Sepertinya pada zaman ini merupakan hal yang umum untuk berpikir bahwa orang Kristen harusnya menjalani hidup tanpa kesulitan. Apa yang penganut pemikiran demikian pikirkan ketika mereka membaca kitab Ayub? Kitab Ayub dipenuhi dengan keluh kesah yang tidak dapat diucapkan dengan kata-kata. Ayub bingung dengan apa yang sedang terjadi dalam hidupnya. Dia tidak mengerti mengapa orang yang hidupnya lurus, tidak serong harus melewati hal yang demikian menyakitkan.
Umat Allah dalam Perjanjian Lama terkesan dipenuhi berbagai macan kesulitan yang alasan datangnya tidak bisa dimengerti. Bahkan umat Israel sendiri mempertanyakan mengapa Allah membawa mereka keluar dari Mesir, padahal di Mesir mereka hidup nyaman, bisa makan daging, dan keperluan mereka dicukupi (Kel. 16:2-3), tetapi Allah membawa mereka keluar dari Mesir di mana tidak ada makanan yang cukup, kesulitan mendapatkan air (Kel. 17:2-3), dan harus terus berpindah-pindah. Menurut mereka, kesulitan-kesulitan di atas tidak perlu mereka lalui kalau saja mereka tinggal di Mesir. Kesulitan yang mereka rasakan itu begitu mengganggu sampai mereka mulai mempertanyakan kebijaksanaan Tuhan dalam memimpin mereka keluar dari Mesir. Kita berpikir bahwa ketika Allah mengizinkan kesulitan menimpa kita, Dia sedang tidak sanggup menghancurkan kesulitan itu.
Apa yang kita pelajari dari kitab Ayub sebenarnya justru akan membalikkan pola pikir kita. Kitab Ayub akan memberikan kita gambaran hidup orang Kristen itu seperti apa, karena secara ultimat, kitab Ayub sedang memberikan kita analogi tentang Kristus, Hamba yang menderita (The Suffering Servant).
Yang perlu kita ketahui adalah bahwa Ayub adalah seorang yang “saleh dan jujur”, “ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan” (Ayb. 1:1). Ini adalah fakta yang harus kita terima dan pegang mengenai tokoh utama dalam kitab Ayub. Kemudian datanglah setan yang menuduh Tuhan melindungi hamba-Nya dari kesulitan sehingga Ayub tetap setia dan beriman pada Allah. Tetapi Allah justru memberikan izin kepada setan untuk menguji apakah tesis dia benar atau tidak. Pencobaan yang pertama seluruh harta Ayub diambil darinya dan dalam hal itu, Ayub “tidak berdosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut” (Ayb. 1:22). Dengan demikian terbuktilah tesis setan salah, bahwa Ayub tidak mempertahankan hartanya lebih daripada dia mempertahankan rasa takutnya terhadap Tuhan. Kemudian datanglah setan untuk kedua kalinya ke hadapan Allah untuk memaparkan tesisnya yang sama dengan pembuktian yang berbeda. Kali ini setan menghasut Allah untuk membiarkan dia merusak kesehatan Ayub, maka Ayub akan mengutuk Allah (Ayb. 2:5). Tetapi yang terjadi tidak sesuai dengan harapan setan. Ayub tetap tidak berbuat dosa dengan bibirnya (Ayb. 2:10). Mendengar semua yang terjadi kepada Ayub, tiga orang temannya datang melihat Ayub. Mereka diam selama tujuh hari tujuh malam lamanya. Ayub kemudian menceritakan penderitaannya dan pertanyaannya tentang apa yang sedang dialaminya. Sering kali juga kita merasa bahwa kita dapat menceritakan keluh kesah kita kepada sesama orang percaya. Mungkin kita akan mendapatkan penghiburan yang besar dari mereka, tetapi kadang kala kita juga akan mengalami apa yang Ayub alami dari pasal 4-37 dari kitab Ayub. Ayub kecewa terhadap sahabat-sahabatnya karena mereka bukan saja tidak dapat mengerti apa yang dia sedang alami, tetapi mereka malah menuduh bahwa Ayub telah berbuat dosa terhadap Allah. Teman-temannya malah mulai memberikan dia kecaman yang pedas dan mengatakan bahwa dia bukan orang benar dan bukan orang yang lurus di hadapan Allah. Betapa menyakitkannya ketika saudara seiman yang seharusnya saling menguatkan malah menuduh kita dengan hal-hal yang tidak benar. Dalam pasal pertama, telah dijelaskan bahwa Ayub adalah orang yang takut akan Allah. Teman-teman Ayub tidak melihat itu, malah mengatakan “… siapa binasa dengan tidak bersalah dan di manakah orang yang jujur dipunahkan?” (Ayb. 4:7) atau “… ketahuilah, Allah tidak menolak orang yang saleh, dan Ia tidak memegang tangan orang yang berbuat jahat” dan “… bahwa sorak-sorai orang fasik hanya sebentar saja dan sukacita orang durhaka hanya sekejap mata”. Mengertilah Ayub bahwa sahabatnya ternyata tidak mengerti apa yang sedang dia alami. Mirip dengan orang Israel yang bersungut-sungut di antara mereka masing-masing ketika mereka berada di padang belantara tanpa menyadari bahwa hanya Tuhan yang sanggup menjawab pertanyaan mereka. Maka pada sampai satu titik, Ayub mengatakan, “Tetapi aku, aku hendak berbicara dengan yang Mahakuasa, aku ingin membela perkaraku di hadapan Allah” (dan bukan kalian). Hampir seolah-olah kita dapat mendengarkan Ayub mengatakan kalimat itu sebagai ungkapan kekecewaannya terhadap sahabatnya. Lalu kita bertanya-tanya apa sebenarnya tujuan dari penderitaan ini? Sebenarnya tujuan dari penderitaan Ayub, hanya dijawab di dalam 1 ayat dalam kitab Ayub yang nanti akan dibicarakan.
