Iman dan Bangku

Setiap manusia pasti memiliki iman. Itu bukanlah sekedar pernyataan, tetapi merupakan suatu kenyataan. Mengapa saya bisa berkata seperti itu? Karena setiap manusia di bumi ini pasti mempunyai suatu iman yang sadar atau tidak sadar mereka miliki. Saya mengambil satu contoh sederhana, yaitu duduk. Setiap hari kita pasti duduk, entah itu di sofa rumah, di kursi kantor, di bangku kampus, di bangku sekolah, di kursi ruang tunggu dokter, di kursi restoran, dan sebagainya. Bagaimana kita bisa yakin bahwa sofa, kursi, atau bangku yang akan kita duduki tersebut tidak akan roboh atau patah saat kita mendudukinya? Mungkin kalau kursi itu kita beli sendiri, kita dapat melakukan quality check terlebih dulu terhadap kursi itu. Tetapi bagaimana bila kursi yang akan kita duduki tersebut sudah tersedia dan kita tidak tahu siapa yang membelinya? Kita tidak tahu apakah yang membeli kursi itu telah melakukan quality check terhadap kursi itu seteliti seperti yang akan kita lakukan sendiri, atau bahkan orang yang membeli kursi tersebut bukan saja tidak mau repot-repot mengecek kekuatan kursi itu, bahkan untuk menghemat biaya dia membeli kursi yang murah dan memang mutunya tidak bagus. Dan lebih jauh lagi, apakah kita percaya kalau orang yang telah membuat kursi itu benar-benar telah membuat kursi tersebut sesuai dengan prosedur dan dengan penuh tanggung jawab? Atau orang yang membuat kursi itu malah korupsi dengan hanya memasang 4 sekrup di mana seharusnya dibutuhkan 5 sekrup? Kalau pemikiran dasar seperti itu selalu ada di dalam benak kita, apakah kita akan menolak untuk duduk di semua kursi kecuali kursi yang ada di rumah kita yang kita percayai mutunya (yang sebenarnya juga belum tentu mutunya baik karena kita tidak tahu siapa yang membuat kursi itu)?

Tentu tidak demikian, bukan?

Mau tidak mau, kita ‘terpaksa’ mempercayai orang-orang yang membuat kursi-kursi tersebut dan juga orang-orang yang telah membelinya. Saat itu pun kita sudah menganggap diri kita percaya kepada mereka dan menaruh seluruh kekuatan tubuh kita dalam tangan mereka (karena kursi itu adalah buatan dan pilihan orang-orang yang membuat dan membelinya). Dari hal yang sangat biasa ini, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa setiap orang perlu dan pasti memiliki iman untuk dapat terus hidup di dalam dunia ini. Sebab, kalau tidak, kita akan membuat diri kita sendiri menjadi gila dengan kekhawatiran yang tidak ada habis-habisnya, bahkan kepada kekhawatiran itu sendiri pun diperlukan iman bahwa kekhawatiran kita riil adanya. Tapi masalahnya sekarang adalah iman kepada siapa dan iman yang seperti apa yang kita miliki?

Beriman artinya percaya. Dan melalui gambaran di atas kita ‘terpaksa’ percaya kepada orang-orang yang tidak kita kenal dan tidak pernah kita temui, bahkan mungkin tidak akan kita temui seumur hidup kita. Lalu, bagaimana mungkin kita bisa percaya kepada mereka kalau kita tidak tahu siapa mereka? Apakah sejujur-jujurnya kita bisa menaruh kepercayaan penuh kepada seseorang yang tidak kita kenal, bahkan menaruh sebagian dari hidup kita (dalam ilustrasi di atas adalah beban tubuh kita) ke dalam tangan mereka? Saya rasa tidak!

Allah adalah pencipta kita, dan di dalam rencana kekal-Nya Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan. (Baca artikel ‘Election’ dalam Pillar edisi lalu mengenai five Reformed perspective, yaitu: Election Creation Fall Redemption Glorification). Dia yang telah menciptakan kita pasti mengenal diri kita lebih daripada kita mengenal diri kita sendiri. Tetapi kenapa lebih mudah bagi kita untuk ‘terpaksa’ percaya dan menaruh sebagian dari hidup kita ke dalam tangan orang-orang yang tidak kita kenal? Sedangkan sangat sulit untuk ‘terpaksa’ percaya kepada Allah yang telah menciptakan kita dan merencanakan keselamatan bagi umat pilihan-Nya sejak sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa, bahkan sebelum Dia menciptakan dunia dan segala isinya, termasuk manusia itu sendiri?

