Change We Can Believe In

Masih teringat dengan jelas tahun lalu ketika Barack Obama dalam kampanye sebagai calon presiden Amerika Serikat terus meneriakkan slogan tentang perubahan: ‘Change we can believe in’. Dalam kondisi ekonomi dan sosial yang terpuruk, perubahan adalah sesuatu yang dielu-elukan oleh masyarakat untuk mencapai kembali supremasi ekonomi dan sosial melalui orang-orang yang dipercaya berkompeten. Indonesia pada tanggal 8 Juli 2009 yang lalu telah melangsungkan pemilihan presiden dan wakil presiden. Suatu perubahan akan kembali terjadi dalam pemetaan pejabat pemerintahan. Dari kombinasi tokoh baru yang terpilih, terkandung harapan akan aktualisasi dari tiap janji-janji politik yang disodorkan untuk mengubah tatanan hidup bangsa dan negara ini agar berkembang lebih maju lagi.

Dari tuntutan perubahan-perubahan global yang ada di dunia (baik bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, pendidikan, dan hidup bermasyarakat) mau tidak mau harus dimulai dari perubahan unit terkecil, yaitu: setiap pribadi/individu, yang notabene merupakan bagian dari masyarakat, dan yang berkecimpung langsung di bidang-bidang tersebut. Tidak mungkin suatu perubahan yang benar dapat dikerjakan oleh pribadi-pribadi yang korup (kecuali anugerah umum Tuhan yang masih memelihara). Suatu perubahan yang benar dapat dikerjakan tanpa salah arah hanya ketika pribadi tersebut mengalami pembaharuan sejati dalam hidupnya. Setelah adanya pembaharuan gambar dan rupa Allah dalam diri manusia yang sudah dirusak oleh dosa, barulah manusia tersebut dapat menerima visi, melaksanakan, dan memperjuangkan perubahan sesuai dengan tujuan dan arah sebagaimana dimaksudkan oleh Sang Perancang awal yaitu Tuhan Allah sendiri.

Penulis mengajak pembaca untuk melihat sisi perubahan yang terjadi pada gambar dan rupa Allah dalam jiwa manusia, mulai dari gambar awal yang begitu indah namun kemudian dirusak oleh dosa, lalu diperbaharui oleh penebusan Kristus, dan gambar yang akan disempurnakan nanti. Dengan mengetahui betapa dalam dan luas kerusakan fungsi yang harus kita jalankan sebagai manusia yang memiliki gambar dan rupa Allah dari rancangan awalnya, kita dapat menyadari betapa besar tanggung jawab yang sudah kita abaikan dan harus kita kejar lagi, tebus lagi untuk dikerjakan, ketika gambar dan rupa Allah ini diperbaharui kembali dan ditunjukkan dalam kesempurnaannya lewat pribadi Yesus Kristus.

Pertama-tama, mari kita melihat gambar dan rupa Allah pada waktu penciptaan orang tua pertama kita. Manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Allah dan merupakan representator Allah serta menyerupai Allah dalam aspek-aspek tertentu secara terbatas. Manusia memiliki kualitas dan kemampuan yang berbeda dengan ciptaan lainnya.  Relasi dengan Allah menjadi fondasi yang penting bagi keterarahan manusia dalam melakukan fungsinya sesuai perintah Allah. Berdasarkan Kolose 3:10 dan Efesus 4:24, Calvin menyimpulkan bahwa gambar dan rupa Allah dalam diri manusia meliputi pengetahuan sejati, kebenaran keadilan sejati, dan kekudusan sejati. Dalam status asalnya, manusia dapat berkomunikasi dan berespons terhadap Allah dalam tiga aspek tersebut. Dalam status ini, dapat dikatakan bahwa Adam dan Hawa, seturut dengan gambar Allah, diberikan kapasitas dan kemampuan untuk menjalankan fungsinya dengan kemungkinan tak berdosa dan taat dalam tiga relasi: dalam menyembah dan melayani Allah, dalam mengasihi dan melayani sesama, dan dalam menguasai, menaklukkan, serta memelihara dunia ciptaan yang di dalamnya Allah tempatkan mereka.

