Eskatologi, khususnya dalam tradisi gereja kita merupakan salah satu topik yang teranaktirikan. Beberapa hal bisa kita usulkan berkenaan dengan jarangnya tema ini diangkat. Pertama, dalam dunia yang masih sangat diwarnai modernisme dalam berbagai bentuknya ini, eskatologi merupakan satu topik yang dianggap memiliki tingkat spekulasi yang terlalu tinggi; bicara eskatologi sangat diwarnai dengan ketidakpastian. Kedua, pandangan eskatologi yang khas futuristik[1] membuat tema ini seolah kurang relevan. Ketiga, adanya alasan yang sedikit menggelikan berkenaan dengan John Calvin yang dalam hidupnya belum sempat menulis tafsiran kitab Wahyu, sehingga kita orang-orang yang mengaku berada dalam tradisi Calvinis merasa cukup sah untuk mengabaikan topik ini. Tema-tema yang berkenaan dengan salib, Injil, dan mandat budaya menghiasi hampir keseluruhan aktivitas gereja kita; tentu memang hal itu adalah tema yang sangat penting dalam Alkitab. Tema-tema besar yang selama ini kita hidupi telah dirumuskan dengan sangat ketat dalam Pengakuan Iman Rasuli. Namun Pengakuan Iman Rasuli bukanlah dirancang sebagai sebuah silabus pengajaran, sebaliknya pengakuan tersebut disusun untuk berhadapan dengan berbagai pertentangan doktrinal yang mungkin muncul pada waktu itu karena dianggap kontroversial. Beberapa hal kontroversial yang mungkin terjadi waktu itu bisa kita daftarkan seperti, kelahiran dari anak dara, kebangkitan, kenaikan ke sorga, dan sebagainya. Sekali lagi pengakuan tersebut bukanlah silabus pengajaran. Dalam Pengakuan Iman Rasuli kita mendapatkan Yesus lahir, menderita, mati, dan bangkit; namun jika kita sudi meluangkan waktu untuk membaca kitab-kitab Injil maka kita melihat bahwa sebelum “menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus” Yesus dicatat melakukan banyak sekali hal yang sama sekali tidak dapat kita abaikan. Di sini klaim ortodoks yang bergema kencang bahwa Yesus adalah Kristus, adalah Tuhan, menuntut arti yang lebih limpah lagi. Kita tidak bisa berhenti pada Injil yang isinya semata adalah Pembenaran melalui iman karena karya Yesus hadir dalam konteks tertentu. Kedatangan dan karya Yesus tidak terlepas dari pengharapan eskatologis Perjanjian Lama, meski bukan tanpa muatan baru. Dalam artikel ringkas ini saya ingin melihat sedikit dari latar belakang eskatologi Perjanjian Lama serta sedikit melihat versi Perjanjian Baru (khususnya Injil Matius) dan khususnya bagaimana bagian tentang akhir zaman ini menjadi tema yang menguatkan umat Kristen di sekitar abad awal Masehi.
Geerhardus Vos menyatakan bahwa eskatologi Perjanjian Baru melekat pada bentuknya dalam Perjanjian Lama. Dan dalam pandangan Yudaisme
… there existed in a time two distinct types of eschatological outlook. There was ancient national hope which revolved around of Israel. Alongside of it existed a trancendental form of eschatology with cosmical perspective, which had in view the destiny of the universe and of the human race.[2]
Bagian yang pertama mudah sekali kita dapati khususnya sejak era raja-raja hingga penghancuran Yerusalem, pembuangan hingga masa setelah pembuangan yang membentuk berbagai pengharapan eskatologis nasionalis Yahudi. Sayangnya hal-hal tersebut hampir terabaikan ketika kita orang-orang Injili saat ini membaca lembar-lembar Perjanjian Baru. Injil, kita kurung dalam beberapa kata sakti seperti dosa, darah,dan sorga. Karya Yesus kita pendekkan pada karya “pembenaran melalui iman” dan halaman-halaman keempat Injil kita jadikan semacam teladan moral dari tindakan Yesus Kristus. Saya percaya bagian narasi panjang karya Yesus Kristus dalam keempat Injil bukanlah terkhususkan berbicara berkenaan dengan teladan moral; namun sebaliknya apa yang dikerjakan Yesus Kristus memenuhi apa yang menjadi pengharapan umat Yahudi Perjanjian Lama. Khususnya Injil Matius, yang dipercayai sebagai Injil yang ditulis bagi orang-orang Yahudi atau setidaknya berada dalam latar belakang serta pengharapan Yahudi yang sangat panjang dan memilukan. Mazmur 137 menggambarkan dengan sangat sempurna ratap perih pembuangan di Babel, ketika bangsa Yahudi diminta untuk menyanyikan nyanyian bagi Allah di negeri asing, di hadapan musuh. Ayat 7-9 yang biasa kita baca dalam kacamata humanistis modern abad ini sering sangat membingungkan kita. Namun inilah harapan eskatologis Israel, yaitu pemulihan Yerusalem, penaklukan musuh-musuh mereka.
