Pada sebuah pagi yang cerah tiba-tiba saya merasa “eneg”, bukan karena masuk angin tentunya, tapi karena pagi itu baru menyadari lagi bahwa sering kali saya tidak mengerti dengan jelas dan tepat setiap istilah yang sepertinya sudah biasa saya katakan. Do I know precisely what I say? Do I really mean it? Dalam sebuah komunitas yang sering kali dilimpahi (atau “dibanjiri”?) dengan pemahaman Alkitab beserta segudang vocabularies-nya, kadang terasa jengah ketika telinga saya mendengar perkataan bibir saya sendiri. Sering kali kalimat-kalimat terluncur tanpa pengertian yang akurat akan istilah tersebut. Akibatnya, statement-statement yang agung dan besar itu tidak ubahnya sebuah pride yang dibungkus dengan ketidakhati-hatian pengertian di dalamnya. Seperti sebuah bungkus kado yang sangat sophisticated dengan barang yang tidak bernilai di dalamnya. Fakta ini sangat menyedihkan dan ini terus menjadi pencarian saya akan bagaimana spirit ketepatan boleh terus dikejar. Bukankah dosa itu hamartia? Meleset dari sasaran dan menandakan sebuah ketidaktepatan?
Masalah yang sama sering kali terjadi tapi dengan contoh kasus yang berbeda. Sama halnya dengan yang terjadi pada banyak orang Kristen yang tidak lagi tahu persis atau mencari tahu apa arti Gereja dalam hidupnya. Apa itu Gereja? Dan apa itu ber-Gereja? Di kota metropolitan, arti gereja mungkin sesempit sebuah gedung bangunan bergaya gothic atau dengan gaya arsitektur tempo doeloe zaman Belanda yang bentuknya menjulang tinggi ke langit atau sebuah bangunan dengan dome yang besar. Atau pada zaman sekarang ketika izin gereja semakin susah, maka gereja adalah gabungan beberapa ruko yang direnovasi dan digunakan untuk tempat ibadah/persekutuan pada hari-hari tertentu setiap minggunya. Gereja hanya berarti sebuah wadah bagi orang Kristen untuk berkumpul dan beribadah. Benarkah demikian? Sebenarnya apa sih pentingnya membahas istilah Gereja dengan terlalu rumit? Dalam hidup kita sebagai orang Kristen, yang katanya percaya Tuhan Yesus, pernahkah kita benar-benar consider apa makna Gereja dalam kehidupan kita? Atau memang pengertian kita hanya sebatas definisi-definisi di atas? Tapi jika memang demikian, maka masih ada seribu langkah lagi yang harus dikerjakan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah memutuskan bagaimana cara kita bertanya. Apakah “what is the Church” atau “who is The Church”? Kedua pertanyaan ini akan memimpin kepada dua arus jawaban yang berbeda.
Who is the Church? Or What is The Church?
Gereja adalah suatu hal yang besar, suatu keberadaan dalam dunia ini yang berkaitan langsung dengan penyataan dan perjanjian Allah. Gereja sudah berada dalam rencana kekal Allah, Gereja bukan upacara atau tradisi, Gereja adalah tubuh Kristus, umat Allah, saksi Kristus di tengah orang berdosa.[1] Definisi-definisi yang mahabesar. Gereja sebenarnya tidak dimonopoli menjadi istilah dalam Perjanjian Baru saja karena konsep Gereja sebagai umat Allah sudah ada sejak Perjanjian Lama. Kata “qahal” – to call – yang merepresentasikan jemaat/umat Israel. Dan kata “edah” – to appoint – yang merepresentasikan tiap pemimpin dalam tiap pertemuan resmi mereka maupun dalam pengaturan hidup sehari-hari.[2] Secara fisik keberadaan perkumpulan umat Allah di masa lalu bisa dilihat dengan jelas melalui sejarah umat Israel. Ketika Israel mengalami diaspora/penyebaran mereka tetap berkumpul dalam sinagoge-sinagoge. Dari pengertian ini, Gereja memiliki sense sebagai suatu perkumpulan/persekutuan orang-orang, bukan hanya satu orang single-fighter yang langsung bisa berelasi langsung kepada Allah. Lalu kumpulan bagaimanakah yang disebut Gereja? Apakah hanya sekedar kumpulan orang percaya? Tidak. Karena kalau hanya kumpulan orang percaya, maka kumpulan ini tidak harus merupakan Gereja tapi arisan Kristen.
