Barnabas

Setibanya di Yerusalem Saulus mencoba menggabungkan diri kepada murid-murid, tetapi semuanya takut kepadanya, karena mereka tidak dapat percaya, bahwa ia juga seorang murid. Tetapi Barnabas menerima dia dan membawanya kepada rasul-rasul dan menceriterakan kepada mereka, bagaimana Saulus melihat Tuhan di tengah jalan dan bahwa Tuhan berbicara dengan dia dan bagaimana keberaniannya mengajar di Damsyik dalam nama Yesus. Dan Saulus tetap bersama-sama dengan mereka di Yerusalem, dan dengan keberanian mengajar dalam nama Tuhan. (Kis. 9:26-29)

Tembok
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, pembaca Buletin PILLAR mungkin pernah mengamati atau mengalami berbagai tantangan dan permasalahan sosial yang ada. Salah satu tantangan yang cukup pelik adalah mengenai kesenjangan sosial (inequality). Berbagai kelas atau golongan sosial seolah menjadi tembok pemisah yang tidak dapat dilampaui. Tembok-tembok perbedaan ini bisa saja berupa bentuk pendidikan, kekayaan, jabatan dalam pekerjaan, suku, gender, dan lain-lain. Efek negatif dari tembok pemisah ini bisa terekspresikan dalam berbagai bentuk, mulai dari rasa takut atau curiga, kesulitan untuk saling mengerti atau menerima, sampai bentuk kekerasan atau konflik antarkelas. Jika kita melihat pembelajaran sejarah, pemusnahan suku atau golongan (ethnic cleansing) pernah terjadi di berbagai waktu dan tempat.[1] Dalam konteks Indonesia sendiri, pernah terjadi kasus-kasus ketegangan atau kekerasan antaretnis, ras, atau golongan yang menorehkan bekas luka yang sulit untuk dihilangkan. Trauma masa lalu masih terus “menghantui” kehidupan sosial masyarakat di Indonesia.

Tentu solusi akan hal ini bukan dengan secara naif membayangkan masyarakat tanpa perbedaan kelas atau golongan. Realitas perbedaan atau diversitas memang bersumber pada diri Allah sendiri. Allah yang kita percaya adalah Allah Tritunggal yang memiliki sifat one and many, unity and diversity.[2] Kesatuan dan perbedaan atau diversitas seharusnya bisa berjalan bersama dan tidak perlu terlalu dikutubkan secara berlawanan. Dalam buku Essays on Religion, Science, and Society, Herman Bavinck pernah melemparkan beberapa rangkaian pertanyaan fundamental mengenai tembok-tembok sosial, kesenjangan (inequality), dan relasi antarkelas atau golongan:

“People, social classes, political parties, peoples, and interests have clashed throughout the centuries. Is it perhaps possible that all these harrowing contrasts can be reconciled and brought together in nobler synthesis that might satisfy us in our day and eventually conquer and destroy them?… What is the relationship of the one to the many, the absolute to the relative, the eternal to what constantly changes, between the timeless principles and their application in changing circumstances?”[3]

Terlupakan
Sedikit menekankan kembali tema pembahasan Buletin PILLAR, bulan-bulan ini akan dibahas tema mengenai spiritualitas tokoh-tokoh Alkitab. Pada artikel kali ini, penulis akan membahas satu tokoh Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Baru, selain Yesus Kristus, ada tokoh-tokoh yang lebih menonjol dan dikenal oleh orang Kristen pada umumnya, misalkan saja Paulus, Yohanes, dan Petrus. Dibandingkan dengan tokoh-tokoh tersebut, sosok Barnabas mungkin agak terlupakan. Meskipun hanya dicatat secara singkat dalam beberapa bagian Alkitab, sosok Barnabas telah menimbulkan kesan yang mendalam bagi penulis, terutama jika dikaitkan dengan konteks tantangan tembok-tembok sosial yang dijelaskan pada bagian awal artikel ini.

Tertulis di Kisah Para Rasul 9, Barnabas adalah orang pertama yang menerima dan memperkenalkan Paulus kepada murid-murid yang lain. Pada waktu itu, pengikut-pengikut Kristus mulai mengalami penganiayaan hebat di Yerusalem. Pembaca Buletin PILLAR bisa membayangkan betapa sulit dan anehnya tindakan yang dilakukan oleh Barnabas. Paulus, yang sebelumnya dipanggil Saulus, adalah penganiaya dan pembunuh jemaat (baca: teroris). Paulus adalah orang yang begitu terpelajar dan berdedikasi terhadap ajaran Yudaisme.[4] Orang yang tadinya begitu militan dan gigih melakukan penganiayaan terhadap pengikut Kristus, justru tiba-tiba berubah dan mau menggabungkan diri dengan kelompok yang sebelumnya ia aniaya. Sangatlah lumrah bagi jemaat untuk langsung takut dan mencurigai Paulus. Mungkin sebagian jemaat berpikir bahwa jangan-jangan Paulus datang untuk menyusup, memantau sampai ke dalam, untuk kemudian menangkap dan menganiaya semua murid tanpa terkecuali.

