“Hah? Orang Kristen kok berbuat gitu sih.” Pertanyaan seperti ini tidak asing didengar di kalangan orang Kristen. Jika Anda jarang dan tidak pernah mendengarnya, itu bukan berarti bahwa pemikiran itu tidak pernah muncul dalam benak orang di sekitar Anda atau bahkan mungkin muncul di pikiran Anda sendiri. Pertanyaan semacam ini cenderung sulit dimengerti mengapa dosa masih bisa ada di antara orang yang sudah dibenarkan dan disucikan oleh Tuhan.
Marilah kita sama-sama kembali melihat kehidupan orang-orang percaya yang tercatat di dalam Alkitab. Daud yang disebut sebagai seseorang yang berkenan di hati Tuhan pernah jatuh di dalam dosa perzinahan dan pembunuhan yang terencana. Yehuda, nenek moyang Tuhan Yesus, pernah mengajak menantunya sendiri tidur bersama dia, yang dikiranya adalah pelacur jalanan (Kej 38:15). Petrus murid kesayangan Tuhan Yesus pernah menyangkal Tuhan Yesus sebanyak tiga kali. Dan masih banyak lagi contoh-contoh kegagalan umat pilihan di dalam Alkitab. Realita yang begitu jelas dicatat dan diulang di dalam Alkitab tetapi sering sekali gagal dilihat dan dimengerti oleh pembacanya dengan benar. Ketika kita membaca perjalanan iman tokoh-tokoh besar yang dipakai Tuhan di Alkitab, tanpa disadari kita selalu membutakan diri kita terhadap realita bahwa mereka adalah manusia yang juga pernah jatuh di dalam dosa, sehingga ketika kita melihat realita kehidupan orang percaya yang tidak sempurna di sekeliling kita sekarang atau bahkan realita di dalam diri kita yang lebih menjijikkan lagi, kita menjadi kaget dan kecewa terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.
“There is no place for sins in believers’ hearts.” Apakah kalimat ini benar? Jawabannya adalah iya dan tidak. Iya, karena di dalam hati orang percaya, dosa tidak lagi berkuasa, dan Kristuslah yang bertahta sebagai Raja dan Penguasa di dalam hati kita. Dosa bukan lagi sebagai pemilik hati kita, tetapi hanya sebagai tamu yang boleh kita pilih untuk kita layani atau usir dari hati kita. Tidak, karena natur berdosa kita masih tetap di dalam diri kita walaupun kita sudah dibenarkan oleh Kristus. Pergumulan melawan natur dosa ini sangat jelas diungkapkan oleh Rasul Paulus di Roma 7:18-19, “Sebab aku tahu bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.”
Ketika kita menyadari bahwa keberadaan dosa masih ada di kalangan orang percaya dan bahkan di dalam diri kita sendiri, bagaimanakah reaksi atau respon kita terhadap hal ini? Ada dua konsep yang salah yang telah mengakibatkan kita salah berespons:
1. God’s grace is cheap.
Konsep yang salah ini telah mengakibatkan orang percaya terus bermain-main di dalam dosa dan bahkan memakai anugerah Tuhan sebagai alasan untuk terus boleh berbuat dosa. Bertobatlah apabila Anda masih memiliki konsep yang seperti ini. Roma 6:1-2 mengatakan, “…Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sama sekali tidak!…” Pernahkah Anda mendengar komentar seperti ini, “Paling senang kalau jadi orang Kristen, berbuat dosa apapun pasti akan diampuni Tuhan. Kalo berdosa lagi, ya minta ampun saja lagi. Kan katanya anugerah Tuhan tuh tidak terbatas, jadi bisa berbuat dosa terus dong, tapi asal jangan lupa minta ampun saja sesudahnya.” Apabila Anda masih memiliki pandangan seperti ini, bukan saja bahwa Anda tidak mengenal anugerah Tuhan yang sebenarnya sekaligus jelas menyatakan bahwa Anda tidak ada di dalamnya. Bertobatlah! Manusia yang mengerti dan mengalami anugerah Tuhan yang sesungguhnya tidak akan pernah menyepelekan anugerah Tuhan. Anugerah bukan untuk dipermainkan!
