Progressive Sanctification

Pagi itu sekalipun langit masih begitu gelap, matahari seakan tak sabar untuk menyengatnya dan terangnya tak tahan ‘tuk tidak menelanjangi perbuatan hinanya saat itu juga. Adalah bak petir di siang bolong, ketika kumpulan para ahli Taurat dan orang Farisi tiba-tiba menyeretnya layaknya binatang. Tatapan tajam mereka begitu menusuk sehingga membuatnya tak mampu berkata-kata apalagi membela diri di hadapan mereka. Ya, ia memang seorang perempuan pezinah. Dia berikan tubuhnya kepada seorang pria yang bukan satu daging dengannya. Dia berikan kesucian itu dengan kesadaran penuh seraya menekan hati nuraninya sambil tersayat. Dan tak disangkanya bahwa dosa itu menjalar dan merusak seluruh hidupnya dalam sekejap mata saja. Namun, kini memang tak ada lagi harapan buatnya. Penyesalan tidaklah membantunya ‘tuk lunakkan hati Sang Pencipta agar Dia memutar waktu apalagi menghapuskan dosanya. Saat itu yang mampu diramalkannya hanyalah bebatuan tajam yang kini diinjaknya, siap menghakimi dirinya di tempat itu dan kapan saja waktunya.

Dengan langkahnya yang terseret-seret, orang banyak tetap saja mengaraknya menuju sebuah bangunan suci yang mungkin tak pernah terpikirkan lagi baginya ‘tuk dimasuki. Dengan pandangan ke depan yang sulit dilakukannya, ia mulai melihat seorang pria dengan muka yang bercahaya sedang duduk mengajar orang banyak di bait yang menyatakan kehadiran YHWH, Allah Pencipta langit dan bumi. Mata pria itu begitu teduh bahkan mampu menghangatkan jiwa, sangat berbeda dengan kumpulan orang yang mengelilingi dan mendorong-dorongnya saat itu. Semakin diarak mendekati pria itu, getaran jiwanya makin terasa hingga akhirnya ia hanya mampu tersungkur dengan muka sampai ke tanah di depan pria itu.

Sorakan orang-orang di sekitarnya semakin lama semakin kencang, dan salah satu dari mereka mulai bertanya, “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa, dalam hukum Taurat, memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?” Maka seketika itu juga, tubuhnya makin bergetar ketakutan, seraya dilihatnya bebatuan tajam dari tanah itu sudah berpindah posisi dari tanah ke dalam genggaman orang-orang yang mengelilinginya. Lagi-lagi pertanyaan itu berulang-ulang dilepaskan ke udara, layaknya panah tajam yang dipanahkan tepat ke ulu hatinya. Maka makin meringkuklah tubuhnya tak tahan sambil memohon pengampunan dari antara mereka. Tetapi pria yang dipanggil Rabi itu, tak juga berespons terhadap massa, sehingga makin tak terkontrollah kondisi saat itu.

Beberapa waktu berselang, Sang Rabi pun bangkit berdiri dan berkata kepada mereka, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Maka kini situasi yang gaduh itu berubah menjadi demikian sunyi. Sang Rabi itu kemudian mulai membungkuk dan menulis di tanah. Jawaban itu memang membuat terdiam para ahli Taurat, orang Farisi, dan para pengikutnya. Sehingga mereka yang tadinya merajam perempuan itu dengan hinaan, sekarang mulai melepaskan kembali batu dalam genggaman mereka dan mulai meninggalkannya. Sekalipun kekesalan tak juga pergi dari air muka mereka, namun mereka memang pergi meninggalkan niat mereka untuk merajamnya saat itu.

Maka kini hanya kibasan debu, perempuan itu, dan sang Rabi yang tertinggal di tempat yang seharusnya menjadi makam perempuan itu. Sang Rabi kemudian bangkit berdiri dan berkata kepadanya, “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?”  Maka jawabnya sambil terbata-bata, “Tidak ada, Tuhan.” Lalu ujar-Nya lagi, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” Kalimat itu begitu jelas didengarnya. Kalimat itu meneduhkan hati, mendamaikan jiwa, dan seakan memberi pengharapan kepada perempuan malang ini. Namun, dalam hatinya ia bertanya-tanya, “Sesungguhnya siapakah orang ini? Ia tidak menghukumku, tentunya Rabi ini juga adalah manusia berdosa bukan? Tetapi mengapa kata-kata-Nya begitu bijaksana? Sesungguhnya siapakah Dia? Haruskah kuturuti apa yang diucapkan-Nya?”

