Apakah perbedaan kehidupan dan kematian? Mungkin ini: kehidupan adalah kebahagiaan, pengharapan, sementara kematian adalah kesedihan, keputusasaan. Kehidupan boleh dirayakan, seperti ketika kita merayakan kelahiran seseorang sebagai tanda dimulainya hidup. Sebaliknya, kematian diratapi sebagai tanda perkabungan, kedukaan. Orang-orang Tibet memandang kehidupan itu seperti deretan gunung-gunung yang menjulang sampai ke awan, yang penuh misteri, tetapi layak untuk didaki. Sementara kematian, ia seperti dataran rendah yang tandus, tak bersungai, yang terlarang untuk dilalui apalagi ditinggali. Di dalam kitab Ulangan, dengan tegas Allah membedakan kehidupan dari kematian. Melalui Musa, Allah berfirman: “Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya, sebab hal itu berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni kepada Abraham, Ishak dan Yakub, untuk memberikannya kepada mereka.” (Ul. 30:19-20).
Tapi apakah perbedaan kehidupan dan kematian? Di dalam “Yesus Anak Manusia”, sejenak Khalil Gibran menempatkan kehidupan dan kematian tidak di dalam sebuah perbedaan, tetapi justru di dalam semacam persamaan – atau setidaknya sebuah harmoni: “Jika kamu dapat mengatakan kepadaku apa itu kematian, maka akan kukatakan padamu apa itu kehidupan,” demikian tulisnya. Meski bagi kebanyakan orang, kehidupan dan kematian memang lebih mudah ditempatkan dalam perbedaan. Bangsa Romawi mengumpamakan kehidupan seperti siang dan kematian seperti malam. Sederhana saja. Maka di zaman Romawi pernah ada sebuah perayaan yang disebut Sol Invictus, yang diadakan sejak zaman Kaisar Marcus Aurelius Antoninus – yang memerintah Romawi dari tahun 218 sampai 222. Terlahir sebagai seorang Syria, ia pernah menjadi pendeta di sebuah kuil di kota asalnya, Emesa. Kuil yang menyembah elah-gabal, dewa matahari bangsa Syria, dewa yang identik dengan terang dan kehidupan. Tak heran ketika kemudian menjadi kaisar, ia menetapkan Sol Invictus sebagai perayaan resmi bagi bangsa Romawi. Tetapi apa hubungan perayaan itu dengan siang dan malam? Sol Invictus diadakan setiap bulan Desember antara tanggal 21 dan 23, pada saat matahari menjauh dari bumi belahan utara, di mana kekaisaran Romawi berada. Hari-hari di mana lintasan matahari di langit menjadi lebih pendek: malam akan menjadi terlalu lama dan siang akan menjadi terlalu cepat. Hari-hari di mana malamlah yang “berkuasa” maka perayaan Sol Invictus diadakan, karena setelah hari-hari itu lintasan matahari kembali bergeser, melintas di atas wilayah Romawi lebih lama – dan siang kembali berkuasa.