Jawaban dari pertanyaan di atas sebenarnya sangat sederhana, namun sayangnya sangat tidak kita sukai. Mungkin banyak dari kita yang sudah tahu jawabannya, tapi kita lebih memilih untuk tidak mau tahu. Percaya kepada Tuhan berarti kita harus menyerahkan seluruh hidup dan keberadaan kita ke dalam tangan-Nya. Walaupun hal itu adalah sesuatu yang sangat wajar karena Dia yang telah memberikan kita hidup, sehingga sudah seharusnyalah kita hidup untuk Dia. Namun, dengan menyerahkan seluruh hidup kita kepada-Nya itu berarti kita harus bertobat, meninggalkan dosa-dosa kita, menyangkal diri, dan membuang seluruh kehendak dan nafsu diri kita. Dan bukan itu saja, kita harus mensinkronkan semua kehendak kita dengan kehendak Allah yang kudus. Dengan percaya atau beriman kepada Tuhan, ‘ke-aku-an’ diri kita akan menjadi semakin kecil dan Diri Allah akan semakin besar; dengan percaya kepada Tuhan berarti kita harus mencintai Tuhan kita di atas segala-galanya, termasuk diri dan keluarga kita. Tapi… tunggu dulu… sesungguhnya diri kita yang telah rusak oleh dosa inilah yang tidak mau kita lepaskan. Kita mau terus hidup di dalam keinginan-keinginan kita untuk memuaskan diri kita sendiri. Kita tidak mau dan tidak rela membesarkan Tuhan dan memenuhi keinginan-keinginan Tuhan di dalam hidup kita. Diri kita, hidup kita, dan keinginan kita sajalah yang terpenting buat kita. Kita tahu Tuhan itu ada, kita tahu Tuhan yang menciptakan dan memilih kita untuk menjadi anak-anak-Nya, kita bahkan tahu segala sesuatu yang kita miliki itu adalah pemberian (anugerah) Tuhan. Tetapi bukankah lebih enak kalau kita anggap Dia tidak ada? Kita tidak perlu Dia, kita tidak perlu beriman kepada Dia. Kalau Dia tidak ada, kita bisa lebih ‘bebas’ (baca: terikat dalam belenggu dosa) menikmati dunia ini dan segala isinya untuk memenuhi segala keinginan kita yang segudang ini. Jadi daripada percaya kepada Tuhan dengan konsekuensi kita harus kehilangan keinginan diri dan segala kenikmatan dunia, lebih baik kita percaya kepada ‘sesuatu’ yang tidak kita ketahui saja, dan lebih baik kita ‘terpaksa’ mempercayakan sebagian dari hidup kita kepada orang-orang yang tidak kita kenal saja. Toh ‘siapa’ atau ‘apa’ yang kita percaya itu bisa kita buat sesuai dengan keinginan kita sendiri.