Ya, sesungguhnya kebingungan yang sama sudah terjadi bertahun-tahun lalu sejak Kristus datang. Kelahiran-Nya menggemparkan dunia gembala sampai kepada orang-orang majus dari timur. Kehadiran-Nya mengancam para ahli Taurat dan orang Farisi, dan keberadaan-Nya membuat orang-orang Kristen memberanikan diri merumuskan tentang hidup-Nya. Namun berbagai pemikiran akan Kristus tidaklah pernah tuntas, karena sejarah membuktikan ketidakmampuan manusia ‘tuk memikirkan dengan utuh mengenai keilahian dan kemanusiaan-Nya.

Dari mulai para jemaat mula-mula dengan Yudaismenya yang menekankan akan kemanusiaan Kristus, ditandingi oleh orang Kristen di bawah pengaruh ajaran Gnostik yang memuja hanya keilahian-Nya. Dilanjutkan dengan kebingungan mengenai hubungan keterkaitan kedua natur Kristus. Bagaimanakah kemanusiaan dan keilahian berpadu dalam Diri Sang Putra? Maka berbagai jawaban simpang siur bermunculan dari filsafat Alexandria dengan pengaruh Yunaninya sampai kepada filsafat Antiokhia. Namun setiap pemikiran tersebut hanya membawa kepada perselisihan antar bapak Gereja yang satu dengan yang lainnya. Sehingga akhirnya Paus Leo meminta kepada kaisar agar diadakan satu konsili lagi yang mewakili Gereja secara menyeluruh. Konsili tersebut diadakan di Chalcedon, dekat Konstantinopel, pada tahun 451. Konsili tersebut mengundang lebih dari 400 uskup dan menghasilkan perumusan yang penting mengenai keberadaan Kristus, yaitu: 

“ …Anak yang satu dan yang sama, Tuhan kita Yesus Kristus, sempurna dalam keilahian dan juga sempurna dalam kemanusiaan, sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia, dengan jiwa yang bisa berpikir dan tubuh; Menurut keilahian-Nya mempunyai zat/hakekat yang sama dengan Sang Bapa, dan menurut kemanusiaan-Nya mempunyai zat/hakekat yang sama dengan kita, dalam segala hal sama seperti kita tetapi tanpa dosa…

Ia adalah Kristus, Anak, Tuhan yang satu dan yang sama, satu-satunya yang diperanakkan, mempunyai keberadaan dalam dua hakekat, tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa perpecahan, tanpa perpisahan; perbedaan dari dua hakekat itu sama sekali tidak dihancurkan oleh persatuan mereka, tetapi sifat-sifat dasar yang khas dari setiap hakekat dipertahankan dan bersatu menjadi satu pribadi dan satu keberadaan/makhluk, tidak berpisah atau berbagi menjadi dua pribadi, tetapi Anak yang satu dan yang sama, dan satu-satunya yang diperanakkan, Allah Firman, Tuhan Yesus Kristus.…”

Namun sesungguhnya, pengakuan iman yang sedemikian lengkap tidak menyurutkan kesimpangsiuran rumusan mengenai Kristus. Pada zaman modern di abad ke-19, terdapat pergeseran dalam studi Kristologi yang awalnya dari sudut theologis sehingga bersifat theosentris, menuju sudut antropologis yang bersifat antroposentris. Beberapa tokoh besar yang mewakili studi ini yaitu Friedrich Schleiermacher dan Albrecht Ritschl. Menurut Schleiermacher, Kristus adalah ciptaan baru yang kesempurnaan manusiawi-Nya demikian tinggi, namun tidak melebihi manusia. Ia menyadari sepenuhnya nasib manusia dalam sifat-Nya yang tidak berdosa, dan kesempurnaan-Nya semakin nyata dalam kesadaran ilahi-Nya yang unik. Di dalam hal ini, kita mulai mencium akan filsafat pantheistik dalam pandangan Kristologi yang dia ungkapkan. Di sisi lain, Ritschl menekankan Kristologi bukan pada pribadi Kristus, melainkan dari karya-karya-Nya. Karya-Nyalah yang menghantar manusia biasa Kristus ini memperoleh mahkota keallahan. Maka dengan demikian, ia menyingkirkan praeksistensi, inkarnasi, dan kelahiran Kristus dari perawan Maria. Dua tokoh pada masa modern ini mengindikasikan bahwa doktrin tentang dua natur Kristus bergeser menjadi doktrin pantheistik Allah dan manusia.