Momen-momen yang dilalui oleh Barnabas, Paulus, dan jemaat bisa lebih kita bayangkan ketika mengingat beberapa peristiwa bom beberapa waktu lalu di beberapa gereja (seperti di Surabaya).[5] Bisa kita bayangkan jika dalam hari-hari mendatang, salah satu pimpinan teroris menyatakan diri sudah menerima Kristus dan mencoba bergabung dengan jemaat dan ikut melayani di gereja. Tentu tidak akan semudah itu bagi jemaat untuk bisa menerima pimpinan teroris tersebut. Tidak sedikit dari jemaat yang mungkin malah merasa takut, marah, ataupun curiga kepada orang tersebut. Namun, justru inilah peristiwa yang benar-benar terjadi ketika Barnabas akhirnya memperkenalkan Paulus, sang penganiaya jemaat, kepada jemaat Yerusalem yang telah Paulus aniaya. Paulus pun akhirnya bergabung, bersekutu, dan melayani bersama dengan kelompok jemaat yang sebelumnya ia aniaya.

Penerimaan
Sedikit merenungkan teladan hidup dari sosok Barnabas, apakah sebenarnya yang menjadi dasar penerimaan dalam iman Kristen? Apakah kita bisa menerima siapa saja dengan begitu naif dan gegabah? Bagaimana kalau ada orang-orang jahat atau tidak bertanggung jawab yang kita terima akhirnya malah merusak komunitas Kristen? Bagaimana kalau penerimaan kita akhirnya dimanfaatkan dan malah mendatangkan malapetaka, tidak hanya kepada diri kita, tetapi orang-orang atau komunitas di sekeliling kita?

Dalam konteks zaman postmodern, manusia menjadi sangat mengagungkan transparansi dan penerimaan. Dosa dan kelemahan cenderung dibuka dan dipertontonkan dengan sejelas-jelasnya tanpa perlu diubah. Misalnya saja dalam contoh mengenai seni lukisan, patung, dan fotografi, sesuatu yang kotor, pecah, patah, tercabik, dan rusak dianggap memiliki nilai yang tinggi.[6] Hal-hal tersebut tidak perlu ditutupi atau disembunyikan. Karya seni tidak perlu menampilkan sisi yang agung, mulia, indah, dan enak dilihat. Hal-hal tersebut cenderung dianggap sebagai ilusi atau kemunafikan belaka. Realitas yang kurang enak justru yang nyata, ada, dan perlu diperlihatkan. Demikian salah satu perspektif penekanan zaman ini dalam lingkup lukisan. Namun sayang sekali, kebanyakan akhirnya hanya berhenti dalam tahap transparansi atau keterbukaan. Setelah terbuka dan diterima, tidak ada langkah atau perubahan lebih jauh. Setidaknya kalau kita membandingkan dengan pelayanan Kristus, Kristus tidak hanya sekadar membuka diri dan menerima. Setelah Yesus menerima, Yesus juga mengajak orang tersebut untuk berubah dan meninggalkan hidupnya yang lama. Salah satu contoh yang dapat kita renungkan adalah ketika Yesus bertemu dengan perempuan yang kedapatan berzinah. Memang Yesus berkata bahwa Ia tidak menghukum perempuan tersebut, namun Yesus juga melanjutkan dengan kalimat, “Jangan berbuat dosa lagi.” Bagian ini yang agaknya sangat terhilang dari konteks zaman postmodern. Zaman ini sangat ingin mendengar kalimat, “Aku tidak akan menghukum engkau.” Tetapi juga akan sangat menentang kalimat, “Jangan berbuat dosa lagi.”[7]

Dalam bagian-bagian lain, Alkitab memberikan prinsip-prinsip penting seputar tema penerimaan. Tentu karena keterbatasan cakupan artikel ini, hanya sedikit prinsip saja yang bisa dibagikan oleh penulis. Dalam surat Yohanes misalnya, sang Rasul memberikan prinsip persekutuan di dalam terang. Terang tidak dapat “menerima” dan bersatu dengan gelap. Persekutuan yang sejati baru bisa dicapai ketika masing-masing orang hidup dalam terang. Dalam konteks menerima ajaran, Rasul Yohanes juga menekankan pentingnya untuk menguji roh dan ajaran. Tidak semua roh dan pengajaran bisa diterima tanpa saringan lebih jauh. Penulis percaya, dalam konteks Barnabas dan Paulus, Barnabas telah lebih dahulu berbincang-bincang dengan Paulus. Di sana Barnabas bisa menguji kesaksian pertobatan Paulus, pandangannya terhadap Yudaisme, dan terutama pengenalan Paulus mengenai Yesus Kristus.

