Efesus 4:13
Pleroma
Paulus memberikan pengertian yang sangat mulia untuk menjelaskan tujuan gereja. Dia mengatakan bahwa gereja mempunyai tujuan untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Pleroma. Menjadi terisi penuh hingga sama dengan kepenuhan Kristus. Ini berarti gereja merupakan pembawa kemuliaan Kristus di dalam dunia ini.[i] Ini merupakan pengertian yang akan membawa perubahan yang begitu besar dalam melihat pelayanan di gereja. Mengapa gereja ada di dunia ini? Karena gereja adalah pembawa kemuliaan dari Kristus di dalam dunia. Baik Efesus 1:23 maupun Efesus 4:13 menjelaskan hal ini. Karena itulah gereja harus menjadikan Pleroma, atau keadaan penuh yang sama seperti Kristus, menjadi tujuan dari setiap kegiatan dan pelayanannya. Inilah sebabnya mengapa Paulus, sebelum membahas ayat ini, lebih dulu membahas mengenai kesatuan jemaat di mana dia sebelumnya telah memberikan penjelasan mengenai anugerah Tuhan yang memberikan para hamba Tuhan, yaitu para penginjil, gembala, dan pengajar bagi gereja. Semua memenuhi panggilan pelayanannya untuk suatu tujuan yang sama, yaitu pleroma. Kepenuhan Kristus sehingga gereja menjadi gambaran kemuliaan Kristus bagi dunia ini.
Bagaimana gereja mendapatkan kepenuhan ini? Ayat 11 mengatakan bahwa Kristus sendiri yang memberikan kepenuhan melalui pemberian-Nya, yaitu para Hamba Tuhan yang memberitakan Injil, mengajar, dan menggembalakan. Tetapi pengertian pleroma ini harus kita mengerti dari dua sisi, yang pertama adalah Kristus yang memberikan kepenuhan, tetapi juga Kristus sendiri yang menjadi kepenuhan dari gereja-Nya.[ii] Apakah mungkin ada satu orang yang dapat menjadi penuh seperti Kristus? Tidak. Tetapi secara komunal, ya. Karena itu Paulus di dalam ayat 13 mengatakan “…sampai kita semua…” Ini berarti bahwa secara komunal gereja adalah yang menyatakan kepenuhan Kristus di dalam dunia ini. Inilah yang harus diingat di dalam melihat pelayanan gereja. Kita terus bergerak hingga mencapai kepenuhan ini. Kapankah kita berhenti berjuang? Sampai mencapai tingkat pertumbuhan yang sama dengan kepenuhan Kristus.
Bagaimanakah gereja mendapatkan pertumbuhan menuju kepenuhan ini? Dengan anugerah dari Kristus yang memberikan kepada gereja pengajar-pengajar, penggembala, dan penginjil. Calvin di dalam buku Institutes mengatakan bahwa Allah memutuskan untuk mengutus para pemberita firman dan juga para pengajar yang lain sebagai suatu cara menguji ketaatan kita.[iii] Bagaimana caranya menguji ketaatan kita? Coba bayangkan kalau kita sedang duduk di dalam sebuah kebaktian gereja dan mendengarkan pengkhotbah. “Benarkah kita sadar bahwa dia adalah wakil Allah yang sedang menyampaikan firman Allah? Kok sepertinya agak sulit, ya, menerima hal ini…” “kayaknya saya masih lebih tahu deh, tentang tema ini…” “baru kemarin saya baca buku lebih dalam dari ini…” dan berbagai macam kata hati yang muncul di dalam diri kita ketika kita mendengar khotbah. Tetapi Tuhan memakai cara ini supaya kita belajar rendah hati dan taat. Walaupun yang berbicara adalah manusia yang penuh dengan kelemahan, tetapi dia sedang menyampaikan firman Tuhan. Mampukah kita taat dan mendengar para hamba-Nya seperti mendengar Dia sendiri yang sedang berfirman kepada kita?