Gambar dan rupa Allah ini hadir dalam kesempurnaannya namun masih belum berupa “produk akhir”. Manusia masih harus bertumbuh dan diuji lewat ketaatan pada Allah (Kej. 2:16-17) dengan diperhadapkan pada peluang ketidaktaatan. Kita tidak bisa tahu bagaimana sejarah manusia hari ini andaikata orang tua pertama kita taat, namun fakta adalah bagaimana mereka tidak taat dan seluruh umat manusia bersama mereka (lewat representasi dari Adam sebagai kepala) jatuh dalam dosa.

Pada saat Kejatuhan, pemberian supra-alami (supernatural gifts) berikut ini menjadi hilang: iman sejati, kasih sesungguhnya kepada Tuhan, kebaikan hati yang murni terhadap orang lain, dan semangat untuk mengejar kekudusan dan kebenaran sejati. Gambar dan rupa Allah setelah Kejatuhan mengalami frightfully deformed. Setiap bagian dilemahkan dan dirusak oleh dosa. Yang tersisa adalah confused, mutilated, disease-ridden. Rasio dan kehendak masih ada dalam diri manusia yang jatuh dalam dosa, namun telah dilemahkan dan telah dicemari oleh dosa (Institutio, II.2.12). Gambar dan rupa Allah begitu rusak sehingga kita penuh dengan ketidakbenaran, hanya ada kebutaan dan ketidakpedulian dalam pikiran kita. Kita menjadi budak dosa. Ketiga relasi di mana manusia melaksanakan fungsinya juga rusak oleh dosa.

Manusia diciptakan dalam relasi dengan Allah namun manusia berdosa menyembah berhala dibandingkan pribadi Allah sendiri. Pada zaman modern saat ini, manusia membuat objek berhala dari dirinya sendiri, dari masyarakat, dari negara, dari uang, dari ketenaran, dari milik kepunyaan, dari kenyamanan, dan dari kenikmatan dunia. Dari kapasitas yang diciptakan untuk taat kepada Allah, manusia sebaliknya hidup dalam ketidaktaatan, memberontak terhadap hukum Allah. Tidak heran kita mudah sekali menjumpai orangorang yang begitu mendambakan dan mengejar kenyamanan dunia (baik secara sadar ataupun tidak), termasuk orang-orang yang mengaku mengenal Tuhan Yesus. Dalam konteks di Singapura, pengejaran akan hal ini lebih kencang lagi diteriakkan lewat gaji yang lebih tinggi, keamanan, dan fasilitas yang lebih baik serta lebih mutakhir dibandingkan di Indonesia. Tidaklah heran jikalau pribadi-pribadi yang masih meneriakkan pengejaran kenyamanan dan kenikmatan dalam Tuhan lewat sangkal diri dan pikul salib akan dipandang sebagai orangorang berhati sempit, yang iri akan berkat orang lain, tidak bisa mengucap syukur, dan terlalu cerewet/kolot/pelit dalam memanfaatkan harta yang sudah Tuhan berikan demi hak untuk entertainment diri.

Dalam relasi dengan sesama, manusia diberikan kapasitas untuk memperkaya hidup dan menjadi berkat bagi orang lain. Namun setelah jatuh dalam dosa, hal tersebut justru dimanfaatkan untuk memanipulasi orang lain demi tujuan pribadi. Manusia tidak dapat lepas dari relasi dengan orang lain. Bukan relasi kasih yang dinyatakan tetapi relasi kebencian yang direalisasikan dalam bentuk ketidakpedulian ataupun diskriminasi. Dosa menobatkan diri menjadi tuan atas diri sendiri, lepas dari pimpinan Allah. Dan diri mengukuhkan ego, sehingga menyingkirkan orang lain dari hidup pribadinya. Sebuah kalimat dari Jean-Paul Sartre dengan tepat mengekspresikan kondisi ini, “Hell is other people” (Created in God’s Image, hlm. 85).

Selanjutnya, bukannya mengusahakan dan memelihara alam, manusia berdosa sebaliknya mengeksploitasi alam tanpa memelihara; ataupun hanya memelihara alam tanpa mengusahakan. Kekuasaan yang diberikan Tuhan kepada manusia atas alam digunakan bukan untuk memuliakan Allah dan untuk memberikan manfaat bagi sesama tapi demi tujuan pribadi. Semua pencapaian manusia dalam bidang kebudayaan dan teknologi juga digunakan untuk menonjolkan diri daripada memuliakan Allah.