Sebagai ciptaan yang telah jatuh ke dalam dosa, kita mengalami keterputusan dengan Allah yang mengakibatkan kita tidak lagi bisa mengetahui dan mengerti kehendak Allah. Tetapi di dalam kondisi kejatuhan (fall) ini, di dalam lubuk hati yang terdalam, kita juga selalu sadar bahwa ada ‘sesuatu’ (‘apa’ atau ‘siapa’) yang lebih tinggi dan berkuasa daripada diri kita yang terbatas ini. Kita sadar ada ‘sesuatu’ yang mengontrol hidup kita, karena kita tidak bisa mengontrol hidup kita sendiri (padahal sebenarnya kita ingin bisa mengontrol hidup kita sendiri). Di dalam ketidakmautahuan terhadap ‘sesuatu’ ini, kita ‘terpaksa’ mempercayakan hidup kita kepada sesama kita dan juga terhadap apapun yang berada di luar kendali kita, misalnya, bencana alam yang terkadang membuat manusia percaya bahwa alam itu melampaui kekuatan manusia, dan lain sebagainya. ‘Terpaksa’ di sini mempunyai arti keputusasaan dan pasrah karena pada dasarnya kita tidak tahu lagi ‘apa’ atau ‘siapa’ yang harus kita percaya, sedangkan kita juga tidak mau kalau harus ‘terpaksa’ percaya kepada Kristus. Iman semacam ini adalah iman yang pasif, iman yang pasrah. Tetapi percaya kepada Allah yang sesungguhnya mempunyai arti ‘terpaksa’ yang sangat berbeda. Kita ‘terpaksa’ percaya kepada Allah karena kita adalah gambar dan rupa Allah, Allah sendirilah yang menaruh iman itu di dalam diri kita, bukan karena kita yang mencarinya. Allah yang menciptakan kita, Allah yang memilih kita, Allah yang melahirbarukan kita, Allah yang mengerjakan pertobatan di dalam diri kita, dan Allah juga yang memberikan benih iman di dalam hati kita. Kita ‘terpaksa’ percaya kepada Allah bukanlah dengan suatu sikap putus asa atau pasrah, tetapi kita ‘terpaksa’ percaya karena memang hanya kepada Dialah kita harus menujukan iman kita, karena iman itu sendiri berasal dari Dia. Kita ‘terpaksa’ percaya kepada Allah karena seluruh hidup dan keberadaan kita bergantung mutlak kepada-Nya, dan kita tidak bisa lepas dari Dia. Kita ‘terpaksa’ percaya kepada Allah karena tanpa Dia hidup kita adalah sia-sia dan tidak ada gunanya. Kita ‘terpaksa’ percaya kepada Allah karena Dialah satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup. Kita ‘terpaksa’ percaya kepada Allah karena hanya di dalam Dialah kita memperoleh pengharapan dan kepastian di dalam hidup kita. Kita ‘terpaksa’ percaya kepada Allah bukan di dalam keadaan ‘dipaksa’ (baca: pistol ditodongkan ke kepala kita), melainkan di dalam keadaan ‘dibebaskan’ (baca: dibebaskan dari belenggu dosa yang mengikat kita).

Pdt. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa anugerah Allah mendahului respon manusia dan keselamatan mendahului iman. Rencana keselamatan itu bukanlah suatu plan B yang baru dipikirkan oleh Allah setelah manusia jatuh ke dalam dosa. Allah kita adalah Allah yang mahatahu dan Dia mengetahui segala sesuatu sebelum segala sesuatu terjadi. Kalau Allah merencanakan keselamatan setelah manusia jatuh ke dalam dosa, itu artinya Allah adalah Allah yang reaktif yang bereaksi terhadap tindakan manusia dalam menjalankan rencana-Nya. Atau kemungkinan kedua adalah Allah tahu bahwa setelah manusia diciptakan, manusia akan berbalik melawan Allah, tetapi Allah tetap menjalankan rencana-Nya dengan harapan bahwa manusia tidak akan jatuh ke dalam dosa dan melawan Allah. Kalau hal ini benar adanya, artinya Allah kita bukanlah Allah yang berdaulat, dan reaksi Allah tergantung kepada tindakan manusia terhadap rencana Allah, yang mengakibatkan rencana Allah bukanlah rencana yang pasti, sempurna, dan kekal.

