Pencarian akan kebenaran adalah suatu pencarian yang tiada henti dan hanya dilakukan oleh manusia. Berbagai teori tentang kebenaran terus bermunculan dari zaman ke zaman. Semua teori manusia tentang kebenaran, bahkan teori yang mengatakan “Tidak ada kebenaran!” – pun harus mengakui adanya kebenaran – setidaknya mereka harus menganggap teori “Tidak ada kebenaran!” mereka itu benar, dan itu membuktikan bahwa kebenaran pasti ada.
Hidup manusia selalu diisi dengan segala usahanya untuk mengetahui kebenaran. Dari kemajuan ilmu pengetahuan, dalam setiap keputusan yang kita pilih, bahkan pemahaman akan kehidupan beragama kita (theologi), semuanya diwarnai dengan usaha kita untuk menggapai kebenaran. Namun pertanyaan yang harus diajukan adalah: bagaimana mengetahui kalau sesuatu itu adalah sungguh-sungguh merupakan kebenaran?
Allah adalah Sang Kebenaran itu sendiri. Ini adalah titik awal seorang Bapa Gereja bernama Agustinus dalam memikirkan tema epistemology (pencarian kebenaran). Dalam pemikirannya, Agustinus mengaitkan antara keberadaan realitas (ONTOLOGY) dengan bagaimana mengetahui kebenaran akan realitas tersebut (EPISTEMOLOGY).
Ia mengatakan bahwa Allah adalah Sang Kebenaran yang bersifat kekal, tidak berubah, abadi, dan berpribadi. Allahlah sumber yang mendasari seluruh realitas ciptaan dalam dunia ini. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan (Yoh. 1:3). Allahlah yang menjadi dasar dari semua yang dikatakan sebagai kebenaran. Ia adalah Realitas yang mendasari kebenaran dalam matematika, fisika, sosiologi, ekonomi, ilmu alam, dan bahkan dasar bagi pengenalan manusia akan pribadi-Nya (theologi). Adakah Allah dalam setiap mata pelajaran di sekolah/kampus yang kita pelajari? Adakah Allah dalam setiap kedalaman istilah theologis yang kita dengar? Adakah Allah dalam setiap realitas aspek hidup kita sehari-hari?
Manusia dicipta sebagai makhluk yang memiliki kapasitas untuk mengenal kebenaran. Allah menciptakan manusia yang terdiri dari tubuh dan jiwa. Dengan jiwa, manusia dapat bernalar, berpikir, atau berasio akan suatu realitas. Agustinus membagi fungsi rasio menjadi dua, yaitu manusia dapat berpikir akan suatu realitas yang bersifat kekal (HIGHER REASON) atau berpikir akan realitas fisik yang kelihatan (LOWER REASON). Kedua fungsi ini berbeda tetapi menjadi satu dan tak terpisahkan dalam jiwa manusia.
Kedua fungsi ini tidak hanya berbeda pada objek realitas yang dipikirkan saja, namun berbeda juga dalam hasil/pengetahuan yang diperolehnya. Itulah yang menyebabkan Agustinus membagi dua macam pengetahuan, yaitu WISDOM (sapientia) sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui higher reason, dan KNOWLEDGE (scientia) sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui lower reason. Scientia adalah pengetahuan akan suatu kebenaran yang sifatnya sementara/temporal. Sedangkan WISDOM adalah pengetahuan akan kebenaran yang berkait dengan kekekalan. WISDOM lebih superior daripada scientia karena ia berfokus pada makna dan tujuan keberadaan manusia.
Ketika bangsa Israel diperintahkan Allah untuk merayakan Paskah setiap awal tahun, mereka harus melakukan perayaan tersebut dalam setiap keluarga. Mereka diharuskan untuk menyembelih seekor anak domba jantan sebagai korban, mempersiapkan roti tak beragi, dan memakan sayur pahit. Di sini kita dapat mencermati bahwa dalam mempersiapkan perayaan itu, fungsi lower reason bangsa Israel dipakai untuk memilih anak domba jantan yang benar dan bukan babi betina dewasa, membuat roti dan bukan sup, memakan sayur pahit dan bukan buah. Lower reason di sini berperan dalam penalaran mereka membedakan realitas yang kelihatan. Ini berbeda dengan higher reason yang akan membawa bangsa Israel merenungkan, apa sebenarnya makna dari Paskah? Hal apa yang harus mereka ajarkan kepada anak-anak mereka? Apa kaitan hal ini dengan perjanjian Allah atas umat pilihan-Nya. Ini semua adalah hal-hal yang berkait dengan kekekalan. Nampak di sini bahwa lower reason dan higher reason tak terpisahkan namun berada dalam satu pikiran.
Secara singkat dapat disimpulkan kaitan dari ketiga layer di atas bahwa jiwa (SOUL) harus berdasar pada Allah (GOD) agar dapat menilai segala realitas melalui tubuh (BODY).
Sekarang kita akan mencoba melihat bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan (EPISTEMOLOGY).
Peran BODY dalam EPISTEMOLOGY adalah sebagai tempat masuknya sensasi (SENSATION). Ini adalah hal yang ada pada setiap makhluk hidup untuk merasakan akan realitas yang ada di sekelilingnya. Baik hewan maupun manusia dapat merasakan panas, dingin, terang, gelap, dan sebagainya oleh sebab adanya tubuh/indera. Ini merupakan tingkat kesadaran yang paling sederhana.
