, ,

Ecclesia Reformata Semper Reformanda: Great! But Don’t Forget Secundum Verbum Dei

Bulan ini kita sampai kepada sejarah Gereja masa post-reformation. Post-reformation merupakan suatu jenjang waktu yang biasa dipakai untuk menjelaskan periode yang dimulai setelah zaman Reformasi yang kira-kira berhenti setelah Theodore Beza (penerus John Calvin) mati sampai kepada Gerakan Reformed Injili pada hari ini. Salah satu jasa terbesar yang dikontribusikan oleh para Reformator ke dalam gereja Kristen secara umum adalah mengembalikan posisi Alkitab pada tempat yang seharusnya.

Reformasi dimulai dengan semangat “ad fontes”. Semangat “ad fontes” ini didapatkan dari suatu gerakan humanisme yang berkembang pesat pada zaman Luther. Gerakan humanisme ini tidak boleh kita mengerti secara modern, di mana arti kata humanisme berarti gerakan yang berpusat seluruhnya kepada manusia dan keperluannya, baik secara jasmani maupun emosi. Gerakan humanisme yang kita kenal sekarang merupakan bagian dari sekularisasi. Humanisme pada abad ke-15 hingga ke-16 merupakan sebuah gerakan yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Desidirus Erasmus. Gerakan ini mementingkan bahwa dalam seluruh hal dan pengejaran akademik, kita harus kembali kepada sumbernya yang paling awal. Misalnya gerakan ini mengatakan bahwa jikalau kita ingin mengerti apa yang dimaksud di dalam teks Alkitab, kita tidak bisa mengerti secara in-depth apa yang dimaksud oleh Alkitab jikalau kita tidak mengerti apa yang tertulis di dalam teks aslinya, yaitu bahasa Ibrani untuk Perjanjian Lama dan bahasa Yunani untuk Perjanjian Baru. Maka di dalam zaman itu, perkembangan pembelajaran bahasa menjadi sangat pesat, khususnya Ibrani, Yunani, dan Latin. Kemudian pada saat itu juga ditentukan bahwa bahasa standar yang ditentukan untuk semua hal yang berhubungan dengan akademis adalah bahasa Latin.

Reformator John Calvin diharapkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang pengacara yang handal. Calvin muda yang masih tidak tahu apa yang ingin ia lakukan di dalam hidup ini kemudian hanya mengikuti apa yang ayahnya inginkan. Calvin akhirnya menjadi seorang pengacara yang di dalam zamannya sangat bergengsi. Sebelum Calvin mulai berkomitmen di dalam penulisan buku-buku theologinya, dia menuliskan sebuah commentary dari sebuah buku yang berjudul “de Clementia” oleh Seneca. Buku yang ditulis Calvin mengenai “de Clementia” ini kemudian menjadi text book bagi semua perguruan tinggi yang mengajar hukum. Dengan membawa spirit ini, demikianlah Calvin mendalami theologi dengan spirit “ad fontes”. Calvin mendasarkan seluruh pergulatannya untuk mengerti hidup ini berdasarkan Alkitab. Calvin, meskipun di dalam seluruh Institutes of Christian Religion-nya mengutip banyak sekali Bapa-bapa Gereja yang mendahuluinya, namun kita dapat melihat bahwa kutipan Alkitab dia jauh lebih banyak dari kutipannya terhadap tulisan-tulisan orang lain. Calvin mempunyai pandangan yang sangat tinggi tentang Alkitab. Bagi Calvin, apa yang Alkitab nyatakan merupakan poros dari kehidupan orang Kristen, maka Magnum Opus dari Calvin mengikuti pola yang diberikan Alkitab, banyak sekali kutipan Alkitab yang dipakainya.

