjadi perhatian utamanya, masalah yang ingin dijawabnya, solusi yang diusulkan Descartes, dan perkembangan lebih lanjut dari proyek epistemologisnya yang dikembangkan oleh para pengikutnya.
Metode Epistemologi Descartes
Descartes menggunakan keraguan (doubt) untuk menggempur ‘bangunan rapuh’ kepercayaan (yang kemungkinan besar didirikan ‘di atas pasir’) yang telah bertahun-tahun dianutnya. Kepercayaan (belief) yang tersisa, yang dapat bertahan terhadap segala macam gempuran dan telah terbukti tak dapat diragukan (indubitable) digunakan sebagai dasar (fondasi) bangunan pengetahuan yang baru. Descartes berasumsi, jika kita hanya menarik kebenaran-kebenaran yang lain dari dasar ini saja (secara deduktif murni), maka bangunan kebenaran yang dibangun di atasnya dapat dijamin benar sejauh kebenaran dasarnya tak dapat diragukan.
Dalam bagian ke-2 Discourse on the Method Descartes mengusulkan empat aturan yang menjadi jantung epistemologinya, yaitu:
- Aku tidak menerima apa pun sebagai kebenaran selama kebenarannya tidak kukenali secara jelas. Aku menghindari dengan waspada praduga di dalam menilai, dan tidak menerima apa pun di antaranya yang tidak nampak sedemikian jernih dan terpilah (clear and distinct) di dalam pikiranku sampai-sampai tak dapat lagi kuragukan.
- Aku membagi-bagi setiap kesulitan yang sedang kunilai sebanyak mungkin, dan sebagaimana kelihatannya dipersyaratkan untuk dapat kupecahkan dengan cara terbaik.
- Aku melakukan refleksi itu dengan urutan yang sesuai, yaitu memulai dengan obyek-obyek yang paling sederhana dan mudah dimengerti, lalu naik sedikit demi sedikit, atau tahap demi tahap, ke pengetahuan yang paling kompleks. Aku mengasumsikan adanya urutan ini, walaupun di antara hal-hal yang tidak mengikuti urutan alamiah satu sama lain.
- Akhirnya aku akan melakukan perhitungan selengkap mungkin dan tinjauan ulang seumum mungkin hingga aku yakin tidak meluputkan apa pun.
Ada beberapa prinsip umum yang dapat kita tarik dari metode Descartes ini, misalnya:
- Descartes menggunakan praduga bersalah bagi setiap kepercayaan yang ditinjaunya.[2] Descartes mengasumsikan adanya roh penipu (Spiritus Maliqus) yang terus-menerus berusaha menyesatkannya kecuali ia berpegang teguh pada hal-hal yang indubitable. Yang diterima sebagai benar hanyalah hal-hal yang secara jernih dan terpilah nampak benar. Belakangan kita akan melihat bahwa hal ini mustahil untuk dicapai. Klaim Descartes bahwa ia berhasil menemukan dasar tak teragukan itu di dalam cogito ergo sum, memiliki banyak lubang argumentasi dan lompatan logika. Kita akan meninjau poin ini lebih lanjut dalam bagian Narrow Foundationalism.
- Descartes berasumsi kita dapat secara netral, tanpa dipengaruhi oleh tradisi masa lampau menilai benar-salahnya suatu belief. Sifat ingin bebas dari tradisi ini dapat dimengerti dari latar belakang historis zaman Descartes, di mana pengetahuan tradisional yang terutama bersumber dari otoritas kepausan (yang korup, pada saat itu) begitu tidak menentu, disesaki berbagai macam tahyul dan agenda politis. Tetapi, dalam usahanya untuk netral ini Descartes telah berasumsi manusia dapat bebas dari segala praduga (seperti dianjurkannya dalam step pertama Discourse). Atau dalam kalimat Woods, “Descartes berusaha mengatasi berbagai klaim yang bersaingan dengan ‘memanjat keluar dari rongga kepalanya’ untuk mencapai titik Archimedes (‘perspektif Tuhan’).” Sekarang kita sangat meragukan kemampuan manusia untuk lepas dari segala macam praduga.