Kita harus mengakui bahwa perkataan teman-teman Ayub tidak sepenuhnya salah, khususnya yang berkenaan dengan Allah. Bahwa Allah itu membenci orang fasik dan sebagainya, tetapi tidak setiap kali perkataan yang secara doktrinal benar dikatakan, akan menyelesaikan seluruh permasalahan seseorang. Ketika kita membaca kisah Ayub, terkadang kita mengidentifikasikan diri dengan Ayub, jarang kita mengidentifikasikan diri dengan teman-teman Ayub atau Elihu. Bahkan sejujurnya ketika kita membaca kisah Ayub, pada mulanya kita akan melihat Ayub sebagai orang yang saleh dan benar, tetapi setelah kita mendengar argumentasi sahabat-sahabat Ayub, kita mulai memikirkan kembali dan bahkan (mungkin) mulai percaya pada perkataan Elihu dan ketiga sahabat Ayub dan mulai berpikir, “Mungkin Ayub benar-benar bersalah kepada Allah.”
Berlawanan dengan perkataan teman-teman Ayub yang kesannya menjawab pertanyaan Ayub mengenai kedaulatan Allah, Allah memberikan jawaban kepada Ayub tidak seperti yang Ayub harapkan, dan mungkin pada mulanya kita tidak akan mengerti kenapa Allah memberikan jawaban yang demikian. Di dalam jawaban Allah terhadap Ayub di pasal 38-41 Allah membawa Ayub “berjalan-jalan melihat dunia ciptaan Allah”, menunjukkan kepada dia berbagai macam ciptaan baik kecil maupun besar. Jawaban Allah seolah-olah terdengar sangat konyol. Ayub bertanya-tanya tentang keadilan Allah di seluruh pasal 3-31 dan ketika Allah menjawab Ayub dari dalam badai, Allah malah menceritakan tentang pekerjaan tangan Tuhan sendiri. Apakah ini sebenarnya jawaban yang Ayub ingin ketahui? Sebenarnya inilah jawaban yang Ayub cari. Ayub tidak bisa mengerti apa yang sedang Allah lakukan dalam hidupnya. Inti pertanyaan Ayub sebenarnya adalah dia sedang menuduh Allah bahwa Allah tidak tahu apa yang sedang Ia lakukan, maka Allah memperlihatkan kepada Ayub apa yang telah Allah ciptakan, bagaimana Ia merancangnya, bagaimana Ia memeliharanya dan bagaimana Ia mengendalikan semuanya itu. Jikalau Allah bisa mengendalikan seluruh alam semesta ini, mungkinkah Allah salah mengambil keputusan dalam mengizinkan kesulitan untuk mendatangi Ayub? Pertanyaan Ayub yang panjang ini dijawab oleh Allah hanya dengan 3 pasal yang singkat dan ini membuat Ayub bungkam mulutnya dan mengakui bahwa dia adalah orang yang tidak berbijaksana.
Now My Eyes Have Seen Thee
“Lalu apa tujuan Allah yang sebenarnya dalam mendatangkan malapetaka dalam hidup Ayub?” Jawaban dari seluruh pertanyaan Ayub tentang alasan penderitaannya adalah karena Allah mau mendidik Ayub untuk mengucapkan satu kalimat yang indah, yaitu, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” Pola ini tidak kita lihat dalam kisah Ayub saja, tetapi dalam seluruh perjalanan bangsa Israel. Ketika mereka tidak memandang Allah, mereka dipukul oleh Allah dan mereka diberi penderitaan supaya mereka kembali melayangkan pandangan mereka kepada Allah. Umat Allah harus menujukan pandangan kepada Allah yang sudah menebusnya kembali dari kehancuran. Penderitaan dan kesulitan yang dialami orang percaya bukan tanda ketidakhadiran Allah, tetapi justru menandakan kecemburuan Allah untuk merebut dan mendapatkan hati umat-Nya kembali. Mazmur 22:8 berbunyi: “Ia menyerah kepada TUHAN; biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?” Ayat ini menggambarkan bagaimana orang-orang tidak percaya berpikir, bahwa kita harus menjalani hidup yang lancar tanpa gangguan, baru berarti Tuhan beserta kita. Apa yang kitab Ayub ajarkan justru berbeda. Allah ingin umat-Nya selalu memandang Dia dan Dia mendatangkan kesulitan agar suatu hari kita akan berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” Bukankah ini suatu perbuatan Allah yang indah?
