Universitas Reformed Injili: Sebuah Harapan

Pada bulan Agustus 2015, Konvensi Injil Nasional untuk Pemuda baru saja berlangsung.[1] Tiga ribu lebih pemuda/i dari seluruh nusantara berkumpul untuk semakin dibina melalui pendalaman firman yang berbobot. Tentunya kita sadar bahwa spiritualitas kita sebagai orang Kristen tidak bisa mengandalkan acara-acara besar seperti ini semata. Setelah event-event seperti ini usai, perlu tindak lanjut dalam keseharian kita. Sangat diperlukan aspek bertumbuh dan berjalan bersama Tuhan hari demi hari. Melalui proses pertumbuhan dan pembentukan yang berkesinambungan seperti ini, baru kita dapat menghasilkan buah yang terpancar dalam berbagai aspek hidup. Salah satu aspek dari buah tersebut adalah penggarapan mandat budaya, secara spesifik ketika orang Kristen dapat menerangi berbagai bidang sesuai prinsip firman Tuhan. Kita bersyukur Gerakan Reformed Injili sekali lagi diberikan beban dan sekaligus kehormatan untuk menggarap satu aspek lagi dalam bidang pendidikan, yakni melalui Universitas Reformed Injili. Penulis berharap ada pemuda/i peserta KIN yang terus menggumulkan panggilan hidupnya, untuk suatu saat menjadi pendidik-pendidik yang berbobot di Universitas Reformed Injili. Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk menyampaikan sedikit harapan dari Universitas Reformed Injili yang akan digarap dalam waktu-waktu ke depan.

Fondasi dan Prinsip Dasar
Dalam bagian ini kita akan sedikit mengingat kembali dua prinsip dasar seputar dunia pendidikan. Buletin PILLAR sendiri telah menerbitkan berbagai artikel yang baik mengenai tema ini.[2] Prinsip pertama adalah mengenai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan bukanlah sebagai batu loncatan untuk mencari kerja, menjadi ajang pamer kehebatan/kepintaran, ataupun sarana kompetisi untuk mencari nilai yang tertinggi. Pendidikan seharusnya membawa seluruh pelajar untuk semakin mengenal Allah.[3] Sebab Allah telah menyatakan diri-Nya secara umum (dalam aspek wahyu umum), sehingga manusia dapat mengenal sifat-sifat Allah sampai tahap tertentu. Misalkan saja aspek kebesaran, kemahakuasaan, kebijaksanaan, keindahan, dan keteraturan dari Allah Sang Pencipta. Dengan pengertian ini, kita sadar bahwa segala kebenaran yang dipelajari berasal dari Allah (All truth is God’s truth). Ketika manusia semakin mendalami dan melakukan eksplorasi realitas ciptaan (baik dalam ilmu alam maupun sosial), seharusnya manusia semakin kagum dan memuliakan Tuhan.

Prinsip kedua adalah mengenai urutan/ordo dalam pendidikan. Pdt. Dr. Stephen Tong menegaskan bahwa urutannya adalah sebagai berikut: guru, materi, murid, fasilitas.[4] Tanpa adanya guru-guru yang berbobot dan bisa menjadi teladan, fasilitas selengkap dan sehebat apa pun tetap tidak memberikan signifikansi yang besar terhadap kemajuan pendidikan. Kita juga sadar bahwa tidak ada sesuatu yang netral dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Pilihannya hanya ada dua, yakni mengikut Tuhan atau melawan Tuhan. Realitas ini juga mencakup aspek bahan/materi yang akan diajarkan dalam universitas. Setiap kurikulum dan materi pasti memiliki suatu dasar filosofis dan presuposisi sebagai fondasi. Pendidik Kristen tidak boleh secara naif mengatakan semua materi dan pemikiran itu baik dan sama saja. Perlu ketajaman dan kepekaan untuk membedakan mana yang sesuai dengan prinsip firman Tuhan dan mana yang tidak. Termasuk ajaran dan pemikiran yang besar namun tidak sesuai firman, juga perlu dipelajari dengan saksama, sekaligus diuji dan dikritisi dengan firman Tuhan sebagai tolak ukur.