Selanjutnya pada tahap COGITATION, informasi yang masuk melalui SENSATION kemudian dikumpulkan, dipilah, digabungkan, dinalar dengan kemampuan rasio manusia, sehingga menjadi yang namanya pengetahuan. Tahap COGITATION itu sendiri merupakan proses penilaian terhadap objek fisik yang kelihatan melalui indera, sehingga pengetahuan yang diperoleh dalam tahap ini adalah scientia.
Proses COGITATION ini merupakan respons dari pikiran manusia yang berdasar pada Realitas GOD, atau dengan bahasa Plato dikenal sebagai ide (idea). Dalam ilustrasinya dikatakan, bagaimana manusia dapat melihat adanya kesamaan dari dua hal yang berbeda? Misalnya, manusia ketika melihat domba yang kakinya putus satu tetap akan mengatakan binatang itu sebagai domba, meskipun domba cacat itu jelas berbeda dengan domba-domba yang lain. Kenapa bisa demikian? Hal itu disebabkan karena segala realitas dalam dunia ini didasarkan pada Realitas GOD yang bersifat kekal sehingga manusia mampu menelaah realitas yang kelihatan ini. Itulah tahap COGITATION.
Bagi Agustinus, pengetahuan yang didapat dari COGITATION masih lebih rendah daripada INTELLECTION. Pengetahuan yang digumulkan, direnungkan, dan dikontemplasikan dengan Allah (eternal Truth) barulah menjadi pengetahuan dalam arti yang sebenarnya, dan ini yang disebut sebagai tahap INTELLECTION. Tanpa kontemplasi terkait dengan Allah sebagai sumber Kebenaran, maka ini hanya akan menjadi pengetahuan informasi belaka.
Ketika kita merespons pengetahuan hanya kepada apa yang kelihatan dan tidak merelasikannya dengan Allah, di situ kita sebenarnya belum mengetahui kebenaran. Pengetahuan yang dikontemplasikan dengan Allah yang sejati, barulah menjadi yang namanya True Knowledge. Namun, ketika kontemplasi dikaitkan dengan allah yang salah, maka itu akan menjadi pengetahuan yang salah (false knowledge).
Sungguh ironis, manusia yang menimba banyak ilmu pengetahuan tetapi tanpa Allah di dalamnya, maka ia sebenarnya hanya mendapatkan informasi dan bukan kebenaran. Dan alangkah mengerikan ketika manusia begitu giat dalam misalkan diskusi theologi, menulis artikel theologis, aktif dalam event-event gereja, namun tidak ada relasi dengan Sang Kebenaran, maka sebenarnya ia tidak mengenal Allah. Itulah sebabnya banyak orang yang pintar, tapi sedikit orang yang bijaksana.
Namun pertanyaan yang mungkin masih belum terjawab adalah bagaimana kita dapat mengetahui kepastian dari pengetahuan hasil kontemplasi bahwa itu adalah benar? Bagaimana manusia tahu dengan pasti bahwa dia sudah mengkontemplasikan pengetahuannya kepada Allah yang benar?
Di sini Agustinus memberikan sumbangsih besar bagi sejarah Theologi Reformed dalam Epistemologi, yaitu doktrin mengenai iluminasi Allah (divine illumination). Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui kebenaran tanpa Allah sendiri yang terlebih dahulu membukakannya/mengiluminasikannya. Demikian juga, tidak ada kepastian yang muncul dari pengetahuan itu sendiri. Allahlah yang secara aktif memberi kepastian akan kebenaran, dan tanpa Allah yang memastikan, maka tidak ada kepastian.
Dalam pemikiran inilah, Agustinus menekankan akan kedaulatan Allah dalam pengetahuan/epistemology. Kepastian pengetahuan bukan didapatkan dari observasi oleh indera seperti yang dikatakan oleh Empiricism, ataupun logika manusia belaka, melainkan semuanya itu ditopang hanya oleh Allah yang berdaulat dan beranugerah mengiluminasikan kebenaran kepada manusia yang dikasihi-Nya. Epistemologi Agustinus ini kemudian dikenal sebagai theistic epistemology, artinya epistemologi yang didasarkan kepada kedaulatan Allah.
Pengertian ini seharusnya membuat kita sebagai umat pilihan-Nya senantiasa sadar untuk bergantung dan berharap hanya kepada iluminasi Allah melalui Firman-Nya. Dalam setiap usaha kita belajar di sekolah, mengambil keputusan, bahkan ketika belajar theologi sekalipun, masihkah kita dengan hati yang murni sungguh-sungguh berdoa memohon Ia membukakan kebenaran kepada kita? Ataukah kita dalam lubuk yang terdalam cenderung mengandalkan kekuatan serta kepandaian kita dan melupakan peran Allah di dalamnya? Kiranya kita boleh terus mengkontemplasikan segala aspek hidup dengan Firman-Nya dan bertumbuh menjadi orang Kristen yang benar di hadapan Allah yang berdaulat.
Andre Winoto
REDS – Worldview
Referensi:
- Ronald Nash, Life’s Ultimate Questions: An Introduction to Philosophy.
- Eleonore Stump (ed.) and Norman Kretzmann (ed.), The Cambridge Companion to Augustine.