man praying

Puasa: Perkabungan dan Perayaan

Orang Kristen percaya bahwa pembenaran (dalam artian bahwa secara yuridis kita dipandang benar di hadapan Allah) adalah anugerah Allah semata dalam Kristus Yesus. Tidak mengherankan kita tidak menjalankan ibadah puasa (dalam konsep penyucian hidup) yang sama pada bulan ini. Berkenaan dengan puasa ini, khususnya di kalangan orang Kristen terjadi kebingungan yang tidak dipertanyakan namun dijalani (baik dengan melakukan atau tidak melakukannya). Banyak orang berpuasa ketika sedang meminta sesuatu kepada Allah, menyatakan kesungguhan kepada Allah, dan seolah dengan demikian memiliki kesempatan pengabulan doa yang lebih besar. Ada juga yang berpuasa dalam bentuk pengekangan diri akan berbagai kenikmatan, sebuah bentuk asketisisme yang dikerjakan dengan alasan yang mungkin tidak terlalu dimengerti. Mungkin kita bertanya apakah orang Kristen seharusnya berpuasa, kalau iya kapan, bagaimana, dan mengapa; kalau tidak, mengapa banyak bagian narasi Kitab Suci kita mencatatnya; dan bahkan dalam beberapa ajaran Tuhan Yesus, puasa seakan hal yang wajar? Tulisan singkat ini tidak akan membahas bentuk puasa (perorangan atau kolektif, absen dari makanan atau dari hal-hal lain), lama puasa (yang dicatat cukup variatif dalam Alkitab), namun kita akan secara singkat melihat dua pengertian puasa yang dicatat dalam Alkitab dan mencoba mengangkatnya dalam konteks kita saat ini.

Praktek berpuasa (meski tidak dicatat dengan kata ini) yang paling purba dicatat dalam Keluaran 34:28 berkenaan dengan Musa yang berpuasa ketika dia menerima loh batu dari Allah. Salah satu pengertian yang sangat khas dalam Perjanjian Lama berkenaan dengan puasa adalah perkabungan yang sering kali dikaitkan dengan penyesalan dan permohonan ampun kepada Allah. Selanjutnya dalam banyak ayat lain perintah untuk berpuasa ini secara khusus ditujukan kepada orang Israel berhubungan dengan pengampunan dosa, terutama pada hari raya Pendamaian yang diadakan sekali dalam setahun (Im. 16:31). Puasa yang berkaitan dengan pengampunan dosa di sini tidak dipandang sebagai suatu usaha pribadi yang dalam kapasitas tertentu menebus diri sendiri, sebaliknya dalam berpuasa ini kita berkabung, belajar sadar bahwa dalam diri kita tidak ada hal yang dapat dibawa untuk dijustifikasi sebagai “benar” oleh Tuhan. Tampaknya fitur ini yang mewarnai banyak sekali kejadian dalam Perjanjian Lama. Hubungan antara puasa dengan perkabungan ini jugalah yang diangkat oleh Tuhan Yesus ketika Dia menjawab orang Farisi (Mat. 9:14-15). Hal ini bisa kita lihat bahwa secara natural makan dan minum sering kali kita mengerti sebagai sebuah perayaan kebaikan yang kita jumpai, dalam keindahan ciptaan yang digambarkan dalam kitab Kejadian, secara sangat mengagumkan Musa mencatat mengenai makanan bagi manusia dan hewan (Kej. 1:29-30). Sebaliknya cukup mudah dimengerti bahwa ratapan akan tatanan ciptaan yang rusak juga berhubungan dengan kesulitan makanan: dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu. Di sini puasa yang dilaksanakan mengingatkan kita akan dosa, akan sebuah perkabungan, dan kebergantungan kepada Allah semata.