Sekilas Tren Pendidikan
Selanjutnya kita akan sama-sama memerhatikan sedikit tren yang terjadi dalam dunia pendidikan, termasuk kemungkinan perkembangan dalam tahun-tahun mendatang. Dalam beberapa tahun ini, perkembangan inovasi dan teknologi telah mengubah beberapa paradigma dan model dalam pendidikan. Misalkan saja tren OpenCourseWare. Kegiatan belajar mengajar tidak hanya terjadi ketika guru dan murid bertemu di dalam kelas secara fisik saja. Melalui OpenCourseWare, berbagai materi pembelajaran (video lecture, lecture notes, assignment, project) dapat diakses secara terbuka dan tanpa biaya. Gerakan ini bermula pada tahun 1999 ketika University of Tübingen di Jerman melakukan publikasi secara umum mengenai berbagai video lecture. Saat ini, berbagai universitas terkemuka di dunia juga melakukan hal yang sama. Misalkan saja melalui platform edX, Coursera, dan MIT OpenCourseWare. Kita bisa mendaftar dan mengikuti berbagai modul dari kelas-kelas online tersebut dan mendapatkan sertifikat tertentu. Integrasi dan implementasi teknologi telah membuka berbagai macam kemungkinan dan variasi model pendidikan dalam masa-masa mendatang.[5] Dari sisi industri sendiri, masih ada jurang lebar pemisah antara apa yang diajarkan di universitas dan yang dibutuhkan oleh industri. United States Department of Labour menyatakan bahwa 65% dari siswa-siswi SMP/SMA sekarang, nantinya setelah lulus kuliah akan bekerja dalam satu posisi yang sama sekali belum ada/tidak bisa kita bayangkan sekarang. Dunia akan menjadi semakin kompleks, volatile, dan sulit untuk diprediksi. Dengan kondisi-kondisi seperti ini, tidaklah masuk akal jika proses belajar dibatasi hanya ketika berada dalam masa empat tahun di bangku kuliah. Pembelajaran harus dilihat sebagai proses pembentukan seumur hidup yang diiringi dengan sikap yang rendah hati, ingin tahu, dan mau terus diisi. Peran guru/dosen juga tidaklah sebatas penyampai bahan/informasi saja. Aspek ini setidaknya mulai bisa ditangani dengan dibukanya kelas-kelas online dari berbagai universitas di dunia. Dengan banjirnya informasi yang ada (information overload), guru seharusnya lebih berperan untuk menunjukkan/mengarahkan murid-murid mengenai aspek atau area mana yang perlu digali lebih jauh dari beragamnya informasi yang tersedia.

Berbagai Perbandingan
Dalam bagian ini, penulis berusaha memberikan ulasan singkat mengenai beberapa sistem dan gerakan pendidikan. Karena keterbatasan cakupan artikel ini, penulis tidak menjelaskan secara detail ataupun memberikan pertimbangan pro-and-cons secara komprehensif dari setiap sistem atau gerakan tersebut. Tentunya pembaca setia PILLAR bisa mengamati dan melakukan riset lebih mendalam terhadap sistem dan gerakan lain yang tidak mungkin dibahas satu per satu di dalam artikel ini. Melalui berbagai perbandingan, ini bisa menjadi studi kasus, pertimbangan, dan pembelajaran dalam menentukan langkah-langkah ke depan dalam perencanaan universitas.