- Bagi Descartes, struktur tubuh pengetahuan haruslah bersifat sistematis—berupa serangkaian proposisi yang saling bergantung, dan semuanya bertumpu pada satu kepercayaan dasar yang tidak lagi diragukan. Pada bagian-bagian selanjutnya kita akan melihat bahwa kesalingtergantungan yang mengandalkan relasi logika sebagai penghubung antar statemen ini tidak menggambarkan hal yang sesungguhnya terjadi dalam ilmu pengetahuan. Hanya sedikit sekali teori yang benar-benar dihasilkan dari pengembangan deduktif dari premis dasarnya, dan penyimpulan induktif dari fakta-fakta pengamatan juga dilakukan atas data-data yang tidak pernah lepas dari penafsiran. Kuhn berhasil membuktikan bahwa tidak ada metode pengambilan data yang benar-benar netral-universal.
- Descartes memakai matematika sebagai paradigma pengetahuannya, karena matematika bersifat pasti. Bagi Descartes, kriteria bagi kebenaran adalah: tak dapat diragukan dan pasti, dan matematika diyakini memiliki kepastian yang dibutuhkannya. Dalam hal ini pun nanti kita akan melihat bahwa kepastian matematika ternyata tidak seperti yang diyakini oleh Descartes.
Walaupun demikian, Descartes menawarkan jawaban yang cukup meyakinkan bagi pergumulan di zamannya. Di tengah-tengah kebingungan masyarakat dalam mencari otoritas tunggal penentu kebenaran yang bisa diterima secara universal (ingat analisis Stephen Toulmin tentang kesepakatan), Descartes sebagai anak zaman Renaissance telah dengan tepat menunjuk kepada matematika sebagai common paradigm of knowledge,dan reason sebagai hakim tertinggi yang menentukan benar-salahnya suatu kepercayaan. Dari sinilah Descartes mendapat banyak dukungan, karena penunjukan kepada matematika ini sejalan dengan zeitgeist Renaissance yang kembali kepada konsep Yunani kuno dalam menunjuk matematika sebagai kunci untuk memahami dunia fisika dan dunia mental/pikiran.
“Buku besar alam semesta hanya dapat dibaca oleh mereka yang mengerti bahasanya,” kata Galileo, “dan bahasa itu adalah matematika.”
Ketika menjawab langkah bidak putih Montaigne, Descartes sekaligus juga memecahkan problem regressus in infinitum yang disodorkan oleh para skeptik Yunani kuno (mis. Phyrro & Sextus). Problemnya adalah: Pernyataan yang menyatakan indubitability dari pernyataan dasar itu sendiri tidak dapat dikatakan tak dapat diragukan. Dan jika kita mengajukan suatu pernyataan yang menjamin pernyataan yang menyatakan basic belief kita, pernyataan yang menjamin pernyataan jaminan basic belief itu sendiri tidak dapat dikatakan bebas dari keraguan… demikian seterusnya rantai keraguan ini akan berlanjut tanpa henti. Regressus in infinitum.
Tanpa sadar, Montaigne sebenarnya telah memberikan arah yang benar bagi jawaban permasalahan Regressus in Infinitum ini,
“Kecuali kita dapat menemukan satu hal saja yang benar-benar pasti (indubitable), kita tak akan dapat pasti mengenai apapun juga.”
Ini adalah bentuk negatif dari prinsip keraguan Descartes. Dalam bentuk positifnya, pernyataan Montaigne dapat dibaca,
“Hanya jika kita dapat menemukan satu hal saja yang benar-benar pasti (indubitable), kita mungkin untuk pasti mengenai hal-hal yang lain.”
