Are We Qualified to be Predestined?

Doktrin Predestinasi adalah salah satu doktrin yang sering diperdebatkan. Secara logika, doktrin ini memang sangat sulit diterima oleh akal budi manusia. Selain memang kita terbatas sebagai ciptaan, akal budi kita pun sudah tercemar oleh dosa. Inilah alasan kesulitan kita dalam memahami doktrin ini, dan juga doktrin-doktrin lain pada umumnya. Cara berpikir kita sebagai manusia berdosa terus kita bawa dalam mempelajari kebenaran firman Tuhan. Pola berpikir yang berpusat pada diri manusia bukan kepada Allah, berpusat pada perbuatan baik manusia bukan kepada salib Kristus inilah yang membenturkan kita dengan jalan buntu.

Sebagai contoh, sewaktu mendengar kalimat, “Engkau terpilih….” akan timbul perasaan bangga dalam hati kita. Kata ‘terpilih’ sering kita asosiasikan dengan kata outstanding karena memiliki kualifikasi yang menonjol dibanding dengan yang lain. Dengan kalimat lain, kita dipilih karena kita memiliki suatu kelebihan atau kualitas yang menjadikan kita layak untuk dipilih. Engkau dipilih mendapatkan beasiswa karena berprestasi dalam pendidikan, engkau dipilih untuk menempati posisi penting dalam perusahaan yang bonafide karena memiliki kompetensi yang memadai, engkau dipilih untuk menjadi pasangan dari pacarmu karena ada yang spesial dalam dirimu baginya. Selalu ada alasan kenapa kita dipilih. Ada kualitas yang menjadikan kita terpilih. Apalagi saat kita berbicara mengenai ‘Umat Pilihan Allah’, mudah sekali untuk kita berpikir bahwa pemilihan ini dikarenakan kehidupan yang kudus, rajin melayani, tidak pernah bolos ke gereja, sangat mengerti doktrin, atau hal lainnya. Kita sering mendengar agungnya kisah kehidupan tokoh kebangunan rohani seperti George Whitefield atau Jonathan Edwards. Perjuangan dari tokoh-tokoh Reformator seperti Martin Luther atau John Calvin yang begitu menggetarkan hati. Atau juga mendengar betapa saleh dan berdedikasinya para kaum Puritan seperti John Knox, Richard Baxter, John Owen, dan lain-lain. Saat kita mendengar kisah-kisah kehidupan mereka kita begitu kagum dan mungkin berpikir, “Tidak heran kalau mereka menjadi umat pilihan Allah, mereka begitu agung dan besar, mereka qualified untuk menjadi umat pilihan Allah.” We are qualified therefore we are chosen. Pola pikir seperti ini akan menimbulkan beberapa reaksi yang mungkin kita jumpai.
Pertama, reaksi yang menunjukkan inferioritas. Hal ini ditandai dengan perasaan tidak layak atau bahkan rendah diri yang disebabkan oleh self-pity. “Siapa saya? Tidak mungkin orang seperti saya dipilih, hidup saya berantakan, tidak ada bakat yang menonjol. Saya terlalu buruk untuk dipilih kalau dibandingkan dengan orang lain.” Kalimat-kalimat seperti ini mungkin terus berdengung di dalam hati orang-orang yang inferior ini. Pemikiran yang terus berkecamuk akan menghambat pertumbuhan rohani mereka sehingga mereka tidak bisa move on dari kehidupan lama mereka. Tidak berani melayani karena merasa tidak layak, menjauh dari persekutuan orang percaya karena merasa diri berdosa, bahkan mengabaikan doa dan pembelajaran firman Tuhan karena merasa itu tidak cocok bagi dirinya. Semua pemikiran ini bagaikan lingkaran setan yang menjebak dirinya sehingga ia sulit untuk melihat anugerah Tuhan yang berlimpah di sekelilingnya bahkan di dalam dirinya. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan, “Tetapi bukankah memang kita adalah orang berdosa yang tidak layak untuk dipilih Tuhan? Bukankah sebagai orang percaya kita dituntut untuk memiliki kerendahan hati dan perasaan tidak layak di hadapan Tuhan?” Betul! Kita harus memiliki perasaan dan pengertian tidak layak atas diri kita di hadapan Tuhan karena memang pada kenyataannya kita adalah manusia berdosa dan hina, tetapi hal ini jelas berbeda dengan perasaan orang yang terjebak dalam inferioritas karena yang menjadi fokus mereka adalah human merit, bukan anugerah Tuhan.

