Partial Repentance

“Saya bertobat di KKR waktu berusia 20 tahun.”

“Saya harus bertobat dan tidak lagi melakukan kebiasaan buruk saya.”

Pada waktu kita menggunakan atau mendengar kata pertobatan, seringkali yang ada di pikiran kita yang namanya pertobatan adalah seperti yang diutarakan oleh kalimat-kalimat di atas. Sebenarnya pengertian tersebut bukan merupakan pengertian yang salah secara total mengenai pertobatan, namun lebih tepat dikatakan sebagai langkah awal pertobatan, yang berarti pada suatu moment kita menyadari dosa kita, membencinya, dan ingin meninggalkannya. Hal ini merupakan satu langkah yang sangat penting di awal kehidupan kita sebagai seorang Kristen, sebab esensi dari pertobatan memang adalah berbalik dari dosa dan kembali menuju kepada Allah. Namun, bukanlah hal yang benar jika kita berpuas diri dengan mengerti pertobatan seperti demikian saja. Bahkan jika pengertian kita tidak bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan rohani kita, kita akan menghadapi banyak masalah yang sulit. Pertobatan tidak boleh dilihat sebagai event yang terjadi hanya sekali seumur hidup pada waktu kita percaya, atau dimengerti sebagai hanya sekedar meninggalkan satu kelakuan yang salah seperti yang dicontohkan dua kalimat di atas.

Ada seorang tokoh dalam Perjanjian Lama yang dapat kita analisis untuk memperjelas pengertian kita mengenai pentingnya pengertian yang tidak sempit mengenai pertobatan. Tokoh yang dimaksud adalah Yunus. Yunus adalah seseorang yang takut akan Allah. Dalam konteks Pillar beberapa bulan ini, kita dapat mengatakan ia adalah orang yang dipilih, dipanggil, dan dilahirbarukan. Namun ternyata ia belum mati terhadap manusia lamanya. Hal ini dapat kita lihat ketika Yunus diperintahkan Allah untuk berkhotbah kepada kota Niniwe. Dalam penilaian Yunus, perintah ini tidak dapat dijalankan. Baginya, Niniwe adalah kota yang sangat jahat dan tidak pantas diselamatkan, maka ia menolak perintah Tuhan dan pergi ke arah yang berlawanan yaitu ke kota Tarsis dengan menggunakan sebuah kapal. Dalam hal ini, ia lebih membenarkan penilaiannya sendiri daripada penilaian Allah. Yunus adalah orang percaya, namun pada saat ia dihadapkan pada kehendak Allah yang bertentangan dengan keinginannya, dan ia harus melayani orang-orang yang tidak dapat ia kasihi, ia menolak.

Di tengah perjalanan, Tuhan menegur Yunus dengan memberikan angin ribut dan badai besar. Sebagai seseorang yang sudah dipilih dan diregenerasikan, dapat diharapkan bahwa respon Yunus adalah segera bertobat dan menaati Tuhan. Tetapi heran, ternyata Yunus justru berkata demikian kepada penumpang kapal yang lain, ”Angkatlah aku, campakkanlah aku ke dalam laut, maka laut akan menjadi reda dan tidak menyerang kamu lagi. Sebab aku tahu, bahwa karena akulah badai besar ini menyerang kamu” (Yun. 1:12). Jika Yunus sudah menyadari bahwa badai besar ini adalah hukuman Tuhan karena ketidaktaatannya, bukankah seharusnya ia menyesali perbuatannya dan memilih untuk taat? Bukankah ini adalah waktu yang tepat bagi Yunus untuk meminta pengampunan dan pertolongan dari Tuhan seperti yang kemudian dilakukannya pada saat ia di perut ikan? Yunus bukan orang yang tidak mengerti sifat Allah yang berdaulat dan juga maha pengampun. Ia mengenal karakter Allah dengan cukup baik, tetapi mengapa ia tidak berdoa kepada Allah pada saat seperti ini? Saat ini ia memiliki pilihan untuk berubah mengikuti kehendak Allah dan bukan kehendak dirinya, dan ia mengerti hal inilah yang memang seharusnya ia lakukan. Ia sadar bahwa ia tidak dapat melawan kehendak Allah dan tidak mungkin hidup dalam pemberontakan melawan Allah. Tetapi reaksi Yunus adalah mengeraskan hati untuk tidak mau berubah dan bahkan memilih untuk dilemparkan ke laut saja. Ia tidak mau mengubah pendiriannya, dan lebih memilih untuk mati daripada harus pergi ke Niniwe. Ia lebih memilih mati daripada menaati kehendak Tuhan yang menuntut penyangkalan diri dan kerelaan untuk mau berubah mengikuti kehendak Tuhan.

