Zaman yang kita tinggali sekarang adalah zaman yang meneriakkan tentang “kebebasan” dengan menggebu-gebu. Manusia sudah muak akan otoritas dan tidak mau lagi mengikuti tradisi. Orang-orang cenderung bersikap individualis, terutama di kota-kota besar di mana perkembangan teknologi terjadi begitu pesat. Hal ini tercermin dari isu-isu yang muncul saat ini, yang sering kali membuat hati kita ngilu. Beberapa negara di Eropa dan Amerika telah mengesahkan pernikahan sesama jenis. Homoseksualitas bukanlah hal yang asing lagi untuk mereka. Mereka membuat arus yang begitu besar untuk mendukung pandangan homoseksualitas ini, sampai akhirnya pernikahan itu boleh disahkan oleh beberapa negara. Mereka tidak mau lagi dikungkung dalam tradisi dan ingin melawan semua hukum dan agama yang merintangi mereka. Tidak lagi ada kata malu pada diri mereka, mereka mempertanyakan semua otoritas yang pernah ada dan menguasai mereka, “Mengapa harus seperti itu?”, “Siapa yang menentukan?”, “Mengapa saya harus tunduk dengan semua hal itu?”. Pada akhirnya manusia mengikuti hawa nafsunya masing-masing.
Kita tahu dari Alkitab bahwa manusia sudah jatuh dalam dosa. Tidak ada sedikit pun dari diri manusia yang baik adanya dan bisa menyenangkan Allah. Sejak jatuh dalam dosa, manusia tidak lagi mengikuti perintah dan kehendak Allah. Lantas, manusia mau ikut perintah siapa dan mau ke mana? Pergumulan antara kesombongan dan ketidakmampuan terus terjadi dalam setiap zaman. Hal ini disebabkan oleh hilangnya identitas diri manusia dan penyangkalan akan adanya keberadaan dosa. Generasi sekarang cenderung memikirkan tentang perbedaan dan kesetaraan antara dirinya dengan orang lain. Dalam fakta sehari-hari kita berada di tengah otoritas orang lain, baik itu orang tua, pemerintah, atau gereja. Otoritas-otoritas yang ada cenderung dipertanyakan mengapa harus seperti itu. Bukankah orang-orang yang berotoritas itu juga adalah manusia yang sama dengan kita? Bukankah nenek moyang yang mewariskan segala tradisi dan otoritas itu juga adalah manusia biasa sama seperti kita? Apa yang membuat mereka boleh mengambil posisi sebagai penentu otoritas dan saya harus tunduk di bawah mereka? Mengapa tidak terbalik saja, yaitu kita yang menentukan segala sesuatu dan mereka yang tunduk? Apakah mereka yakin segala yang sudah ditetapkan sekarang sudah merupakan yang paling baik? Bukankah dari sejarah terbukti segala otoritas yang besar itu memiliki banyak kelemahan dan bahkan merugikan banyak orang? Segala hal yang seperti demikian dipertanyakan pada zaman ini.
Jika manusia melihat hanya kepada sekelilingnya, manusia tidak memiliki pengharapan. Karena manusia hanya akan bisa melihat manusia-manusia lainnya yang sama bingungnya dengan dirinya mengenai hidup dan realitas yang ada. Tidak ada manusia yang pantas menjadi standar. Semua manusia berdosa bingung mereka harus pergi ke mana dan bagaimana mengarahkan hidupnya. Manusia tidak ada yang minta dilahirkan, tetapi tetap lahir ke dalam dunia tanpa tahu mengapa mereka harus hidup. Dosa membuat manusia demikian rusaknya dan terputus hubungannya dengan Allah.
Tetapi syukurlah! Allah mengasihi kita. Ia memberikan kita jalan untuk kembali kepada-Nya, yaitu melalui Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus yang mati menggantikan posisi kita. Sungguh beruntung kita boleh mendapatkan anugerah ini. Kita yang telah ada di dalam Kristus dimampukan untuk mengenal siapa diri kita sesungguhnya. John Calvin mengatakan bahwa kita hanya bisa mengenal diri dengan benar jika kita mengenal Allah yang sejati. Kristus yang membuat kita menjadi mungkin untuk mengenal Allah. Kita diberikan anugerah boleh mengetahui dan memercayai bahwa kita dicipta oleh Allah menurut gambar dan rupa-Nya. Kita diciptakan untuk kemuliaan Tuhan dan hanya bagi Tuhan saja. Identitas inilah yang menentukan bagaimana kita harusnya bersikap dalam dunia ini. Jika dunia menolak otoritas dan hukum yang ada, kita harus berpikir ulang bagaimana sebagai anak-anak Allah harusnya menyikapi otoritas dan hukum.