Sebagian Israel yang lelah dengan pengharapan ini bisa bergabung dengan penafsiran Josephus bahwa Allah YHWH telah lelah dengan Israel, Dia telah meninggalkan mereka dan kini berpihak kepada musuh; namun demikian masih ada kaum Yahudi yang terus berani berharap dipulihkannya Israel. Beberapa penafsir Mazmur melihat bahwa Mazmur 51:21 adalah suatu yang ditambahkan pada masa yang sangat belakangan, khususnya era pembuangan. Demikian kita justru melihat bahwa dalam kanon Ibrani, orang-orang Yahudi mengaitkan dosa dan pengampunan oleh Allah (seperti yang dialami oleh Daud) terkait dengan pemulihan Israel (tembok-tembok Yerusalem). Di sini kita melihat hal yang sangat menarik; Daud adalah raja yang diperkenan Allah, janji Allah ada pada keturunan Daud (2Sam. 7:12-16); dan pengampunan Allah terhadap Daud ternyata dikaitkan dengan sangat erat dengan pemulihan Israel. Sedemikian halnya Daud yang telah diremukkan hatinya karena dosa yang berat namun dalam belas kasihan Allah yang besar dipulihkan kembali (tone utama Mazmur 51), demikian pula umat Israel, meski dosa telah membawa mereka dalam kondisi terhukum yang sangat berat, namun mereka percaya suatu hari akan datang harinya di mana tembok Yerusalem dibangun kembali, restorasi besar akan terjadi.
Dalam pandangan seperti inilah Judas Makabeus pada tanggal 25 Desember 164 SM masuk ke Yerusalem dengan seruan “Hosana” serta lambaian palem yang mengiringinya; di mana aksi tersebut diikuti dengan tindakan sangat berani membersihkan Bait Suci (yang telah dinajiskan oleh Antiokhus IV Epifanes). Ada hari raya baru (Hanukah) yang dirayakan untuk memperingati peristiwa yang menandai pembebasan bagi kaum Yahudi dari penguasa-penguasa kafir yang menjajah mereka (1 Makabe 4:41-61)[3]. Dalam pandangan seperti ini kita tidak kesulitan untuk melihat betapa berita datangnya Kerajaan Allah yang disuarakan oleh Yesus Kristus menjadi headline news[4]. Mesias diharapkan datang dengan kegagahan kaum Makabe, namun dalam kelanggengan seperti yang dijanjikan Allah dalam 2 Samuel 7:12, Mesias yang menghadirkan Kerajaan Allah di tengah imperialisme kafir macam Romawi. Dalam nuansa sedemikianlah Yohanes Pembaptis berseru bahwa Kerajaan Allah tersebut sudah dekat, dan dikonfirmasikan oleh Yesus bahwa Kerajaan itu sudah datang, sudah datang kepadamu (Mat. 12:28). Yesus datang bukan sekadar membawa sebuah doktrin “pembenaran oleh iman” untuk membawa kita orang-orang Kristen segala abad pergi ke sorga. Yesus datang dalam konteks pengharapan Mesianis yang polemis. Tidak mengherankan bahwa yang dilakukan oleh kekaisaran Roma adalah hal yang politis dan polemis juga. Mereka menyalibkan Yesus karena Dia adalah Raja orang Yahudi (Yoh. 19:19). Inilah provokasi yang diberikan oleh orang banyak yang ingin menyingkirkan Yesus, kami tak punya raja selain kaisar (Yoh. 19:15). Juga kita mengingat kalimat intimidatif kalau kau bebaskan berarti kau bukan sahabat kaisar (Yoh. 19:12). Meski tidak datang dengan pedang dan agenda militer seperti yang diharapkan orang-orang Yahudi, Yesus tidak datang dengan melepas konteks pengharapan Perjanjian Lama, pengharapan nasional Israel. Pengharapan yang telah lama dijanjikan Allah kepada Abraham, yaitu dari keturunanmu akan lahir banyak bangsa dan melaluimu seluruh bangsa akan terberkati. Kondisi mereka saat itu benar-benar jauh dari kemampuan memberkati bangsa-bangsa; alih-alih menjadi berkat bagi banyak bangsa, kini keadaan hidup mereka sendiri pun akan sangat dipengaruhi oleh siapa yang menjadi penguasa Romawi. Inilah teriakan keras eskatologi Perjanjian Lama, yaitu tindakan Allah dalam Mesias yang akan memberikan restorasi bagi Israel. Inilah juga yang banyak diteriakkan dalam banyak bagian Perjanjian Baru, termasuk keempat penulis Injil.