Jadi, kumpulan orang percaya yang bagaimanakah yang dapat disebut sebagai Gereja? Gereja melandaskan dirinya pada Perjanjian Allah dengan Gereja-Nya sebagai The Covenant People of God. Dasar ini menjadi sangat penting karena jika Allah tidak membuat perjanjian dengan umat-Nya, maka tidak ada bangsa di manapun di dunia ini yang layak disebut sebagai umat Allah. Di sini dengan jelas tampak inisiatif anugerah Allah kepada umat-Nya mendahului segala sesuatu. Sehingga sejarah Gereja sampai hari ini tidak dibangun mulai dari kelahiran dan pelayanan Tuhan Yesus, atau sejak Perjamuan Terakhir dan kebangkitan-Nya, atau bahkan tidak dari turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta, tapi sudah dinyatakan sejak Perjanjian Allah kepada Abraham dan Musa.[3] Abraham menjadi titik pangkal yang kelihatan dari sebuah bangsa pilihan yaitu Israel dan Musa menjadi satu titik pangkal yang kelihatan dari Perjanjian Allah dengan umat-Nya melalui hukum-hukum yang diberikan di Gunung Sinai. Sebuah pernyataan yang jarang kita dengar dan berbeda dengan pengertian pada umumnya. Covenantal bounding with God adalah satu-satunya link antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Jika melihat fakta dalam Alkitab dari satu zaman ke zaman berikutnya, sebenarnya dapat dilihat bahwa silsilah generasi itu hanya ada dua cabang, yaitu: umat Allah dan bukan umat Allah. Terdengar seperti suatu pemisahan/pembagian yang arogan. Allah hanya memakai jalur Abraham dari ketiga anak Terah. Terah adalah satu dari sekian banyak anak Arpakhsad dan Arpakhsad adalah satu dari sekian banyak anak Sem (Kej. 11:10). Sem adalah satu dari ketiga anak Nuh. Nuh adalah satu dari banyak keturunan Lamekh (Kej. 5:28). Dari jalur Lamekh ditelusuri melalui hanya satu jalur saja akan menuju kepada Set dan Set kepada Adam (Kej. 5:3-4). Tuhan dengan sempitnya hanya memakai satu jalur dari setiap bapa-bapa leluhur yang dilahirkan untuk menurunkan rencana-Nya. Dari Adam, Allah hanya memakai jalur Set yang kemudian turun sampai Abraham dan dari Abraham turun ke Israel. Perjanjian Allah mengarah kepada didirikannya suatu umat bagi Dia.
Allah tidak terus-menerus mementingkan memakai satu orang saja untuk menggenapkan kehendak-Nya atau untuk menyatakan kebesaran-Nya, tapi Allah yang begitu besar “memerlukan” sebuah umat yang dikhususkan bagi Dia untuk menyatakan kebesaran karya dan anugerah-Nya. Dalam kuliah intensif oleh Prof. James Skillen, dikatakan bahwa “Diperlukan ribuan generasi untuk manusia bisa melihat akan kebesaran dan keagungan Allah. Begitu juga dalam penyataan janji keselamatan Allah sejak Kejadian 3:15, Allah menjabarkannya dalam sebuah umat dari zaman ke zaman. Dan bahkan sejak Perjanjian Lama, keikutsertaan menjadi umat tidak dibatasi oleh semata-mata keturunan biologis sebuah umat Israel. Ketika bangsa Israel keluar dari Mesir, ikut juga bangsa-bangsa lain (Kel. 12:43-50). Bangsa-bangsa lain bisa ikut dalam umat Allah dengan suatu tanda perjanjian dalam Perjanjian Lama, yaitu: sunat. Perjanjian Allah dengan umat-Nya terus digenapkan sampai pada puncaknya yaitu kedatangan Yesus Kristus ke dalam dunia. Perjanjian Lama menjadi sebuah persiapan bagi Perjanjian Baru.
Jika kita dari tahun 2009 melihat jauh ke belakang, maka kita akan melihat kumpulan umat percaya dari zaman ke zaman yang sekarang sedang bersama-sama menantikan penggenapan kedatangan Tuhan Yesus Kristus untuk kedua kalinya. Begitu juga ketika kita melihat ke depan, ada orang-orang yang masih akan digabungkan dalam kumpulan umat Allah ini. Di sinilah penginjilan memegang kunci yang penting. Urusan penginjilan bukan hanya dilihat dari seseorang yang diinjili itu bertobat atau tidaknya saja. Tapi ini adalah urusan apakah ia akan berada dalam kumpulan orang percaya segala zaman atau kumpulan orang tidak percaya segala zaman. Jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, maka urusan Gereja ini menjadi suatu hal yang besar. Dalam hal ini bukan soal visible church dan invisible church saja, tapi invisible believer, yaitu orang-orang di luar komunitas Gereja yang sudah dan akan menjadi orang percaya, dan invisible unbeliever yaitu orang-orang yang justru berada dalam komunitas Gereja namun ternyata bukan orang percaya. Dengan kata lain, seluruh manusia di dunia ini hanya akan terbagi menjadi dua bagian, yaitu believer dan unbeliever. Maka dengan pengertian ini dapat dilihat ada dua “kingdom” – kekuatan besar yang bertolak belakang dan tarik-menarik, namun bukan dalam arti manikaisme yang dianut oleh Agustinus muda.
