Kitab Mikha adalah salah satu kitab “nabi kecil” di dalam Perjanjian Lama yang banyak berisi mengenai penghakiman Allah, khususnya terhadap Kerajaan Israel dan Yehuda. Penghakiman ini datang akibat kecerobohan umat Tuhan dalam menjalankan firman-Nya. Kesesatan dan kecerobohan umat-Nya ini bahkan sudah terjadi begitu lama dan berulang kali. Mikha mencatatkan beberapa hal yang dilakukan oleh mereka, yaitu: ketidakadilan dan kecurangan (Mi. 2:2, 3:11, 6:12, 7:3), penyembahan berhala (Mi. 1:7), beragam “wahyu” palsu yang beredar di mana-mana (Mi. 3:5), dan kejahatan lainnya di hadapan Tuhan. Lebih buruknya lagi, umat Tuhan tidak menghiraukan firman Tuhan yang menegurnya. Sebaliknya mereka merasa segalanya masih baik-baik saja (Mi. 2:6, 3:11).
Sebelumnya, Tuhan sudah sangat jelas memberitahukan apa yang menjadi kehendak-Nya: “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mi. 6:8). Namun, kelihatannya mereka tidak mengindahkan kehendak Tuhan ini. Seperti yang dapat kita lihat dalam Kitab Mikha, pelanggaran terhadap tuntutan ini makin menjadi-jadi.
Maka Nabi Mikha dengan penuh kesusahan hati menyerukan penghakiman Allah atas umat-Nya, yakni bahwa Allah hendak membinasakan serta menawan mereka melalui bangsa Asyur (5:5-6) dan Babilonia (4:10a). Akan tetapi, Kitab Mikha tidak hanya menyatakan penghakiman Allah atas umat-Nya yang berdosa, tetapi juga menunjukkan pengampunan, kasih, dan kesetiaan Allah terhadap janji-Nya. Tuhan Allah—Sang Hakim atas umat-Nya yang memberontak dan berdosa—adalah Raja yang juga melepaskan dan menebus mereka dari tangan musuh yang menawan mereka (4:10b).
Ketika penghakiman Tuhan tiba, Ia juga menunjukkan pengampunan-Nya (dua hal yang sering dilihat bertolak belakang oleh banyak orang). Dialah TUHAN Allah: Tuhan yang adil, juga Tuhan yang kasih. Tuhan yang harus menegakkan kebenaran-Nya tanpa kompromi, juga Tuhan yang tetap menunjukkan belas kasihan-Nya kepada manusia berdosa. Tuhan yang demikian bisa dilihat dengan jelas melalui alur penulisan Kitab Mikha: penghakiman dimulai pada pasal satu, dilanjutkan di pasal tiga dan enam. Kemudian, selalu disusul oleh pengharapan akan keselamatan melalui Mesias yang dijanjikan di pasal dua, empat sampai lima, dan tujuh (1-2; 3-5; 6-7).
Kitab ini adalah salah satu kitab dalam Perjanjian Lama (PL) yang paling jelas memberitakan tempat kelahiran Sang Juruselamat, yaitu di Betlehem, dan dengan jelas menuliskan natur kekekalan Juruselamat tersebut (5:2). Demikianlah suatu petunjuk akan rencana keselamatan-Nya diberikan kepada umat-Nya di saat itu, menunjukkan keseriusan Tuhan dalam misi penyelamatan-Nya, dan mungkin juga menjadi suatu reminder yang membawa sukacita bagi umat-Nya, bahwa Tuhan tidak melupakan janji-Nya untuk mendatangkan Juruselamat atas mereka.