Ini adalah prinsip keraguan yang sama dengan prinsip keraguan Descartes. Dengan demikian, Montaigne telah mendahului Descartes yang mengatakan bahwa keraguan itu harus berhenti pada saat kita menemukan suatu kebenaran yang indubitable. Hanya sayang Montaigne tidak berhasil menemukan dasar yang indubitable itu sehingga ia harus menelan kesimpulannya yang skeptis-nihilistik.
Descartes membuka jalan buntu proyek Montaigne ini secara elegan. Dalam bagian ke-4 Discourse-nya, Descartes mengatakan bahwa pernyataan Je pense, donc je suis (I am thinking, therefore I exist) tak akan pernah dapat kita ragukan. Bagi Descartes, orang tak dapat meragukan keberadaan dirinya yang sedang memikirkan/meragukan keberadaannya itu. Montaigne adalah Descartes tanpa cogito ergo sum. Jika cogito ergo sum runtuh seperti terjadi setelah hantaman postmodernism, seluruh filsafat Descartes akan berakhir pada skeptisisme-nihilistik ala Montaigne.
Dengan kata lain, bagi Descartes sikap ragu harus tetap kita pertahankan bukan karena kita tidak dapat menemukan dasar berpijak yang pasti sebagai titik awal pemikiran kita (sikap agnostik dari kaum skeptis Yunani kuno yang dianut juga oleh Montaigne), tetapi karena kita harus mengakui bahwa pertanyaan “Apakah kita sudah cukup reasonable?” tidak pernah dapat sungguh-sungguh tertutup. Dengan demikian problema regressus in infinitum tidak lagi memaksa kita menerima kesimpulan skeptik-nihilistik, melainkan sekedar memberikan ruang bagi natur kemakhlukan kita yang terbatas.
Dengan berpijak pada dasar cogito ergo sum ini, Descartes secara meyakinkan mengklaim bahwa ia berhasil membela keberadaan Allah, realitas semesta, realitas tubuh, masa lampau, dan beberapa proposisi dasar matematika di atas dasar yang tak tergoyahkan ini. Karena Descartes mendasarkan seluruh tubuh pengetahuannya pada dasar yang tak dapat diragukan ini, maka epistemologinya ini biasa disebut foundationalism. Sekarang kita akan melihat secara lebih dekat bagaimana foundationalism Descartes ini dapat dikembangkan, dan konsekuensi dari setiap alternatif pengembangannya.
Tipe-tipe Foundationalism
Pendekatan epistemologi Descartes ini melahirkan modernisme dengan segala janji-janjinya akan masa depan umat manusia yang gemilang, tetapi juga melahirkan berbagai penindasan yang mengerikan atas golongan marginal yang lemah. Epistemologi foundationalism yang pada mulanya lahir sebagai jawaban atas keputusasaan orang-orang di akhir Renaissance akibat absurditas kehidupan dan kesimpangsiuran suara-suara ‘kebenaran’ yang berebut otoritas, kini di akhir abad modern menampakkan wajahnya yang sesungguhnya sebagai diktator bertangan besi yang merenggut kelimpahan hidup manusia dan memperbudak kemanusiaan itu sendiri.
Bagaimana peradaban manusia bisa sampai pada titik ini? Bagaimana foundationalism Cartesian tanpa sadar telah membawa manusia kepada kerumitan ini? Untuk mengetahui jawabannya, kita harus melakukan penelitian atas metode epistemologi Descartes itu sendiri. Kita akan mencoba untuk meragukan metode keraguan Descartes, menimbangnya secara kritis, melihat kemungkinan-kemungkinan variasi dalam model foundationalism dan akhirnya kita akan mencoba menelusuri implikasi setiap varian. Ironisnya, dalam merekonstruksi pembantaian foundationalism ini kita akan mengikuti secara bebas prosedur ilmiah Bacon dan Descartes. Pertama-tama kita akan mendefinisikan masalah, lalu memilah-milahnya ke dalam elemen-elemen yang lebih kecil (analisis), memulai pembahasan dari elemen yang paling sederhana, lalu menyimpulkan semuanya.