Pada edisi pertama dari Institutes of Christian Religion, dia menuliskan, “Finally, the book is put in the correct sequence of presentation.” Dia memulai dengan penciptaan, bagaimana Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupa-Nya. Calvin mempunyai pandangan yang sangat tinggi terhadap manusia. Calvin melihat bahwa manusia pada hakekatnya adalah baik, tetapi manusia jatuh ke dalam dosa, sehingga menjadi rusak, kemudian di bukunya yang kedua dia menjelaskan bahwa Kristus datang ke dalam dunia bukan untuk membuat ulang kembali manusia, tetapi datang untuk merestorasi manusia yang telah dirusak oleh dosa ini. Calvin menyebutkan bahwa buku ini (Institutes of Christian Religion) merupakan “the sum total of Christian piety” sehingga dia tidak membuat dikotomi antara doktrin dan praktik, orthodoxy dan orthopraxy (correct teaching and correct practice). Pola indah yang muncul dalam Reformasi ini kemudian kembali dipungut oleh penerus Calvin khususnya oleh negara Belanda dari Nadere Reformatie sampai kepada Gereformered Kerken yang dipimpin oleh Abraham Kuyper yang akan kita lihat di dalam edisi kali ini.

Nadere Reformatie
Nadere Reformatie atau yang biasa dikenal di kalangan akademis di Barat sebagai “Second Dutch Reformation” atau “Dutch Second Reformation”. Kata “nadere” dalam bahasa Belanda sendiri ini berarti “lebih dekat”, “lebih benar” maka di dalam bahasa Inggris terkadang disebut “nearer Reformation” tetapi karena tidak dapat diterjemahkan dengan secara lebih tepat lagi menggunakan satu kata, maka biasa disebut dengan “dutch second reformation” atau juga terkadang disebut “further reformation”. Belanda menghasilkan banyak tokoh-tokoh besar di dalam doktrin pada masa post-reformation ini. Beberapa orang yang kita kenal adalah G.C. Berkouwer, Herman Bavinck, J.H. Bavinck, Abraham Kuyper, dan beberapa orang lainnya.

Alasan mengapa Reformasi ini muncul adalah (selain dari bagian Gereja yang terus mendekati kebenaran) karena juga para Reformator dari gerakan “Nadere Reformatie” ini melihat tidak adanya iman yang hidup di dalam kehidupan orang-orang Kristen pada zaman mereka.[1] Selalu dapat kita lihat bahwa di dalam Reformasi, para Reformator bukan ingin mengubah tatanan gereja pada umumnya, tetapi pemisahan diri dari gereja yang sudah ada pada awalnya merupakan konsekuensi yang muncul karena adanya perbedaan-perbedaan fundamental yang muncul dan tidak dapat diselesaikan. Jika kita perhatikan reformasi selalu terjadi karena menyangkut firman Allah. Gerakan ini juga muncul secara kontras terhadap German Pietism yang tidak lagi mementingkan doktrin dan hanya menekankan kehidupan yang saleh. Nadere Reformatie dan gerakan lain seperti Puritanism justru ingin menunjukkan bahwa iman itu harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya untuk dipercayai saja, tetapi juga dilakukan. Tidak mungkin seseorang mempunyai doktrin yang benar tetapi di dalam kehidupannya tidak terlihat apa yang dia imani. Karena kepedulian mereka terhadap iman dan praktiknya, penulis-penulis pada zaman ini selalu memberikan bukti-bukti dari Alkitab ketika mereka membuat point mereka. Hal ini menjadi cara penulisan yang sangat umum dan menariknya hal ini sudah jarang kita temui pada hari ini. Mungkin para penulis tahu ayat yang mendukung setiap dari kalimat mereka, tetapi terkadang kita yang membaca tidak lagi memperhatikan ayat yang mendasari pemikiran dari karya yang kita baca. Para penulis di zaman ini (abad ke-16 dan ke-17), yang khususnya bergelut dengan masalah iman yang tercemin dari perbuatan kita sehari-hari, bertujuan bukan untuk menuntut para pembaca mereka untuk berhenti di buku mereka, tetapi melalui ayat-ayat yang diberikan untuk mendukung pernyataan mereka, mereka mengajak para pembaca untuk menggalinya sendiri dari Alkitab. J. C Ryle menggambarkannya dengan tepat, dia mengatakan begini ,”Let your Christianity be so unmistakeable and your walk so straightforward, that all who see you may have no doubt whose you are and whom you serve.”