Kemudian Calvin mengatakan bahwa hal yang kedua adalah untuk membuat kita mengerti dan mendekat kepada Tuhan dengan cara yang “manusiawi.” Calvin mengatakan bahwa kalau Tuhan sendiri yang mengguntur dari langit untuk menyampaikan firman-Nya, maka kegentaran akan kemuliaan-Nya yang mengguntur tersebut akan membuat kita semua lari ketakutan.[iv] Ini semua dilakukan Tuhan supaya kita yang terlalu bodoh ini boleh memahami Dia yang sedang menyatakan diri dengan cara yang dapat kita mengerti dan dapat kita tangkap. Dia sedang “menurunkan standar” demi kita semua supaya kita dapat menangkap apa yang sedang Dia nyatakan agar kita dapat mengerti berdasarkan keterbatasan prosesor kita yang terlalu lambat ini. Calvin mengatakan bahwa Allah “…in his wonderful providence accomodating himself to our capacity…”[v] Mengapakah ini diperlukan? Supaya kita bisa ditarik makin dekat kepada Dia, makin dipertumbuhkan oleh firman-Nya yang berkuasa, dan makin menuju kepada kepenuhan yang sama dengan kepenuhan Kristus. Dari semua fungsi pelayanan yang Tuhan anugerahkan untuk menumbuhkan gereja ini, kita akan memberikan fokus kepada satu, yaitu khotbah, atau pelayanan mimbar. Kita akan melihat apa yang dikatakan mengenai hal ini oleh seorang theolog dari New England, yaitu Jonathan Edwards (1703-1758).
Disposisi
Jonathan Edwards, theolog yang mewarisi tradisi reformasi melalui sayap Calvin, memiliki suatu pengertian mengenai pertobatan sejati yang adalah perubahan “disposisi” (natur) yang memanjatkan doxologi bagi kemuliaan Kristus. Dalam Religious Affections Edwards membahas thesis yang dia kemukakan, yaitu bahwa tanpa natur yang diubahkan, tidak akan ada perubahan menyeluruh dari tingkah laku. Atau dalam kalimat Edwards sendiri: “Without a change of nature, men’s practice will not be thoroughly changed.”[vi] Edwards mengatakan bahwa hal yang paling utama adalah adanya kasih akan Allah dalam diri seseorang. Pengetahuan, menurut Edwards, merupakan pengetahuan yang harus mempertimbangkan beberapa hal seperti hati, cinta kasih, dan merindukan Tuhan senantiasa.[vii] Tetapi sumber dari natur doxologi, yaitu natur yang memanjatkan pujian bagi kemuliaan Tuhan, merupakan sumber yang berasal dari keberadaan diri yang sudah diubahkan. Perubahan yang begitu mendasar sehingga tidak mungkin seseorang yang belum diubahkan secara mendasar akan secara sempurna dan secara konsisten mampu melakukan perubahan ini terus menerus; pada akhirnya dia akan kembali melakukan apa yang biasa dia lakukan. Tetapi orang yang telah diubahkan, akan secara alami memiliki hal-hal yang menunjukkan kepercayaan Kristen sejati. Sebelum kebangunan rohani tahun 1730-an terjadi, Edwards sudah memiliki suatu kerinduan agar seluruh jemaat yang digembalakannya memiliki suatu disposisi yang diubahkan oleh Roh Kudus. Konsep Edwards adalah: Just as the Spirit’s love binds believers together in community, so its presence in the individual must be manifest to the community.[viii] Dia rindu agar Kerajaan Allah dapat dinyatakan dengan makin mulia dalam pelayanannya. Tuhan mengizinkan Edwards mengalami periode kebangunan rohani yang luar biasa, yaitu periode “The Great Awakenings,” yang berawal pada tahun 1734 (untuk wilayah Edwards) dan memuncak pada tahun 1741. Roh Kuduslah yang bekerja menggunakan orang-orang yang telah diubahkan, dengan segenap natur yang telah diubahkan, yang penuh kerinduan untuk mempermuliakan Allah, dengan segenap kesadaran dan kemampuan orang-orang tersebut; Roh Kudus menyatakan karya tersebut melalui firman yang dinyatakan melalui orang-orang tersebut di mana orang-orang tersebut, dengan kesadaran, kerinduan, penuh ucapan syukur dan bersemangat untuk meninggikan Kristus, menyatakan firman Tuhan dengan sungguh-sungguh. Ini merupakan warisan yang dapat kita telusuri sejauh periode reformasi Martin Luther.