Sebagaimana perubahan sikap dan kehendak menjadi begitu sulit bagi Yunus meskipun ia menyadari bahwa sebenarnya ia tidak memiliki pilihan, maka perubahan juga dapat menjadi satu hal yang begitu sulit pada waktu kita dihadapkan dengan diri kita, segala kebiasaan buruk kita, konsep kebenaran yang selama ini kita pegang, dan kecenderungan hati kita yang berdosa. Terkadang kita sudah dengan sangat jelas mengetahui bahwa yang kita lakukan adalah salah, namun kenyataannya setelah berulang kali berusaha, kita tetap tidak dapat mengubah kelakuan kita. Kita tahu jika kita mau menjalankan apa yang Tuhan kehendaki, kita harus berubah, namun hal itu begitu sulit dijalankan. Kadang-kadang kemudian kita justru mulai mencari pembenaran bahwa memang setiap orang memiliki sifat dasar, yang mungkin ada buruknya tapi ada baiknya. Lalu dengan alasan itu kita mempertahankan kebiasaan buruk kita yang kita anggap sebagai sifat dasar yang tak perlu diubah. Dalam hal ini misalnya seseorang yang pemalu dan tidak suka berdebat: ia dapat mengatakan kelemahannya ini sekaligus merupakan kelebihannya, karena melalui sifatnya ini tidak terjadi banyak pertentangan atau perselisihan. Tetapi ini tidak boleh menjadi alasan ia mempertahankan sifatnya itu dan mengatakan, “Memang saya adalah orang yang seperti ini.” Dengan demikian ia membenarkan diri jika pada waktu-waktu tertentu ia tidak berani mengkonfrontasi kesalahan orang lain hanya dengan alasan bahwa ia bukan tipe orang yang konfrontatif. Seringkali dengan perkataan, “Setiap orang kan beda-beda!” maka kita merasa dapat menghindarkan diri dari keharusan untuk berubah. Padahal kita semua dipanggil untuk menjadi seperti Kristus. Dan untuk menjadi seperti Kristus kenyataannya kita harus menyangkal diri, yang artinya mencakup segala sifat dasar yang kita miliki. Jika sifat itu memang tidak baik atau tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, maka itu harus dibuang. 

Sayangnya respon kita sebagai orang percaya terhadap keharusan untuk berubah itu adalah respon seperti Yunus. Kita mungkin pernah berpikir seperti ini: “Saya tidak dapat berubah dari kesalahan saya,” yang dengan kata lain kita memilih diam (seperti ikan mati yang dibawa arus) daripada berjuang untuk melawan dan mematikan manusia lama kita untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehendak Allah. Yang lebih buruk lagi, ketika kita terus-menerus dituntut untuk berubah oleh firman Tuhan, mungkin kita mulai merasa kesal dengan gangguan yang tak henti-hentinya menuntut kita sebagai umat pilihan dan kemudian kita mulai menggerutu. Kita mulai berpikir mungkin bahkan lebih baik jika kita bukan orang yang dipilih sehingga kita tidak perlu menghadapi benturan dan tekanan yang begitu besar. Respon seperti demikian sebenarnya sangat mirip dengan apa yang dilakukan Yunus. Kita lebih memilih mati dalam kemalasan dan kestatisan kita daripada harus berubah terus-menerus mengikuti perintah Tuhan.