Allah sendiri adalah otoritas tertinggi dan Sang penentu hukum. Jadi, kita tidak punya masalah untuk tunduk di bawah otoritas Allah, karena kita memang sebenarnya diciptakan untuk tunduk kepada Pencipta kita. Sejak awal mula dunia diciptakan, Allah telah menaruh hukum-hukumnya dalam dunia ini. Segala hukum alam yang terjadi dalam dunia ini ditetapkan oleh Allah sendiri. Pada saat manusia diciptakan, manusia bersih dan tanpa dosa. Hubungan manusia dengan Allah terjalin sangat baik dan manusia melakukan segala kehendak Allah bagi dirinya. Setelah manusia jatuh dalam dosa, hubungan ini terputus dan manusia tidak berpengharapan. Maka dari itulah manusia benar-benar memerlukan anugerah Allah yang ternyatakan dalam firman-Nya. Manusia setelah dinodai oleh dosa memiliki kecenderungan untuk terus-menerus hidup dalam kecemaran yang membawa mereka pada kebinasaan. Maka Tuhan mengaruniakan firman-Nya menjadi pelita bagi orang berdosa yang sudah dipilih-Nya agar mereka dapat berjuang untuk hidup benar. Firman inilah yang harusnya mengatur hidup manusia agar dosa dapat diredam dan dapat kembali memancarkan kemuliaan Allah.
Dalam dunia Perjanjian Lama, orang-orang yang Tuhan pilih ternyatakan dalam bangsa Israel. Pembentukan bangsa Israel dimulai dari Abraham yang dipanggil keluar oleh Allah dari peradaban Sumeria. Sampai pada zaman Musa, bangsa Israel diberikan oleh Allah, firman yang dikompilasi menjadi kitab, yaitu kitab Taurat Musa yang kita kenal sebagai lima buku pertama dalam Alkitab. Sepuluh hukum Allah juga termasuk di dalam kitab Taurat Musa ini. Taurat inilah yang harus ditaati oleh bangsa Israel supaya mereka diberkati oleh Tuhan dan untuk memunculkan identitas mereka sebagai umat Allah. Kita mungkin sudah mengetahui apa isi Taurat Musa dan sudah membacanya berulang kali. Tetapi mari kita melihat lebih jauh lagi yaitu mengapa Tuhan memberikan hukum-Nya (Taurat)?
Sepanjang sejarah peradaban manusia, di mana pun tempatnya, pasti memiliki hukum atau peraturan, baik secara adat maupun tertulis. Mengapa? Karena manusia berdosa tidak tahan jika tidak berdosa. Sering kali keberdosaan manusia bukan hanya berakibat pada dirinya sendiri, tetapi juga merugikan orang lain. Jika tidak dibuat peraturan, maka setiap orang dapat berbuat seenaknya saja dan terjadi kekacauan. Maka, di mana dosa terjadi di situ diperlukan hukum atau peraturan yang bisa menahan keliaran dosa manusia. Tetapi siapa yang berhak menentukan hukum? Siapa yang mengetahui bahwa hukum ini lebih baik daripada hukum itu? Bukankah hukum juga memiliki banyak variasi dan kelemahan masing-masing? Bukankah kita juga mengetahui bahwa hukum pun dapat bersifat berdosa, misalnya pengesahan pernikahan sesama jenis secara legal? Bukankah kita melihat di mana-mana ada orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum? Jika manusia yang membuat hukum, maka hukum itu terbatas, dan tidak jarang tercampur unsur keberdosaan manusia dalam hukum itu. Oleh karena itu, sekali lagi kita bisa melihat, tanpa kembali kepada Tuhan, tidak ada masalah keberdosaan manusia yang dapat diselesaikan.
Hukum Taurat yang diberikan Allah bukanlah hukum yang iseng-iseng dibuat dan tidak berarti. Hukum yang Allah berikan kepada manusia itu adalah hukum dari Sang Pencipta yang tahu dengan jelas siapa kita dan seluk-beluk hati kita. Hal ini membuat Hukum Taurat sebagai hukum yang ultimat, melampaui seluruh hukum yang pernah dibuat oleh manusia dalam dunia ini. Taurat dikatakan seperti cermin, yang dapat membuat kita melihat betapa rusaknya kita dan betapa tidak berdayanya kita terhadap dosa. Inilah salah satu tujuan Hukum Taurat, yaitu menghancurkan kesombongan manusia dan membuat manusia bergantung kepada anugerah Tuhan saja. Taurat menusuk sampai kedalaman keberdosaan manusia yang terdalam, memaksa manusia untuk mengakui bahwa dirinya membutuhkan Allah. Dari sepuluh hukum saja, kita bisa melihat bahwa kita dipaksa untuk melihat siapakah yang sesungguhnya kita sembah. Tidak ada hukum buatan manusia yang bisa setepat dan sedalam Hukum Taurat.
