Krisis Zaman: Generasi ‘The Da Vinci Code’

Sejak penerbitan pertamanya pada tahun 2003, buku The Da Vinci Code sudah terjual sejumlah 40 juta eksemplar dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa di berbagai negara. Dunia hiburan pun berencana akan menayangkan film The Da Vinci Code bulan Mei tahun ini. Banyak wawancara TV, forum diskusi, games, dan berbagai situs yang telah dibuat untuk The Da Vinci Code. Di bidang literatur, berbagai buku telah ditulis sebagai reaksi terhadap buku ini. Sebagian memakai kesempatan ini untuk menulis buku-buku yang mirip-mirip The Da Vinci Code agar bisa ikut mengeruk keuntungan, misalnya The Michelangelo Code, The Dali Code, The Da Vinci Cod: A Fishy Parody, dan lain sebagainya. Sebagian lagi menulis untuk menganalisa atau menentang isi di dalamnya, seperti The Da Vinci Code Hoax, The Truth Behind the Da Vinci Code, dan masih banyak lagi. Di kalangan orang-orang Kristen, seminar demi seminar telah diadakan untuk membahas The Da Vinci Code.

Demikian juga di bidang hukum sudah terjadi dua gugatan hukum dalam dua tahun ini karena pencurian ide. Di tahun 2005 gugatan dilakukan oleh Lewis Purdue, penulis buku The Da Vinci Legacy and Daughter of God. Bulan Februari 2006, Michael Baigent dan Richard Leigh, penulis buku The Holy Blood and the Holy Grail, juga menuduh pencurian ide dan hak penerbit oleh The Da Vinci Code. Persidangan baru saja berakhir tanggal 7 April 2006 yang lalu. Dalam kedua gugatan ini penulis buku The Da Vinci Code, Dan Brown, dinyatakan tidak bersalah karena peristiwa-peristiwa ‘sejarah’ adalah informasi umum yang tidak dapat dijadikan copyright. Selanjutnya, pelancongan juga tidak lepas dari pengaruh The Da Vinci Code, di mana banyak pembaca sengaja berkunjung ke Perancis hanya untuk melihat karya seni dan arsitek yang dijelaskan dalam buku ini.

Dampak yang begitu besar dari penerbitan buku ini sedang mencerminkan kondisi spiritual zaman sekarang. “Di mana hartamu berada, di situlah hatimu berada” (Matius 6:21). Apakah yang sedang dikejar oleh generasi kita? Apakah yang menarik perhatian orang-orang zaman sekarang? Di manakah generasi kita rela menghabiskan uang, waktu, dan tenaga mereka? Kebenaran? Kepalsuan? Kehebohan? Mengapa The Da Vinci Code sesungguhnya mendapatkan begitu banyak perhatian, waktu, dan pendapatan ekonomi dari segala lapisan masyarakat? Dari segi ini, kita dapat mengerti lebih dalam apa isi hati generasi kita, yaitu fondasi dan arah hidup yang sedang dituju di zaman ini.

The Da Vinci Code adalah cerita fiktif yang bermula dari pembunuhan satu-satunya orang yang konon mengetahui rahasia yang telah disimpan oleh gereja selama 2000 tahun. Petualangan dimulai oleh cucu perempuannya, Sophie Neveu, dengan membuka kode yang tersimpan di lukisan Leonardo Da Vinci, dan berakhir dengan penemuan bahwa seluruh sejarah kekristenan itu adalah rekaan manusia. Dari cetakan UK Publisher yang berjumlah 604 halaman, setengah bagian pertama buku ini (310 halaman) dipenuhi dengan adegan-adegan seru di mana pemeran utama fiksi ini menelusuri kode-kode, teka-teki, dan penemuan-penemuan misterius sementara terus melarikan diri karena adanya konspirasi pembunuhan. Setelah para pembaca tidak habis-habisnya dibuat tegang dan kacau pikirannya sepanjang setengah buku, akhirnya buku ini memasuki anti-klimaks dan sang
penulis secara perlahan mulai memberikan filsafat sejarahnya melalui tokoh yang bernama Sir Leigh Teibing, seorang sejarahwan yang terpelajar di dalam cerita ini.