Sementara seperti Gibran, Nancy Witcher Astor (1879-1964), yang menjadi anggota parlemen wanita pertama di Inggris, menganggap bahwa kehidupan dan kematian memang bisa menjadi semacam persamaan. Kehidupan dan kematian bisa dimengerti sebagai dua hal yang tak perlu dibedakan. Hadapi saja… lalui saja…. Maka sesaat menjelang kematiannya, kepada keluarga yang mengelilingi tempat tidurnya, ia bertanya: “Am I dying or is this my birthday?” Seolah kehidupan atau kematian tak soal baginya: “Apakah ini hari kematianku atau hari kelahiranku?” Ia bisa saja sangat serius dengan pertanyaannya itu, tetapi mungkin juga ia hanya sedang berusaha bergurau untuk terakhir kali. Yang pasti, Nancy tetap harus mengakhiri hidupnya. Meski ia berhak mempunyai keinginan untuk tetap hidup, untuk berumur lebih panjang, tetapi seberapapun panjangnya umur itu dihidupi, ia tetap harus diakhiri, begitulah dalilnya. Pada saat seseorang berbicara tentang umur yang panjang, pada saat yang sama sesungguhnya ia sedang berbicara tentang kematian sebagai batas dari panjangnya umur itu sendiri. Waktu seseorang sadar bahwa ia hidup, ia sadar bahwa suatu saat ia pasti akan mati. Setiap orang ingin berumur panjang atau setidaknya, tidak ingin mati terlalu cepat. Manusia memiliki naluri untuk menikmati hidup yang tersedia baginya, baik maupun buruk, manusia tetap ingin menjalani hidup yang sudah ada itu. Mereka yang rela menyerahkan nyawanya di medan perang karena didorong oleh rasa cintanya yang besar kepada raja, kaisar, negara, atau kepada bangsanya, tetap memiliki pengharapan akan segera diselesaikannya setiap pertempuran dan disudahinya perang. Mereka yang mengaku telah pasrah di dalam penderitaan karena suatu penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi memiliki pengharapan untuk disembuhkan, dan mereka yang dengan lapang hati telah menerima fakta bahwa hidup mereka tidak lama lagi, tetap saja berharap akan adanya pilihan yang lain. Bahkan mereka yang sudah mengambil keputusan untuk bunuh diri karena suatu tekanan, depresi, kalau saja masih ada jalan keluar, kalau saja tiba-tiba ada seorang penolong, pastilah mereka memilih untuk tetap hidup. Mempertahankan hidup dan berumur panjang bukan saja menjadi kebutuhan, tetapi adalah naluri setiap yang hidup, termasuk manusia.
Hizkia, di dalam penderitaan penyakitnya, berseru kepada Tuhan: “Dalam pertengahan umurku aku harus pergi, ke pintu gerbang dunia orang mati aku dipanggil untuk selebihnya dari hidupku” (Yes. 38:10). Hizkia mengharapkan bisa hidup lebih lama, disembuhkan dari penyakitnya dan berumur panjang. Dan Tuhan menjawab seruan Hizkia melalui Yesaya: “Pergilah dan katakanlah kepada Hizkia: Beginilah firman TUHAN, Allah Daud, bapa leluhurmu: Telah Kudengar doamu dan telah Kulihat air matamu. Sesungguhnya Aku akan memperpanjang hidupmu lima belas tahun lagi, dan Aku akan melepaskan engkau dan kota ini dari tangan raja Asyur dan Aku akan memagari kota ini. Inilah yang akan menjadi tanda bagimu dari TUHAN, bahwa TUHAN akan melakukan apa yang telah dijanjikan-Nya” (Yes. 38:5-7). Hizkia diizinkan Tuhan untuk hidup 15 tahun lagi, yang tak lain adalah untuk melanjutkan tugasnya sebagai raja, sebagai pelayan bagi Tuhan. Baik dalam Alkitab maupun catatan sejarah, dicatat bahwa di dalam masa tambahan usianya itu Hizkia juga membangun sistem pengairan bagi kota Jerusalem. Tetapi, ditunda berapa lama pun, saat kematian tetap harus tiba, “Hizkia mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangnya. Maka Manasye, anaknya, menjadi raja menggantikan dia” (2 Raj. 20:20). Demikian Alkitab mencatat kematian Hizkia.