Singapura
Negara Singapura memiliki prinsip meritokrasi yang tentunya juga diterapkan dalam bidang pendidikan. Seseorang dihargai bukan karena ras, warna kulit, dan latar belakang. Selama seseorang kompeten dan mampu, dia bisa mengambil tempat, kesempatan, atau posisi yang lebih signifikan. Sesuai dengan tujuan sistem pendidikan Singapura, yaitu “to identify and groom bright young students for positions of leadership”. Dengan filosofi seperti ini, prestasi akademis dari siswa/i sangat menentukan jalur kelas, program, dan universitas dalam masa-masa ke depan. Prestasi akademis dianggap indikator penentu yang objektif. Murid-murid Singapura memang telah meraih berbagai penghargaan, secara khusus dalam aspek teknologi, matematika, dan sains. Namun demikian, juga ada beragam kritik, terutama dari sisi kreativitas dan inovasi. Nantinya hal ini akan berpengaruh terhadap iklim entrepreneurship dan innovation di Singapura. Selain itu, tingkat stres bisa dikatakan tinggi karena para pelajar berjuang setengah mati demi mengejar prestasi akademis yang dianggap sebagai “penentu nasib”. Les tambahan selama berjam-jam setelah sekolah merupakan suatu fenomena yang wajar di negara ini.

Montessori
Pembelajaran Montessori dikembangkan oleh seorang edukator bernama Maria Montessori. Pendekatan pendidikan Montessori sangat menekankan kebebasan sebagai seorang individu. Juga pengembangan aspek natural seorang anak, baik dari sisi fisik, fisiologi, mental, dan sosial. Lima indra secara keseluruhan berusaha dipupuk dan ditekankan dalam sekolah-sekolah Montessori. Tidak hanya aspek mendengar dan membaca saja yang kerap ditekankan oleh sistem pendidikan tradisional. Pendidikan Montessori memiliki berbagai ciri khas berikut: kelas gabungan dengan berbagai macam rentang umur, siswa-siswi berhak memilih aktivitas sesuai dengan pilihan-pilihan yang telah ditentukan, kebebasan untuk bergerak di dalam ruang kelas, dan penekanan materi ke arah “discovery” dibandingkan “instruction”. Beberapa co-founder Google (e.g. Larry Page dan Sergey Brin) merupakan contoh terkenal dari orang-orang yang mengenyam pendidikan Montessori pada masa kecilnya.

Pendidikan Klasik
Buletin PILLAR telah menerbitkan satu artikel yang baik mengenai pendidikan klasik.[6] Penulis akan berusaha memberikan sedikit rangkuman dari artikel tersebut. Tujuan pendidikan klasik dapat dirangkum oleh satu kata Latin: humanitas, yang artinya kemanusiaan. Pendidikan klasik bertujuan untuk memperkembangkan potensi manusia dalam setiap kelimpahan aspeknya sehingga dapat berkontribusi terhadap perkembangan kebudayaan manusia di dalam sejarah. Teori pendidikan klasik memiliki ketahanan uji di dalam sejarah karena teori ini mengandung banyak unsur anugerah umum (common grace) di dalamnya. Penekanan pendidikan klasik tentang humanitas, harmonisasi antara individu dan komunitas, perhatian terhadap perkembangan kebudayaan manusia: semua ini adalah hal-hal yang baik yang Allah inginkan di dalam ciptaan-Nya. Hal-hal positif tersebut membuat pendidikan klasik bertahan lama di dalam sejarah. Jika dibandingkan dengan pendidikan modern yang mereduksi manusia, cenderung pragmatis, dan terlalu banyak terkotak-kotak oleh urusan politik, pendidikan klasik bersifat superior dengan penekanannya akan humanitas. Namun demikian, kita juga perlu mewaspadai kecenderungan memberhalakan manusia di dalam pendidikan klasik.