Motif perkabungan ini pada gilirannya diperluas ke dalam berbagai bentuk; bukan sekadar karena dosa, Hana berkabung dan tidak mau makan karena Penina yang menyakiti hatinya (1 Sam. 1:7), Daud karena kematian Abner (2 Sam. 3:35), demikian pula dalam syair berkenaan dengan lawannya yang sedang sakit (Mzm. 35:13). Ayat-ayat dalam Ezr. 10:6, Neh. 4:3, juga menjelaskan puasa dengan kondisi perkabungan, demikian juga 1 Sam. 31:13; 2 Sam. 1:12. Sebagai ekspresi perkabungan, dalam praktek religius Israel khususnya, puasa juga diarahkan untuk meredakan amarah Allah. Hal yang sangat normal ketika kita melihat gambar Allah Alkitab yang selain adil dalam menghakimi namun juga mudah tergerak ketika orang merendahkan diri di hadapan-Nya. Dalam berbagai bagian Alkitab bahkan lebih lanjut tercatat beberapa peristiwa di mana puasa diarahkan untuk menggerakkan rasa kasihan Ilahi terhadap umat Allah ketika hal itu berkaitan dengan dosa manusia. Dua contoh kisah penting dalam Perjanjian Lama menyatakan betapa puasa, perkabungan diarahkan untuk menggerakkan rasa kasihan Allah. Pertama kita melihat kisah Daud yang berpuasa dalam kesadaran akan dosanya, memohon agar penghukuman Allah atasnya tidak ditimpakan sepenuhnya sehingga anak yang ditulahi Allah tidak mati. Kita melihat penghakiman keras Allah di mana anak tersebut mati pada hari ketujuh (tepat sehari sebelum hari penyunatan yang dipercaya mereka sebagai hari diterimanya anak tersebut sebagai umat perjanjian), namun belas kasih Allah tidak absen dalam kisah ini sebab nantinya narasi tersebut ditutup dengan lahirnya Salomo yang disebut Yedija (yang dikasihi Allah) (2 Sam. 12:22-25). Pun demikian dengan puasa akbar Niniwe yang secara eksplisit mengetengahkan tujuannya untuk menggerakkan belas kasihan Allah, dan secara mengagumkan kita melihat bahwa Allah benar-benar tergerak oleh manusia yang merendahkan diri dengan berpuasa. Masuk kepada Perjanjian Baru, kita tidak mendapati pengajaran spesifik Tuhan Yesus dalam narasi kitab-kitab Injil tentang apa itu puasa. Kitab-kita Injil mencatat mengenai aksi Yesus berpuasa, dan pengajaran-Nya tentang bagaimana semestinya orang berpuasa (Mat. 6:16-17), namun mengenai apa, kapan, serta mengapa berpuasa tidak kita jumpai secara sangat eksplisit dalam narasi kitab-kitab Injil kita. Dengan demikian kita bisa menarik kesimpulan yang cukup sah bahwa praktek puasa dalam artian seperti yang terdapat dalam Perjanjian Lama secara prinsipil memiliki artian yang sama dalam Perjanjian Baru, yaitu khususnya dalam pengertian perkabungan.