Kedua, reaksi yang menunjukkan superioritas. Kebalikan dari reaksi pertama, perasaan layak atau kebanggaan akan kemampuan diri terlihat kental dalam reaksi ini. Orang seperti ini merasa bahwa ia dipilih karena ia memang berkualitas, memiliki talenta dan potensi yang sangat besar; orang yang sangat berpengaruh entah karena networking yang luas, harta yang banyak, atau karena kemampuan yang mumpuni. Kalau ia mendapatkan anugerah atau kesempatan melayani, ia menanggapinya dengan biasa-biasa saja karena merasa layak akan semua itu, bahkan merasa itu menjadi suatu kesempatan untuk show off. Atau mungkin kita belum menjadi seekstrem itu, tetapi di saat kita take it for granted terhadap berkat dan anugerah yang Tuhan berikan, kita sudah menjadi seorang yang superior. Lama-kelamaan orang seperti ini akan merasa harus menjadi yang utama dalam pelayanan karena tanpa dirinya bisa berantakan. Menanggapi hal ini, sebuah pertanyaan mungkin muncul: “Apakah orang Kristen tidak boleh berbangga? Bukankah memang setiap manusia memiliki panggilan yang sudah Tuhan perlengkapi dengan talenta dan karunia yang unik untuk setiap pribadi?” Memang Tuhan memberikan kita talenta, dan tidak salah untuk kita berbangga dan mensyukuri akan hal itu, tetapi semua itu harus dilakukan di dalam Tuhan bukan bagi diri.

Untuk menghadapi pola pikir seperti ini, kita perlu kembali merenungkan doktrin unconditional election. Sebuah doktrin yang akan membawa kita untuk bersandar kepada anugerah Tuhan bukan human merit. Hal ini dapat kita lihat dalam kisah kehidupan yang dicatat di dalam Alkitab. Tokoh-tokoh Alkitab yang mungkin selama ini kita kira orang-orang yang hebat, ternyata mereka pun adalah orang-orang yang banyak kelemahan dan justru di balik kelemahan itu Tuhan memakai dan membentuk mereka. Kita dapat melihat dari setidaknya beberapa tokoh Alkitab yang kita kenal dengan baik.

1. Abraham
Abraham, yang kita kenal sebagai bapa segala orang percaya, adalah seorang yang sangat peka akan kehendak Tuhan dan taat kepada kehendak tersebut. Salah satu kisah yang sangat kita kenal adalah bagaimana Abraham tetap taat saat Tuhan memerintahkannya untuk mempersembahkan anak satu-satunya yaitu Ishak, karena ia beriman kepada Allah yang setia akan janji yang diberikan-Nya. Kalau kita melihat dari sudut pandang human merit maka mudah sekali kita merasa minder ketika melihat seorang seperti ini, yang begitu beriman kepada janji Tuhan. Tetapi kita lupa bahwa Abraham pun memiliki kelemahan tetapi Tuhan membentuk dia di dalam proses waktu. Dalam Kejadian 12:1-4, Tuhan memerintahkan Abraham untuk pergi dari negeri dan sanak saudaranya, tetapi ia membawa Lot, anak saudaranya, dan di tengah perjalanannya Abraham mengalami konflik dengan anak saudaranya ini. Di bagian lain kita juga melihat bagaimana Abraham berusaha dengan kekuatannya sendiri untuk menggenapkan janji Allah dengan menerima Hagar sebagai istrinya dan melahirkan Ismael yang menjadi asal mula konflik berkepanjangan bagi keturunannya. Abraham adalah tokoh yang Tuhan pilih, bentuk, dan pakai untuk menjadi bapa segala orang percaya, menjadi teladan iman. Banyak peristiwa Tuhan pakai untuk membentuk Abraham, kesabaran menantikan keturunan, “tawar-menawar” Abraham dengan Tuhan bagi kota Sodom, perintah untuk mempersembahkan Ishak, dan sebagainya. Semua peristiwa ini menjadikan Abraham seorang bapa bagi kita orang-orang percaya.

2. Yakub
Jikalau kita melihat kehidupan Yakub, mungkin ada di antara kita yang bingung dan bertanya-tanya, “Mengapa Tuhan mau memilih dan memakai Yakub?” Yakub yang berarti sang penipu, sepanjang hidupnya begitu banyak kelemahannya. Dari sejak lahir saja, dia sudah berusaha untuk menjadi anak sulung dengan mencengkeram tumit Esau yang keluar terlebih dahulu. Lalu ia dibesarkan dengan orang tua yang pilih kasih, Ishak yang lebih mengasihi Esau, serta Ribka yang lebih mengasihi Yakub. Bahkan Yakub pun melakukan penipuan terhadap ayahnya demi mendapatkan hak kesulungan, yang lebih ironisnya adalah penipuan ini didukung oleh ibunya, Ribka. Lalu kisah tipu-menipu ini pun masih berlanjut saat Yakub bekerja pada Laban dan ingin meminang Rahel. Hingga saat Yakub sudah memiliki anak pun, sikap favoritism pun berlanjut saat kita melihat perlakukan Yakub terhadap Yusuf, anak kesayangan di usia tua dan juga anak dari istri kesayangannya. Meskipun banyak kesalahan dan kelemahan yang kita lihat pada diri Yakub, Tuhan tetap memilihnya untuk menjadi leluhur bangsa Israel. Tetapi di balik keburukan ini pun kita tetap melihat keagungan Yakub. Ia adalah seorang yang sangat menjunjung tinggi berkat Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dari usaha dia untuk memperoleh hak kesulungan yang berarti ia akan mendapatkan berkat. Kita juga dapat melihat ketika ia bergumul dengan Allah, dan tidak akan membiarkan-Nya pergi sebelum ia diberkati. Seorang yang banyak kelemahan seperti Yakub masih Tuhan pilih dan di balik semua itu kita tetap bisa melihat keagungan karakter ini, yang sudah tentu adalah anugerah Tuhan.