Maka apakah ada pilihan lain bagi orang Reformed mengatasi berbagai kesimpangsiuran pemahaman ini selain kembali pada apa yang dikatakan firman Tuhan mengenai Kristus? Sesungguhnya wujud infallibility dan inerrancy dari Alkitab telah memaparkan secara objektif, utuh, dan sistematis mengenai bukti keilahian Kristus dan kemanusiaan Kristus. Alkitab membuktikan bahwa keilahian-Nya telah nampak bahkan sejak nubuat-nubuat para nabi pada Perjanjian Lama. Yesaya mengatakan, “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya” (Yes. 9:5-6). Sesungguhnya kalimat yang sama disampaikan oleh malaikat Gabriel saat menemui seorang perawan yang kelak rahimnya dipakai Allah untuk menggenapkan rencana kekal-Nya ini (Luk. 1:32. Selain itu keilahian Kristus telah dinyatakan juga berkali-kali dalam penyataan Diri-Nya seperti yang dikatakan-Nya berikut ini: “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup” (Yoh. 8:12), dan sesungguhnya orang-orang yang hidup pada zaman Tuhan Yesus juga tidak mampu berdalih akan kemahakuasaan-Nya dalam mengatasi badai, laut, kelemahan fisik, dan bahkan kematian.

Sedangkan kemanusiaan-Nya juga nyata sejak kelahiran-Nya, ketika Kristus dilahirkan dalam wujud bayi laki-laki (Luk. 2:7) yang perlahan-lahan bertumbuh dewasa, melewati proses pertumbuhan layaknya anak-anak yang lain (Luk. 2:40). Tubuh-Nya pun bisa merasa lapar (Luk. 4:2), haus (Yoh. 19:28), keletihan yang luar biasa sehingga tertidur (Mat. 8:24, Yoh. 4:6). Emosi-Nya pun merupakan emosi layaknya manusia lain. Ia bisa berdukacita hingga marah (Mrk. 3:5), nalurinya bisa begitu peka sehingga tergerak oleh belas kasihan (Mat. 9:36), dan Ia pun bisa begitu sangat ketakutan saat harus menghadapi kematian-Nya (Luk. 22:44). Ia bisa menangis saat Lazarus meninggal (Yoh. 11:35) dan Ia pun bisa terharu (Yoh. 12:27). Namun dalam segala sifat kemanusiaan-Nya ini, Ia pun tidak bisa terpisah dari natur ilahi-Nya yang ‘non potuit pecare’. Yaitu natur manusia yang tidak berdosa walaupun secara hukum harus dijadikan berdosa (2Kor. 5:21, 1Ptr. 2:22, 1Yoh. 3:5). Demikian suci kemanusiaan Kristus, sehingga Alkitab menyebutkan bahwa Ia adalah satu-satunya manusia ideal yang menjadi jawaban atas gambaran manusia yang sempurna.

Jika demikian, masihkah kita perlu meragukan keilahian dan kemanusiaan-Nya? Dalam benak kita, hal ini tentu tidak pernah terjadi pada  kita yang keKristenannya sudah mendarah daging. Karena sudah puluhan kali (jika kita sudah menjadi seorang Kristen puluhan tahun) kita merayakan inkarnasi Kristus. Bahkan kita makin merasa bersumsum dan bertulang saat kita merayakan kematian dan kebangkitan-Nya. Maka mungkinkah kita meragukan keilahian dan kemanusiaan-Nya? Mungkin kita akan segera berdoa, “Kiranya dijauhkanlah daripadaku pemikiran itu, Tuhan…”

Tetapi, tunggu sebentar… Sebenarnya keraguan ini merasuk dengan sangat halus, sehingga sulit bagi kita ‘tuk mendeteksinya. Maka untuk dapat meneliti dengan lebih jauh, mari saya ajak kita semua untuk bernostalgia sebentar. Ingatkah kita pada saat calling itu datang? Ketika Allah memanggil dengan efektif para umat pilihan-Nya, maka saat itu pula semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya (Rm. 8:29-30). Maka adalah sukacita yang teramat besar saat itu, ketika kita seorang pendosa ini diikat kembali dalam sebuah perjanjian dengan Allah dan dipersatukan dengan Kristus (1Kor. 1:9).