Mimbar
Pelayanan firman dalam pengertian Martin Luther merupakan suatu konsep yang terus diwarisi dan diperkembangkan dalam tradisi reformed setelahnya. Luther mengatakan bahwa panggilan dia adalah untuk mengkhotbahkan Injil.[ix] Kesungguhan untuk menyatakan Injil dalam diri Martin Luther disertai dengan kepercayaan bahwa Injil akan mengubah segala sesuatu. Ini merupakan konsep yang menerobos abad-abad di mana gereja tidak lagi menyatakan firman Tuhan. Bahkan dalam periode reformasi ada satu lukisan yang menggambarkan Martin Luther dan salah satu kardinal sedang berkhotbah berhadap-hadapan, di mana pendengar terbagi menjadi dua. Luther mengatakan, „Tuhan berfirman…, sedangkan sang kardinal berkata, Paus berfirman… Lukisan ini menggambarkan bahwa keunikan periode reformasi, menjadi suatu gerakan yang besar pada masa Luther, menawarkan khotbah yang menyatakan firman Tuhan. Hamba Tuhan harus mengkhotbahkan firman Tuhan. Luther percaya bahwa Roh Kuduslah yang mempertobatkan, tetapi dia percaya juga bahwa Roh Kudus ini tidak mungkin melakukan pekerjaan-Nya tanpa firman. Demikian pemikiran Martin Luther yang dirangkum oleh Paul Althaus:[x]
1. The Spirit does not speak without the word
2. The Spirit speaks through and in the word
Luther percaya bahwa iman timbul atas pekerjaan Roh Kudus melalui firman, dan Roh Kudus membuat firman memiliki kuasa melalui penyampaian kita; memiliki kuasa untuk menghantam hati manusia.[xi]
Tradisi ini kemudian berlanjut dan kita akan melihat pengaruh seorang reformator yang bukan hanya mewarisi tradisi reformasi ini dari Luther, tetapi juga yang memberikan reformasi suatu bentuk dan tata gereja yang dapat memberikan reformasi suatu kubu yang kuat, konsisten, dan berpengaruh tanpa harus bergantung pada kuasa politik. Dia adalah John Calvin. Calvin percaya bahwa firman Allah tidak hanya memiliki kuasa pada waktu pertama kali diberikan, tetapi kuasa tersebut akan terus menyertai pada penyampaian-penyampaian selanjutnya.[xii] Calvin juga memberikan tempat tertinggi kepada Alkitab dan Alkitab dilihat sebagai firman Allah, di mana Kristus, Hikmat Allah, adalah sebagai inti beritanya.[xiii] Karena itu firman tidak dapat dipisahkan dari Kristus, karena Kristus adalah satu-satunya School-Master of the Church, dan melalui firman gereja diberikan kesempurnaan dari ajaran Kristus.[xiv] Karena percaya kepada hal-hal inilah Calvin berkhotbah.
Jonathan Edwards mewarisi tradisi mimbar dari para tokoh reformasi ini dengan menggabungkan konsep, baik yang dipelopori oleh Luther, maupun yang dipelopori oleh Calvin. Dari Luther, Edwards mewarisi konsep karya Roh Kudus yang menjadikan firman Tuhan berkuasa, dan karya Roh Kudus yang Dia kerjakan melalui firman Tuhan. Roh Kudus menginspirasikan firman Tuhan menjadi firman yang tertulis, dan karya Roh Kudus juga terus berlanjut dengan memberikan disposisi yang menyatakan kemuliaan Allah melalui mengagungkan Yesus Kristus pada orang-orang yang telah bertobat sehingga orang-orang berdosa menjadi orang-orang percaya. Roh Kudus ini bekerja melalui firman Tuhan, dan Edwards, yang juga meneruskan konsep dari Luther ini dengan kepercayaannya kepada firman sebagai sarana Roh Kudus untuk bekerja,[xv] adalah orang yang mengizinkan Roh berkarya dengan seluas mungkin dengan kesetiaannya meninggikan dan menyatakan firman Tuhan.