Tuhan tidak pernah menghendaki kematian atau penderitaan kita, Ia menghendaki kita untuk bertobat. Yunus dalam kedegilan hatinya tetap tidak dibiarkan mati karena kebodohannya. Ketika Yunus yang berada dalam perut ikan kemudian menyadari kesalahannya dan mau taat kepada Tuhan, Tuhan menyelamatkannya dan bahkan memberikannya kesempatan kedua untuk tetap melayani Dia. Respon Yunus terhadap perintah Tuhan kali ini bertolak belakang dengan responnya terhadap perintah yang pertama kali. Hal inilah yang lebih sering kita lihat sebagai pertobatan. Dari tidak taat menjadi taat, arah perjalanannya ke kota Tarsis, dibalikkan 180 derajat menuju ke kota Niniwe. Namun pertobatan bukan hanya perubahan perilaku dari taat menjadi tidak taat, tetapi kembalinya seluruh pikiran, emosi, dan kehendak manusia kepada pikiran, emosi, dan kehendak Allah. Inilah yang tidak dialami Yunus, ia hanya mengubah perilakunya, namun pikirannya tetap tidak sinkron dengan rencana Tuhan, emosinya tidak sesuai dengan emosi Tuhan, dan keinginannya tetap bertentangan dengan keinginan Tuhan. Kita bisa lebih jelas melihat hal ini jika kita membaca Yunus 4:3. Di situ tertulis bahwa pada saat Yunus melihat pertobatan kota Niniwe ia berkata: “Jadi sekarang, ya Tuhan, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati daripada hidup.” Jadi setelah Yunus “bertobat” dan taat mengerjakan perintah Tuhan, ada sesuatu yang tidak berubah dalam dirinya. Ia tetap tidak mengerti rencana Allah, tetap tidak sinkron dengan emosi Allah, ia tidak mengasihi orang Niniwe sebagaimana Allah mengasihi mereka, dan tetap tidak memiliki kerelaan untuk melakukan kehendak Tuhan. Ia bahkan tetap mengatakan kalimat yang esensinya sama dengan kalimatnya kepada awak kapal. Ia menyatakan bahwa ia lebih memilih mati daripada melihat pekerjaan Tuhan digenapi.

Kisah ini seharusnya dapat menjadi cermin bagi kita, untuk mengoreksi pertobatan kita sendiri. Seberapa sering kita melakukan pekerjaan Tuhan karena terpaksa atau ikut arus, bukan karena kita sungguh-sungguh mengasihi orang yang kita layani? Sudah berapa lama kita melakukan pelayanan dalam gereja Tuhan namun tidak pernah mengerti apa yang sesungguhnya Tuhan kehendaki? Apakah hal ini dapat kita sebut sebagai pertobatan yang benar? Dalam Perjanjian Baru, salah satu kata yang sering dipakai untuk pertobatan adalah metanoia. Kata benda ini merupakan gabungan dari meta dan nous. Meta menunjukkan perubahan, nous berarti pikiran, sikap dasar, karakter, atau kesadaran moral. Maka metanoia berarti perubahan pikiran atau hati. Metanoia mencakup lebih banyak aspek daripada sekadar penyesalan atas dosa, juga lebih dari sekedar perubahan intelektual. Metanoia mencakup suatu perubahan dari satu pribadi secara utuh, yang nyata di dalam kehidupan pribadi tersebut. Pertobatan bukan hanya mencakup sisi negatif yaitu penyesalan terhadap dosa dan rasa bersalah yang mengubah cara kita bertindak. Sangat penting bagi kita untuk mengerti pertobatan dalam sisi positif yaitu perubahan seluruh diri kita yang menuju kepada Tuhan. Kita harus berjuang untuk dapat berpikir, merasa, dan berkehendak seperti yang diinginkan Tuhan.

