Konteks
Pada masa ancient society, setidaknya masa ketika Yesus hidup dan melayani di bumi, anak kecil dipandang tidak memiliki relevansi sosial dan status apa-apa di dalam masyarakat. Tidak jarang anak kecil diperlakukan sebagai komoditas yang bisa diperjual-belikan. Terlebih, anak kecil yang tidak memiliki kejelasan orang tua bisa dengan mudahnya dibuang.[1] Memang betul secara fungsional masa kanak-kanak adalah masa di mana manusia menjadi manusia yang paling lemah, rentan dan tidak bisa berbuat apa-apa. Murid-murid Yesus Kristus tidak luput dari pandangan yang sudah memasyarakat ini. Apalagi di depan mata murid-murid, Yesus sudah bertemu dan berdebat dengan guru-guru Israel, menyembuhkan orang-orang, mengusir setan dan semua hal-hal spektakuler yang secara sosial signifikan untuk Yesus dan murid-murid. Lalu “saat ini” ada beberapa anak kecil yang dari perspektif murid-murid sudah pasti tidak signifikan dan tidak ada efek spektakuler bagi Yesus dan murid-murid.
Ternyata Yesus lebih jengkel kepada murid-murid ketika mereka menghalang-halangi anak-anak ini masuk ke dalam area-Nya. Perikop ini muncul di Injil Matius dan Lukas. Salah satu keunikan perikop ini dari perspektif Markus adalah disebutkan bahwa Yesus marah. Beberapa komentator Perjanjian Baru cukup sepakat, Injil Markus adalah kitab Injil yang paling dramatis dibanding kitab-kitab Injil lainnya. Penulisan yang dramatis ini tidak hanya sekadar untuk bumbu belaka, namun di dalamnya mengandung kebenaran dan tujuan, untuk mengontraskan antara respons lingkungan dengan apa yang menjadi respons Kristus.[2] Yesus tidak hanya menegur, Dia marah kepada murid-murid atas perbuatan mereka terhadap anak-anak tersebut.
Namun kemarahan Yesus bukan merupakan sebuah letupan dan kebetulan emosi fenomena belaka. Yesus tidak pernah memiliki momen kebetulan dan kecelakaan. Termasuk di dalam marah-Nya kepada murid-murid, pasti marah-Nya ada sebab dan pasti ada tujuan. Jika saya sedikit meminjam vocabulary dari Immanuel Kant tentang fenomena dan noumena, maka fenomenanya adalah murid-murid menghalangi anak-anak untuk datang kepada Yesus Kristus, lalu Yesus marah karena memang Dia ingin dan berkenan menjamah anak-anak itu. Namun, noumenanya adalah Yesus Kristus “memakai” anak-anak dan momen ini untuk mengajarkan sesuatu kepada murid-murid, yaitu menyambut Kerajaan-Nya seperti anak kecil.
Childlike Faith
Kita sudah bisa sedikit merasakan konteks dan perspektif masyarakat pada saat itu tentang bagaimana rendahnya mereka memandang anak kecil. Faktanya, tidak hanya pada zaman itu, tetapi sampai saat ini pun anak kecil memang adalah kondisi manusia yang paling rentan, lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, “kesepertian” inilah yang menarik perhatian Tuhan Yesus. Dia menunjuk bahwa anak kecil yang rentan dan lemah ini adalah kesepertian yang Yesus syaratkan bagi orang-orang yang ingin masuk Kerajaan Allah.
B. B. Warfield, The Old Princeton mengaitkan Markus 10:13-16 ini dengan perikop Beatitudes pada Matius 5:3, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Beautitudes adalah sebuah fakta dan sekaligus undangan kepada kesadaran akan kebangkrutan dan ketidakmampuan manusia sekaligus kebutuhannya akan anugerah.[3] Namun, Beautitudes sekaligus juga adalah pemisahan bagi mereka yang tidak merasa lemah, rentan dan bangkrut, sehingga mereka pun memang merasa tidak butuh anugerah.
Ini adalah undangan bagi orang yang “miskin” di hadapan Allah, tetapi bagi orang yang tidak merasa miskin di hadapan Allah, karena merasa cukup uang, cukup pengetahuan, cukup bijaksana, dan lain-lain – maka undangan ini langsung lewat begitu saja, karena yang mendapatkan anugerah atau yang empunya Kerajaan Sorga adalah orang yang miskin, rentan, lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan Allah. Jadi, childlike faith dicirikan dengan kemiskinan rohani dan ini persis terbalik dengan sin of pride.
Sin of Pride
Secara struktur biblis pada teks ini, sin of pride berkait dengan perikop yang kita baca. Pertama, perikop ini ada di dalam putaran kedua tentang pemberitahuan sengsara Yesus (Mrk. 9:30-32). Kedua, persis setelah perikop tersebut adalah perikop tentang siapa yang terbesar di antara para murid (Mrk. 9:33-37). Ketiga, putaran kedua tentang sengsara Yesus ini ditutup dengan perkataan Yesus tentang orang yang terdahulu menjadi yang terakhir dan sebaliknya (Mrk. 10:31). Jadi, sudah pasti bukan kebetulan jika perikop yang kita baca tentang childlike faith ini dijepit dengan persoalan sin of pride, yaitu urusan siapa yang terbesar dan urusan siapa yang terdahulu.