3. Yehuda – Yusuf
Kalau kita membandingkan kedua tokoh ini, kita pasti melihat dua kehidupan yang berbeda cukup signifikan. Yusuf, seorang pemuda yang hampir tidak dicatat secara eksplisit kekurangannya. Kalau kita membaca kehidupannya dari awal sampai akhir, karakter hidupnya hampir bisa dikatakan sebagai pemuda yang ideal. Sejak muda ia begitu taat kepada ayahnya. Di dalam setiap hal, ia selalu mengerjakan yang terbaik dengan hati yang takut akan Tuhan, baik saat menjadi budak, tahanan, maupun sebagai orang kepercayaan Firaun. Ia menolak rayuan istri Potifar saat kesempatan untuk berbuat dosa terbuka lebar. Ia berbesar hati mengampuni segala kesalahan saudara-saudaranya terhadap dirinya, bahkan menolong hidup mereka meskipun mereka pernah mereka-rekakan yang jahat kepada diri Yusuf, karena ia melihat pekerjaan Tuhan di balik semuanya itu. Kehidupan yang hampir tidak bercela bukan? Kita mungkin berpikir bahwa orang seperti Yusuf ini yang akan Tuhan pilih. Mari kita bandingkan dengan Yehuda. Ia bersekongkol dengan saudara-saudaranya untuk membunuh Yusuf, tetapi pada akhirnya ia memberikan ide untuk menjual Yusuf, karena menilai hal itu lebih menguntungkan bagi dirinya. Berbeda dengan Yusuf yang menolak rayuan istri Potifar, Yehuda tidur dengan seorang perempuan yang dikiranya sundal, namun ternyata perempuan itu adalah menantunya sendiri. Tetapi sungguh sangat mengherankan, justru Mesias atau yang kita kenal sebagai Yesus Kristus Juruselamat kita lahir dari garis keturunan Yehuda, bukan garis keturunan Yusuf. Kenapa demikian? Alkitab tidak memberikan penjelasan akan hal ini, dan kita hanya bisa menerimanya sebagai misteri hikmat Allah di dalam pemilihan akan umat-Nya.

4. Musa
Dalam khotbah Pdt. Stephen Tong mengenai “Waktu dan Hikmat”, beliau membagi kehidupan Musa dalam tiga fase yang masing-masing selama 40 tahun. Dalam 40 tahun pertama diberikan judul “I am Everything”, 40 tahun berikutnya “I am Nothing”, dan 40 tahun terakhir “God is Everything”. Bila kita hanya melihat 40 tahun awal kehidupan Musa, kita mungkin berpikir bahwa Musa adalah orang yang sangat cocok untuk dipilih dan dipakai Tuhan. Ia adalah seorang yang mendapatkan didikan terbaik pada zamannya dan memiliki kuasa sebagai anak dari putri Firaun. Ia adalah seorang yang begitu berpotensi dengan berbagai pengetahuan yang ia dapatkan sebagai seorang putra dalam kerajaan. Tetapi saat kita melihat masa setelah 40 tahun awal kehidupannya, kita akan menyadari bahwa kemampuan atau kualitas yang tinggi dari seorang Musa, tidak langsung menjadikannya seorang yang pasti atau layak untuk Tuhan pilih dan pakai. Hal ini terbukti dengan 40 tahun masa “padang gurun jiwa” dari Musa di mana ia harus rela menjadi bukan siapa-siapa, menjadi seorang yang tidak dipandang, tidak signifikan dan hanya menggembalakan domba. Baru setelah masa 40 tahun ini, Musa Tuhan pilih dan pakai dalam pekerjaan-Nya.