Iman kita kepada Allah adalah iman yang aktif, artinya kita beriman sebagai respon kita terhadap anugerah keselamatan yang dikerjakan oleh Allah. Di dalam bukunya “The Christian Life: A Doctrinal Introduction”, Sinclair B. Ferguson mengatakan bahwa iman sejati, iman yang menyelamatkan dan yang percaya, yang adalah respon kita kepada anugerah Allah, juga adalah suatu karunia anugerah Allah. Dan di dalam Efesus 2:8, Paulus berkata, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah.” Sinclair B. Ferguson menegaskan bahwa ini jelas-jelas menyatakan bahwa iman adalah sesuatu yang dikaruniakan oleh Allah. Jadi sebenarnya tidak ada sesuatu pun yang bisa kita sombongkan atau khawatirkan karena segala sesuatu yang kita miliki, termasuk iman kita kepada Allah pun adalah pemberian (karunia) Allah. Tetapi ironisnya, seringkali kita tidak memelihara iman yang telah Tuhan berikan kepada kita itu dengan baik. Bahkan kita cenderung mengingkari iman kita kepada Tuhan, terutama apabila berhubungan dengan diri kita dan materi. Salah satu contoh adalah kekhawatiran akan masa depan. Apakah kita percaya Tuhan adalah Juruselamat kita satu-satunya dan kita mau mempercayakan seluruh hidup kita di dalam tangan-Nya? Kalau kita menjawab ‘ya’, kemudian datang pertanyaan selanjutnya, “Berapa banyak dari kita yang memiliki asuransi jiwa atau kesehatan? Hmm… Kalau kita mengaku percaya kepada Tuhan dan mau menyerahkan seluruh hidup kita kepada Dia, kenapa kita perlu berbagai macam asuransi jiwa atau kesehatan untuk menjamin hidup kita di saat kita sakit atau hidup keluarga kita di saat kita meninggal? Apakah kita tidak yakin kalau Tuhan sanggup memelihara kita sepanjang hidup sehingga kita perlu jaminan tambahan? Pdt. Stephen Tong pernah berkata bahwa apabila dia meninggal, dia tidak akan meninggalkan warisan uang untuk anak-anaknya, tetapi yang dia akan wariskan adalah semangat perjuangan di dalam Kristus. Bagaimanakah dengan kita? Iman seperti apakah yang kita miliki? Beranikah kita menyerahkan diri dan hidup kita secara total kepada Kristus tanpa khawatir akan hari depan kita? Beranikah kita meneladani Paulus yang menyampahkan seluruh dunia ini untuk mengikut Kristus? Beranikah kita keluar dari comfort zone kita masing-masing untuk memperjuangkan kebenaran firman Tuhan ke mana pun Tuhan memanggil kita? Itu adalah pertanyaan-pertanyaan serius yang harus kita masing-masing gumulkan dan pertanggungjawabkan di hadapan Kristus.

Sinclair B. Ferguson juga mengatakan bahwa, “Di dalam Injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) Yesus tidak sekedar berbicara mengenai ‘iman’. Dia berbicara mengenai mengikut Dia dan memikul salib. Dia melakukan hal ini untuk menekankan apa yang termasuk iman. Iman berarti pengakuan secara praktis bahwa Yesus adalah Tuhan atas hidup kita, iman berarti meninggalkan semuanya demi Dia. Iman berarti pengorbanan dan pelayanan.”1 Di sini jelas bahwa iman tidak berhenti pada mempercayai Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita, tapi kita juga harus senantiasa memelihara iman kita, menyangkal diri, mengikut Dia, memikul salib, memperjuangkan kebenaran Firman-Nya, dan senantiasa memuliakan Dia di dalam hidup kita.

Pdt. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa, “Hidup ini adalah perjuangan iman.” Saat kita mendengar kata ‘perjuangan’, tentunya yang terlintas di kepala kita bukanlah sesuatu yang enak, nyaman, atau menyenangkan. Perjuangan bukanlah makan enak, shopping di mall, atau jalan-jalan ke luar negeri. Yang namanya perjuangan itu pasti sulit, sekaligus menguras tenaga dan pikiran. Jadi, saat kita beriman kepada Tuhan bukan berarti kita akan menjadi semakin kaya dan hidup kita menjadi semakin enak dan lancar. Beriman kepada Tuhan bukan berarti kita memperoleh privilege (hak istimewa) untuk goyang-goyang kaki, bersantai ria, dan menikmati dunia ini dan segala isinya. Iman yang Tuhan karuniakan kepada kita bukanlah iman yang dapat kita pergunakan dengan sembarangan atau sesuka hati kita, namun iman itu harus kita pertanggungjawabkan kembali kepada Tuhan. Iman adalah anugerah yang sangat berharga, dan kita harus senantiasa siap berjuang untuk mempertahankan anugerah itu di dalam kebenaran firman Tuhan. Namun, di atas semua itu, kita tidak perlu takut, karena melalui iman kita juga, Dia sendirilah yang akan memberikan kita kekuatan dan keberanian untuk berjuang di dalam dunia yang semakin lama semakin bobrok ini. Jadi, maukah kita bersama-sama belajar untuk hidup di dalam iman yang sesungguhnya di dalam Kristus? Maukah kita senantiasa memelihara iman kita di dalam Dia? Sehingga saat kita sampai pada garis finish yang ditentukan Tuhan untuk kita, seperti Paulus dalam 2 Timotius 4:7, pada akhirnya kita juga dapat berkata, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir, dan aku telah memelihara iman.” Soli Deo Gloria!

Mildred Sebastian

Redaksi Bahasa PILLAR