Allah yang kita kenal di dalam Alkitab bukan hanya Allah yang cuma menciptakan dunia ini beserta seluruh isinya, lalu lepas tangan dan selesai tugas-Nya. Tetapi Dia juga memelihara, bahkan menebus ciptaan-Nya. Manusia pada mulanya telah gagal menjalankan perintah Allah, sehingga hubungan antara manusia dan Allah menjadi rusak, tidak ada lagi manusia yang dapat hidup benar dan sesuai keinginan Sang Pencipta. Maka Ia memilih Abraham serta keturunannya—yang adalah bangsa Israel—sampai nanti kepada Daud, untuk membuat perjanjian dengan mereka, menyertai dan memberkati mereka sampai selamanya, mengokohkan takhta keturunannya, dan dengan demikian juga membuat mereka menjadi kepunyaan Tuhan Allah.
Melalui kitab ini, dapat terlihat bahwa Tuhan masih mengingat dan tidak menghapus janji-Nya itu. Walaupun sebenarnya Tuhan sendiri memang layak menghapuskan perjanjian-Nya dengan umat pilihan, sebab mereka sendiri telah melanggar kekudusan Allah dan lebih suka hidup di dalam dosa. Seharusnya ketika tahu bahwa diri adalah milik Allah, respons yang tepat adalah hidup sesuai isi hati sang pemilik. Ketika diri telah ditebus, respons yang benar adalah hidup dalam pertobatan sebagai bentuk ucapan syukur. Tetapi sayangnya, yang terjadi bukan demikian. Yang umat Tuhan lakukan adalah mereka tetap hidup di dalam kecemaran. Hal ini mendukakan hati dan menyulut murka Tuhan.
Biar bagaimanapun, Tuhan adalah Allah yang adil, Ia harus menegakkan keadilan-Nya. Maka dalam Kitab Mikha, Tuhan tetap menjatuhkan hukuman atas dosa mereka. Tetapi di sisi yang lain, Tuhan tetap mengingat akan janji-Nya kepada nenek moyang mereka.
Berita penghakiman tidak terlepas dari berita keselamatan. Demikian juga berita keselamatan tidak dapat dipisahkan dari berita penghakiman. Jika seseorang hanya menerima berita penghakiman dan hukuman, dirinya akan merasa hopeless dan helpless, mungkin juga hanya melihat Allah sebagai pribadi yang kejam. Sebaliknya, jika seseorang hanya mendengarkan perihal Allah yang mengasihi dan yang menyelamatkan, ia akan melihat keselamatan sebagai sebuah barang murahan. Karena tidak pernah ada kesadaran betapa bobrok dirinya (karena juga tidak pernah ada yang menegur), maka tidak mungkin pula ia sadar seberapa besar dan berharganya anugerah keselamatan itu.
Pola “penghakiman-keselamatan” ini juga yang dapat dikenali dalam Kitab Mikha. Umat Tuhan saat itu ditegur dengan keras atas dosa mereka, dan hendak menerima suatu penghakiman yang besar. Bahwa mereka akan dibinasakan dan dibawa keluar dari Tanah Perjanjian, tempat tinggal mereka akan menjadi puing, dan hukuman-hukuman lainnya. Tetapi tiap penghakiman selalu ditutup dengan janji, keselamatan, dan pengharapan akan hari kedatangan Sang Mesias.
Dalam Alkitab, kita selalu melihat perbudakan yang terjadi kepada umat Allah, entah itu perbudakan di Tanah Mesir, maupun perbudakan di tanah yang asing, sebagai simbol perbudakan manusia di bawah dosa. Pada akhir cerita, Tuhan sendiri yang selalu menjadi penolong. Tidak ada seorangpun pahlawan manusia yang sanggup melepaskan manusia lainnya dari perbudakan-perbudakan ini. Walau memang ada banyak tokoh yang memimpin umat Tuhan untuk bebas, tetapi itu semua karena Tuhan beranugerah untuk membangkitkan dan memakai mereka. Manusia sendiri tidaklah berdaya untuk melepaskan dirinya dari perbudakan.