Jikalau kita melihat lima tokoh Alkitab tersebut, masihkah kita bisa berkata bahwa Tuhan menyatakan pilihan-Nya karena kualifikasi manusia atau human merit? Apakah karena kualitas diri kita maka Tuhan memilih dan memakai kita? Tidak! Ini adalah pola pikir yang salah. Pola pikir yang ingin meninggikan manusia dan merendahkan Allah, mengingat jasa manusia tetapi melupakan karya keselamatan Allah. Alkitab mengajarkan kepada kita hal yang sangat berbeda dengan pola pikir ini. Alkitab mengajarkan kita untuk kembali dalam pengertian anugerah dari Allah yang berdaulat. Roma 9:11-18 mengatakan:
Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya dikatakan kepada Ribka: “Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda,” seperti ada tertulis: “Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau.” Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah Allah tidak adil? Mustahil! Sebab Ia berfirman kepada Musa: “Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati.” Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah. Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: “Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi.” Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendaki-Nya.

Di dalam bagian ini Paulus dengan jelas mengatakan bahwa bukan berdasarkan kehendak atau usaha manusia, tetapi karena kemurahan hati Allah. Leluhur bangsa Israel yaitu Abraham-Ishak-Yakub, memiliki begitu banyak kecacatan. Pertikaian keluarga terjadi di dalamnya, mulai dari perselisihan antarsaudara antara Ishak-Ismael, Esau-Yakub, hingga Yusuf dan saudara-saudaranya. Lalu kita juga melihat adanya sikap pilih kasih di dalam keluarga, ada juga penipuan yang dilakukan demi keuntungan pribadi. Tetapi di balik semua itu, Tuhan tetap memilih mereka. Mengapa? Hanya karena kemurahan hati Allah. Melihat semua ini, seharusnya kita tidak lagi ragu bahwa Tuhan kita tidak melakukan pilihan-Nya berdasarkan perbuatan kita, semua hanya karena anugerah dan kedaulatan-Nya. Begitu juga sebaliknya, banyak hal agung yang juga dicatatkan leluhur Israel ini. Tetapi itu tidak menjadikan mereka qualified sebagai umat Allah karena kita melihat kenyataan bahwa Tuhan tetap menempa mereka dengan keras untuk menjadikan mereka umat Allah yang berkualitas.

Lalu bagaimana seharusnya kita berespons dengan tepat? Jikalau kita sadar bahwa diri kita dipilih, lalu dipanggil hingga akhirnya kita dipakai-Nya hanya karena anugerah-Nya maka seharusnya tidak ada lagi keraguan maupun kebanggaan yang berlebihan di dalam diri kita. Menjalani hidup kudus maupun pelayanan bukan untuk aktualisasi diri kita, begitu juga kita tidak boleh lari karena merasa diri terlalu kotor dan berdosa. Kalau hal itu masih kita lakukan atau kita pikirkan berarti kita masih mendasari pola pikir kita pada human merit.

Doktrin Predestinasi seharusnya menyadarkan kita bahwa kita berada di dalam rumah Tuhan, bahkan dipakai menjadi pelayan-pelayan-Nya dalam mengerjakan pekerjaan-Nya yang begitu penting di dunia ini adalah hanya karena belas kasihan Allah kepada diri kita. Maka saat kita melayani, kita tetap melayani dengan rendah hati dan penuh kesadaran bahwa diri tidak layak, tetapi Tuhan sudah menerima dan mau memakai kita, sehingga dengan iman kita melangkah dan menjalankan segala kehendak-Nya serta taat akan setiap pembentukan yang Ia berikan. Kalau Tuhan memberikan talenta, karunia maupun kesempatan untuk kita melayani-Nya, kita boleh berbangga akan hal itu sebagai bagian dari pengucapan syukur kita kepada Allah, bukan demi memperoleh pujian melainkan demi memuji Allah.

Doktrin Pilihan mengajarkan kepada kita akan siapa Allah kita sesungguhnya. Ia bukan Allah yang reaktif terhadap tindakan diri kita, tetapi Ia adalah Allah yang proaktif, yang bertindak bukan didasarkan pada perbuatan kita tetapi berdasarkan inisiatif kehendak-Nya sendiri. Hal ini seharusnya memberikan kita keyakinan sekaligus penghiburan karena Tuhan yang menyatakan janji-Nya kepada kita adalah Tuhan yang setia, yang tidak akan mengubah kehendak-Nya. Ia bukan Allah yang memilih kita karena kita berkualitas, tetapi Ia adalah Allah yang memilih kita dan menjadikan kita berkualitas, sehingga hidup kita benar-benar dipakai menjadi alat-Nya untuk menunjukkan keagungan serta kemuliaan-Nya di tengah-tengah dunia berdosa ini. Berdasarkan hal ini, bagaimanakah engkau melandaskan hidupmu? Kepada usaha manusia? Atau kepada anugerah dan belas kasihan-Nya?

Simon Lukmana
Pemuda GRII Bandung