Sir Leigh Teibing mengatakan bahwa untuk mengetahui apa yang sedang terjadi kita harus terlebih dahulu mengerti Alkitab (hal. 311). Setelah pernyataan ini, seluruh isi Bab 55 menjadi landasan argumentasi untuk bab-bab selanjutnya. Dalam bab ini dia menyerang kebenaran Alkitab dan keilahian Yesus Kristus dengan ‘membocorkan’ rahasia yang disimpan oleh gereja bahwa sebenarnya Yesus bukanlah Allah, melainkan hanya seorang manusia biasa yang menikah dengan Maria Magdalena, dan Alkitab bukanlah Firman Allah tetapi hanya merupakan produk manusia. Menurut The Da Vinci Code, Yesus sebenarnya ingin menyerahkan kerajaan-Nya kepada Maria Magdalena tetapi murid-murid-Nya mencoba menghentikan hal itu. Maka Injil menggambarkan Maria Magdalena sebagai seorang pelacur yang hina dan isi Alkitab juga mencoba menurunkan martabat wanita, seperti cerita yang direka di kitab Kejadian yang menuduh wanita (Hawa) sebagai penyebab umat manusia jatuh ke dalam dosa. Leigh Teibing menambahkan bahwa surat-surat Rasul juga mengekang kebebasan manusia dengan mengajarkan bahwa hubungan seksual adalah hal yang rendah padahal ini adalah hal yang alami dan indah. Semua ini semata-mata hanyalah akal muslihat licik untuk menyembunyikan rahasia pernikahan Yesus.

Saat Constantine menjadi kaisar Roma pada abad keempat, demi menyatukan kerajaannya dia menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. Maka sejarah gereja sangat ironis karena kaisar yang tidak mengenal Allah inilah yang menentukan buku-buku mana yang pantas dijadikan kitab Perjanjian Baru melalui konsili Nicea. Semua buku-buku yang menyetujui keilahian Yesus dipilih sedangkan buku yang melihat Yesus sebagai manusia biasa dibakar habis. Sejak saat itu umat Kristen mulai melihat Yesus sebagai Allah walaupun sebelumnya dia hanyalah manusia biasa. Gereja juga menjadi semakin kuat dan rahasia pernikahan Yesus semakin terkubur. Akan tetapi ada orang-orang yang mengetahui kebenaran ini dan menyembunyikannya dengan baik selama 2000 tahun ini. Mereka akhirnya membentuk suatu organisasi Priori of Sion yang memiliki pengikut yang berupa ilmuwan dan seniman hebat seperti Isaac Newton dan Leonardo Da Vinci. Dengan menyusun fakta dan fiksi secara kreatif dan berselang-seling, penulis The Da Vinci Code mencoba merobohkan sejarah kekristenan melalui mulut tokoh fiksi sejarahwan Leigh Teibing.

Buku ini ditanggapi dengan pujian dan kritik dari berbagai pihak. Di satu pihak, banyak pengulas buku yang cukup terkenal seperti New York Times, Chicago Tribune, Library Journal, dan masyarakat umum yang memuji bahwa buku ini sungguh menarik dan mendidik, penuh dengan nilai-nilai seni dan sejarah. Di lain pihak, para sejarahwan dan sejumlah pembaca mengeluh akan riset yang ceroboh dalam buku ini, termasuk fakta sejarah dan deskripsi seni dan arsitek yang tidak akurat dan bahkan salah. Sedangkan dari kalangan Kristen, banyak yang melihat buku ini sebagai ancaman serius terhadap iman Kristen sehingga mereka berapi-api menentang isi buku ini. Tetapi seperti dikatakan di atas, adanya efek positif dari buku ini dengan munculnya minat terhadap sejarah gereja pada sejumlah orang setelah membacanya. Efek positif ini dilihat oleh sebagian gereja sebagai kesempatan untuk penginjilan. Karena buku ini memiliki pembaca yang begitu luas maka ia merupakan topik diskusi yang dapat dijadikan sebuah jembatan untuk mengabarkan Injil kepada banyak orang. Banyak gereja mengadakan seminar dan pembahasan tentang pengaruh The Da Vinci Code untuk sekaligus ‘menjaring jiwa’.

