Arsitek Jiwa 1

Judul : Arsitek Jiwa I
Penerbit : LRII
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Tebal : 79 halaman
Tahun : 1993

Aristoteles mengatakan bahwa manusia sebelum berumur 30 tahun belum ada apa-apanya. Tetapi bagian pertama yang dibahas oleh Pdt. Dr. Stephen Tong dalam buku ini justru adalah betapa pentingnya masa kanak-kanak dilihat dari iman Reformed. Ada suatu film yang berjudul Children of Men, yang mengisahkan suatu dunia yang sudah 18 tahun berjalan tanpa adanya satupun kelahiran manusia. Kalau seandainya umat manusia kehilangan fungsi reproduksi, dunia ini akan menjadi seperti apa? Mungkinkah kebudayaan berlanjut? Mungkinkah umat manusia dengan damai menerima nasib? Film ini menggambarkan kebudayaan manusia yang hancur perlahan-lahan. Meskipun fenomena masyarakat secara umum tetap menjalankan kehidupan sehari-hari mereka, ada suatu kesadaran yang jelas, yaitu tidak adanya harapan untuk hari depan umat manusia. Maka museum-museum terkenal dibom, karya seni tidak lagi dianggap berharga – toh, dalam 100 tahun tidak akan ada lagi yang bisa melihat mereka bukan? Sistem pemerintahan seluruh dunia hancur dan negara-negara jatuh ke dalam anarki. Di jalan-jalan dibagikan paket bunuh diri gratis bagi mereka yang lebih memilih untuk tidak menunggu kematian perlahan-lahan dari umat manusia. Di tengah segala kekacauan tersebut yang berpuncak dalam suatu pertempuran antara tentara pemerintah dan kaum pemberontak, ada suatu adegan yang menjadi klimaks film tersebut: suatu pertempuran yang dahsyat dihentikan oleh suara tangisan bayi. Waktu bayi yang dipikir sudah tidak akan ada lagi tiba-tiba muncul. Semua tentara dari dua belah pihak yang bertempur langsung berhenti. Permusuhan dan kebencian yang begitu besar dihentikan oleh kehidupan yang begitu kecil dan rentan.

Film tersebut dihasilkan oleh orang-orang dunia, dan lewat film tersebut kita bisa melihat bahwa pentingnya generasi penerus sangat disadari oleh dunia. Tapi apa kata Alkitab mengenai masa kanak-kanak dan aplikasinya pada kaum pengajar? Bukan hanya di mata manusia, namun di mata Allah pun anak-anak begitu penting. Pertama, Kristus pun melewati proses menjadi anak-anak. Kristus tidak datang langsung dengan tubuh yang dewasa, tetapi Ia juga harus menjadi bayi yang begitu mudah dibunuh oleh Herodes sehingga harus dibawa lari ke Mesir. Ia juga melewati masa kanak-kanak, dan setelah dewasa Ia tidak mengusir anak-anak, Ia justru mengatakan, “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku.” Di dalam buku ini, Pak Tong mengatakan bahwa bagian ini begitu menyentuh hatinya, sebab Kristus tidak menghina, melainkan sungguh peka terhadap kebutuhan anak-anak, sebab Ia sendiri sudah pernah menjalani masa tersebut. Berapa banyak guru yang tidak mau toleransi terhadap anak-anak yang nakal, padahal mereka sendiri waktu kecil juga nakal? Tidak berhenti sampai di situ, Alkitab menyatakan alasan kedua pentingnya anak-anak di mata Allah: Kristus menjadikan anak-anak sebagai kriteria masuk ke dalam kerajaan Sorga. Kristus tidak mengatakan, “Jadilah seperti orang tua yang berjenggot itu, maka kamu akan masuk sorga.” Justru Kristus mengambil anak-anak, yang pada zaman itu (dan juga sekarang) sering dianggap insignificant. Maka jika Allah pun sangat menghargai anak-anak, patutkah kita tidak menghargai mereka?