Sepanjang sejarah, kematian: yaitu berakhirnya hidup seorang manusia, dianggap sebagai kekalahan manusia dari kehidupan itu sendiri. Bahkan di dalam konsep agama-agama, kematian tetap menjadi sesuatu yang menakutkan – selain tidak memberikan pengharapan dan kepastian, kematian juga tetap sangat penuh misteri. Di dalam banyak kebudayaan dan tradisi, bahkan sekedar memperbincangkan kematian pun adalah sesuatu yang tabu karena dianggap membawa sial. Kematian menjadi sesuatu yang sebisa mungkin harus disingkirkan dari percakapan dan kehidupan kita sehari-hari. Padahal dengan hitungan yang sederhana, kita akan tiba kepada kenyataan bahwa saat ini saja, rata-rata tiga kematian terjadi setiap detik. Berdasarkan data dari PBB tahun lalu, penduduk dunia saat ini adalah 6.7 milliar. Dengan data tambahan bahwa rata-rata usia hidup penduduk dunia saat ini adalah 65 tahun, maka dapat dihitung rata-rata jumlah kematian di seluruh muka bumi ini: hampir 300 ribu jiwa setiap hari. Itu artinya, lebih dari tiga orang setiap detik sedang menghadapi kematiannya. Tapi siapa bisa mengatakan apa itu kematian? Bagi Hizkia, ia pastilah bukan sekedar angka-angka.
Dan inilah pertama kalinya Tuhan menyatakan tentang kemungkinan akan kematian itu, kepada Adam di taman Eden sesaat setelah segala sesuatu selesai diciptakan Tuhan bagi manusia: “… tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kej. 2:17). Di suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menulis, bahwa kematian adalah ketika hidup kita dipimpin oleh dosa (Rom. 6:16), dan upah dosa itu adalah maut (Rom. 6:23). Kematian adalah kekalahan manusia terhadap dosa. Secara natur, kematian adalah “kejatuhan” (fall) manusia. Demikianlah kematian kemudian menjadi sebuah kepahitan yang tak terelakkan di dalam sejarah dan hidup manusia.
Lalu apa arti kematian bagi orang yang sudah ditebus oleh Kristus? “Jika kamu dapat mengatakan kepadaku apa itu kematian…”, tapi seorang Khalil Gibran adalah seorang yang juga sudah mengalami dan menerima penebusan Kristus, yang ketika ia menuliskan kalimat itu sesungguhnya ia ingin menyatakan sebuah fakta – selain sebagai ungkapan pelepasan atas kegundahan hatinya jauh sejak masa mudanya – bahwa ternyata kematian bukanlah hal terburuk yang bisa terjadi pada hidup manusia. “Kematian itu pahit, tetapi hidup tanpa Kristus jauh lebih pahit”, tulisnya. Baik terhadap kehidupan maupun kematian, manusia butuh Kristus, yaitu Kristus yang oleh Yohanes kedatangan-Nya dinyatakan sebagai Terang: “… telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat.” Dengan jelas Yohannes mengontraskan kejahatan dengan terang (seperti kontrasnya kematian dan kehidupan), lanjutnya: “Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah” (Yoh. 3:19-21). Dan kelahiran Kristus itulah yang menjadi satu momen penting dimana manusia semakin jelas melihat pengharapan: kemungkinan bahwa kematian bukan lagi ketakutan, kutuk, atau kepahitan. Kelahiran Kristus merupakan bagian dari satu rangkaian rencana keselamatan Allah di dalam kekekalan, bagi manusia.
Inisiatif Allah yang menyelamatkan, serta respon manusia – secara pribadi – terhadap keselamatan yang diberikan itu oleh theologi Reformed kemudian dijelaskan sebagai sebuah rangkaian proses yang berawal dari pemilihan Tuhan atas mereka yang diselamatkan (election), dipanggil (effectual calling), dan diberikan lahir baru (regeneration), lalu Allah memberi iman (faith) dan memampukan mereka untuk bertobat serta meninggalkan dosa (repentance). Allah bukan saja mengampuni mereka, tetapi juga membenarkan mereka (justification) hingga tidak lagi didapati kesalahan. Allah mengadopsi mereka yang sudah dibenarkan itu sebagai anak-anak-Nya (adoption), menyucikan (sanctification) dan memampukan mereka memelihara iman dan kesucian (perseverance) hingga akhirnya sampai kepada penggenapan seluruh rencana keselamatan, yaitu pemuliaan (glorification): sebuah kemuliaan surgawi yang kekal bagi umat pilihan, di mana dosa sudah tidak mungkin ada lagi.