Penulis dalam hal ini ingin mengajukan bahwa, pertama, tidak ada satu pun dari murid Kristus, termasuk kita, yang imun terhadap sin of pride,dan, kedua, childlike faith atau iman seperti anak kecil, di mana ada kesadaran akan kemiskinan rohani dan ketidakmampuan berbuat apa-apa sebelum anugerah Tuhan datang, adalah antidote dari dosa ini. Sebagai sebuah contoh, hari ini mungkin kita sebagai jemaat atau pemuda GRII yang sudah banyak belajar firman bisa cukup gerah dan jengkel dengan orang-orang Kristen yang sepertinya pengetahuan doktrinnya dari 1 s.d 10 itu minus 2. Kita bahkan mendiagnosis orang-orang yang pengetahuannya rendah ini dengan istilah Kristen KTP.
Namun jangan-jangan setelah kita memandang dengan cara yang sedemikian, kita yang mungkin sudah banyak belajar ini masuk ke dalam model kekristenan yang lebih parah lagi, yaitu Kristen Simbolik. Kekristenan yang hanya berisi simbol-simbol dan jargon-jargon theologi, seperti dwinatur Kristus, inkarnasi, dan saat NREC 2025 tambah satu simbol lagi yaitu Pro Rege. Namun semua simbol ini tidak pernah terpenetrasi ke dalam praktik hidup kita. Justru ironisnya, ini menjadi tembok penghalang yang bersifat akumulatif terhadap undangan anugerah Tuhan yang mensyaratkan bahwa “seperti anak kecil inilah”, yang miskin, rentan dan tidak bisa berbuat apa-apa, yang bisa masuk Kerajaan Sorga. Semakin belajar doktrin dan simbol-simbolnya, makin sulit menerima undangan anugerah Tuhan karena makin sulit menyadari kebangkrutan dan kepapaan rohani sehingga tembok pride makin tebal.
Faktanya, dosa ini mungkin tidak embodied secara eksplisit setidaknya dengan dua alasan. Pertama, faktanya kita tidak sehebat itu untuk merasa bangga dan benar. Kedua, lingkungan kita adalah lingkungan yang lebih rohani. Tidak ada orang yang hebat dalam segala hal dan adanya kita di dalam gereja membuat kita hampir tidak mungkin mengatakan bahwa saya adalah yang terbaik di dalam hal ini dan itu dan saya bangga. Justru sebaliknya, lingkungan dan status kita sebagai pelayan Tuhan menuntut kita untuk lebih rendah hati dan menghamba meskipun sin of pride sangat mungkin sudah mengintip dari pintu hati.
Memandang Muka
Jadi, di dalam kondisi dan lingkungan tersebut, salah satu cara sin of pride ini bisa terwujud adalah dengan memandang muka. Maksudnya, kita dengan tanpa sadar telah mengkelas-kelaskan diri dan orang-orang sekitar di dalam kelas-kelas sosial tertentu. Sadar tidak sadar, setiap kita bertemu orang atau di dalam komunitas, kita akan mulai melakukan ukuran. Saat kita sedang di bawah orang atau kelompok ini, kita mencari mana yang bisa didekati, dijilat, dan bermanfaat. Sebaliknya, saat merasa lebih mampu di atas, kita memeriksa mana yang bisa diinjak atau memang tidak bermanfaat bagi kita.
Penulis melihat inilah yang dilakukan murid-murid Yesus Kristus ketika memandang anak-anak kecil itu. Seolah-olah murid-murid berpikiran, kita ini murid-murid Kristus dan anak-anak dilarang masuk. Kami ini sudah dekat dengan Kristus, 24/7 dan melihat hal-hal spektakuler bersama Dia. Namun sekarang ada anak-anak kecil yang sudah pasti tidak dapat berbuat apa-apa, dibandingkan kami dan pengalaman-pengalaman kami sebelumnya bersama Kristus. Apakah hal ini menggelitik dan beresonansi di dalam konteks kita saat ini? Kita ini orang Reformed, sudah sering menghabiskan waktu dengan PA ini dan itu, STRIJ ini dan itu, KKR Regional ini dan itu. Yesus tidak ada waktu dengan orang-orang Kristen KTP, baru tahu gerakan ini, pelayanannya sedikit, dan sebagainya.
Faktanya, Tuhan Yesus menggeser murid-murid supaya anak-anak yang dianggap rendah ini bisa masuk ke dalam area-Nya. Tuhan Yesus menggeser murid-murid-Nya sendiri yang menganggap diri lebih tinggi agar sekelompok orang yang dianggap lebih rendah bisa masuk. Jika kita ada di dalam kondisi ini, sudah sepatutnya kita kasihan pada diri kita sendiri. Kemungkianan besar secara dasar, relasi kita dengan Tuhan dan komunitas kita tidak sedang baik-baik saja. Sangat mungkin, cara kita berelasi dengan Tuhan adalah sepert ini, “in order to get love, I have to do something” maka cara kita berelasi dengan lingkungan kita adalah “in order to get my love, my attention, you have to do something”.