Jadi bagaimanakah prinsip Alkitab ini mempengaruhi para guru dan pengajar? Pak Tong menyebut guru-guru tidak hanya sebagai instruktur atau pembantu – mereka disebut sebagai Arsitek Jiwa manusia. Makna dibalik istilah ini bukan hanya membawa penghargaan yang luar biasa, sebagai suatu jabatan yang begitu penting, tetapi juga membawa tanggung jawab yang sama besarnya. Orang yang hendak membangun gedung yang penting harus benar-benar mempelajari dengan seksama seluk-beluk dari bangunan tersebut. Peribahasa Tionghoa mengatakan, pohon hanya perlu 10 tahun untuk berdiri tegak, tetapi untuk membangun suatu pribadi perlu 100 tahun. Hal inilah yang menjadi pembahasan bagian kedua dari buku ini.

Syarat pertama dari seorang Arsitek Jiwa adalah kasih terhadap anak-anak. Kasihnya dari mana? Yaitu respon terhadap kasih Allah yang sudah memberikan anak-anak untuk boleh dididik. Jika kita hendak diberi hadiah mobil, lebih suka mobil bekas atau mobil baru? Kita pasti jauh lebih merasa dihargai kalau kita diberikan yang baru bukan? Inilah yang dikerjakan Allah, Ia tidak membatasi edukasi hanya kepada orang-orang yang sudah berumur. Pak Tong mengambil contoh seorang profesor yang sudah mengajar di universitas kembali mengajar di taman kanak-kanak. Ketika ditanya alasannya, profesor itu menjawab, „Mahasiswa sudah terlalu susah dibentuk, jika dipaksa bisa patah dan bahkan kita bisa tertusuk patahan tersebut. Namun dalam diri anak-anak ada suatu kemurnian yang membuat mereka bisa diajar.” Inilah anugerah yang Tuhan berikan kepada guru-guru. Ia tidak memberikan barang bekas yang sudah kaku, tetapi Ia memberikan apa yang terbaik, yaitu barang yang baru. Amsal mengatakan seorang yang dididik sejak muda tidak akan mudah beralih dari didikan tersebut ketika ia tua. Waktu kita mendidik mungkin kita lebih memilih remaja atau pemuda, tapi kita tidak sadar bahwa masa untuk membangun pola pikir sudah dimulai dari kanak-kanak. Namun apakah itu berarti anak-anak adalah suatu kertas yang kosong, masih putih bersih tanpa noda? Lewat Alkitab kita menyadari memang kita diciptakan demikian, tapi seluruh umat manusia termasuk anak-anak juga telah jatuh ke dalam dosa. Hal ini penting untuk disadari oleh para guru supaya dalam mengajar tidak terjatuh dalam pengertian tabula rasa dari John Locke (anak sebagai kertas putih), serta juga bisa mengerti jika harus mengajar anak-anak yang laknat.

Kalau dua bagian yang pertama membicarakan tentang pentingnya anak-anak dan anak itu sendiri, maka bagian ketiga dan terakhir membahas prinsip di balik faktor-faktor pendidikan. Yang pertama tentu guru itu sendiri. Guru yang baik adalah syarat utama pendidikan yang baik. Kedua, bahan pendidikan. Paulus dalam surat Korintus mengatakan bahwa ia menggarap jemaat sampai menjadi bangunan yang tahan uji. Dan bagaimanakah bangunan tersebut dapat berdiri? Yaitu dengan berfondasi kepada Kristus. Lalu bahan apakah yang dipakai untuk membangun bangunan tersebut? Alkitab mencatat empat bahan: jerami, kayu, perak, dan emas. Masalahnya bukan lebih mahal yang mana, tetapi mana yang tahan api pengujian. Jika kita mengerti pentingnya anak-anak di dalam Alkitab, kita harus mengerti dan harus membangun mereka memakai bahan-bahan yang tahan uji. Bagaimana dengan sarana dan fasilitas? Banyak sistem pendidikan sekarang ini lebih mementingkan ruangan ber-AC daripada guru-guru yang baik, padahal Kristus memberikan teladan dengan mengajar di ladang, di gunung, di tepi pantai, bahkan dari atas perahu. Pak Tong menulis Kristus mengajar karena Ia adalah Kebenaran, Ia mengajarkan Kebenaran, dan Ia mau kita menerima Kebenaran. Fasilitas tidak termasuk menjadi syarat!

Kiranya kita mau terus menggumuli panggilan yang luar biasa ini. Anak-anak yang begitu penting di mata Tuhan diserahkan kepada kita untuk dibentuk, dan Kristus sendiri menjadi teladan dalam mengerjakan hal ini. Soli Deo Gloria.

Jethro Rachmadi

Pemuda GRII Pusat