Wahyu Umum di Dunia Modern

Allah adalah Allah yang berinisiatif agar diri-Nya dapat dikenal oleh manusia. Tanpa inisiatif dari Allah tidak ada seorang pun yang dapat mengenal Allah walaupun dengan menempuh jalan apapun. Inilah keunikan agama Kristen dibandingkan dengan agama lainnya. Allah memberikan diri-Nya agar dapat dikenal oleh manusia melalui dua macam wahyu: wahyu umum, yang melukiskan keagungan kuasa Allah melalui ciptaan-Nya, dan wahyu khusus, yang menyingkapkan bahwa Allah adalah Allah yang mengasihi dan bersedia menyelamatkan manusia berdosa melalui pengorbanan Anak-Nya di kayu salib.

Pernyataan mengenai wahyu umum dapat ditemukan di kitab Roma 1:18-21, yang menyebutkan bahwa apa yang dapat manusia ketahui tentang Allah, yakni kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, sebenarnya telah nyata bagi manusia melalui karya-Nya sejak dari dunia diciptakan, karena Allah telah menyatakan diri-Nya, dan maka itu manusia tidak dapat berdalih. Oleh karena itu, murka Allah dinyatakan atas segala kefasikan dan kelaliman manusia yang menindas kebenaran, yang tidak mengakui Allah sebagaimana adanya, dan Tuhan menghakimi manusia dengan menghilangkan hambatan agar mereka bisa bebas melakukan dosa dan menanggung akibatnya.

Ayat-ayat lain di Alkitab yang menyebutkan tentang wahyu umum Allah terdapat di dalam Mazmur 19, di mana sang pemazmur mengemukakan bahwa kemuliaan Allah nampak melalui langit dan cakrawala juga memperlihatkan kuasa Tuhan yang mencipta. Roma 1:32 serta Roma 2:14-16 juga menyebutkan aspek lain dari wahyu Allah, yakni tentang tuntutan hukum Allah melalui hati nurani manusia.

Demikianlah sebagian catatan mengenai wahyu umum yang terdapat di Alkitab. Namun dalam hidup, kenyataannya tidak selalu mulus dan sesuai dengan teori. Banyak dari kita tentu pernah bergumul tentang bagian-bagian yang mencatat wahyu umum ini dan bertanya-tanya, ‘Di manakah kuasa Tuhan yang jelas dilukiskan melalui alam ciptaan yang disebutkan di ayat-ayat di Alkitab? Mengapa jika demikian jelasnya, ada orang-orang yang menganut atheisme, atau bahkan agnostik? Apakah mereka menindas kebenaran sesuai kata Alkitab? Bahkan ada filsuf seperti Bertrand Russell yang ketika diberi pertanyaan apa yang akan ia katakan ketika ia nanti bertemu Tuhan, ia akan menjawab bahwa tidak cukup bukti. Dan juga ada tokoh ilmuwan seperti Richard Dawkins yang mengarang buku ‘The God Delusion’, yang juga mendukung atheisme dan menyangkal bukti tentang adanya Tuhan. Bagaimanakah kita menjelaskan hal ini? Namun di sisi lain, ada pula orang seperti Francis S. Collins, kepala dari Human Genome Project, yang tetap berpegang kepada kekristenan walaupun ia juga adalah seorang ilmuwan yang handal.

Namun pertanyaannya tetaplah bagaimana menjelaskan Roma 1:19 yang menyebutkan bahwa apa yang dapat manusia ketahui tentang Allah nyata bagi manusia? (Memakai istilah nyata, bukan kabur). Dalam zaman ini di mana ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang dan merasuk sampai ke tulang sumsum kemanusiaan, kita melihat bahwa ada banyak pula manusia yang telah meninggalkan iman mereka dan menggantikannya dengan ilmu pengetahuan. Dalam abad ke-19, filosofi materialisme berkembang pesat. Optimisme terhadap potensi yang ada di dalam diri manusia juga semakin memuncak dan manusia lebih cenderung mengandalkan kekuatannya sendiri untuk menjelaskan dan menginterpretasi segala sesuatu. Mereka percaya kepada ilmu pengetahuan dan karakteristik dari ilmu pengetahuan yang terus mengoreksi dirinya sendiri sebagai hal yang dapat memberi jawaban terhadap semua misteri, dan istilah ‘Allah’ mereka anggap hanya dipakai manusia untuk mengisi celah di mana manusia belum mendapatkan jawaban secara ilmiah. Bahkan mengenai karakteristik manusia yang unik menurut kekristenan, seperti moralitas dan rasio, sekarang kita melihat bahwa para sociobiologists berusaha mengembangkan teori seperti etika evolusi, di mana mereka menyebutkan bahwa binatang pun memiliki rasio dan etika, dan permasalahannya adalah adanya perbedaan derajat dengan rasio dan etika manusia. Contohnya, chimpanzee pun dapat menggunakan alat dan mereka juga dapat menyatakan empati. Dengan demikian, rasio dan etika hanyalah masalah derajat! Dan permasalahan derajat ini, ditutupi dengan istilah ‘evolusi’. Namun sepertinya mereka menaruh harapan kepada suatu masa depan yang tidak pernah kunjung tiba, toh tidak ada seorang pun dari kita yang bisa membuktikan secara ilmiah bahwa masa depan tidak akan terjadi evolusi binatang sehingga rasio dan etika mereka akan berkembang seperti manusia.