Alvin Plantinga mendefinisikan foundationalism sebagai pandangan yang mengatakan bahwa,
Beberapa kepercayaan kita didasarkan atas kepercayaan yang lain … sebuah struktur pikiran yang rasional haruslah memiliki fondasi—yaitu satu set kepercayaan yang tidak didasarkan pada kepercayaan yang lain; (dengan kata lain) dalam sebuah struktur pikiran yang rasional, beberapa kepercayaan akan bersifat mendasar. Dalam struktur itu … setiap kepercayaan yang non-basic hanya dapat diterima atas dasar basic beliefs-nya.
Dari definisi ini kita dapat melihat beberapa model yang dapat dibuat dengan memakai elemen-elemen foundationalism ini. Yang pertama adalah sumber dari kepercayaan yang bersifat mendasar dan tak dapat diragukan. Secara umum sumber pengetahuan kita dapat dibagi dua, yaitu: sumber internal (rasional) yang bersifat bawaan dan sumber eksternal (empirical) yang kita ketahui melalui sense data yang ditangkap panca indera kita. Kedua adalah kriteria yang menentukan/menyaring kepercayaan-kepercayaan yang dapat dijadikan basic belief. Ketiga adalah hubungan antara basic belief dengan non-basic belief yang dibangun di atasnya.
Dari kemungkinan-kemungkinan yang saya daftarkan di sini, saya hanya akan membagi foundationalism ke dalam dua golongan besar, yaitu: Narrow-Strong Foundationalism dan Broad-Modest Foundationalism.
Narrow-Strong Foundationalism
Yang termasuk dalam tipe ini adalah foundationalism Descartes. Dalam fase-fase awal proyek epistemologinya, Descartes menerapkan aturan yang sangat ketat mengenai kriteria indubitability of the basic belief danhubungan basic belief dengan non-basic belief yang dibangun di atasnya.
Dalam hubunganbasic belief dengan non-basic belief, hanya kepercayaan yang dapat dideduksikan dari basic belief yang dapat diterima. Alasannya sederhana: kepastian hanya dapat dijamin jika kita memakai relasi logika murni. Descartes memiliki komitmen yang sangat kuat kepada matematika (baca: deduksi) dalam membangun konstruksi pengetahuan di atas basic belief-nya. Jika seseorang mulai dari indubitable basic belief dan hanya menerima apa-apa yang secara valid dapat diturunkan dari kebenaran yang pasti itu, maka seluruh himpunan kebenaran yang didapatkan dapat dijamin benar secara pasti. Tetapi dalam bab berikutnya kita akan melihat bahwa incompleteness theorem dari Kurt Godel meruntuhkan keyakinan akan kepastian deduksi Matematika ini.
Bagi Descartes,untuk dapat dijamin indubitable,basic belief harus memenuhi salah satu dari tiga kriteria utama, yaitu:
- Bersifat self-evident,yaitu statement yang pasti langsung terlihat benar atau salah ketika kita mengerti maksud dari statement itu. Misalnya, “Jumlah sudut-sudut suatu segitiga adalah 180 derajat.” Atau, “Sebuah segitiga bukanlah lingkaran.”
- Bersifat incorrigible. Suatu pernyataan yang tak dapat salah karena kita hanya melaporkan apa yang ada di dalam kesadaran kita. Misalnya kita mengatakan, “Aku melihat buku yang terlihat berwarna merah bagiku.” Dalam hal ini kita pasti benar karena tidak menyatakan klaim atas keberadaan obyektif di luar kesadaran kita.
