Kehadiran Allah di Tengah-tengah Umat-Nya

Pendahuluan

Umat Allah merupakan umat yang dikhususkan Allah (terpisah dari umat yang lain) untuk menyatakan kehadiran-Nya di tengah-tengah mereka. Kata “umat” sendiri sudah mengandung makna yang mengacu kepada suatu kumpulan orang tertentu yang memiliki identitas yang khusus, berbeda dengan kumpulan yang lain.

Therefore, to identify a particular society as the people of God is immediately to set it over against all other peoples. This people and it alone has been constituted in a special way by this God’s action, by his taking it ‘for his own possession’.” [1]

Keberadaan umat Allah adalah semata-mata karena tindakan anugerah dan belas kasihan Allah untuk hadir dan berkarya di antara mereka. Petrus mengatakan dalam 1 Petrus 2:9-10 bahwa kita dipanggil sebagai umat Allah karena (1) Allah sudah mengerjakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, (2) Allah telah memanggil kita keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib, dan (3) kita telah beroleh belas kasihan. Dengan demikian, kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya adalah semata-mata anugerah Allah, tindakan inisiatif Allah yang menjadikan kita umat-Nya.

Everywhere in the Bible we hear the assertion that the birth and survival of this people are due alone to God’s gracious and faithful action in creating, calling, sustaining, judging, and saving it. They are a people only because he dwells within them and moves among them.”[2]

Karena itu, kehadiran Allah di tengah-tengah kehidupan Gereja merupakan esensi Gereja sebagai umat Allah.

People of God for me is the human race to the extent that it belongs to God by being a place of God’s dwelling in the Spirit.”[3]

Penyataan kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya ini merupakan satu jalinan benang merah di dalam Alkitab dari Kejadian hingga Wahyu (Kej. 17:7, Kel. 6:7, Im. 26:12, Yeh. 11:20, Za. 2:10-11, 2Kor. 6:16, Why. 21:3,7) yang akan kita telusuri secara garis besarnya di dalam artikel ini.

Kehadiran Allah di dalam Perjanjian Lama

Sebelum ada bangsa Israel (sebagai gambaran umat pilihan Allah di dalam Perjanjian Lama), Allah sudah mengikat perjanjian dengan Abraham untuk menjadi Allahnya dan Allah keturunannya (Kej. 17:7). Di sini kita melihat bahwa panggilan Abraham merupakan pemilihan dan inisiatif Allah untuk mengadakan perjanjian dengannya. Jadi, umat Allah ada semata-mata karena belas kasihan Tuhan.

Dalam pelariannya dari Esau, kakaknya, menuju rumah pamannya Laban, di suatu tempat yang kemudian dinamakannya Beth-El (dalam bahasa Ibrani berarti rumah Allah, Kej. 28:17), Yakub bermimpi. Di situlah Yakub merasakan kehadiran Allah. Ayat ke-16 menyatakan “…Sesungguhnya TUHAN ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya.” Allah menyatakan kehadiran-Nya kepada Yakub sebagai bukti dan peneguhan atas penyertaan-Nya.

Kehadiran Allah merupakan hal yang esensial bagi umat Allah seperti yang diutarakan juga oleh Musa di padang gurun (Kel. 33:12-16). Di ayat ke-15, Musa menolak pergi jikalau Allah tidak membimbing mereka. Ia menegaskan identitas bangsa Israel sebagai umat Allah dan kehadiran Allahlah yang mereka butuhkan.

Selain itu, di dalam sejarah bangsa Israel, lambang kesatuan antara Allah dan umat-Nya digambarkan secara jelas dengan keberadaan Kemah Suci. Kata “Kemah Suci” sendiri menyatakan arti kehadiran Allah. Dalam bahasa Ibraninya, Kemah Suci ditulis sebagai “Mishkan” yang artinya adalah tempat kediaman (atau dalam bahasa Inggris, dwelling place). Yehezkiel  menubuatkannya di dalam Yehezkiel 37:27, “Tempat kediaman-Ku pun akan ada pada mereka dan Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.” Ayat ini dikutip oleh Rasul Yohanes untuk menggambarkan Yerusalem Baru dalam Wahyu 21:3,  “…Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka.”  Kemah Suci merupakan tempat bagi bangsa Israel untuk bertemu Allah (Kel. 25:8, Kel. 29:46), serta lambang dari kehadiran Allah di antara mereka.