Covenant dan Kingdom seperti satu mata uang yang mempunyai dua sisi.[4] Covenant menjadi dasar persekutuan karena manusia tidak ada hak dan daya apapun untuk mengikat perjanjian dengan Allah jika bukan Allah sendiri yang berinisiatif. Justru covenant ini menjadi sebuah “surat” jaminan yang telah Allah tanda tangani. Tanpa basis ini, keadaan manusia akan sangat bahaya dan implikasi lebih lanjut adalah keselamatan manusia tidak pasti adanya (1Kor. 1:9, “Allah, yang memanggil kamu pada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia.”). Dan Kingdom menjadi satu tujuan yang akan dicapai dan yang masih akan digenapkan. Kingdom menjadi suatu area eksistensi dan ekspansi umat perjanjian Allah. Maka dalam Doa Bapa Kami, Tuhan Yesus mengajarkan, “… datanglah Kerajaan-Mu, di bumi seperti di sorga…” Seperti halnya pengertian Gereja dalam arti Covenantal People of God, maka pengertian Kingdom of God pun sudah ada sejak Perjanjian Lama bahkan dari kalimat pertama dalam kitab Kejadian: “In the beginning God created… His Kingdom (the heavens and the earth)”.[5] Nuansa Covenant dan Kingdom itu diteruskan sampai kepada Perjanjian Baru ketika Tuhan Yesus memberitakan bahwa Kerajaan Allah/Kingdom of God sudah dekat dan pada Perjamuan Terakhir kembali menyatakan suatu Perjanjian Baru – The New Covenant.
What is The Church’s Life?
Dari pengertian di atas, apa itu ber-Gereja? Ya itulah… urusan kalau mau nikah, ya sebagai orang Kristen mesti nikah diberkati pendeta di gereja dan biasanya paling tidak ikut “program paket kombo pre-marital counseling” dari gereja. Lalu setelah itu kalau punya anak, ya nebeng diguyur air oleh pendeta waktu baptisan anak. Setelah anak itu agak besar, ya ikutin di paduan suara anak-anak supaya bisa mengenal musik-musik yang agung sejak kecil. Terus kalau anak ini sudah menjadi remaja dan sudah besar, didorong masuk ke persekutuan remaja atau pemuda supaya gaulnya dengan orang-orang gereja yang baik-baik agar tidak salah pergaulan dengan anak-anak yang so-called ‘bejat’ di luar sana. Dan syukur-syukur dapat anak orang gereja juga. Nah, setelah dewasa, anak itu nikah deh di gereja lagi. Begitulah kebanyakan siklus singkat hidup ber-gereja. Maka menyedihkan sekali jika cara mengerti seperti ini yang dimiliki orang Kristen. Makna Gereja akan menjadi miskin dan istilah Gereja itu tubuh Kristuskah? Umat Allahkah? Saksi Kristuskah? Akan menjadi sebuah tag saja. Sangat menyedihkan….
Jika untuk Perjanjian Baru dengan umat-Nya Yesus Kristus harus mencurahkan darah dan mati di kayu salib, maka hal perjanjian/covenant dalam Gereja Tuhan adalah suatu hal yang serius. Ber-Gereja bukan saja sekedar selembar kartu anggota terdaftar di gereja mana, tapi ini adalah urusan Anak Allah yang telah mencurahkan darah-Nya bagi umat-Nya, yaitu Gereja. Dari uraian di atas jelas sekali bahwa Gereja juga mengandung kepentingan Perjanjian Allah dengan umat-Nya, umat yang melihat kegenapan Perjanjian Penebusan yang sudah dinubuatkan Allah sejak zaman Adam dan Hawa. Umat Allah pada zaman Perjanjian Baru hingga sekarang dan akan datang adalah umat yang mengecap penggenapan secara real.