Satu contoh mengenai prinsip penerimaan adalah dari relasi Filemon dengan Onesimus. Filemon, sang tuan, telah disakiti dan dirugikan oleh Onesimus, si hamba. Onesimus kemudian lari meninggalkan tuannya dan lari kepada Paulus yang sedang dipenjara. Ketika kemudian Paulus meminta Filemon menerima kembali Onesimus, ada sedikitnya dua prinsip yang bisa kita pelajari. Pertama, Paulus telah melihat perubahan dalam diri Onesimus, sehingga Paulus menyebut Onesimus sebagai anak dan sangat berguna. Jika kehidupan Onesimus tidak beres dan tidak menunjukkan buah pertobatan, tidak mungkin Paulus menyebut Onesimus seperti demikian. Kedua, aspek penerimaan tetap tidak bisa dipisahkan dari risiko disakiti. Oleh karena itu, seandainya Onesimus masih merugikan Filemon di kemudian hari, Paulus sudah terlebih dahulu bersedia menanggung jumlah kerugian tersebut. Ini tentunya mengingatkan kita akan Kristus yang rela menerima dan mati untuk kita, walaupun kita masih kerap jatuh bangun dalam dosa dan mendukakan hati-Nya.

Refleksi dan Penutup
Dalam bagian akhir ini, penulis hanya ingin membagikan refleksi sederhana. Seperti Kristus yang telah mati untuk kita selagi kita masih memberontak dan menjadi musuh-Nya, apakah kasih tersebut juga sudah bisa terpancar dalam hidup kita? Di tengah dunia berdosa yang begitu banyak kecurigaan, tembok pemisah, dan ketakutan, penulis berdoa agar kasih Kristus yang murni, mengubah, dan menerangi boleh terpancar dari kehidupan orang Kristen. Seperti teladan Barnabas yang menerima Saulus, semoga kita boleh diberikan kekuatan untuk menerima orang atau kelompok yang sulit dan keras.

Make me a channel of your peace
Where there is hatred let me bring your love
Where there is injury, your pardon Lord
And where there is doubt, true faith in you
(Make Me a Channel of Your Peace, John Cohen)

Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR

Referensi:
– Bavinck, Herman. Essays on Religion, Science, and Society (Baker Academic, 2008).
– Butler, Christopher. Postmodernism: A Very Short Introduction (Oxford University Press, 2003).
– Calvin, John. Institutes of the Christian Religion (Massachusetts: Hendrickson Publishers, 2008).
– Edwards, Jonathan. Religious Affections, ed. John Smith (New Haven: Yale University Press, 1959).
– Preziosi, Donald. The Art of Art History: A Critical Anthology (London: Oxford University Press, 2009).

Endnotes:
[1] Ethnic cleansing pernah terjadi di Kroasia (terhadap kelompok Serbia) dalam periode Perang Dunia II, juga Holocaust yang dilakukan oleh Nazi di Jerman yang berusaha melenyapkan bangsa Yahudi.
[2] Pembaca bisa merenungkan beberapa artikel Buletin PILLAR mengenai Allah Tritunggal, seperti: Trinity as Our Theological Framework, Doa kepada Allah Tritunggal, Tritunggal dan Kerendahan Hati.
[3] Dalam esai ini, Herman Bavinck membandingkan perspektif Jean-Jacques Rousseau dengan Yohanes Calvin. Rousseau melihat kesenjangan sosial (seperti kekayaan, pendidikan, dan kultur) sebagai sumber permasalahan. Calvin melihat kesenjangan theologi sebagai inti kesulitan dalam isu kesenjangan masyarakat.
[4] Paulus sendiri pernah menuliskan hal ini di Surat Filipi dan 2 Korintus: Sekalipun aku juga ada alasan untuk menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacatApakah mereka orang Ibrani? Aku juga orang Ibrani! Apakah mereka orang Israel? Aku juga orang Israel. Apakah mereka keturunan Abraham? Aku juga keturunan Abraham! Apakah mereka pelayan Kristus? –aku berkata seperti orang gila–aku lebih lagi! Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut.
[5] Berikut dua contoh ulasan peristiwa bom di Surabaya: Pengeboman Surabaya, Bom Surabaya.
[6] Salah satu contoh adalah gerakan seni dadaisme. Gerakan ini menolak logika, keteraturan, dan estetika kapitalis modern. Contoh tokoh dari gerakan ini adalah Henri-Robert-Marcel Duchamp. Salah satu karya Duchamp adalah ukiran sebuah urinal. Karya ini diberi judul “Fountain”.
[7] Dalam zaman ini, menyebut seseorang atau sekelompok orang sebagai pendosa sangatlah mungkin mendapat tentangan keras atau ketidaksetujuan.