Maka kita, sang pendosa yang telah dipersatukan ini, dikuburkan bersama dengan Kristus oleh baptisan dalam kematian, serta dibangkitkan pula seperti Kristus yang telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, dihidupkan (dilahirbarukan) kembali oleh Roh Kudus, serta memateraikan kita dengan respons yang benar untuk masuk dalam Kerajaan Allah melalui pertobatan (Rm. 6:4; Yoh. 3:5). Setelah kita bertobat melalui iman kepada Kristus, kemudian kita dibenarkan (justified). Roh Kudus mengimputasi righteousness Yesus Kristus ke dalam hidup kita, sehingga kita dipandang benar (righteous) oleh Allah. Righteousness kita berasal dari Kristus. Terlebih lagi, tidak hanya pada saat kita dibenarkan kita bergantung pada righteousness Kristus, tetapi pada saat kita disucikan pun kita sangat bergantung pada righteousness Kristus. Mengapa demikian? Karena kita, umat pilihan Tuhan, sudah ditentukan dari semula untuk menjadi serupa dengan Kristus. Maka Kristus adalah teladan kita yang sempurna.

Namun dengan memory yang demikian indah dan pengertian yang komprehensif, mari kita review hidup kita selama kita menyandang label Kristen dengan bertanya, seberapa seringkah kita berkata, “Ya, tidak usah ekstrem begitu, Kristus ‘kan Tuhan, sedangkan kita manusia berdosa.” Saat Kristus memberi teladan dalam menegur keras Petrus dengan berkata, “Enyahlah Iblis. Engkau batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Mat. 16:23). Atau seberapa sering kita berkata, “Ya, Kristus layak marah seperti itu karena Dia Allah.” Saat Ia membuat cambuk lalu mengusir para pedagang kambing domba dan merpati dari bait suci sambil menghamburkan uang-uang penukar sampai ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya (Yoh. 2:15). Atau seberapa sering kita berkata, “Ya, jangan ditafsirkan seekstrem itu, Maria, ibu Yesus, pasti mengerti bahwa Kristus memang Allah.” Saat Kristus mengajar mengenai siapakah keluarga kita yang sebenarnya (Mat. 12:46-50). Maka sesungguhnya, sudah berapa banyak firman Tuhan yang kita kebiri dalam rangkaian mengebiri keilahian dan kemanusiaan Kristus? Ataukah sebenarnya kita pemegang warisan filsafat Alexandria dengan pengaruh Yunaninya sehingga kita membunuh kemanusiaan Yesus dalam keilahian-Nya? Ataukah bahkan kita telah mundur terlalu jauh sehingga kembali pada pemikiran Gnostik yang dualisme adanya, sehingga kita percaya bahwa Kristus hanya memiliki tubuh semu?

Jika sungguh demikian adanya, maka celakalah kita! Karena pemikiran kafir senantiasa kita pelihara demikian suburnya, sambil kita mengaku bahwa Roh Kudus di saat yang sama sedang menyucikan kita dan membuat kita semakin serupa Kristus. Bahkan perkataan Francis Schaeffer: “I do what I think, and I think what I believe” semakin membuktikan betapa rusaknya kita, karena dengan tanpa merasa bersalah, kita mensinkretiskan iman kafir dengan iman Kristen. Bahkan sesungguhnya kita yang tidak bisa mengabdi pada dua tuan, hanya menyelubungi iman kafir kita dengan status keKristenan. Ya, sungguh celaka kita, jika pembenaran demi pembenaran kita lontarkan demi kenikmatan berzinah dengan iman kita yang berdosa, cara berpikir yang berdosa, sehingga menghasilkan perzinahan kita nyata dalam perbuatan kita.