Dalam dunia yang berdosa ini, Allah sangat mengerti bahwa manusia tidak mungkin sendirian. Maka orang-orang percaya berkumpul dan sekarang menjadi satu “institusi” gereja. Pada zaman Gereja mula-mula, mereka sehati berkumpul dan harus berkumpul untuk bisa beribadah bersama-sama dan saling mendukung dan menguatkan satu dengan yang lainnya. Inilah gambaran ideal akan sebuah persekutuan orang Kristen – Gereja.
Namun bagaimanapun juga setelah beberapa waktu lamanya, tetap permasalahan dua cabang di atas belum selesai. Dalam Gereja ada yang namanya visible believer dan invisible unbeliever. Namun kadang kita mempunyai harapan yang begitu utopis akan Gereja, kita melupakan bahwa Gereja adalah kumpulan orang berdosa yang sudah ditebus. Di dalam orang tebusan pun masih ada vested sin – sisa dosa di mana tiap-tiap orang masih struggle, tidak terkecuali hamba Tuhan sekalipun. Hidup ber-Gereja harus dilandasi dengan pengertian Perjanjian yang benar bahwa semua orang dalam gereja bukan malaikat – tapi orang berdosa yang sudah masuk dalam Perjanjian dengan Allah. Karena kita berada dalam satu Perjanjian yang sama dengan Allah, maka antar kita pun berlaku Perjanjian itu. Sehingga ini juga menjadi satu landasan relationship antar sesama anggota gereja. Gereja bukan sebuah perusahaan Kristen yang terdiri dari para “petinggi” alias para bos dan rakyat jelata alias para jongos sehingga dalam gereja tidak ada yang bisa membeli kuasa atas orang lain. Kuasa yang berlaku adalah kuasa pengorbanan diri seperti yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus. Dan karena gereja memang bukan perusahaan Kristen, maka tidak ada resign dan pemecatan (yang ada adalah disiplin gereja). Jika ada konflik dengan sesama anggota, maka sering kali jalan pintas yang diambil adalah resign dari gereja dan apply di gereja lain. Konflik menjadi hal yang sangat pahit jika terjadi di dalam gereja, antar anggota sendiri. Seringkali konflik memberi kesempatan untuk saling bercermin walaupun ada konflik yang terjadi karena ada yang menjadi biang keroknya. Tapi kebanyakan konflik terjadi karena sesama anggota tidak lebih besar menuntut diri sendiri daripada menuntut orang lain.
Gereja dalam kaitan dengan Kingdom of God tidak hanya di dalam kegiatan berbau rohani dan “churchy” (meminjam istilah dari Prof. James Skillen). Our entire life in God’s world is called to be kingdom service. We are servants (dalam pengertian Covenantal Relationship di Perjanjian Lama dengan suatu pemahaman akan latar belakang sistem Tuan dan Hamba) and we are citizens (dalam pengertian Kingdom of God di Perjanjian Baru dengan suatu pemahaman akan latar belakang sistem Kerajaan Romawi yang menguasai seluruh dunia saat itu).[6] Gereja mempunyai satu tugas untuk menyatakan Kerajaan Allah di dunia, maka dari itu hidup ber-Gereja jangan digeserkan dari tujuan semula dan jangan disempitkan pada satu sudut spiritual melulu. Gereja juga bukan seperti induk perusahaan dengan sederetan sister company, atau sebuah franchise yang memiliki puluhan cabang, tetapi gereja memikirkan dan mempengaruhi seluruh dunia secara komunal dan seluruh aspek kehidupan secara personal untuk kembali kepada Tuhan. Karena jika tidak demikian, maka gereja tidak ubahnya seperti arisan orang Kristen atau event-organizer Kristen atau bak partai politik Kristen saja.
Dewi Arianti Winarko
Mahasiswi Institut Reformed Jakarta
[1] Pdt. Stephen Tong, Kerajaan Allah, Gereja & Pelayanan, hlm. 34.
[2] Gordon J. Spykman, Reformational Theology – A New Paradigm For Doing Dogmatics, hlm. 429.
[3] Paul Minear, Images of The Church in The New Testament, hlm. 70-71
Gordon J. Spykman, Reformational Theology – A New Paradigm For Doing Dogmatics, hlm. 429.
[4] Gordon J. Spykman, Reformational Theology – A New Paradigm For Doing Dogmatics, hlm. 258.
[5] Gordon J. Spykman, Reformational Theology – A New Paradigm For Doing Dogmatics, hlm. 265.
[6] Gordon J. Spykman, Reformational Theology – A New Paradigm For Doing Dogmatics, hlm. 266.