Singkatnya, proklamasi Injil berada di sini, yaitu bahwa eskatologi mereka kini telah mencapai penggenapannya di dalam dan melalui Yesus Kristus. Kabar baik, seperti yang ditulis dalam Yesaya 52:7 adalah berita baik bagi Sion, bahwa Allahmu adalah Raja. Rajanya bukan Nebukadnezar atau penguasa Babel yang lain, bukan penguasa Media-Persia, bukan juga kaisar Romawi; Injil adalah perkataan kepada Sion: Allahmu itu Raja. Allah telah menjadi Raja di Sion, sekali lagi di dalam dan melalui Yesus Kristus. Kerajaan yang dinyatakan dengan pengampunan, dengan menjalani mil kedua bersama orang yang menuntut untuk berjalan satu mil. Singkatnya, kerajaan yang menyatakan kemenangan yaitu perkataan yes to God’s will, suatu hal yang sangat jelas kita lihat dalam doa Tuhan Yesus di taman Getsemani. Namun sayangnya, bentuk dan kriteria yang dalam beberapa hal yang sangat radikal berbeda dari kriteria Yudaisme membuat kehadiran nyata Kerajaan Allah, suara Injil yang sejati tersebut sangat sulit diterima. Khususnya karena tidak membawa suatu perubahan signifikan dalam keadaan nasional politik global di mana Israel dipulihkan dan menjadi pusat. Di sini kita melihat suatu hal yang menyedihkan: pengharapan eskatologis yang telah sangat lama diharapkan, yang kini telah datang dan bisa mereka lihat, raba, dan dengar dalam dan melalui Yesus Kristus itu gagal mereka sadari.
Selanjutnya secara singkat kita akan melihat beberapa bagian dalam Injil Matius berkaitan dengan khotbah-khotbah yang sering dikreditkan dengan akhir zaman (eskatologi). Diskursus kelima dalam Injil Matius (yang sering dikenal dengan the Olivet discourse) adalah satu bagian yang cukup panjang berbicara berkenaan dengan penghancuran Yerusalem, penghakiman, serta kedatangan kedua Sang Mesias. Pada saat ini pembicaraan mengenai eskatologi yang banyak beredar (setidaknya hal ini saya jumpai dalam percakapan dengan beberapa orang Kristen di Indonesia) sering kali berputar pada hal-hal menggelikan (atau terkadang menjengkelkan) berkenaan dengan waktu terjadinya atau tanda-tanda ajaib berkenaan dengan kedatangan kedua. Berkenaan dengan diskursus ini Hagner menyatakan:
Most important, the discourse does not attempt to provide a timetable for the end time. Information concerning the time of the parousia is conspicuously absent, denied even to Matthew’s central figure, the Son of Man himself (24:36). Indeed, the thrust of the material is in quite another direction. The discourse does not intend to inflame the expectation of an imminent end, or even a predictable end. If anything, it cools such ideas. Tribulations that might have been thought to indicate an imminent end are described as “but the beginning of the birth pangs” (24:8). All that is assured in the discourse is the fact of the end. The time is deliberately left indeterminate, thus focusing on the need to be ready at any time.[5]
Pada umumnya pendapat bahwa Injil Matius ditulis oleh seorang Yahudi bagi komunitas Yahudi Kristen cukup disetujui. Yahudi Kristen memiliki tantangan yang sangat khas pada waktu itu. Khususnya karena worldview sebagai Yahudi dengan segala pengharapan komunitas Yahudi yang cukup kuat (dan dalam beberapa bagian cukup homogen), maka menjadi Kristen (yang pada waktu itu sama sekali bukan arus utama) berarti secara langsung mereka akan berhadapan dengan konflik-konflik baik dari dalam diri mereka sendiri (sebagai orang yang dibesarkan dalam komunitas Yahudi) maupun dari masyarakat Yahudi yang non-Kristen. Karena itu saya berada dalam tingkat persetujuan yang tinggi dengan tulisan Guthrie berkaitan dengan karakteristik Injil Matius yang menekankan beberapa hal, seperti minat terhadap urusan Mesianis (di mana Yesuslah Mesias yang dijanjikan itu), penekanan kepada Gereja (dengan otoritas kunci kerajaan Sorga), serta sikap yang cukup tajam terhadap Yudaisme pada waktu itu. Hal tersebut akan memberi masukan bagi komunitas Matius pada waktu itu bahwa kekristenan mereka adalah benar, kekristenan bukanlah sekte bidat yang percaya pada seorang mati yang mayatnya dicuri dan menyebarkan berita bohong serta fantasi mistik berkenaan dengan kebangkitan. Guthrie menuliskan, “However Jewish many of Matthew’s emphases are, his main target is to show Christianity as much more comprehensive than Judaism.”[6][7]
Saya percaya ini merupakan kacamata yang cukup baik untuk kita pakai dalam membaca diskursus kelima Injil ini. Salah satu tantangan utama komunitas Kristen mula-mula berada pada pengakuan bahwa “Yesus benar-benar yang dijanjikan sebagai Mesias dalam Perjanjian Lama”. Kedatangan Mesias yang pertama (pada waktu itu) merupakan suatu masalah yang sangat pelik; banyak yang gagal melihat dan menolak hal itu (seperti yang sedikit telah kita lihat berkaitan dengan pengharapan eskatologis Perjanjian Lama di atas). Dalam berbagai diskursus akhir zaman dalam Injil Matius seperti yang dijelaskan oleh Hagner, penekanan utamanya adalah pada kesiapan, kesadaran, serta kepastian tentang kedatangan kedua Yesus, Sang Anak Manusia. Hal ini bisa menguatkan mereka bahwa Yesus adalah benar-benar Sang Anak Manusia, meski pada waktu itu banyak yang tidak sadar. Maka, meski komunitas Kristen mereka saat itu mungkin hanya bagian minor dalam komunitas Yahudi dengan pengharapan Mesianisnya, mereka tidak perlu kecil hati sebab Mesias mereka adalah Mesias yang benar dan yang pasti akan datang kembali.