Jika kita meninjau lebih dalam lagi, sebenarnya reaksi terhadap The Da Vinci Code terlalu dibesar-besarkan, baik reaksi terhadap dampak positif maupun dampak negatifnya. Dari segi mutu, The Da Vinci Code bahkan tidak memenuhi syarat-syarat dasar dokumen sejarah (walaupun di’sah’kan oleh pengadilan sebagai dokumen sejarah dengan memenangkan Dan Brown dari tuntutan pencurian ide), dan serangannya terhadap iman Kristen juga hanya berdasarkan argumentasi yang mudah dirobohkan. Secara esensi, buku ini menyerang dua doktrin dasar kekristenan, yaitu doktrin Alkitab dan doktrin Kristus. Detil-detil lainnya hanyalah implikasi lanjutan dari serangan terhadap dua doktrin dasar ini.

Doktrin Alkitab menjawab pertanyaan penting seperti, “Apakah Alkitab itu? Mengapa Alkitab adalah Firman Tuhan? Bagaimana Alkitab ditulis? Mengapa Alkitab diterima oleh gereja sebagai Firman Tuhan?” Leigh Teibing mengatakan bahwa Alkitab bukan Firman Allah. Alkitab tidak jatuh dari langit namun ditulis oleh tangan manusia dan sudah mengalami pencatatan ulang selama ribuan tahun dan berbagai perubahan versi. Kuasa manusialah yang menentukan buku-buku mana yang diturunkan kepada generasi selanjutnya. Inilah doktrin Alkitabnya The Da Vinci Code. The Da Vinci Code tidak memberikan ruang kepada Allah yang Mahakuasa untuk memakai manusia ciptaan-Nya dalam menurunkan Firman-Nya. Asumsinya, kalau Allah yang berfirman, buku-Nya harus jatuh dari langit. Apa barang-barang yang jatuh dari langit langsung jadi Firman Allah? Dalam pengajaran teologi yang paling dasar, doktrin Alkitab meninjau dengan ketat inspirasi, penulisan, otoritas, kanonisasi, dan preservasi Kitab Suci yang Allah berikan dan bagaimana tuntunan Roh Kudus sepanjang sejarah memampukan gereja Kristus mendengarkan suara Sang Gembala, mengerti, dan menaati Firman-Nya. Seseorang yang memulai dari asumsi yang bias dan tidak berdasar tidak dapat menjadi sejarahwan sejati. Demikianlah kita perlu menelusuri sejarah penulisan dan pembentukan Alkitab dengan hati yang terbuka untuk melihat keharmonisan semua fakta-fakta yang ada. Pada akhirnya, umat pilihan akan melihat bahwa Firman Tuhan berkuasa menaklukkan hati kita dan Firman Tuhan sendirilah yang harus menyatakan diri sebagai Firman Tuhan sebab klaim mutlak seperti ini terlalu tinggi dan tidak mungkin untuk dibuktikan oleh pikiran dan pengamatan manusia yang begitu terbatas.

Doktrin Kristus mengajarkan tentang siapa Kristus dan karya Kristus, yang merupakan fondasi dari kekristenan sendiri. The Da Vinci Code mereka-reka pernikahan Yesus dengan Maria Magdalena yang tidak dapat dibuktikan secara sejarah maupun logika. Gereja tidak bemula dari popularitas dan kuasa politik akan tetapi bertumbuh melalui curahan darah pengorbanan kaum martir. Sejak semula gereja sudah mempercayai keilahian Kristus sampai rela mempertaruhkan nyawa untuk mengabarkan kematian dan kebangkitan-Nya. Seluruh pengharapan mereka terpancar di dalam iman mereka yang begitu dalam terhadap Injil yang mereka beritakan. Siapa yang segila itu bersedia menderita dan mengorbankan hidup mereka untuk menyebarkan cerita yang mereka reka sendiri? Apa alasannya untuk terus mengagungkan seorang kriminal di salib, yang hanya seorang manusia biasa, sebagai Allah hingga meneteskan darah dan setia sampai nafas terakhir? Pernikahan Yesus dengan Maria Magdalena hanyalah khayalan yang tidak dapat di-trace ke akar sejarah.