Jikalau kita sudah melihat contoh dari Yunus, bagaimana dengan kita sendiri? Mungkinkah saat terlibat dalam pelayanan sesungguhnya kita juga hanya berubah di dalam tindakan kita saja? Ataukah kita mengalami perubahan itu dalam seluruh pribadi kita? Bulan ini kita akan kembali melihat pekerjaan Tuhan yang besar di dalam KKR Jakarta 2008. Saya percaya sebagian besar pembaca Pillar di Jakarta sudah mengambil bagian dalam pelayanan di KKR ini. Namun mari kita memikirkan sebentar, apa respon kita yang sesungguhnya terhadap event ini? Kita dapat menjadi kolektan, tanpa pernah memikirkan apa sesungguhnya kehendak Tuhan dalam KKR ini. Kita dapat menjadi konselor tanpa memiliki belas kasihan terhadap orang-orang yang terhilang, dan tanpa memiliki sukacita melihat orang-orang diselamatkan. Kita dapat menjadi anggota paduan suara tanpa keinginan yang sungguh untuk melayani Tuhan. Apakah dengan demikian kita boleh dengan berani menyatakan diri kita sebagai seorang yang sudah bertobat?

Pertobatan juga tidak pernah dapat dipisahkan dari iman, yang adalah penerimaan dan penyandaran diri kepada Kristus. Manusia harus menjadi ciptaan baru, dan dikonversikan dari “kebenaran” dirinya sendiri kepada kebenaran Kristus. Kita harus berhenti dari penilaian diri yang berdasarkan standar kebenaran kita dan mengalihkannya kepada standar kebenaran Allah. Selanjutnya, jika kita mau menarik lebih luas lagi mengenai kaitan pertobatan dengan karya penebusan Kristus secara utuh, maka kita mendapatkan bahwa seharusnya sebagaimana penebusan Kristus berefek pada seluruh ciptaan, pertobatan manusia sebagai mahkota ciptaan juga seharusnya demikian. Pertobatan bukan hanya menjadi urusan pribadi kita dengan Tuhan saja, namun harus juga terjadi pada seluruh umat pilihan, dan menyebabkan pemulihan pada seluruh ciptaan. Tidak heran jika Yohanes Pembaptis menuntut: “Hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan.” Pertobatan bukanlah domain individu saja, namun harus mempengaruhi orang lain dan lingkungan kita.

Dari pembahasan ini kita dapat melihat lebih jelas bahwa pengertian pertobatan bukan hanya seperti yang digambarkan dua kalimat pembuka di atas. Dari beberapa contoh di atas kita mulai melihat betapa pentingnya untuk mengerti kaitan satu aspek dengan keseluruhannya. Inilah kelimpahan yang harus terus kita gali dalam anugerah Tuhan yang begitu kaya. Pertobatan memang memiliki satu karakteristik khusus yang membedakannya dengan aspek-aspek penebusan lainnya, namun kita tetap harus melihatnya sebagai suatu keseluruhan yang terkait erat. Hal ini mungkin dapat dicontohkan dengan pengenalan kita akan seseorang, sebut saja X. Pada waktu kita baru mengenal X selama 1 minggu, mungkin kita hanya dapat melihat sifatnya yang menonjol, misalnya cerewet. Lalu kita dapat mengatakan, X adalah seorang yang cerewet. Pernyataan ini tidak salah. Namun jika kita sudah berteman dengan X selama 10 tahun, sudah seharusnya pengenalan kita terhadap X akan bertambah. Mungkin kita kemudian mengetahui bahwa ia suka membaca, mudah tersinggung, atau sifat-sifat lainnya. Kita tidak boleh mereduksi seseorang hanya dalam satu karakteristik yang menonjol dan tidak ambil peduli dengan sifat-sifat atau karakter lainnya. Pengenalan yang komprehensif inilah yang harus kita miliki jika kita mau mengatakan bahwa kita sungguh-sungguh mengenal seseorang. Demikian pula ketika kita mau sungguh-sungguh mengerti satu istilah yang begitu sederhana, yang sering kita sebut yaitu pertobatan. Kita pun perlu mengerti secara komprehensif dan membandingkan dari berbagai aspek, dan tidak melepaskannya dari keseluruhan. Kiranya dalam mengerti pertobatan (dan seluruh anugerah keselamatan) kita dapat semakin memiliki kedewasaan untuk mengetahui begitu banyak aspek yang terkait di dalamnya. Amin.

Dorothy

Pemudi GRII Pusat

Referensi:

  1. Hoekema, A. Diselamatkan oleh Anugerah. Surabaya: Momentum, 2006.
  2. Murray, J. Penggenapan dan Penerapan Penebusan. Surabaya: Momentum, 1999.