Fakta yang sangat mengerikan dari kejatuhan manusia dalam dosa adalah bahwa semua kebesaran dan kapasitas luar biasa, yang terbaik yang diberikan Allah, sekarang dipergunakan manusia dengan cara dan tujuan yang terbalik dari semula.

Gambar dan rupa Allah dalam diri manusia yang telah dirusak oleh dosa harus diperbaharui kembali. Melalui pembaharuan ini manusia dimampukan kembali untuk merefleksikan kemuliaan Allah. Pembaharuan ini dikerjakan oleh Roh Kudus dengan firman Tuhan sebagai dasar. Pembaharuan ini bersifat gradual dan progresif serta yang akan disempurnakan ketika Kristus datang kembali.

Sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar Allah, manusia memiliki kapasitas yang unik untuk mengenal Allah. Calvin dalam ekposisinya terhadap Kolose 3:10 mengatakan bahwa pembaharuan hidup meliputi pembaharuan akan pengetahuan (sifat kenabian). Bukan dalam pengertian bahwa pengetahuan yang sederhana dan seadanya itu sudah memadai, namun ia berbicara tentang iluminasi dari Roh Kudus yang lincah dan efektif, yang tidak hanya menerangi pikiran dengan terang kebenaran, tapi mentransformasi keseluruhan diri manusia. Gambar Allah berdiam dalam keseluruhan manusia sedemikian hingga bukan hanya intelektualitas yang diperbaharui tetapi termasuk juga kehendak manusia. Roh Kudus mengiluminasi pikiran dan menginspirasi hati kita dengan keinginan yang seturut dengan pengetahuan kita. Pengetahuan yang sejati akan Allah adalah syarat mutlak untuk mengarahkan kita untuk semakin takut akan Dia, mengasihi Dia, mengenal, dan melakukan kehendak-Nya.

Manusia yang sebelumnya diperhamba oleh hikmat dunia telah dikaruniai hikmat Allah untuk memahami pribadi dan karya Kristus serta rencana penyelamatan Allah bagi manusia dan seluruh ciptaan. Dengan pembaharuan pengenalan akan Allah, dan pengenalan Allah akan diri, datanglah pemahaman diri yang baru dan realistis. Dengan hikmat dari Allah, manusia sekarang bertanggung jawab untuk menebus, meredefinisi setiap konsep dari dunia yang sudah jatuh, baik itu keselamatan, moralitas, dunia kerja, keluarga, seni, teknologi, ekonomi, pendidikan, dan aspek-aspek lain untuk dikembalikan kepada definisi Sang Pencipta.

Selain pengetahuan sejati, manusia juga diperbaharui dalam kebenaran keadilan sejati (sifat raja) dan kekudusan sejati (sifat keimaman). Calvin di dalam ekposisi Efesus 4:24 cenderung mendefinisikan kekudusan dengan merujuk pada bagian pertama, dan kebenaran merujuk pada bagian kedua dari kesepuluh hukum. Plato memaparkan perbedaan ini dengan mengatakan bahwa kekudusan terletak dalam penyembahan terhadap Allah dan kebenaran memiliki kaitan referensi terhadap manusia. Calvin memperingatkan bahwa kebenaran dan kekudusan tersebut harus tulus karena kita hidup di hadapan Allah yang mustahil untuk dikelabui.

Orang-orang munafik menyukai reputasi kekudusan yang berupa fenomena di mata orang lain, namun manusia yang sudah diperbaharui hanya akan puas dengan esensi hidupnya yang sungguh-sungguh kudus di hadapan Tuhan. Cara pandangnya dan ketertarikannya terhadap dunia sudah diubahkan. Ia hidup untuk Allah dan mengejar kekudusan sebagaimana Allah adalah kudus. Ia setia dalam doa pribadinya ataupun dalam doa syafaatnya agar kemuliaan Allah dapat terus menerus dinyatakan baik lewat dirinya sendiri maupun sesamanya. Tubuhnya terus-menerus dipersembahkan sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan di hadapan Allah.