In the wilderness wanderings the tabernacle or tent was a symbol of the abiding presence of God in the midst of his people.”[4]

Di kitab Keluaran, Allah menyatakan bangsa Israel sebagai umat-Nya dan melepaskan bangsa Israel dari perbudakan Mesir supaya mereka beribadah kepada-Nya di padang gurun. Keluaran 7:16 mencatat, “…Biarkanlah umat-Ku pergi, supaya mereka beribadah kepada-Ku di padang gurun; meskipun begitu sampai sekarang engkau tidak mau mendengarkan.” Kemudian di dalam perjalanan menuju Tanah Perjanjian, di padang gurun Allah menyatakan rencana pembuatan Kemah Suci kepada Musa (Kel. 25-31) dan pembuatan Kemah Suci dimulai (Kel. 36-40) tepat seperti yang Allah perintahkan kepada Musa. Demikian juga setiap detailnya dibuat sesuai dengan instruksi Allah.

Di dalam tradisi pada waktu itu, kemah raja selalu diletakkan di tengah-tengah area perkemahan suatu bangsa. Maka, peletakan Kemah Suci di tengah-tengah perkemahan bangsa Israel sesungguhnya melambangkan theokrasi, yaitu Allah adalah Raja yang memimpin bangsa Israel. Hal ini sejalan dengan gambaran Tiang Awan/Api sebagai gambaran kehadiran Allah yang memimpin bangsa Israel sepanjang perjalanan menuju Tanah Perjanjian.

Of all the manifestations of God’s gracious presence vouchsafed to His ancient people, the cloudy pillar was the most striking and glorious. There was only one pillar – the same that was a pillar of cloud by day being a pillar of fire by night.”[5]

Tiang Awan melambangkan pimpinan Allah karena ke mana pun Tiang Awan itu berjalan dan diam, orang Israel akan mengikutinya. Demikianlah penyertaan Allah dalam bentuk pimpinan-Nya dinyatakan di sepanjang sejarah di dalam kehidupan umat-Nya. Di dalam kitab Mazmur, penyataan akan kebutuhan umat Allah akan pimpinan-Nya digambarkan sebagai domba yang membutuhkan gembala (Mzm. 78:52). Pimpinan Allah juga dinyatakan seperti seorang Ayah terhadap anaknya (Ul. 1:31).

God is ultimately the shepherd-ruler of this flock; Jesus is the chief shepherd; Jesus appoints undershepherds, but the flock throughout remains God’s possession (1 Peter 5:2-4)”[6]

Kehadiran Allah, dikatakan di dalam Alkitab, tidak dapat lepas dari kesucian Allah, karena itu Kemah Suci juga dinamakan “Sanctuary” atau Tempat Kudus. Kekudusan Allah dinyatakan dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Allah sendiri (seperti persembahan korban). Pelanggaran sekecil apapun terhadap peraturan-peraturan tersebut sama dengan pelanggaran terhadap kesucian Allah dan pasti mendatangkan murka Allah (contoh: kematian Nadab dan Abihu dalam Imamat 10). Selain itu, kekudusan Allah juga dinyatakan melalui struktur Kemah. Di dalam Kemah, ada dua bagian ruangan yaitu tempat Kudus dan tempat Maha Kudus. Pada bagian Maha Kudus hanya Imam Besar yang boleh memasukinya.