Edwards juga meneruskan Calvin dengan pengertian mengenai natur doxologi dari Roh Kudus yang meninggikan Kristus. Penyampaian firman Tuhan seharusnya berfokus pada meninggikan Kristus dan Kristus yang ditinggikan ini dinyatakan oleh orang dengan natur yang meninggikan Kristus. Khotbah-khotbah Edwards merupakan suatu dorongan untuk meninggikan Kristus dengan seluruh keberadaan seseorang. Edwards percaya pada pola kebangunan yang dikerjakan Allah pada masa di mana terjadi kelesuan rohani, meskipun dia tidak menganggap dia dapat mengetahui waktu di mana Tuhan akan bekerja; dan seluruh khotbahnya merupakan suatu dorongan bagi orang-orang untuk kembali kepada Allah.[xvi] Dengan beban untuk melihat kemuliaan Allah terus dinyatakan dalam sejarah, maka Edwards berkhotbah, meninggikan Kristus, dan membiarkan Roh Kudus bekerja membangkitkan natur yang memuliakan Tuhan pada setiap orang yang merupakan umat pilihan Tuhan.
Khotbah Edwards adalah khotbah yang memiliki ciri puritan yang dengan ketat menggunakan argumen-argumen pendukung dari satu atau beberapa poin yang menjadi pendukung satu tema utama dari sebuah khotbah. Edwards bukanlah seorang anti intelektual, tetapi dia adalah seorang pewaris Calvin, di mana Calvin sendiri merupakan seorang pengkhotbah yang, demikian menurut John Leith, memiliki tipe khotbah yang merupakan… an intellectual exercise and a mental discipline that had a significant cultural impact. Namun di sisi lain, Calvin juga (was) not intellectualistic. …The learning that was joined to piety had a strong pragmatic and utilitarian quality.[xvii] Siapapun yang pernah membaca teks khotbah Edwards akan setuju bahwa penggambaran mengenai Calvin di atas juga adalah penggambaran yang tepat jika diterapkan untuk mendeskripsikan Edwards.
Disposisi
Komunitas Kristen merupakan komunitas yang hidup, mewarisi suatu tradisi yang begitu agung dan harus memahami sebuah tradisi sebagai tradisi yang hidup dan terus diwariskan. Sebuah tradisi menjadi tradisi yang mati ketika tradisi tersebut menjadi dibakukan dan diambil secara legalistik. Tradisi tersebut menjadi …no longer alive but dead and fit only for sterile repetition.[xviii] Tetapi, ketika inti dari tradisi dapat terus dipelihara, maka tradisi tersebut akan menjadi tradisi yang hidup dan diwariskan dengan dinamis, sehingga pada setiap zaman Kekristenan dapat menjadi pemimpin zaman, walaupun minoritas. Tetapi pengertian ini harus dimengerti dalam konsep yang luas. Tradisi yang diwariskan secara hidup dan dinamis adalah tradisi yang dimengerti sebagai suatu bagian sejarah di mana Allah menyatakan pekerjaan-Nya. Pekerjaan yang dikerjakan Allah adalah pekerjaan yang berfokus kepada menyatakan Kristus sebagai pusat. Warisan tradisi inilah yang menjadi suatu harta berharga yang diterima, diperjuangkan, dan diwariskan oleh Kekristenan sepanjang sejarah. Kekristenan yang tidak mengerti asal sejarahnya merupakan Kekristenan kontemporer yang tidak berakar dan akan segera lenyap seiring dengan berubahnya trend berpakaian. Tetapi Kekristenan yang melihat sejarah tanpa menyadari signifikansinya bagi zaman kontemporer akan menjadi Kekristenan yang mati dan mewariskan tradisi legalistik yang mati kepada generasi selanjutnya. Kedua kubu ini tidak mungkin menggambarkan tradisi Kristen yang sejati. Tetapi tradisi Kristen yang mewarisi semangat gerakan, menangkap inti dari sejarah, dan memperjuangkannya pada zamannya adalah tradisi Kristen yang sejati. Apakah berlebihan bila saya katakan bahwa tradisi Reformed memiliki hal ini? Saya tidak sedang berkata bahwa apa yang terjadi sepanjang sejarah reformasi hingga diwariskan hingga reformed saat ini merupakan suatu pelajaran sejarah yang harus dibakukan dan dianggap tak mungkin salah, namun, sebagaimana diakui oleh John Leith:
The reformed tradition does not claim to be the only Christian tradition. It does not claim to be one way the one, holy, catholic, apostolic church has lived, handing on its faith and life to every new generation. It does claim to be an authentic form of the Christian community that has its special strength but also weakness and problems. It tends to be the people of God in all their fullness. On the basis of this claim, it asks for both acceptance and criticism.[xix]