Di samping itu, penulis buku ini sendiri pun terbukti belum membaca Alkitab dengan benar, akan tetapi berani berkomentar panjang lebar tentang isi Alkitab. Dia mengatakan bahwa Alkitab menolak kemanusiaan Kristus padahal kemanusiaan maupun keilahian Kristus dinyatakan oleh kebenaran Alkitab dengan solid dan tanpa dikompromi. Tentang martabat wanita, sesungguhnya dampak kekristenan melalui pengajaran Alkitab sepanjang sejarah telah menempatkan hak asasi wanita pada posisi yang seharusnya, yaitu sebagai manusia yang diciptakan sesuai gambar dan rupa Allah yang sama berharganya di mata Allah. Maka tuduhan bahwa Alkitab menurunkan martabat wanita sama sekali tidak benar. Alkitab juga tidak menyalahkan hubungan seksual seperti yang dituduh oleh The Da Vinci Code, akan tetapi hanya melarang hubungan seksual di luar pernikahan. Hanya orang-orang yang belum membaca atau mempelajari Alkitab yang dapat tertipu oleh rekaannya.

Doktrin Alkitab dan doktrin Kristus adalah bagian dari ajaran Kristen yang paling dasar yang memiliki akar yang sangat kokoh baik ditelusuri melalui Kitab Suci sendiri maupun sejarah. Setiap orang Kristen seharusnya menerima dan mempelajari kedua doktrin ini sebagai landasan yang paling dasar sejak awal mereka beriman pada Kristus. Tetapi, kenyataan bahwa sebuah cerita fiktif (bukan dokumen sejarah) dapat menggoyahkan iman begitu banyak orang Kristen benar-benar menunjukkan betapa pengajaran Kristen yang paling dasar telah dilalaikan. Akibatnya, umat Kristen berperang di peperangan yang begitu rendah mutunya – peperangan melawan fiksi — yang bahkan dapat dilakukan oleh seseorang yang bukan Kristen. Dalam hal ini, umat Kristen, terutama para pemimpin gereja, perlu merenungkan kesetiaan mereka sebagai orang-orang yang sudah dipercayakan untuk bertanggung jawab dalam mempertahankan dan mengajarkan kebenaran Allah.

Pada umumnya, seorang pembaca tidak memerlukan iman Kristen dan pengertian doktrin tetapi hanya memerlukan pengertian sejarah yang dasar untuk melihat kesalahan fakta dan kronologi sejarah serta logika dari The Da Vinci Code. Misalnya, konsili Nicea bukanlah konsili untuk kanonisasi, melainkan konsili Hippo yang berakhir dengan konsili Carthage yang terjadi seabad setelah kematian Constantine. Maka sudah tidak logis lagi untuk menyatakan bahwa Constantine yang menentukan buku-buku Perjanjian Baru.

Walaupun kita dapat memakai kesempatan penginjilan yang telah dihasilkan oleh penerbitan buku ini dan bersukacita atas pertumbuhan minat masyarakat terhadap sejarah gereja, sebenarnya kita lebih perlu lagi merenungkan dengan serius kelalaian kita dalam peperangan yang sesungguhnya. Kita telah dipanggil untuk berperang dalam peperangan yang lebih dahsyat, dan ini bukanlah sekedar bereaksi terhadap setiap buku bestseller yang berisi ajaran sesat dan merasa puas karena kita dapat menunjukkan kesalahannya sambil mengambil kesempatan ini untuk melakukan aktifitas gerejawi so-called penginjilan. Di tingkat ini, sebenarnya kita belum berperang dalam peperangan yang paling esensi melainkan hanya mengikuti tuntutan pasar—hanya bereaksi terhadap pasar.

Kita juga perlu mengingat bahwa popularitas The Da Vinci Code bukan semata-mata karena ceritanya menarik, akan tetapi karena banyak orang yang senang sekali memakai buku ini sebagai landasan untuk menolak Kristus maka semakin membaca mereka semakin percaya. The Da Vinci Code bukan buku pertama dan tidak akan menjadi buku terakhir yang menentang kebenaran. Akhir-akhir ini The Gospel of Judas tiba-tiba muncul dan menarik begitu banyak perhatian masyarakat sekali lagi. Belum seminggu sejak kemunculannya, sudah ada begitu banyak situs dan documentary tentang buku injil yang konon ‘terhilang’ ini. Sebelum Paskah, seperti biasanya ada ‘artikel-artikel sains’ yang terbit untuk menyerang Alkitab dan kali ini mencoba membuktikan bahwa Yesus sebenarnya tidak berjalan di atas air akan tetapi danau Galilea kebetulan sedang membeku saat itu maka Yesus berjalan di atas es. Kalau kita tanggapi satu per satu secara mendetil, kapan selesainya? Kalau ada seribu buku yang keluar yang menggemparkan dunia, apa kita juga ikut-ikutan gempar dan sibuk menanggapi satu demi satu?