2. God’s grace is limited.
Ekstrim dari pandangan God’s grace is cheap adalah God’s grace is limited. Konsep ini akan membuat kita sulit untuk mencari pengampunan dari Tuhan setelah kita jatuh ke dalam dosa, khususnya dosa-dosa yang kita anggap besar dan juga dosa-dosa yang sudah kita lakukan berkali-kali. Hal ini terjadi karena ketidakpercayaan kita terhadap kasih dan kuasa Tuhan yang tidak terbatas. Bertobat jugalah Anda apabila Anda masih memiliki konsep yang seperti ini. 1 Yohanes 2:2 mengatakan, “Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia.” Pernahkah Anda mendengar komentar seperti ini, “Tuhan pasti tidak akan mau lagi memaafkan saya, saya sudah begitu jahat dan melakukan dosa yang begitu najis di hadapan-Nya. Saya sudah tidak layak lagi diampuni Tuhan.” Kalimat ini terdengar begitu rendah hati dan seolah-olah baik, tapi sesungguhnya yang ada di dalam hati bukanlah demikian. Yang ada malahan kecongkakan diri yang menghalangi kita untuk bersujud dan minta ampun akan dosa-dosa kita. Sejak kapan kita layak untuk diampuni? Sejak awalnya kita memang sudah tidak layak diampuni. Bukan itu saja, sejak kapan kita dipanggil sebagai penentu apakah kita layak diampuni atau tidak? Tetapi, komentar tersebut sering terdengar di kalangan orang Kristen, bahkan lebih sering terdengar dari orang-orang Kristen yang sudah giat melayani. Hal ini tidak mengherankan karena setelah melakukan banyak pelayanan dan perbuatan-perbuatan baik, sehingga menjadi merasa cukup baik dan layak untuk mendapatkan anugerah Tuhan lebih. Sehingga saat kita jatuh di dalam dosa, kita menjadi goyah karena ternyata bahwa pegangan kita selama ini adalah perbuatan baik kita dan bukan anugerah Tuhan. Berpeganglah kepada kasih karunia-Nya yang kekal! “The Father does not welcome you because you have been trying hard, because you have made a thoroughgoing confession or because you have been making spiritual strides recently. He does not welcome you because you have something you can be proud about. He welcomes you because his Son died for you.” ¹
Di dalam perjalanan sebagai orang percaya, pasti ada saat-saat di mana kita jatuh di dalam dosa. Oleh sebab itu, kita perlu memiliki keberanian untuk menginstropeksi diri di hadapan Tuhan. Henri Nouwen pernah menulis tentang pergumulannya: “Here I was, a writer about the spiritual life, known as someone who loves God and gives hope to people, flat on the ground and in total darkness…within me there was one long scream coming from a place I didn’t know existed, a place full of demons.” ² Satu hal yang harus kita waspadai saat kita menginstropeksi diri adalah janganlah kita terlalu berlarut-larut dalam proses tersebut dan akhirnya membuat kita menjadi putus asa ketika kita melihat kegelapan yang begitu nyata di dalam diri kita. Kita menghabiskan waktu begitu lama dalam “mempelajari” dosa di dalam diri kita sampai mengabaikan untuk berperang melawannya. Biarlah proses instropeksi membuat kita semakin sadar bahwa di dalam diri kita memang tidak ada apa-apa yang bisa kita banggakan, oleh karenanya kita bergantung total kepada anugerah Tuhan. Keberanian menjalankan proses instropeksi diri yang benar akan mendorong kita semakin bergantung kepada anugerah Tuhan dan semakin berjuang menghidupi hidup sesuai hati Tuhan. To live is to fight! John White memberikan sedikit ilustrasi: “…A soldier who in the midst of battle sat down and said ‘I’m no good. It’s no use trying any more. Nothing seems to work.’ There is no place for giving up. The warfare is so much bigger than our personal humiliations. Over such a soldier I would pour a bucket of icy water. I would drag him to his feet, kick him in the rear end and put his sword in his hand and shout, ‘Now fight!’ ” ³
Setelah kita mengetahui bagaimana meresponi keberdosaan kita secara benar, barulah kita dapat meresponi keberdosaan saudara-saudari kita secara benar pula. Persekutuan antar orang percaya bukanlah persekutuan yang terdiri dari orang-orang tanpa dosa, tetapi terdiri dari orang-orang yang masih sama-sama berjuang melawan natur dosa yang masih ada. Ketika kita sungguh-sungguh menyadari dan mengerti realita ini, kita tidak akan menjadi gampang kecewa terhadap saudara-saudari kita apabila mereka berbuat dosa. Tetapi justru kita harus saling menguatkan dalam peperangan yang sama, peperangan melawan dosa. Mintalah kepada Tuhan sebuah hati yang membenci dosa, bukan hati yang membenci saudara-saudari kita yang melakukan dosa. Belajarlah untuk memakai kacamata kasih ketika Anda melihat saudara-saudari seiman yang ada di sekeliling Anda, kasih Kristus akan menyempurnakan mereka pada waktunya, sama hal nya juga dengan diri Anda yang akan disempurnakan Kristus pada akhirnya. Marilah kita meminta sebuah hati untuk mengasihi saudara-saudari kita, sesama kita, orang berdosa, seperti Kristus mengasihi kita, dan membenci dosa seperti Allah membenci dosa. Kiranya nama Tuhan saja dipermuliakan! Amin.
Sofia Tioanda
Pemudi GRII Singapura
¹ John White, The Fight (SU Publishers), p. 88.
² Larry Crabb, Connecting (Nashville: Word Publishing, 1997), p. 24.
³ John White, p. 222.