Gereformeerde Kerken
Nadere Reformatie tidak bertujuan memecahkan gereja secara institusi, namun kemudian hal tersebut sulit terelakkan karena ada hal essensial yang tidak dapat diselesaikan. Christian Reformed Churches yang merupakan sinode terbesar di Belanda saat itu berpendapat bahwa kisah kejatuhan Adam dan Hawa hanya merupakan suatu alegori – bukan fakta sejarah. Abraham Kuyper mengecam pendapat tersebut dan berpendapat bahwa penafsiran demikian adalah penafsiran Alkitab yang liberal. Karena pembicaraan/perdebatan di dalam Christian Reformed Churches tidak mencapai kesepakatan, Abraham Kuyper kemudian memisahkan diri dan membentuk Gereformeerde Kerken in Nederland (vrijgemaakt) yang artinya “Reformed Churches in Netherlands (Liberated)”. Kuyper ingin membebaskan gereja dari liberalisme yang melanda Belanda akibat pengaruh dari Tübingen dan Old Princeton Theology. Gerakan Liberalisme ini menurut Kuyper mencoba untuk menyerang Alkitab yang merupakan standar dan otoritas di dalam kehidupan orang Kristen. Kuyper kemudian mencoba untuk menunjukkan relevansi Alkitab di dalam setiap bidang kehidupan dengan memberikan “Stone Lectures” yang terkenal di beberapa universitas terkemuka sebagai counter-movement effort untuk menangkis serangan liberalisme dalam gereja.

Hear them out Presbyopics!!
Kata presbyopia berasal dari kata-kata Yunani “presby” yang berarti “elder” dan “opy” yang berarti “mata”. Presbyopia adalah suatu sindrom yang membuat mata menjadi kabur dan kehilangan fokus. Di dalam sejarah gereja kita terus melihat suatu pola dan kenyataan bahwa kebangunan rohani (khususnya dalam konteks reformasi) tidak selalu muncul dalam grafik yang terus naik. Ambil sejarah Puritan sebagai contoh, warisan perjuangan mereka bertahan tidak lebih dari 150 tahun. Kemerosotan rohani ini baru dibangunkan kembali oleh Jonathan Edwards pada abad selanjutnya yang kita kenal sebagai the Great Revival. Mengapa bisa pudar? Salah satu hal yang menjadi perhatian para Reformator di masa tua mereka maupun setelah mereka masuk dalam masa tua adalah bahwa mereka takut penerus mereka akan kehilangan fokus untuk apa yang harus dikerjakan di dalam masa mereka. Generasi yang tidak pernah menyadari kesalahan mereka tidak akan pernah mengerti mengapa pendahulu mereka memperjuangkan hal tersebut, generasi yang tidak pernah diperlihatkan apa yang seharusnya menjadi fokus mereka tidak akan pernah bisa mengerti dan mau mempertahankan apa yang sebelumnya sudah diperjuangkan pendahulu mereka. Kita yang sekarang tergabung di dalam Gereja Reformed Injili Indonesia merupakan bagian dari gerakan yang lebih besar – Gerakan Reformed Injili – mungkin sebagian besar bukan lagi generasi pertama, apakah kita masih melihat mengapa Pdt. Dr. Stephen Tong memperjuangkan Gerakan Reformed Injili? Ataukah kita sekarang tergabung dalam gereja yang menjadi bagian dari Gerakan Reformed Injili karena fenomena kemapanan gereja ini?