Apakah maksud sesungguhnya Allah memberikan Hukum Taurat? Ulangan 6:5 mengatakan, “Kasihilah TUHAN Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Inilah esensi Taurat yaitu mengasihi Allah. Hukum Taurat diberikan bukan seperti yang kita pikirkan secara legalis. Sering kali kita berpikir bahwa untuk menaati Taurat, kita harus hidup ekstra hati-hati supaya jangan begini dan jangan begitu. Pada akhirnya, kita hanya akan hidup dalam ketakutan-ketakutan dan keputusasaan yang tidak perlu karena kita sebenarnya hanya mengandalkan kekuatan diri kita sendiri untuk menjalankan Taurat. Kita mungkin juga berpikir bahwa Hukum Taurat hanya untuk orang-orang di Perjanjian Lama. Kita yang berada di zaman pasca Perjanjian Baru ini tidak perlu lagi menaatinya, kita sudah punya Kristus. Ini adalah pemikiran yang salah. Yesus sendiri mengatakan bahwa kedatangan-Nya tidak akan menghapus setitik pun Hukum Taurat. Ia datang justru untuk menggenapinya dan membuat umat-Nya mampu menaatinya di dalam Dia.
Jadi, antara kasih dan Hukum Taurat tidaklah terpisah. Begitu kita memisahkannya, kita akan terjerumus dalam kesalahan. Bagaimana melihat kedua hal ini tidak terpisah? Kita harus melihat diri kita dengan perspektif yang benar terlebih dahulu. Sering kali kita melihat diri kita sebagai pemeran utama dan yang berjasa, di mana Tuhanlah yang memerlukan kita untuk menaati Hukum Taurat. Pandangan ini sangat salah. Kita seharusnya melihat diri kita sebagai yang tidak layak menerima kasih Allah, tetapi kita diberikan anugerah. Dengan perspektif yang seperti inilah kita mendapatkan motivasi yang benar untuk melihat dan menjalankan Taurat Tuhan. Kita menjalankan Taurat Tuhan bukan dengan terpaksa, melainkan dengan kerelaan karena kita tahu bahwa Tuhan sudah terlebih dahulu rela mengorbankan diri-Nya bagi kita. Inilah kasih, yaitu yang menimbulkan inisiatif dalam melakukan sesuatu bagi seseorang. Tanpa kasih kepada Allah, menjalankan Taurat akan terasa seperti seorang anak kecil yang disuruh belajar dengan paksa. Penuh dengan keterpaksaan dan pasti akan melanggar ketika ada kesempatan. Dengan kasih, kita dengan senang hati melakukan Taurat dan benar-benar menginginkannya.
Jadi, apakah kita mengandalkan kasih saja untuk menjalankan Taurat? Jawabannya adalah ya dan tidak. Ya, karena kita bergantung sepenuhnya kepada kasih yang diberikan Allah dalam hati kita. Tidak, karena Taurat itu sendiri pun memiliki peran di dalam mengembangkan kasih kita kepada Allah. Banyak orang tidak melihat ini, bahkan melihat Taurat sebagai prioritas kesekian dalam iman dan menganggap Taurat sebagai siksaan. Kita yang telah menjalankan Taurat dengan inisiatif dan sepenuh hati karena kasih kepada Allah, tidak boleh lupa bahwa kita masih ada di dalam dunia berdosa. Kita belum sempurna dan masih mungkin jatuh dalam dosa, bahkan ketika kita mengetahui bahwa kita sedang menjalankan Taurat. Taurat inilah yang memberikan kita kemampuan untuk bercermin dan melihat bagaimana diri kita yang sesungguhnya. Taurat dapat menyingkapkan keberdosaan kita yang paling dalam yang tersembunyi dalam kedalaman lubuk hati kita, di mana kita sendiri tidak tahu dan tertipu oleh hati kita sendiri. Bagaimana bisa? Pemazmur mengatakan, “Berbahagialah orang … yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.” Taurat menjadi perenungan kita setiap hari. Jika kita lakukan dengan jujur, mau mengakui dosa yang kita lihat ketika bercermin dengan Taurat, dan mau berusaha mengoreksi diri dan bertobat, maka kita sesungguhnya memiliki kebahagiaan yang amat besar. Karena kita sadar ataupun tidak sadar akan semakin hari semakin serupa dengan Kristus. Mengapa? Karena Kristuslah penggenapan Taurat yang paling sempurna, yang paling mengasihi Allah.
Ketika Kristus datang untuk menegakkan Kerajaan-Nya, Ia tidak menghapuskan Taurat, melainkan turut mengukuhkan Taurat dan memampukan manusia untuk menaatinya. Gambaran manusia-manusia yang mampu menjalankan Taurat dengan anugerah dari Tuhan adalah gambaran yang akan kita lihat nanti di sorga. Seiring dengan penggenapan Kerajaan Allah yang sedang berproses menuju kesempurnaan, kita juga harus membangun diri kita menuju kepada kesempurnaan sebagai anggota Kerajaan Allah. Marilah kita menjadi orang-orang Kristen yang turut merayakan dan berbagian dalam realisasi Kerajaan Allah, hanya dengan begitulah kita boleh mendapatkan kebahagiaan yang sejati, yaitu ketika Allah berkenan kepada kita.
Rolando
Pemuda FIRES