Namun sesungguhnya saat mengetahui kebenaran ini pun, natur manusia berdosa kita kembali dengan refleksnya bertanya-tanya dengan sinis, yang menyatakan kebingungan kita sesungguhnya, yang tidak beda dengan perempuan pezinah itu. Apakah kita yang hanya manusia ini bisa serupa dengan Tuhan? Bukankah Tuhan terlalu tinggi untuk kita teladani? Jawabannya: Yesus Kristus adalah Tuhan dan Manusia Sejati. Karena Ia ketika hidup sempurna pun bukan hanya karena Ia Tuhan, tapi Ia benar-benar adalah manusia. Maka sangat mungkin kita meniru hidup-Nya.

Tetapi seberapa besar kemungkinan kita dalam meneladani Kristus telah diungkapkan John Murray pada salah satu bab di dalam bukunya mengenai permasalahan tentang penyucian. Ia mengatakan bahwa kemerdekaan dari kuasa dosa yang dijamin oleh kesatuan dengan Kristus, dan kemerdekaan dari perusakan oleh dosa yang dijamin dengan kelahiran baru, tidak meniadakan semua dosa dari hati dan kehidupan orang percaya. Masih ada dosa yang tertinggal. Orang percaya belum sedemikian serupa dengan Kristus di dalam kesucian, ketidakbersalahan, ketidakbercacatan, dan keterpisahan dari orang–orang berdosa. Tetapi karena kewarganegaraan kita sesungguhnya adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat[yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada Diri-Nya (Flp. 3:20-21)], maka kita harus memiliki suatu urgensi bahwa hidup kita sekarang seharusnya merefleksikan hidup di consummation kelak.

Dosa memang begitu menyiksadan dosa senantiasa mendatangkan murka Allah, karena Ia suci adanya. Namun setiap orang yang menaruh pengharapan kepada-Nya, tidak bisa tidak menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci (1Ptr. 3:3). Dosa memang membuat kita makin depresi. Gambaran depresi Paulus terlukiskan dengan sangat jelas (Rm. 7:14-21). Namun ia telah menemukan kemenangannya ketika kembali mengingat akan Roh Kudus yang memberikan hidup telah memerdekakannya dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut (Rm. 8:2). Penyucian ini sesungguhnya makin lama akan makin menyulitkan. Seseorang yang kian peka akan dosa, hidupnya akan kian serupa dengan gambaran Anak-Nya, yang artinya kian ditolak dan kian sulit dimengerti, karena demikianlah hidup Kristus saat di dunia. Tetapi Petrus justru berkata, “Sebaliknya bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapatkan dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya” (1Ptr. 4:13). 

Saudara-saudara, Kristus yang adalah Tuhan dan Manusia itu sungguh-sungguh nyata keberadaan-Nya. Kehadiran-Nya telah menjadi sejarah yang tidak mungkin dihapuskan dari muka bumi ini, maka segera hapuskanlah segala keraguanmu. Ketaatan-Nya, inkarnasi-Nya, kehidupan-Nya, kematian-Nya, dan kebangkitan-Nya yang sempurna membuat kita tak mampu berdalih. Membuat kita tidak bisa untuk tidak berlutut memohon ketaatan demi ketaatan ‘tuk meneladani Kristus dengan total. Mari kita berperang melawan dosa yang tertinggal supaya ia tidak berkuasa lagi di dalam tubuh kita yang fana, melainkan kita serahkan anggota-anggota tubuh kita kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran (Rm. 6:12-13). Mari kita pergi dan tinggalkan iman, pemikiran, dan perbuatan kafir, kemudian jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang. Kiranya pimpinan dan tuntunan dari Roh Kudus yang telah membangkitkan Kristus dari kematian, juga membangkitkan kita dari segala kematian iman, kebutaan pemikiran, dan menyucikan hidup kita senantiasa sampai Sang Sulung itu datang kembali dalam kemuliaan-Nya. Soli Deo Gloria.

 

Rebecca Puspasari

Pemudi GRII Pusat

 

Endnotes:

[1] Berkhof, Louis. Teologi Sistematika: Doktrin Kristus. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1996.

[2] Curtis, A. Kenneth, Lang, J. Stephen, & Petersen, Randy. 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2006.

[3] Groothuis, Douglas. Pudarnya Kebenaran. Surabaya: Momentum, 2000.

[4] Murray, John. Penggenapan dan Penerapan Penebusan. Surabaya: Momentum, 1999.