- Bersifat evident to the senses. Locke menyebutnya ‘sensitive knowledge’,yaitu pengetahuan yang kita dapatkan sebagai akibat pengalaman langsung kita dengan obyek-obyek di luar diri kita. Kebenaran atau kesalahan pernyataan ini semata-mata tergantung pada pengalaman manusia. Misalnya jika saya menyeberang jalan di Jakarta dan melihat sebuah taksi meluncur ke arah saya, saya akan mengklaim bahwa saya melihat taksi melaju ke arah saya tanpa pernah mempertanyakan mengapa kita melihat kejadian itu. Kita sekedar melihat taksi itu dan percaya bahwa kita melihat taksi itu.
Kriteria pertama memakai sumber internal bagi basic belief. Asumsinya adalah kita mengetahui bersama apa-apa yang logis dan dengan demikian dianggap benar, dan apa-apa yang absurd atau kontra-logika dan dengan demikian dianggap salah. Kriteria kedua dan ketiga memakai sumber informasi yang berasal dari sense data. Bedanya adalah, kriteria kedua memperhitungkan kemungkinan error yang berasal dari disfungsi indera kita (dalam hal ini misalnya buta warna), sedangkan kriteria ketiga mengasumsikan indera kita berfungsi sebagaimana mestinya.
Bagi narrow-strong foundationalist kebenaran dasar yang tidak memenuhi persyaratan ini tidak dapat dipakai sebagai kepercayaan dasar. Inilah sebabnya mereka disebut sebagai foundationalist sempit. Sikap sempit ini menimbulkan banyak masalah yang menyulitkan posisi mereka sendiri, di antaranya:
- Kritik pertama datang dari Thomas Reid. Jika narrow-strong foundationalism ini benar, maka banyak sekali hal-hal yang kita percayai tidak rasional, misalnya: ingatan, orang lain (subyek di luar diri kita), dan obyek-obyek di luar diri kita. Tak satu pun dari hal-hal penting ini memenuhi ketiga persyaratan narrow-strong foundationalist. Padahal secara de facto hal-hal ini adalah dasar dari noetic structure kita.Dalam diktumdasar I am thinking therefore I exist terkandung asumsi bahwa ‘I’ terus-menerus ada secara kontinyu di dalam waktu. Tidak ada diskontinuitas keberadaan diri seperti kepercayaan Buddhist misalnya. Hal ini sangat bergantung kepada reliabilitas memori ‘si aku’, padahal reliabilitas memori tidak memenuhi ketiga persyaratan yang diajukan Descartes bagi basic belief. Dalam hal ini, Descartes tidak hanya secara tak sadar telah mendasarkan basic belief-nya pada sesuatu, ia bahkan mendasarkan basic belief “cogito ergo sum”-nya pada dasar yang tidak memenuhi kriteria basic belief yang dibuatnya sendiri.
- Kritik kedua berkaitan dengan proses konstruksi kebenaran di atas basic belief. Deduksi (Descartes) dan induksi (Locke) saja tidak cukup untuk menurunkan semua non-basic belief. Misalnya dalam kasus penemuan planet Neptunus. Dalam kasus itu, para astronom dipusingkan oleh tingkah orbital Uranus yang menyimpang dari prediksi teori gravitasi Newton. Semula mereka menyimpulkan hal ini terjadi karena salah perhitungan atau kesalahan dalam pengamatan; sampai J. C. Adams mulai berpikir mundur. Ia mencoba untuk bertanya, “Tata surya kita harus bagaimana agar Uranus dapat bertingkah seperti ini?” Dan hasilnya ia harus menempatkan satu planet lagi di dekat orbit Uranus. Ia menghitung massa dan jarak orbital planet hipotesis ini dan setelah ditemukannya Neptunus secara empiris pada tahun 1846, ternyata jarak orbital dan massa Neptunus persis sama dengan massa dan orbital planet hipotesis Adams. Ini berarti sebuah teori tidak hanya berkembang secara linier melalui deduksi dan induksi saja, tetapi banyak melibatkan lompatan-lompatan logika, atau dalam bahasa Kuhn: “Transisi dari sebuah krisis paradigma ke paradigma yang baru …tidak dapat muncul dari proses kumulatif yang dicapai melalui artikulasi atau ekstensi dari paradigma yang lama. Ini akan menjadi sebuah rekonstruksi medan dari dasar yang sama sekali baru …”
- Narrow-strong foundationalism mengalami self-referential absurdity yang melekat. Mereka mengecualikan prinsip keraguan yang mereka pakai dari uji kritis atas basic belief. Mereka memakai prinsip doubt padahal prinsip ini sama sekali tidak memenuhi ketiga persyaratan narrow-strong foundationalism. Prinsip keraguan diterima padahal ia tidak bersifat self-evident, incorrigible, maupun evident to the senses. Descartes meragukan semua hal dan mengatakan bahwa ia tidak menerima suatu apa pun tanpa meragukannya terlebih dahulu, padahal sebenarnya ia telah menerima prinsip keraguan ini tanpa pernah sekalipun meragukannya. Descartes gagal meragukan keraguannya sendiri.