Sama halnya dengan yang tertulis dalam Kitab Mikha ini: umat Allah akan kembali menjadi tawanan di tanah asing, tetapi Allah pun berjanji akan menyatukan mereka kembali, dan Tuhan sendiri yang akan memimpin mereka keluar dari sana sebagai Raja mereka. Bangsa Israel telah gagal menjalankan fungsinya sebagai umat Tuhan, maka mereka akan menerima penghakiman. Mereka tidak akan bisa menghindarkan diri dari kecemarannya, karena sudah mendarah daging, maka dengan usaha seperti apa pun mereka pasti—cepat atau lambat—akan dihukum oleh Allah. Satu-satunya cara untuk terlepas dari lingkaran perbudakan dosa ini hanyalah dengan Tuhan sendiri yang memimpin mereka keluar. Dan jelas itulah yang hendak dilakukan oleh Allah.
Melalui ulasan Kitab Mikha ini, sekarang kita bisa melihat dan merefleksikan kebesaran kasih setia Tuhan di dalam kehidupan kita sebagai umat Tuhan. Kita harus pertama-tama sadar, bahwa bukan spesifik orang Israel saja yang dimaksudkan di sini, tetapi juga setiap umat Tuhan.
Dosa telah menjadi akar permasalahan yang real dalam kehidupan kerohanian kita di hadapan Tuhan. Kita melakukan dosa setiap harinya, baik itu yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Lebih berbahayanya lagi, kita melakukannya dengan konfirmasi diri kita, dengan kata lain kita “senang” melakukannya. Kecemaran ini telah membuat relasi kita dengan Tuhan menjadi tidak baik. Sebab Tuhan adalah Tuhan yang suci, Ia membenci dosa kita. Kalau kita mau jujur, sedikit pun tidak ada yang baik dari kita di mata Tuhan. Sedari awal, kita hanyalah orang-orang yang melawan Tuhan setiap harinya, secara natur kita sudah berdosa, dan akan tetap melakukan dosa walaupun firman Tuhan telah memperingatkan kita berulang kali. Upahnya sudah jelas: binasa. Hal ini betul-betul harus kita sadari.
Tetapi walaupun demikian, Tuhan masih menyatakan kasih setia-Nya kepada kita. Tuhan tetap memberikan firman-Nya dan keselamatan-Nya kepada kita, orang-orang yang tidak layak menerimanya. Demikianlah begitu berharganya anugerah Tuhan atas kita, karena kita bukanlah orang yang layak untuk menerimanya. Allah juga bukanlah Allah yang sewenang-wenang dan bisa sewaktu-waktu lupa kepada janji-Nya, tetapi Ia akan senantiasa setia terhadap perjanjian-Nya dengan keturunan Abraham, yakni kita yang telah diampuni melalui penebusan Yesus Kristus.
Sebagai umat Tuhan yang telah menerima pengampunan dan kelepasan dari perbudakan dosa, sudah seharusnya dalam hidup kita ada pertobatan. Bertobat bukan karena takut Tuhan akan membalaskan kita dengan hukuman, tetapi sebagai suatu ucapan syukur kepada Tuhan. Kita bertobat dan mengucap syukur melalui hidup yang takut akan Dia, mengerjakan firman-Nya, tidak lagi terus hidup di dalam dosa, dan mempersembahkan hidup kita menjadi persembahan yang hidup, suci, dan berkenan kepada-Nya. Pertobatan kita mungkin belum bisa sempurna, sehingga harus terus berperang setiap harinya dengan pimpinan Roh Kudus. Namun, kita bisa mengingat janji kemenangan yang Tuhan nyatakan dalam Kitab Mikha ini, kita menunggu kedatangan Raja kita, Yesus Kristus, yang kedua kalinya. Karena dengan demikian nama Tuhan boleh dipermuliakan melalui hidup kita masing-masing.
Kiranya doa Nabi Mikha ini, juga menjadi doa dan pujian yang keluar dari mulut kita: “Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia?” (Mi. 7:18).
Edwin Tjokro
Pemuda MRII Berlin