Saya ingin menegaskan bahwa tulisan singkat ini sama sekali tidak menolak bahwa diskursus eskatologi dalam Injil Matius berkaitan dengan kedatangan Yesus yang kedua kali. Namun, yang saya ingin garis bawahi adalah bahwa hal tersebut semestinya membuat kita: pertama, bersyukur dan dikuatkan bahwa komunitas Kristen kita, yaitu komunitas Gereja, adalah sebuah komunitas yang telah menghidupi pengharapan dan sukacita yang benar dalam Mesias yang benar; dan kedua, terus bersiap dalam penantian akan dipulihkannya segala sesuatu. Eskatologi semestinya memperlengkapi, membentuk, dan membentuk ulang jati diri serta pengharapan Gereja Tuhan sebagai umat Mesianis yang telah melihat penggenapan dalam kedatangan-Nya yang pertama dan janji-Nya akan kedatangan kedua. Di tengah riuhnya dunia kita saat ini yang menawarkan ribuan komunitas alternatif – dari komunitas hobi, olahraga, hingga komunitas keagamaan – kita bisa secure dalam komunitas Mesianis yang benar. Kepastian tersebut diwarnai dengan kerinduan kita akan kedatangan momen pemulihan tersebut di mana secara sempurna Allah memulihkan segala tatanan ciptaan; untuk berkata “Ya” terhadap segala kehendak Allah. Di satu sisi dalam ratapan akan penyelewengan yang masih kita jumpai dengan jelas di dunia kita, dan di sisi yang lain dalam suka dan pengharapan penuh kita pun berseru bersama dengan seluruh ciptaan, “Ya datanglah segera Tuhan Yesus, sesuai janji-Mu, Amin!!!” GOD be praised!!!
Ev. Eko Aria
Pembina Pemuda GRII Kelapa Gading
Endnotes:
[1] Saya memakai kata ini dalam arti yang serupa dengan pandangan Futuris dalam pembacaan diskursus eskatologi baik dalam kitab Wahyu ataupun Injil Matius.
[2] Vos, Geerhadus. Redemptive History and Biblical Interpretation. Dalam artikel Eschatology of the New Testament.
[3] Makabe memang tidak masuk dalam kanon Alkitab kita, namun banyak memberikan data berharga berkaitan dengan akun-akun historis pra-inkarnasi Yesus Kristus. Diambil dari Craig G. Bartholomew and Michael Goheen. The Drama of Scripture – Finding Our Place in the Biblical Story.
[4] Herman Ridderbos dalam Coming of the Kingdom menyatakan bahwa Kerajaan Allah bukanlah tema baru yang diusung oleh Yesus ataupun Yohanes Pembaptis; namun yang mengejutkan dalam pemberitaan tentang Kerajaan Allah dalam kitab Injil kita adalah bahwa Kerajaan itu sudah dekat, bahkan sudah datang.
[5] Hagner, D. A. (2002). Vol. 33B: Word Biblical Commentary : Matthew 14-28. Word Biblical Commentary (684). Dallas: Word, Incorporated.
[6] G. Hebert (SJT 14 (1961), pp. 403–413) considers that the author wrote for ‘the Great Church, the Church Catholic’. He suggests that it was written after the fall of Jerusalem to preserve for a predominantly Gentile church the teaching which Jerusalem had preserved.
[7] Guthrie, D. (1996, c1990). New Testament introduction. Series taken from jacket. (4th rev. ed.). The master reference collection (33). Downers Grove, Ill.: Inter-Varsity Press.