Sejarah dunia selalu menunjukkan satu fenomena di mana setelah masa kejayaan suatu negara sering kali diikuti dengan kemerosotan. Sama halnya dengan sejarah gereja, setelah orang Kristen tidak lagi dianiaya di bawah kaisar Konstantin, gereja mulai melambat pertumbuhannya dan masuk di dalam masa kegelapan yang kita kenal sebagai Medieval Ages. Kemudian Tuhan di dalam anugerah-Nya memberikan kepada gereja suatu kebangunan berupa reformasi untuk menyaring semua ketidakmurnian di dalam gereja. Kita juga dapat melihat pola ini di dalam Alkitab, Gideon memilih pasukannya dalam jumlah yang besar, tetapi tidak sesuai dengan kehendak Allah, maka disaring oleh Allah sendiri dan remnant yang berkenan kepada Allah inilah yang akhirnya membawa kemenangan bagi bangsa Israel. Karena Tuhan berfirman, Gideon taat, Gideon me”reformasi” tatanan pasukannya. Kita harus sadar bahwa kita hidup di zaman di mana Tuhan tidak lagi langsung berbicara kepada kita, dan ketika kita harus mempertanggungjawabkan iman kita di hadapan Tuhan dan terhadap diri kita sendiri, kita harus berpaut kepada satu-satunya sarana yang Allah berikan kepada kita, yaitu Verbum Dei – firman yang Allah wahyukan sendiri . Inilah yang menjadi standar bagi kita baik di dalam kehidupan pribadi, maupun untuk gereja secara komunitas.

Refleksi
Setiap kali kita merayakan Hari Reformasi, apa yang melintas dalam benak kita? Apakah hanya sekadar bahwa peristiwa reformasi pernah terjadi? Ingatkah kita bahwa Tuhan yang menggerakkan Luther dengan kemarahannya yang kudus untuk menempelkan 95 thesis di Wittenberg juga dapat berbuat hal yang sama sekali lagi di zaman ini? Ingatan tentang reformasi merupakan suatu ingatan yang sangat mulia namun kita tidak boleh terjebak dalam kebanggaan akan masa lalu dan berhenti di sana. Martyn D. Lloyd Jones pernah bercerita tentang bagaimana ia bertemu dengan seseorang yang dalam keadaan depresi kemudian meninggalkan seluruh pelayanannya di dalam gereja. Ternyata orang itu sebelumnya adalah seorang anggota angkatan laut dan mengalami peristiwa kapalnya tenggelam. Di dalam kondisi depresi ini, berkali-kali ia ditanya tentang kondisinya dan berkali-kali juga ceritanya berhenti di “kemudian kapal selam kami tenggelam ke dasar laut.”[2] Hal yang sama juga terhadap kita, kita tidak boleh hanya berhenti di satu peristiwa reformasi saja. Kita harus terus melanjutkan sejarah gereja Tuhan seturut kehendak-Nya. Kita harus mencari tahu apa yang Tuhan inginkan dari kita di zaman ini dengan cara mengenal Allah dengan lebih dalam lagi melalui firman-Nya – Alkitab. Melalui pengenalan yang benar akan Dia, kita akan terus bertumbuh menjadi orang-orang yang semakin peka terhadap kehendak Allah. Dengan demikianlah, hidup kita dituntut untuk berubah seturut dengan apa yang diperintahkan oleh Allah di dalam Alkitab – hidup yang senantiasa direformasikan seturut perintah-Nya dalam firman-Nya.

Maka dengan ini, sekiranya kita selalu ingat akan slogan yang mulia ini, namun jangan hanya mengingat sepotong, tetapi seluruhnya. “Ecclesia Reformata Semper Reformanda, Secundum Verbum Dei.” The Church always Re-reforming according to the Word of the Living God.

Ryan Putra
Pemuda FIRES

Endnotes:
[1] Godefridus Udemans,The Practice of Faith, Hope and Love (Reformation Heritage Books, 2012) pg. vii
[2] Martyn D. Lloyd Jones, Setting Our Affections Upon Glory: Nine Sermons on The Gospel and the Church, pp. 73-76 (Crossway Books, 2013).