Dengan memahami tradisi reformed sebagaimana tujuannya yang terus menerus diwariskan, yaitu, meminjam John Leith, untuk menjadi the people of God in all their fullness, maka reformed memiliki suatu tradisi yang, tidak terbantahkan, dipakai Tuhan untuk menyatakan begitu banyak pelajaran berharga bagi setiap zaman. Saya rindu agar tradisi reformed, dengan mengambil segala kekuatan darinya, sambil berhati-hati pada kelemahannya, boleh menjadi suara yang dapat kembali menyadarkan gereja mengenai satu bidang kehidupan bergereja yang sangat penting, yaitu mimbar. Tradisi Kekristenan tidak pernah lepas dari pengaruh yang diberikan dari atas mimbar. Leith mengatakan bahwa senjata untuk membentuk suatu komunitas Kristen untuk menjadi komunitas yang membentuk kehidupan komunitas lebih besar di mana komunitas Kristen itu ada adalah firman Tuhan.[xx] Prinsip mimbar dari Jonathan Edwards memberikan suatu sumbangan yang besar bagi kelanjutan tradisi Kristen. Prinsip ini adalah prinsip disposisi doxologis. Roh Kudus membangkitkan disposisi ini dalam diri orang percaya melalui firman. Dengan demikian, seorang pengkhotbah harus merupakan seseorang yang telah mengalami perubahan ini, yang secara natural memiliki kerinduan untuk meninggikan Kristus, di mana kerinduan ini adalah kerinduan yang muncul dari perubahan natur yang sejati, sebagaimana prinsip true affection dari Edwards. Kerinduan ini membuat sang pengkhotbah sadar bahwa dia sedang menaikkan suatu doxologi setiap kali dia berkhotbah menyampaikan firman Tuhan. Jika seseorang hendak meninggikan Kristus dalam khotbahnya dan dalam hidupnya, maka orang tersebut harus ingat kemuliaan Kristus. Dia yang paling layak mendapatkan segala puji dan hormat ternyata juga adalah Pribadi yang rela dihina, dicaci maki, dan diberikan tempat yang sangat rendah dalam hidup-Nya di dunia. Inilah the excellency of Christ sebagaimana ditulis dalam salah satu discourse Edwards.[xxi] Maka jika Kristus yang mulia rela untuk mengalami kehinaan, apakah layak bila seorang pelayan mimbar mencari untuk dipermuliakan? Bukankah mimbar dapat menjadi tempat mencari pengakuan? Bukankah mimbar dapat menjadi tempat di mana sang pengkhotbah dapat tergoda untuk mengambil semua fokus perhatian yang sebenarnya hanya layak diberikan kepada Kristus, yang ditinggikan oleh Allah sendiri?
Dalam sebuah artikelnya, Volf membahas tentang ketidakmungkinan gereja menjadi pusat dari suatu masyarakat pluralistik.[xxii] Ini disebabkan karena setiap bidang telah memiliki center mereka sendiri sehingga gereja tidak mungkin dapat lagi mewujudkan mimpi untuk kembali pada abad pertengahan di mana gereja menjadi sang ratu untuk segala bidang. Tetapi alasan yang kemudian diberikan Volf adalah alasan yang lebih tepat. Alasan tersebut adalah karena memang bukan kita yang harus menjadi center. Kristuslah yang menjadi center, maka kita, orang-orang Kristen, biarlah kita menjadi marjinal.[xxiii] Karena Kristus yang menjadi center di atas mimbar, maka biarlah sang pengkhotbah menjadi marjinal.
Konsep Edwards mengenai disposisi yang memuliakan Kristus merupakan suatu warisan tradisi yang harus diperjuangkan dalam setiap zaman. Tidak seorangpun boleh berdiri di atas mimbar sebuah gereja dengan disposisi yang meninggikan dan mengagungkan diri sendiri. Disposisi ini bukan dari Roh Kudus. Entah dari mana. Dan karena saya tidak ingin menyebut direpetisi dari setan –ini tidak ada dalam konsep Edwards- maka biarlah saya mengatakan bahwa peninggian diri merupakan suatu natur yang terus merepetisi diri, berasal dari diri yang jatuh ke dalam dosa, dan memuncak pada keangkuhan yang pada akhirnya membawa seseorang kepada kebinasaan. Disposisi sejati dari Roh Kudus membuat seseorang meninggikan Kristus sebagai sesuatu yang secara natural mengalir dari dalam dirinya. Dia tidak harus berpura-pura, dan dia tidak harus merasa tidak nyaman. Tetapi seperti inilah keberadaan sejati orang tersebut. Dan keberadaan sejati ini tidak mungkin muncul hanya ketika seseorang khotbah, lalu hilang kembali ketika dia turun dari mimbar. Maka seperti Roh Kudus yang memiliki natur yang meninggikan Kristus, demikianlah setiap pengkhotbah yang naik mimbar seharusnya memiliki repetisi dari natur ini dalam dirinya. Maka biarlah setiap zaman boleh terus meneruskan dan memperjuangkan tradisi ini, yaitu tradisi yang mengatakan Kristus harus semakin bertambah, dan saya harus semakin berkurang.