- Dalam epistemologi foundationalism dukungan epistemologis yang diberikan oleh basic belief kepada konstruksi pengetahuan di atasnya bersifat satu arah. Basic belief mendukung dan menjamin kebenaran pengetahuan yang dibangun di atasnya, dan sama sekali tidak berlaku sebaliknya. Tetapi ternyata anggapan ini terlalu naif, seperti dikatakan Wittgenstein, “Saat kita menemukan fondasi (pengetahuan) yang dicari-cari; ternyata fondasi itu tergantung/ditopang oleh konstruksi bangunan di atasnya.”Mengenai argumentasi yang mendukung kesimpulan ini akan dibahas dalam bab 4 dan 5.
Broad-Modest Foundationalism
Dengan mempertimbangkan kritik serius pada narrow-strong foundationalism, orang mulai memikirkan modifikasi yang dapat dilakukan pada foundationalism Descartes. Lahirlah broad-modest Foundationalism. Bagi para broad-modest foundationalist,kebenaran-kebenaran yang dapat dijadikan landasan pengetahuan tidak harus memenuhi ketiga persyaratan di atas. Mereka menerapkan kriteria yang lebih longgar atas basic belief yang dapat diterima. Dalam hal ini mereka telah mempertimbangkan secara realistik kondisi yang terjadi di dalam pengalaman kita sehari-hari. Titik berangkat dari common sense semacam ini tentu erat kaitannya dengan common sense realism dari Thomas Reid yang menawarkan solusi alternatif selain Kant, Descartes, Locke, Berkeley bagi problema skeptistik yang diajukan Hume. Common sense philosophers mempertanyakan asumsi Descartes bahwa jika kita dapat membayangkan suatu situasi yang tidak sesuai dengan kebenaran beberapa klaim sehari-hari, maka jika kita tidak memiliki dasar independen untuk memastikan hal itu tidak terjadi, kepastian kita yang berasal dari pengalaman sehari-hari tidak dapat dijamin benar.
Beberapa kebenaran yang tidak lolos dari uji ketiga kriteria basic belief bagi narrow-strong foundationalism tapi ternyata dalam pengalaman kita sehari-hari merupakan basic belief yang tidak mungkin tidak kita pakai itu misalnya: ingatan, subyek-subyek di luar diri kita, dan obyek-obyek di luar kita. Kita tidak punya suatu cara apa pun untuk membuktikan ingatan kita ‘bahwa kita ada satu detik yang lalu’, yang sesungguhnya menjadi dasar kepercayaan kita bahwa keberadaan kita bersifat kontinyu. Jika kita menerapkan keraguan Descartes, maka kita seharusnya juga meragukan keberadaan kita satu detik yang lalu, dan kita akan mengalami kesulitan besar saat harus menjelaskan ingatan bersama akan keberadaan kita satu detik yang lalu itu di dalam ingatan subyek-subyek lain di luar diri kita. Jika kita menerapkan keraguan Descartes secara konsisten, maka kita pun harusnya meragukan keberadaan orang lain di luar diri kita dan juga obyek-obyek tak berpribadi lainnya, padahal dalam pengalaman sehari-hari kita menerima keberadaan hal-hal ini tanpa meragukannya terlebih dahulu.