Dalam ilmu psikologi pada zaman ini, optimisme terhadap potensi dalam diri manusia juga berkembang. Segala sesuatu diinterpretasikan dengan memakai gejala sebab-akibat yang alamiah bahkan penafsiran akan Allah.

Bagaimana kekristenan berdiri di hadapan tantangan zaman ini? Sementara kita tahu tokoh seperti C.S. Lewis, yang adalah seorang atheis sebelum beliau menjadi Kristen, telah menyelidiki bahwa Tuhan memanifestasikan diri-Nya dalam fakta bahwa berbagai banyak kebudayaan yang menyatakan persamaan mengenai ‘Hukum Moral’. Sementara banyak orang berkata bahwa berbagai kebudayaan memiliki norma kelakuan yang begitu jauh berbeda, namun Lewis mengatakan bahwa hal ini adalah bohong, dan jika seseorang pergi ke perpustakaan dan menghabiskan beberapa hari dengan Ensiklopedia Agama dan Etika (Encyclopedia of Religion and Ethics), ia pun akan menemukan begitu besarnya persamaan logika dan etika praktis, dari Babilonia sampai Samos, dari hukum-hukum Manu, dari Book of the Dead, Analects, Stoic, Platonis, suku Aborigines dan bangsa kulit merah dari Australia, akan tidak setuju kepada kekerasan, pembunuhan, pengkhianatan, dan kepalsuan, walaupun terdapat sedikit sekali pengecualian.

Dalam Theologi Reformed, kita mempelajari bahwa hati nurani atau yang disebut sebagai ‘Hukum Moral’ ini ada karena kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Selain daripada manusia memiliki hati nurani dan rasio yang membedakannya dari binatang, disebutkan juga di buku Pdt. Dr. Stephen Tong yang berjudul ‘Roh Kudus, Suara Hati Nurani dan Setan’, bahwa sebagai konsekuensi gambar dan rupa Allah, manusia juga dibedakan dengan binatang melalui aspek-aspek seperti sifat kekekalan, sifat kesadaran, sifat tanggung jawab kepada Allah atau sifat agama.

Pandangan Mengenai Trend Masa Kini

Sementara zaman sekarang sibuk berupaya mencari penjelasan natural mengenai sifat-sifat unik manusia (yang dengan demikian juga berarti dasar atheisme semakin diperluas), patutlah kita renungkan juga bahwa Alkitab pun konsisten dan koherensinya sangatlah indah, dan hal ini menyatakan bahwa Tuhan adalah Tuhan atas sejarah. Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, manusia sering kali berdosa dengan cara yang sama. Manusia cenderung bersandar kepada kekuatan, pengertian sendiri daripada mementingkan penyertaan Allah, dan mereka menggunakan kekuatan, pengertian sendiri untuk mengagungkan diri, mendapat untung, dan melawan Tuhan. Itu sebabnya manusia pertama memakan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat karena ingin menjadi seperti Allah, menggunakan cara sendiri dan mengabaikan perintah Allah. Itu pula sebabnya manusia berupaya mendirikan menara Babel yang mencapai langit untuk mengagungkan diri, mengandalkan kekuatan sendiri daripada Allah. Dalam banyak kisah Alkitab lain, seperti ketika Abraham dan Lot berpisah, di mana Lot dengan pengertian sendiri memilih Lembah Yordan yang terlihat subur, juga dilukiskan bagaimana Lot dengan pengertian sendiri akhirnya memilih tempat yang salah karena mengabaikan Tuhan. Di kitab Hakim-hakim, Simson akhirnya ditangkap oleh orang Filistin karena ia mengandalkan kekuatan sendiri. Setelah berkali-kali berhasil melepaskan diri dari kepungan orang Filistin karena kekuatan besar yang Tuhan berikan, ia tidak lagi mengandalkan Tuhan yang memberikan kekuatan tersebut, ia akhirnya ditangkap oleh orang Filistin karena ia memberitahukan rahasia kekuatannya. Dengan kekuatan yang terbatas, manusia berdosa sering kali bersandar pada kekuatan dan pengertian sendiri daripada mementingkan penyertaan Tuhan.