Pleroma
Maka, dengan melihat pembahasan di atas, kita boleh belajar satu prinsip yang sangat penting. Meninggikan Kristus melalui khotbah adalah cara yang Tuhan Allah sendiri pakai untuk memberikan kepenuhan bagi gereja-Nya. Pleroma yang akan menyatakan kemuliaan Kristus di dalam dunia melalui kehadiran gereja. Kalau mimbar dari suatu gereja sudah tidak lagi membahas kebenaran firman dan memancarkan doxologi bagi kemuliaan Kristus, mungkinkah gereja dapat menjadi pleroma yang menyatakan kemuliaan Kristus di dunia ini? Karena itu betapa rusaknya kalau mimbar sudah menjadi tempat para badut berdiri. Betapa lebih rusaknya lagi kalau mimbar sudah menjadi tempat para tukang obat yang tidak tahu bagaimana mengaitkan keberadaan mereka di atas mimbar dengan keseluruhan rencana Kristus bagi gereja-Nya. Betapa sangat rusaknya jika mimbar menjadi tempat yang paling jarang menyatakan keagungan yang sepantasnya bagi Kristus. Dengan melihat zaman yang makin serong ini hanya anugerah Tuhan yang boleh terus memberikan kebangunan sejati kepada gereja-Nya sehingga gereja-Nya terus terpelihara dan terus bertumbuh menuju pleroma, yaitu menuju tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Kiranya Tuhan memberikan kekuatan kepada kita semua.
Ev. Jimmy Pardede
Gembala GRII Malang
[i] Herman Ridderbos, Paul: An Outline of His Theology (Eerdmans, 1975), 435.
[ii] Harold Hoehner, Ephesians: An Exegetical Commentary (Baker, 2006), 557.
[iii] John Calvin, Institutes, IV.1.5.
[iv] John Calvin, Institutes, IV.1.5.
[v] John Calvin, Institutes, IV.1.1.
[vi] Jonathan Edwards, Religious Affections, (Banner of Truth Trust, 1997), 318.
[vii] Ibid. Hlm. 32.
[viii] Amy Plantinga Pauw, The Supreme Harmony of All, (Eerdmans, 2002), 166.
[ix] Dikutip oleh B. B. Warfield, Selected Shorter Writings, vol 2 (Presbyterian & Reformed, 1970), 404.
[x] Paul Althaus, The Theology of Martin Luther, (Fortress Press, 1966), 36.
[xi] Ibid. Hlm. 36, 37.
[xii] T. H. L. Parker, Calvin’s Preaching (Louisville: Westminster/John Knox Press), 24.
[xiii] Ibid. Hlm. 6.
[xiv] Ibid.
[xv] Jonathan Edwards, Religious Affections (Banner of Truth Trust, 1997), 184.
[xvi] Lihat pembahasan dari Helen Westra dalam Edwards in Our Time, Sang Hyun Lee dan Allen C. Guezlo, ed., (Eerdmans, 1999)
[xvii] John Leith, Introduction to the Reformed Tradition, (John Knox Press, 1981), 81.
[xviii] Ibid. Hlm. 29.
[xix] Ibid. Hlm. 31.
[xx] Ibid. Hlm. 78.
[xxi] “The Excellency of Jesus Christ,” suatu khotbah yang diambil Edwards dari Wahyu 5:12
[xxii] “Theology, Meaning, and Power,” sebuah tulisan Miroslav Volf dalam The Future of Theology: Essay in Honor of Jurgen Moltmann, Miroslav Volf, Carmen Krieg, Thomas Kucharz ed. (Eerdmans, 1996), 110.
[xxiii] Ibid. Hlm. 111.