Di sini kita bisa dengan mudah mengerti ketika Tuhan Yesus mengecam puasa yang dikerjakan tepat berkebalikan, yaitu dalam semangat penonjolan diri. Puasa adalah perkabungan, menyadari kebangkrutan diri dan menengadah kepada Allah semata; hal ini bertolak belakang dengan sifat munafik yang dikecam oleh Tuhan Yesus (Mat. 6:16). Inilah pengertian besar puasa yang pertama, yaitu sebuah kesadaran akan kelemahan, dosa, kebobrokan diri, dan berkabung sembari berharap belas kasihan Allah. Alih-alih mengandalkan puasa sebagai kredit kerohanian tingkat atas, puasa justru merupakan pengakuan pilu keberadaan kita yang tidak berdaya.
Dalam pengertian yang berlainan kita melihat motif puasa yang lain yang terjadi dalam diri Musa, dan Yesus khususnya. Dalam kasus Yesus, mengerti konteks puasa sedikit lebih rumit terutama karena perikop tersebut (tentang pencobaan Tuhan Yesus) secara khusus memberikan latar yang menjelaskan kemenangan Yesus atas pencobaan. Motif yang lebih kuat terlihat di sini adalah perbandingan antara kondisi Israel selama 40 tahun di padang gurun serta keadaan padang gurun yang dialami Yesus; keduanya adalah pencobaan yang adalah inisiatif Allah (Ul. 8:2; Mat. 4:1). Namun tidak seperti kegagalan yang dialami oleh Israel, kini Yesus berhasil dalam pengalaman padang gurun tersebut. Tampaknya Hagner tepat dalam menyatakan bahwa puasa yang dikerjakan Yesus di sini bukan dalam konteks perkabungan karena dosa (termasuk dosa umat yang ditanggung-Nya dalam karya penebusan), terlebih bagian ini langsung mengikuti deklarasi Allah mengenai Yesus sebagai Anak Allah yang diperkenan Bapa (3:17). Sementara kita cukup berani menyatakan dengan jelas bahwa motif padang gurun dan pencobaan (termasuk di dalamnya puasa) adalah kehendak Allah, kita mengalami kesulitan untuk menentukan puasa seperti apakah yang dikerjakan oleh Yesus (jika bukan perkabungan karena dosa). Salah satu kemungkinan yang cukup baik adalah dengan memparalelkannya dengan puasa Musa (motif yang telah kita lihat dalam penyingkiran ke Mesir dan pembunuhan anak di pasal 2), yaitu puasa ketika dia menerima loh batu yang berisi hukum Allah. Hal ini dikuatkan dengan jawaban Yesus terhadap perintah untuk mengubah batu menjadi roti: yaitu hidup dari firman Allah. Penolakan utama Yesus tentu bukan karena makan roti adalah berdosa dalam dirinya sendiri; pun pengadaan roti dengan kuasa mujizat, sementara hal ini nantinya kita lihat benar-benar dikerjakan-Nya dalam peristiwa 5 roti dan 2 ikan. Di sini secara kasar kita mendapatkan motif puasa yang sangat indah khususnya dalam praktek spiritualitas Kristen kita. Sejak manusia diciptakan, makanan adalah berkat Allah; sarana pemeliharaan yang sangat natural yang dikaruniakan Allah kepada manusia, dengan demikian makanan adalah hal baik. Setelah manusia jatuh dalam dosa, kitab Kejadian menyatakan bahwa meski ada hukuman, sarana pemeliharaan Allah melalui makanan ini tidak dihilangkan oleh Allah; Allah menyatakan: dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu (3:19), pun Perjanjian Pemeliharaan (dengan Nuh): segala yang bergerak, yang hidup akan menjadi makananmu. Aku telah memberikan semuanya itu kepadamu seperti juga tumbuh-tumbuhan hijau (9:3). Namun manusia yang penuh kelemahan diajarkan untuk menyadari bahwa Allahlah sang Pemelihara sesungguhnya dan bukan makanan. Sehingga dalam konteks Musa, dia diperkenankan untuk menikmati hadirat Allah, bersekutu dengan Firman, sembari absen secara total dari makanan dan minuman. Demikian kita jumpai dalam konteks Yesus; bukan dari roti saja manusia hidup. Absensi dari sarana pemeliharaan utama kita menyadarkan kita bahwa kehidupan kita sesungguhnya ditopang oleh Allah dan bukan oleh makanan. Perkataan ini nantinya akan diamplifikasi dengan perkataan bijaksana berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran (5:6). Di sini berpuasa bukan lagi kita mengerti dalam semangat askese, pengekangan diri, pantangan, atau larangan untuk makan namun sebaliknya merupakan satu sarana yang membebaskan kita dari pengertian ketergantungan kita pada makanan dalam dirinya. Puasa dalam hal ini bukan berarti ‘tidak boleh makan’, namun ‘boleh tidak makan’, di dalam peringatan akan kebutuhan kita yang paling mendasar yaitu Allah, Firman-Nya yang adalah kebenaran.

Setidaknya kita melihat dua hal khususnya berkenaan dengan puasa yang saya percaya tetap relevan bagi kita hingga saat ini. Pertama, puasa sebagai bentuk perkabungan, kesadaran diri dari segala dosa, dan ketidakberdayaan kita. Kita menarik diri dari segala perayaan, meratap dengan berpuasa dan kain kabung menyelimuti raga kita di hadapan Allah, dengan abu kita meratap akan ketidakberdayaan kita, berharap Allah yang telah berbelaskasihan terhadap manusia yang merendahkan diri di hadapan-Nya juga menyatakan belas kasihan yang sama kepada kita. Dan pada gilirannya kita juga belajar bersukacita besar. Dalam kesadaran penuh bahwa kita ini dimerdekakan oleh Allah yang tangan-Nya teracung kuat, maka kita berpuasa, menyatakan keberadaan diri kita yang bersukacita penuh di dalam kehadiran Allah, khususnya dalam konteks kita sekarang melalui gelimangan kebenaran Firman-Nya. Mari kita maklumkan puasa, dan mari kita merayakannya. GOD be praised!!!

Ev. Eko Aria
Pembina Pemuda Remaja GRII Kelapa Gading

Referensi:
1. ISBE
2. Donald Hagner WBC vol 33a