Thomas Reid dalam menjawab skeptisisme Hume memberikan argumentasi yang kuat yang juga dapat kita gunakan untuk melihat ketidakkonsistenan Descartes. Reid mengatakan bahwa Hume mengasumsikan consciousness dan reasoning dapat dipercaya, sedangkan memory dan perception tidak dapat dipercaya. Hume tidak dapat memberikan bukti bagi asumsinya ini. Dalam kasus Descartes, ia memakai reason untuk meragukan dan menimbang segala sesuatu,[3] kecuali reason itu sendiri. Reid berargumen bahwa reason dan perception datang dari ‘toko’ yang sama dan dibuat oleh ‘seniman’ yang sama (Tuhan?), maka dalam hal ini Descartes tidak memiliki alasan untuk memprioritaskan reason di atas semuanya. Kalau kita tidak mempercayai persepsi, kita harusnya juga tidak mempercayai nalar.[4] Bagi Reid, jika kita mempercayai nalar kita (seperti pada kasus Descartes dan Hume), kita seharusnya konsisten dengan cara juga mempercayai persepsi kita sebagai first principle/basic belief yang tidak dipertanyakan lagi.
Endnotes:
[1] Walaupun demikian, di akhir artikel kita akan melihat bahwa epistemologi apa pun, termasuk epistemologi modern, sesungguhnya tak bisa lepas dari prasyarat untuk percaya kepada otoritas.
[2] Fakta ini menggelitik saya. Apakah sistem praduga bersalah dalam peradilan Perancis bersumber dari tradisi Cartesian? Dan sistem praduga tak bersalah dalam sistem Amerika, Inggris, dan Belanda (yang kita warisi di Indonesia) bersumber dari prinsip Alkitab yang mensyaratkan adanya dua-tiga orang saksi sebelum kita menuduh bersalah dan menghukum seseorang.
[3] Termasuk senses yang bagi Descartes selalu menjadi sasaran penipuan Spiritus Maliqus, dan akhirnya dapat kita percaya semata-mata karena topangan basic belief cogito ergo sum yang terletak pada aspek reason.
[4] Maka tidak heran jika Hume berakhir pada kesimpulan skeptis yang melumpuhkan itu!
Referensi:
Bernard Williams, “Rene Descartes” dalam Encyclopedia of Philosophy Vol 3, Paul Edwards, ed. (NY: Macmillan, 1967)
C. J. Hookway., “Doubt” dalam Oxford Companion to Philosophy, Ted Honderich ed., (Oxford: Oxford University Press, 1995)
Frank N. Magill, ed., Masterpieces of World Philosophy (New York: Harper Collins, 1990)
Frederick Copleston, S. J., A History of Philosophy Vol 1 (New York: Image, 1985)
Harry G. Frankfurt, “Doubt” dalam Encyclopedia of Philosophy Vol 3, Paul Edwards, ed. (NY: Macmillan, 1967)
Keith Devlin, Goodbye Descartes (New York: John Wiley & Sons, Inc., 1997)
Keith Lehrer, Thomas Reid (New York: Routledge, 1989, 1991)
Nicholas Wolterstorff, Reason Within the Bounds of Religion (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1976, 1984)
Rene Descartes, “Meditation” dalam Basic Problems in Philosophy 4th ed., Daniel J. Bronstein, et. al., ed. (Englewoods, Cliffs: Prentice Hall, 1972)
Ronald Nash, Faith & Reason: Searching for a Rational Faith (Grand Rapids, MI: Zondervan 1988)
Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda of Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1990)
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1962, 1970)
W. Jay Woods, Epistemology: Becoming Intellectually Virtous (Leicester: Apollos, 1998)
William Placher, Unapologetic Theology (Louisville, Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1989)