Di sisi lain, kita melihat tokoh-tokoh yang mengandalkan Tuhan. Musa dapat membebaskan bangsa Israel dari tentara Mesir yang begitu mutakhir pada zaman itu dalam militer karena ia bersandar kepada Tuhan. Dalam periode Hakim-hakim, Gideon berhasil membasmi habis bangsa Midian yang sangat banyak jumlahnya dan yang telah menguasai Israel selama tujuh tahun hanya dengan 300 orang untuk berperang karena Tuhan menyertai. Bangsa Filistin mengandalkan Goliat yang berukuran besar, namun seorang Daud yang bertubuh kecil dimenangkan karena mengandalkan Tuhan (Banyak Mazmur Daud yang memohon pertolongan Tuhan dalam perang). Dalam Kitab Daniel, raja Nebukadnezar mengandalkan panasnya api untuk mengeksekusi Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, namun Tuhan melindungi mereka sehingga tidak terbakar. Dan raja Darius mengandalkan kebuasan singa untuk menghabisi Daniel, namun ia pun diselamatkan oleh Tuhan. Dalam Perjanjian Baru, ahli-ahli Taurat mengandalkan politik untuk menyalibkan Yesus, dan mereka berpikir bahwa mereka telah menang ketika Tuhan Yesus disalibkan, namun pada hari yang ketiga Yesus bangkit kembali dan hidup untuk selama-lamanya.

Maksud saya bukanlah mereka yang mengandalkan Tuhan pasti selalu selamat dari bahaya apa pun ataupun bebas dari penderitaan fisik, tetapi mereka selalu diberkati oleh Tuhan. Demikian pentingnya pengandalan kepada Tuhan dalam iman Kristen sehingga kita pun diselamatkan atas dasar percaya dan pengandalan kepada Tuhan, bukan dengan kekuatan dan perbuatan baik kita sendiri. Tuhan memimpin Abraham keluar tanpa petunjuk yang jelas harus ke mana, dan Tuhan juga menjanjikan sesuatu hal yang hampir tidak mungkin seperti seorang keturunan yang berkesan mustahil bagi Abraham dan Sara. Dan Tuhan pun menyuruh Abraham mempersembahkan Ishak sehingga untuk dapat menjalankan perintah tersebut Abraham harus percaya sepenuhnya kepada Tuhan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Alkitab mengajarkan pengandalan kepada Tuhan, dan pengandalan diri kepada Tuhan kontras dengan praktek-praktek masa kini yang mementingkan optimisme dalam percaya akan kekuatan diri sendiri ataupun mengandalkan kehebatan umat manusia serta ilmu pengetahuan untuk mengatasi segala hal yang mengabaikan penyertaan Allah. Ayat-ayat seperti Yeremia 17:5-8 dan Amsal 3:5 pun kembali mengingatkan kita akan pentingnya bersandar kepada Allah.

Dalam zaman ini, sebaiknya kita berhati-hati apakah argumen-argumen dari ilmu pengetahuan juga merupakan kasus yang sama, yakni penyandaran diri kepada diri sendiri dan bukan Tuhan? Apakah ini adalah salah satu bentuk dalam upaya meninggikan ego manusia untuk menyamakan diri dengan Allah, seperti membangun kembali menara Babel yang bukan dalam bentuk bangunan melainkan konstruksi rasional untuk aktualisasi kebolehan umat manusia? Apakah kita, seperti yang Kitab Roma katakan, mengeraskan hati kita? Namun kita juga tidak boleh di sisi lain dengan sembarangan mengkritik akan ilmu pengetahuan. Orang Kristen justru harus belajar dan bekerja keras dalam mengembangkan ilmu pengetahuan secara jujur dan mengerjakan akan alam seperti yang diperintahkan kepada manusia pertama dalam kitab Kejadian, dan menaklukkan ilmu pengetahuan di bawah iman kekristenan yang takut akan Tuhan.

Saya rasa kita juga perlu berhati-hati dan belajar untuk senantiasa jujur di hadapan Allah, paling tidak kita harus bersandar kepada Allah dalam soal kejujuran untuk menyelidiki motivasi diri sendiri mengingat kita pun adalah orang-orang yang sangat rentan terhadap dosa. Begitu banyak hal yang kita tidak mengerti, tapi tetaplah berusaha untuk bersandar dan taat agar wahyu umum Allah dapat kita lihat sebagaimana seharusnya di dalam kemuliaan Allah. Soli Deo Gloria.

Ardianto Suhendar

Pemuda GRII Singapura