Kristus adalah gambar dan rupa Allah yang sempurna. Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan (Kolose 1:15). Maka jika kita ingin mengetahui bagaimanakah seharusnya gambar Allah dalam diri manusia, kita harus melihat kepada Kristus. Fungsi dari gambar Allah yang sejati dinyatakan dalam hidup yang sepenuhnya diarahkan pada Tuhan, baik di dalam menjalankan relasi dengan manusia lain maupun dalam menguasai alam.

Namun yang menyedihkan sekali adalah walaupun gambar dan rupa Allah sudah dan terus diperbaharui dalam hidup kita, kita masih tetap nyaman mengenakan hidup kita yang lama dan menempelkan istilah-istilah “hidup yang diperbaharui” di atasnya. Kita masih dengan nyamannya membiarkan otak kita tumpul dalam mengetahui kebenaran Allah, tidak dilatih dalam pertimbangan antara yang benar dan salah, diri sering kali tetap menjadi pemenang dalam pertimbangan-pertimbangan kita. Kehendak terus menginginkan dan menyuarakan agar kita mengejar kenyamanan, kelancaran, dan kedamaian semu dengan menghindari semua kondisi yang menimbulkan konfrontasi dengan hidup lama atau membutuhkan pergumulan iman.

Kita akhirnya hanya mengusung status “diperbaharui” di dalam gambar Allah kita, namun tidak ada perubahan baru yang signifikan dari cara hidup kita. Kita tidak dapat dengan sungguh-sungguh mengasihi Allah (yang berarti juga menaati perintah Allah, Yoh. 14:21) dan mengasihi sesama dengan standar yang dituntut lewat Alkitab. Mungkin kita secara tidak sadar ketika membaca artikel ini juga sedang melakukan pembelaan diri atau bahkan cuek dan menganggap standar hidup yang kita jalani sebenarnya sudah berkenan di hadapan Allah. Kehidupan sosialku, perkuliahanku, pekerjaanku, pelayananku,
hidup pribadiku memang tidak berani kukatakan sudah memuliakan Allah, namun setidaknya dirasakan sudah cukup untuk tidak membuat Allah murka bukan? Ketika Penulis mencoba untuk merefleksi diri dan menggali dengan sejujur-jujurnya, Penulis menyadari bahwa perasaan kecukupan palsu dan ilusi kepantasan yang ada berasal dari masih sempitnya pengenalan firman Tuhan dan hidup yang tidak sungguh-sungguh merajakan Kristus.

Tidak ada bagian dari gambar Allah dalam diri kita yang tidak diperbaharui oleh Roh Kudus. Dengan demikian tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mempersembahkan setiap bagian dari hidup ini untuk kemuliaan Allah (yang melibatkan pembaharuan intelektual dan kehendak kita). Apakah kita sudah mengusahakan dan memelihara alam ini sesuai dengan fungsi dalam rupa yang sudah diperbaharui? Apakah setiap kapasitas yang sudah Allah berikan pada kita, ketika gambar Allah dalam diri kita sudah diperbaharui oleh Roh Kudus sudah dimaksimalkan untuk memperkaya hidup orang lain? Ataukah kita masih membatasinya hanya untuk orang-orang tertentu, bidang tertentu, area tertentu, dan pekerjaan tertentu? Calvin mengatakan bahwa pengakuan kita akan gambar dan rupa Allah dalam tiap diri manusia mendorong kita untuk memperlakukan orang lain dengan kebaikan dan kasih, bahkan dengan cara yang mengorbankan diri dan harta milik sekalipun (Institutio, III.7.6). Apakah kita sudah memberikan penyembahan dan ketaatan pada Allah sepenuhnya dalam setiap inci hidup kita?

Semoga kita menjadi agen-agen perubahan yang menyadari bahwa perubahan akan kondisi keluarga kita, pelayanan kita, gereja kita, kuliah kita, pekerjaan kita, bangsa dan negara kita haruslah dimulai dan diteruskan dari diri kita yang sudah diperbaharui dan mau berespons terhadap panggilan Tuhan untuk terus berubah semakin menyerupai Yesus Kristus.

Carlos Wiyono Kurniawan

Pemuda GRII Singapura