Jika kita menghitung jumlah tenaga, waktu, dan uang yang sudah dipakai oleh gereja-gereja dan kalangan Kristen hanya demi menangani satu cerita fiktif ini, dapatkah kita mengatakan bahwa kita sudah bertanggung jawab dengan baik dalam menggunakan anugerah Allah yang dititipkan kepada kita? Apakah Allah akan membenarkan respons kita? Jangan-jangan kita sedang mengerahkan seluruh pasukan negara lengkap dengan senjata mutakhir untuk melawan beberapa orang musuh bersenjatakan bambu runcing.

Gereja dipanggil untuk berjalan di depan zaman dan memimpin arah sejarah dalam terang Firman Tuhan, bukan malahan mengikuti arah perhatian dunia dan hanya sebagai yang bereaksi seperti answering machine saja. Kita harus mampu menuntun zaman berdasarkan visi kekekalan yang terlepas dari perangkap waktu dan belenggu-belenggu dunia ini. Inilah panggilan gereja, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk berperang dalam perang sesungguhnya dengan bersenjatakan Injil Kristus—suatu panggilan peperangan rohani yang menuntut pengertian terhadap kebenaran Firman Tuhan secara solid. Gereja dipanngil untuk berperang memberitakan Injil, menyatakan kebenaran Firman Tuhan dan memberikan pengharapan kepada dunia yang sedang menuju kematian.

Panggilan kedua adalah mandat budaya, termasuk membangun pengertian sejarah yang benar di dunia ini. Hal ini akan memberkati orang-orang Kristen maupun yang bukan Kristen. Phillip Schaff, seorang sejarahwan Protestan pada abad ke-19 mengemukakan kualitas-kualitas dasar seorang sejarahwan sejati. Yang pertama adalah motivation. Kita harus belajar mencintai apa yang benar, bukan hanya mendengar dan menyebarkan data-data yang menarik tapi palsu. Yang kedua mengenai content di mana kita perlu membangun pengetahuan terhadap sumber-sumber informasi kita dan menganalisa kebenaran mereka. Yang ketiga adalah membangun fondasi yang solid sebagai suatu framework untuk membuat penilaian sebab fakta-fakta bukan keping-keping yang terpisah akan tetapi mereka memiliki hubungan satu sama lain dan mengandung arti secara keseluruhan. Jikalau orang-orang Kristen memenuhi panggilan mandat budaya dalam bidang sejarah dengan membangun filsafat dan struktur sejarah yang solid, maka cerita fiktif seperti The Da Vinci Code akan langsung terlihat essensi sebenarnya yakni dongeng sehingga tidak perlu ‘kebakaran jenggot’ seperti yang telah terjadi sekarang.

Melalui pembahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pengaruh ekonomi dan besarnya resources yang telah dihabiskan untuk The Da Vinci Code menunjukkan pada kita kondisi rohani gereja yang sangat rendah dan betapa rusaknya dunia zaman ini. Dalam kondisi seperti ini, fakta justru menunjukkan bahwa gereja tertidur dengan lelap dan puas dengan aktifitas-aktifitas yang ada, jemaat nyaman dalam ketidakmengertian akan kebenaran yang diimani, dan dunia semakin bersorak gembira karena mendapat satu lagi dukungan tambahan untuk menolak Kristus. Inilah krisis zaman kita sekarang! Lalu di manakah para pemuda-pemudi Kristen yang militan dalam membela dan memperjuangkan imannya serta yang berani menerobos krisis ini? Bangunlah hai pemuda-pemudi Kristen! Inilah panggilan kita! Marilah kita kembali setia kepada kebenaran Firman Tuhan yang solid di dalam Reformed Theology dan mengembangkan potensi yang sudah Tuhan berikan dalam terang Firman Tuhan untuk berani memberitakan Injil dan menantang serta membawa zaman ini kembali kepada-Nya! Soli Deo Gloria.

Mejlina Tjoa

Pemudi GRII Singapura