The tabernacle and the later temple declared the holiness of God and the need that his wrath against sin be assuaged through sacrifice.”[7]

Demikian juga, setelah bangsa Israel menetap di tanah Kanaan dan Daud memerintah sebagai raja. Daud berencana untuk mendirikan Bait Allah tetapi Allah menyerahkannya kepada Salomo, anaknya. Salomo mendirikan Bait Allah yang megah dengan ukuran dan pembagian ruangan yang proporsional dengan Kemah Suci.

Kehadiran dan kemuliaan Allah dipancarkan baik ketika Kemah Suci maupun Bait Allah ditahbiskan (Kel. 40, 1Raj. 8). Di sini kita melihat suatu prinsip bahwa ketika kehadiran Allah dinyatakan maka kemuliaan-Nya terpancar. Begitu pula sebaliknya, ketidakhadiran Allah mengakibatkan ketiadaan kemuliaan Allah. Ketidaksetiaan bangsa Israel mengakibatkan kemuliaan Allah meninggalkan bangsa Israel (2Taw. 7:19-22). Allah tidak berkenan untuk hadir di tengah-tengah umat-Nya karena dosa-dosa mereka (Yes. 59:1-2). Maka, manusia ketika jatuh ke dalam dosa dikatakan sebagai kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23).

Pada sekitar tahun 586 SM, Bait Allah Salomo dihancurkan oleh Babilonia dan bangsa Israel ditawan. Tujuh puluh tahun sesudahnya, dengan dipimpin oleh Ezra (Ezr. 3-6), Bait Allah dibangun kembali dan Bait Allah ini tidak semegah Bait Allah yang dibangun oleh Salomo. Kemudian oleh Herodes dibangun lagi Bait Allah yang lain, yang terbesar sepanjang sejarah Israel. Bait Allah ini kemudian kembali dihancurkan oleh orang-orang Romawi pada tahun 70 Masehi. Bagi bangsa Yahudi, penghancuran Bait Allah ini menandakan absennya kehadiran Allah atau Allah sudah meninggalkan mereka. Hingga kini, bangsa Yahudi masih mengharapkan kedatangan Mesias dan pembangunan Bait Allah yang baru.

To the grief of the prophets, God’s people defied his holiness with rampant idolatry […] Assyrians swept away the northern tribes; Judah streamed into Babylonian captivity. The prophet Ezekiel saw the glory-cloud of God’s presence lift from the temple and move eastward with the captives (Eze. 11:23)”[8]

Signifikansi dari Bait Allah bukan terletak pada kemegahan interior dan kerumitan bangunannya melainkan kehadiran Allah. Demikianlah Allah menubuatkan kemegahan Bait Suci yang baru yang adalah kemegahan dari kehadiran Roh Allah di tengah-tengah umat-Nya (Hag. 2:1-10).

Kehadiran Allah di dalam Perjanjian Baru

Bangsa Yahudi menolak Wahyu Allah di dalam Perjanjian Baru. Mereka menolak Yesus Kristus sebagai penggenapan kehadiran Allah di tengah-tengah mereka. Yesus merupakan penggenapan Immanuel (Allah beserta kita). Yohanes 1:14 mengatakan, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita….” Di dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan, “And the Word became flesh and tabernacled among us.” Kata “diam di antara kita” merujuk kepada kata Kemah Suci di dalam Perjanjian Lama. Penyingkapan akan kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya menjadi jelas di dalam kehadiran Yesus Kristus.

Di dalam banyak bagian di dalam Perjanjian Baru, Kristus merujuk kepada Bait Allah. Pada perjumpaan-Nya dengan Natanael, Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia.” (Mat.  Ayat ini jelas merujuk kepada kejadian Yakub di Kejadian 28:12 di mana kehadiran Allah dinyatakan. Kristus adalah tangga yang menghubungkan sorga dan bumi. Tempat itu dinamakan oleh Yakub sebagai rumah Allah dan pintu gerbang sorga. Demikian juga, melalui Kristus kita memperoleh jalan masuk kembali kepada Bapa.