Proses yang secara lebih ringkas pernah disampaikan oleh Paulus kepada jemaat di Roma: “Mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya” (Rom. 8:30), menjadi satu janji Allah akan kemuliaan yang akan diterima oleh orang-orang yang dipilih dan dipanggil-Nya. Secara umum, rangkaian proses di atas memang tidak terikat secara kaku terhadap urutannya, yang mana hal ini justru bisa menjadi penguji iman dan ketaatan kita. Misalnya, mungkinkah kita yang mengaku sudah percaya dan beriman (faith) tetapi masih dengan sengaja terus berbuat dosa dan tidak menunjukkan pertobatan (repentance)? Atau mungkinkah kita yang tidak pernah berusaha menjaga kesucian hidup (perseverance) tetap merasa berhak akan kemuliaan (glorification) yang Allah janjikan?
“Ada tubuh sorgawi dan ada tubuh duniawi, tetapi kemuliaan tubuh sorgawi lain dari pada kemuliaan tubuh duniawi” (1Kor. 15:40). Demikian surat Paulus kepada jemaat di Korintus. Maka kalau kita adalah orang yang sudah ditebus, saat ini pun kita sudah diberi kesempatan untuk mencicipi kemuliaan sorgawi yang kekal itu dan menjadikannya motivasi untuk kita taat kepada Allah. Karena kuasa penebusan itu memungkinkan kita saat ini sudah menerima bagian dari hidup yang kekal, akan tubuh yang baru, tubuh sorgawi. “Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya” (Fil. 3:20-21).
Tapi pertanyaan itu: “apakah perbedaan kehidupan dan kematian?” mungkin akan terus melintas di sepanjang zaman. Dan sekali waktu, Paulus mengajak jemaat di Filipi untuk menempatkan kehidupan dan kematian lebih ke dalam suatu persamaan daripada perbedaan: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Fil. 1:21). Tidak ada kerugian di dalam keduanya bagi orang yang sudah ditebus Kristus. Tidak ada kepahitan di dalam kematian. Bagi Paulus, kematian adalah berjumpa dengan Kristus, dan hidup adalah melayani Kristus. Maka, kuasa penebusan harusnya bukan saja membuat seseorang berhenti melihat kematian sebagai kepahitan, atau membuat seseorang hanya berdiam diri apalagi terus berbuat dosa. Kuasa penebusan harusnya justru membakar semangat dan kerinduan seseorang untuk melayani Kristus, dan mengarahkan keinginan untuk selalu mencari kehendak Allah, kepada hal-hal yang sorgawi (Kol. 3:1-4).