Honesty or Insolence?
Salah satu hal yang mungkin kita juga pertanyakan pada saat kita membaca kitab Ayub adalah cara Ayub berbicara kepada Allah. Apakah seorang Kristen pantas berbicara kepada Allah dengan cara demikian? Didikan Reformed yang meninggikan kedaulatan Allah ternyata juga memiliki kekurangannya sendiri. Setelah kita mengetahui tentang kedaulatan Allah, kita malah tidak berani bersikap jujur kepada Allah dalam doa pribadi kita. Kita menjadi takut mengungkapkan keinginan kita yang paling dalam, kemauan kita yang paling dalam. Kita takut terlihat kurang rohani ketimbang memaparkan kepada Allah bahwa kita masih menginginkan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Lebih baik menjaga “status quo” ketimbang mengharapkan suatu pertemuan dengan Allah. Memang benar kita harus tunduk di bawah kehendak Allah dan memang kehendak Allah itu mutlak, tetapi Allah tidak pernah melarang seseorang untuk berlaku jujur dalam menyampaikan permohonannya. Kita melihat contoh dari Musa yang berargumentasi dengan Allah untuk menolak panggilan Allah kepadanya untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir; Abraham tawar menawar dengan Allah perihal keselamatan kota Sodom dan Gomora; Daud di dalam mazmur-mazmurnya berargumentasi dengan Allah dengan cara mengingatkan Allah kepada janji-Nya sendiri; dan bahkan Tuhan Yesus pun di Taman Getsemani dengan jujur mengatakan bahwa Ia sesungguhnya ingin cawan pahit itu disingkirkan dari-Nya; kemudian di dalam Perjanjian Baru kita melihat Paulus memohon kepada Allah untuk mencabut duri dalam dagingnya. Hampir semua permohonan yang disebutkan di atas tidak dikabulkan oleh Allah. Lantas apakah Allah mempersalahkan kita karena di dalam kedagingan kita, kita terkadang lemah? Justru di akhir cerita Ayub, Allah memberikan jawaban atas pertanyaan kita. Allah mengatakan bahwa Ayub berkata benar (Ayb. 42:7), justru sahabat-sahabat Ayub yang tadinya hampir meyakinkan kita akan adanya dosa pada Ayub itulah yang dikecam oleh Tuhan. Bukan hanya dikecam biasa saja, tetapi dikatakan dalam bahasa Inggrisnnya, “My anger burns against you and your two friends.” Tuhan mengerti kelemahan kita, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Rm. 8:26) dan juga “Kristus Yesus, yang telah mati bahkan lebih lagi, yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita” (Rm. 8:34) di hadapan Allah. Allah tidak menuntut “theological precision” saja di dalam doa kita, Allah tahu bahwa manusia begitu terbatas, tidak mungkin sepenuhnya mengerti Allah yang tidak terbatas, maka kesalahan itu tidak dapat dipungkiri. Kita harus berdoa dengan penuh perasaan, meskipun doa kita belum tentu benar. Tetapi jika kita tidak pernah berdoa dengan mengungkapkan keinginan kita, ketika kehendak Allah ditunjukkan, kita tidak mungkin bisa memahami kenapa Allah tidak menjawab doa kita. Jikalau Ayub tidak pernah bertanya dengan jujur (meskipun dengan kemarahan), Ayub tidak akan mengerti jawaban Allah, alasan Allah mendatangkan malapetaka itu dalam hidupnya, dan dia tidak akan pernah mengucapkan pengakuannya yang indah itu, “Dahulu hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” Tidak rindukah kita untuk bertemu dengan Kristus sang Bunga Mawar dari Saron dan Bunga Bakung di lembah-lembah itu (Kid. 2:1)? Kiranya doa di bawah ini menjadi doa kita bersama.
The Deeps[1]
Lord Jesus, give me a deeper repentance, a horror of sin, a dread of its approach. Help me chastely to flee it and jealously to resolve that my heart shall be Yours alone.
Give me a deeper trust, that I may lose myself to find myself in You, the ground of my rest, the spring of my being. Give me a deeper knowledge of Yourself as Saviour, master, lord, and king. Give me deeper power in private prayer, more sweetness in Your Word, more steadfast grip on its truth.
Give me deeper holiness in speech, thought, action, and let me not seek moral virtue apart from You.
Plough deep in me, great Lord, heavenly husbandman, that my being may be a tilled field, the roots of grace spreading far and wide, until You alone are seen in me, Your beauty golden like summer harvest, Your fruitfulness as autumn plenty.
I have no master but You, no law but Your will, no delight but Yourself, no wealth but that You give, no good but that You bless, no peace but that You bestow. I am nothing but that You make me. I have nothing but that I receive from You. I can be nothing but that grace adorns me. Quarry me deep, dear Lord, and then fill me to overflowing with living water.
Ryan Putra
Pemuda FIRES
Endnote:
[1] The Valley of Vision: A Collection of Puritan Prayers and Devotions, edited by Arthur Bennett. (Banner of Truth Trust: Edinburgh).