Penyataan ini juga jelas di dalam Yohanes 2:12-22. Ayat 19 mengatakan, “Jawab Yesus kepada mereka: ‘Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.’” Baru setelah kebangkitan-Nya, murid-murid-Nya menyadari bahwa Bait Allah yang dimaksudkan oleh Yesus adalah diri-Nya (ayat 21-22).

Wahyu Allah yang bersifat progresif terus dinyatakan dan membukakan kebenaran akan Roh Kudus yang diam di dalam hidup orang-orang percaya. Yesus menubuatkan kedatangan Roh Kudus sebagai bentuk kehadiran-Nya di dalam diri orang-orang percaya. Di dalam hal inilah Paulus mengatakan bahwa setiap tubuh orang percaya adalah Bait Allah (1Kor. 6:19), demikian pula gereja secara komunal adalah Bait Allah (1Kor. 3:16-17, Ef. 2:21). Kehadiran Roh Kudus di tengah-tengah orang percaya dan Gerejalah yang menjadikan kita sebagai Bait Allah, bukan sebaliknya.

Dengan mengerti kehadiran Allah dalam perspektif Perjanjian Baru, kehadiran Allah tidak lagi dimengerti dalam bentuk fisik, seperti yang dimengerti oleh orang Israel di dalam Perjanjian Lama. Kehadiran Allah dan kemuliaan-Nya menggantikan Tabut Perjanjian di dalam Kemah Suci (Yer. 3:16). Rasul Petrus mendeskripsikannya sebagai Bait Allah yang dibangun dengan batu-batu hidup di dalam sebuah rumah rohani (1Ptr. 2:5).

Umat Allah bagi Kemuliaan Allah

Gereja menyatakan kehadiran Allah melalui Roh Kudus yang diam di tengah-tengah umat-Nya. Tujuan keberadaan Gereja adalah memancarkan kemuliaan Allah (Ef. 3:21). Pengertian ini seharusnya membawa kita kepada satu kekaguman akan hidup kita sebagai kesatuan Umat Allah yang menyatakan kehadiran Allah di tengah-tengah dunia. Allahlah yang berinisiatif memilih kita menjadi bagian dari umat-Nya dan menggerakkan umat pilihan-Nya untuk menyatakan kehadiran-Nya bagi kemuliaan-Nya di dalam sejarah umat manusia. Kita hidup di dalam satu narasi besar (metanarasi) sejarah penebusan Tuhan yang akan berakhir dengan kedatangan Kristus di akhir zaman.

Yet Scripture also envisions a God dynamically implicated in the twists and turns of human history: a God who wills to dwell among human beings through the ministry of a people and to be present as holy will in that people’s law and way of life. Such metaphors of divine engagement and involvement were eventually reflected in what was later called the “economic” Trinity: God actively present in creation and history especially through the working of the Holy Spirit.”[9]

Umat Allah sebagai penyataan kehadiran Allah adalah tindakan anugerah Allah yang memuliakan Allah sebagai tujuan akhirnya. Demikianlah seharusnya kehidupan kita menggenapkan tujuan keberadaan kita sebagai Gereja dengan menghidupi seluruh aspek kehidupan kita menyatakan Allah dan Kebenaran-Nya serta pimpinan-Nya yang dinamis dalam sejarah. “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:36)

Chrisnah Ruston

Mahasiswi Institut Reformed Jakarta


[1] Paul S. Minear, The Images of the Church in the New Testament, hlm. 68.

[2] Ibid, hlm. 69.

[3] Lewis S. Mudge, The Sense of a People, hlm. 9.

[4] Robert H. Mounce, The New International Commentary on The New Testament: The Book of Revelation, hlm. 383.

[5] William Brown, The Tabernacle, hlm. 164.

[6] Paul S. Minear, hlm. 85.

[7] Edmund P. Clowney, The Church, hlm. 33.

[8] Ibid., hlm. 34.

[9] Lewis S. Mudge, hlm. 140.