Finlandia
Sistem pendidikan di Finlandia selama beberapa tahun secara konsisten terus menempati urutan teratas di dunia. Jika dibandingkan dengan sistem pendidikan Asia secara umum, sistem pendidikan Finlandia terkesan “aneh” dan bertolak belakang. Di Finlandia, tidak ada biaya pendidikan. Murid-murid juga mulai menempuh pendidikan formal ketika umur 7 tahun, relatif lebih lambat dibandingkan sistem pendidikan formal di Asia. Namun kebiasaan dan dorongan untuk membaca sudah ditanamkan sejak dini, jauh sebelum masuk sekolah secara formal. Ketika melahirkan, seorang ibu akan mendapatkan “maternity package” berupa tiga buku, untuk sang ibu, sang ayah, dan sang bayi. Buku bacaan merupakan kawan akrab bagi sang bayi sejak dini. Dari sisi pengajar, seluruh guru yang mengajar diseleksi dengan ketat dan teliti. Para guru memiliki gelar setingkat S2. Di Finlandia, profesi sebagai guru dinilai terhormat. Lulusan-lulusan terbaik kerap memilih untuk bekerja sebagai guru dibandingkan bekerja di bidang hukum atau bisnis misalnya. Jam belajar di sekolah juga relatif singkat sehingga siswa-siswi memiliki waktu lebih banyak untuk eksplorasi dan beristirahat.

Indonesia Mengajar
Bagi kita yang tinggal di Indonesia, kita sangat sadar begitu timpangnya kualitas pendidikan di berbagai daerah. Secara khusus di daerah terpencil, tenaga pengajar juga sangatlah terbatas. Indonesia Mengajar (IM) merupakan sebuah lembaga nirlaba yang merekrut, melatih, dan mengirim generasi muda Indonesia ke berbagai daerah untuk mengabdi sebagai Pengajar Muda (PM) di Sekolah Dasar selama satu tahun. Penggagasnya, Anies Baswedan, memulai gerakan Indonesia Mengajar pada tahun 2009 untuk menjadi lebih dari sekadar program, tetapi sebagai gerakan untuk mengajak bersama masyarakat yang berikhtiar untuk ikut berperan aktif mencerdaskan kehidupan bangsa. Meyakini bahwa pendidikan dasar adalah fondasi pembangunan masyarakat Indonesia, maka Indonesia Mengajar melihat bahwa pendidikan dasar untuk anak-anak di seluruh pelosok Indonesia wajib disampaikan dan didampingi oleh generasi terbaik bangsa. Melalui Indonesia Mengajar, setidaknya ada sekelompok pemuda-pemudi yang siap ditugaskan mengajar di daerah terpencil, di mana guru-guru begitu terbatas atau bahkan tidak ada.

Sebuah Harapan
Sekarang kita akan kembali merenungkan secara spesifik mengenai Universitas Reformed Injili. Dalam merencanakan dan nantinya menjalankan Universitas Reformed Injili, tentunya ada berbagai aspek yang perlu kita doakan, pikirkan, dan gumulkan bersama-sama sebagai satu tubuh Kristus. Mulai dari guru, kurikulum, buku-buku, seleksi jurusan-jurusan yang akan dibuka, murid, gedung, fasilitas laboratorium, perizinan, kerja sama dengan berbagai instansi lain, dan lain-lain. Universitas Reformed Injili berarti harus membawa semangat Reformed untuk setia kembali kepada Alkitab, dan semangat Injili untuk memberitakan Injil melalui berbagai macam sarana dan aspek hidup. Tentu tidak mudah untuk bisa ‘menemukan’ guru-guru yang memiliki struktur pikiran dan semangat seperti demikian. Perlu fondasi, proses, dan pembentukan yang tidak sebentar. Dari manakah orang-orang tersebut bisa muncul? Saya rasa pertanyaan ini bisa kita renungkan dan tanyakan kepada diri sendiri. Terutama bagi kita yang telah banyak menerima anugerah mendengarkan khotbah-khotbah bermutu yang membangun struktur pikiran, kesempatan melayani memberitakan kabar baik ke berbagai kota dan daerah, tidak melewatkan momen-momen krusial dalam NRETC/NREC/KIN, ataupun berbagai kesempatan studi baik di dalam maupun luar negeri. Integrasi firman Tuhan dengan berbagai aspek hidup bukanlah suatu proses yang mudah, instant, atau bisa dipaksakan. Apalagi sampai bisa mengimplementasikan hal ini dari arah besar suatu gerakan dan universitas, sampai merembes masuk kepada pembuatan lecture notes, tutorial, assignment, dan soal ujian dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari. Perlu orang-orang yang berkomitmen dan rela dibentuk, mulai dari dekan, kepala program studi, sampai kepada setiap dosen dan mahasiswa. Mari kita terus berdoa bagi orang-orang yang Tuhan bentuk dan siapkan untuk melayani di dalam bidang ini.