Sungguh malang, jika tanpa sadar selama ini kita ada di dalam model relasi seperti ini, khususnya di dalam gereja. Oleh sebab performa pengetahuan dan pelayanan, lambat laun kita tidak mengerti lagi apa itu namanya belas kasihan. Bukankah ini esensi Injil, bahwa God did something for us – yang lemah, rentan dan tidak bisa berbuat apa-apa, so we can love Him”. Mungkin pesan ini terkesan terlalu lunak karena memang faktanya ada orang-orang Kristen yang abuse narasi anugerah dan belas kasihan ini dengan cara tidak mengerjakan apa-apa bagi Tuhan. Namun, jika kita mengesampingkan belas kasihan Tuhan ini dan tanpa sadar mulai bersandar pada pengetahuan dan performa kita, lalu seolah-olah bisa menambah sesuatu pada Tuhan, ini adalah bentuk abuse yang lain pada anugerah dan belas kasihan Tuhan.
Apa kabar baiknya?
Childlike faith adalah kabar baik yang ditawarkan oleh Markus dalam narasi ini. Childlike faith adalah iman yang membawa kita kepada sikap hati yang sederhana. Anak kecil itu memang rentan, tidak bisa berbuat apa-apa dan memang tidak bisa memikirkan banyak hal. Anak kecil itu hanya tahu papa/mamanya dan hanya bisa bergantung kepada mereka. Anak kecil tidak serta merta “memamakan” orang lain karena dia hanya bisa memamakan mama kandungnya di dalam ketidakberdayaannya.
Kesepertian dan paradigma seperti ini yang membuat kita hanya bisa menuhankan Tuhan Yesus dan hanya bisa bergantung kepada-Nya. Inilah yang menarik hati Yesus dan dari sini Dia mengajarkan konsep iman dan sikap hati yang sederhana. Ini kontras sekali dengan sin of pride yang rumit karena harus memandang muka di sana dan di sini. Namun, childlike faith itu sederhana dan tidak rumit karena iman ini self-forgetful oleh sebab iman seperti ini hanya tahu mengenal dan bergantung kepada Tuhan Yesus.
Mari kita melihat Pengakuan Iman Rasuli (Apostles’ Creed), secara khusus di dalam bahasa Inggris. Pada pengakuan tersebut ada preposisi yang sangat penting dan signifikan bagi iman dan sikap hati kita kepada Tuhan. Dikatakan “I believe in God” lalu beriktunya “I believe in Jesus Christ” dan “I believe in the Holy Spirit”.[4] Apostles’ Creed tidak menyebutkan “I believe that”, karena apa? “Believe that” itu data, tetapi “believe in” itu percaya. “Believe that” itu informasi, tetapi “believe in” itu relasi. Maka, kita adalah anak-anak Tuhan yang seharusnya “IN” (di dalam) Kristus, yakni tinggal dan bergantung di dalam Kristus.
Mari merenungkan ini kembali, sebelum pengetahuan, performa, asosiasi dan pengalaman yang kita bangun menjadi sandaran dan identitas kita. Lalu, dari sana kita segera mulai memandang muka dan sulit bergantung kepada Tuhan. Sebagai sebuah praktik sederhana, mari kita bersaat teduh sebelum memulai hari. Bersaat teduh dengan childlike faith bahwa kita adalah anak-anak yang tidak bisa berbuat apa-apa, sangat bisa mati di dalam dosa dan dibuang ke dalam hukuman kekal. Namun ada anugerah besar, yakni di ayat 16, Yesus Kristus mau memberikan lengan-Nya untuk memeluk anak-anak itu, memeluk saya dan Saudara. Ini sangat cukup untuk membebaskan kita untuk mengasihi dan melayani Tuhan Yesus dan gereja-Nya.
Belly Partomuan
Mahasiswa STTRII
Referensi
Hooker, Morna D. The Gospel according to Saint Mark. Black’s New Testament Commentary. London: Continuum, 1991.
Schaff, Philip. The Creeds of Christendom, with a History and Critical Notes: The Greek and Latin Creeds, with Translations. Vol. 2. New York: Harper & Brothers, 1890.
Strauss, Mark, ed. Matthew & Mark. Vol. 8. Layman’s Bible Commentary. Barbour Publishing, 2008.
Warfield, Benjamin B. Faith and Life. Bellingham, WA: Longmans, Green, & Co., 1916.
[1] Mark Strauss, ed., Matthew & Mark, vol. 8, Layman’s Bible Commentary (Barbour Publishing, 2008), 184.
[2] Morna D. Hooker, The Gospel according to Saint Mark, Black’s New Testament Commentary (London: Continuum, 1991), 110.
[3] Benjamin B. Warfield, Faith and Life (Bellingham, WA: Longmans, Green, & Co., 1916), 69.
[4] Philip Schaff, The Creeds of Christendom, with a History and Critical Notes: The Greek and Latin Creeds, with Translations, vol. 2 (New York: Harper & Brothers, 1890), 45.