Maka, kelahiran Kristus menjadi suatu momen yang penting di dalam sejarah keselamatan manusia. Dan mungkin kelahiran memang tetap perlu dirayakan. Setidaknya itulah yang terjadi di tahun 325, ketika Paus Julius I kemudian menetapkan tanggal 25 Desember sebagai hari untuk merayakan kelahiran Kristus, yaitu 51 tahun sesudah tanggal yang sama digunakan untuk merayakan kelahiran dewa Matahari yang tak tertaklukkan: “the birthday of the unconquered sun”, Sol Invictus. Kemenangan siang atas malam, terang atas gelap, metafora atas kebaikan dan kejahatan: kehidupan dan kematian. Tapi apa gunanya kita mengingat hari kelahiran? Bagi Facebook, alasannya terlalu sederhana: mengingat hari kelahiran seseorang adalah semata-mata soal uang. Facebook adalah sebuah social network di dunia maya yang baru-baru ini menambahkan satu fitur yang dapat mengingatkan kita akan hari kelahiran seseorang. Fitur tersebut memungkinkan kita menerima SMS, email, atau alert di PDA kita secara otomatis apabila seseorang yang kita kenal akan berulang-tahun dalam waktu dekat. Fitur yang diduga akan segera merebut pasar “Bebo”, jaringan di dunia maya lainnya yang sudah lebih dulu mempopulerkan fitur ini dan sudah memiliki sekitar 100 juta anggota di seluruh dunia dengan penghasilan lebih dari US$ 4 juta setahun dari e-card dan penjualan kado melalui internet: memang sebuah bisnis yang besar. Memberi ucapan tentu tidak ada salahnya. Mengingat hari kelahiran pun bisa sebagai ungkapan rasa syukur. Dan saat ini mungkin kita sudah mulai sibuk mempersiapkan Natal, memperingati kelahiran Kristus yang sebentar lagi tiba: 25 Desember yang mungkin tidak ada kaitannya sama sekali dengan hari sesungguhnya Kristus dilahirkan? Mengingat kelahiran Kristus di dalam status dan kesadaran bahwa kemuliaan sorgawi sudah menjadi milik kita, pastilah memiliki konsekuensi: ia lebih menuntut pertanggungjawaban daripada sebuah pesta perayaan. Tanggung jawab untuk menjadi berkat bagi orang banyak. Tanggung jawab untuk mengabarkan Injil. Tanggung jawab untuk berbuah bagi Tuhan. “Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus – itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu” (Fil. 1:22-24), lanjut Paulus kepada jemaat di Filipi.
Kemuliaan sorgawi telah menuntut Paulus bukan untuk berbangga atau tinggi hati, tetapi bekerja semakin giat, karena kemuliaan sorgawi jauh lebih tinggi dari yang dapat kita bayangkan yang bisa kita terima di dunia ini. Lebih dari yang bisa dirasakan seseorang ketika menerima Grammy Award, seorang ilmuwan yang mendapat hadiah Nobel, atau wartawan yang memenangkan Pulitzer. Atau seperti seorang Hugh “Duffy” Daugherty, pelatih tim football legendaris yang terkenal dengan salah satu kalimatnya tentang bagaimana memenangkan pertandingan: “… it’s not a matter of life or death. It’s more important than that.” Kemuliaan duniawi memang pernah ia dapatkan, meski kemuliaan duniawi pasti bersifat sementara. Dan kemuliaan sorgawi juga bukan seperti yang terjadi di Recife, Olinda, atau Salvador De Bahia pada setiap bulan Februari. Ketiga tempat itu adalah tempat-tempat paling ramai pada saat Carnaval Brasil Festival, yang merupakan salah satu festival terbesar di dunia yang digelar di jalanan kota di Brasil di mana jutaan orang turun ke jalan, berdandan dan menari samba, berlomba menarik perhatian dalam pesta pora.
Kemuliaan duniawi didapat dari pengakuan orang banyak, kemuliaan sorgawi adalah pemberian Allah. Dan satu hal yang perlu terus-menerus diingat, adalah bahwa saat ini kita bukan lagi warga dunia semata, yang hidup di bumi ciptaan yang sudah jatuh ke dalam dosa, tetapi sebagai seorang yang sedang menantikan penggenapan janji Allah untuk menerima kemuliaan yang sesungguhnya, kemuliaan sorgawi di langit dan bumi yang baru (Wah. 22:1). Meski banyak orang masih belum dapat menyelesaikan satu pertanyaan itu: “Apakah perbedaan kehidupan dan kematian?”, beranikah kita menjawab seperti Paulus: “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan,” lalu berbuah bagi Tuhan? Tidak perlu menunggu Natal dirayakan, berjanjilah sekarang juga di hadapan Tuhan untuk lebih taat, lebih setia, bekerja lebih keras, dan bertekad untuk hanya menyenangkan hati Tuhan. Karena tanpa itu, kita sungguh-sungguh tak layak menerima kemuliaan sorgawi yang Allah janjikan. Soli Deo Gloria.
Chandra Wirapati
Diaken GRII Pusat