Yang menjadi satu harapan utama dari penulis tentunya adalah kejelasan dan konsistensi visi dari Universitas Reformed Injili. Dalam hal ini, tentunya kita tidak bisa mengandalkan kekuatan diri sendiri. Kita sama, dan mungkin jauh lebih buruk, dengan orang Israel yang tegar tengkuk dan begitu mudahnya meninggalkan Tuhan. Kita semata-mata hanya bisa bersandar kepada anugerah, kesetiaan, dan penopangan Tuhan. Kita sendiri cukup mengenal universitas-universitas terkemuka yang awalnya menjadi pelatihan guru-guru Kristen/pelayan, bisa menjadi begitu sekuler dan menghasilkan alumni-alumni yang tidak percaya Tuhan.[7] Apakah yang menjadi dasar atau jaminan kesetiaan dan kemurnian jika hanya mengandalkan kekuatan manusia?

Sebagai penutup, penulis juga ingin sedikit mengulang beberapa doa dan harapan yang sebetulnya pernah didengungkan dari satu artikel PILLAR di tahun 2007.[8] Suatu harapan akan universitas di mana mahasiswanya belajar untuk semakin mengenal kebenaran yang sudah Allah wahyukan. Suatu universitas di mana manusia belajar dengan penuh kehausan dan kerendahan hati. Suatu universitas di mana para mahasiswa belajar dan pada nantinya bekerja dengan mentalitas untuk melayani sesamanya. Sama seperti Kristus yang datang ke dunia untuk melayani, bukan dilayani. Suatu universitas di mana nama Tuhan yang semata-mata ditinggikan, bukan manusia. Suatu universitas di mana ada hati seorang pengajar yang dipersembahkan untuk melayani mereka yang diajarnya. Segala sesuatu yang dimilikinya, ia bagikan kepada mereka. Demikian juga dengan seorang pelajar. Ia siap melayani sesama pelajar yang lain. Hati yang siap untuk berbagi, tanpa semangat persaingan, melainkan hanya demi mencari kebenaran. Inilah suatu sikap ideal seorang pelajar. Alangkah indahnya jika pertemuan mingguan dengan profesor dan sesama mahasiswa tidak dinanti dengan kecemasan atau kegentaran, melainkan dinanti dengan pengharapan akan mendapat inspirasi dan pertolongan dari mereka untuk mengerti kebenaran. Kiranya kita bisa sama-sama berdoa dan menggumulkan bagian kita masing-masing dalam pelayanan di dalam Universitas Reformed Injili. Soli Deo Gloria.

Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR

Endnotes:
[1] KIN Pemuda diadakan pada 4-9 Agustus 2015 di Reformed Millenium Center Indonesia (Kemayoran) dengan tujuan membentuk karakter, mengisi pengertian kebenaran, menegakkan iman, serta mengarahkan moral dan pelayanan untuk memuliakan nama Tuhan.
[2] Dua Puluh Lima Tesis mengenai Filsafat Pendidikan Sekolah Kristen
Foundation of Christian Education
Kejatuhan dalam Dunia Pendidikan Masa Kini
Liberal Arts vs Vocational Arts
[3] The Great Vision of Christian Education: Ten Foundational Truths
[4] Arsitek Jiwa 1
[5] The Future of Education Technology Infographic
[6] Menjadi Manusia: Mengenal Pendidikan Klasik
[7] What do young Harvard graduates believe?
The 25 Most Influential Living Atheists
[8] Belajar di Universitas Reformed