Introduksi
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) merupakan salah satu tokoh pemikir besar dari Jerman. Dia dipandang sebagai filsuf paling berpengaruh pada awal pertengahan abad ke-19. Hegel lahir di kota Stuttgart, Jerman, dan belajar theologi di Tübingen. Di tempat tersebut ia berkawan dengan Friedrich Hölderlin, seorang penyair yang menjadi tokoh kunci dari Romantisisme Jerman pada abad ke-18 dan 19, dan Friedrich Schelling, kawan satu kamar, dan kemudian rivalnya. Hegel pernah menghabiskan waktu beberapa tahun menjadi guru untuk menafkahi hidupnya, sebelum warisan yang ia terima membuatnya dapat kembali melanjutkan studi di University of Jena bersama Schelling, yang pada akhirnya harus ia tinggalkan karena tentara Napoleon masuk menduduki kota Jena.
Beberapa kali Hegel pernah berganti pekerjaan untuk menafkahi hidupnya. Dia pernah menjadi editor surat kabar dan kepala sekolah, sebelum ditunjuk untuk menduduki kursi kepala departemen filsafat, pertama di Heidelberg, dan selanjutnya di Universitas Berlin yang terkenal sangat prestisius. Hegel menikah pada umur 41 tahun, istrinya bernama Marie von Tucher, dan dengannya Hegel dikaruniai tiga orang anak. Hegel tutup usia pada tahun 1831, saat epidemi kolera melanda Eropa. Salah satu karya besarnya, yang ia selamatkan dengan susah payah ketika harus melarikan diri dari perang, adalah Phenomenology of Spirit. Buah pikiran Hegel ini melontarkan namanya ke posisi yang dominan dalam dunia filsafat Jerman.
Ide sentral Hegel mengenai kesadaran (consciousness) hingga institusi politik dibangun di atas konsep yang menerobos pada zamannya. Konsepnya tentang “the absolute spirit” merupakan sebuah respons terhadap pemikiran filsafat Immanuel Kant dan para pendahulunya. Hegel berusaha memberikan jawaban terhadap dikotomi kolosal antara kubu rasionalis dan empirisis. Selama ini kedua kutub tersebut saling berseteru dan tidak menemukan titik temu. Tetapi Hegel muncul dengan menyatakan bahwa tidak ada keterpisahan antara “things that exist in the physical world” (empirisisme), dan “thoughts about those things” (rasionalisme). Hegel membantah pemisahan yang ada. Separasi antara pemikiran dan objek pemikiran sesungguhnya hanya sebuah ilusi, kata Hegel. Hal ini terjadi karena orang-orang berpikir keduanya sebagai aspek yang terpisah dan saling berdiri sendiri. Pemisahan ini hanya bisa teratasi ketika kita mengerti bahwa hanya ada satu realitas, yaitu “the spirit” itu sendiri, yang mana keseluruhan dunia ini hanyalah refleksi dari dirinya, baik berupa thought, maupun what is thought about.[1]
Artikel ini akan memberikan pengantar singkat mengenai tiga pokok pemikiran Hegel. Kita tidak akan membahas semua buah pemikiran Hegel. Tentu bukan karena ingin mengecilkan figur tersohor ini, melainkan karena keterbatasan penulis dalam menuangkan seluruh pemikirannya yang besar. Tiga hal tersebut berkenaan dengan the absolute spirit, filsafat sejarah, dan dialektika.
History and Consciousness
Lahirnya pemikiran Hegel tidak terlepas dari konteks dunia filsafat pada masa ia hidup. Pada masa tersebut Immanuel Kant adalah seorang “raksasa”. Pemikirannya meletakkan dasar baru dalam melihat realitas dan dunia. Kant terkenal dengan cara pandangnya yang terbagi ke dalam dua wilayah. Bagi Kant, dunia atau realitas yang tampak bagi manusia adalah dunia yang terbentuk berdasarkan persepsi dari pemikiran manusia itu sendiri. Dunia ini dimengerti sebagai dunia fenomena, karena keberadaannya distrukturkan oleh kumpulan kategori-kategori pemahaman manusia. Struktur pemikiran atau kesadaran ini, menurut Kant, bersifat apriori. Suatu kesadaran yang muncul sebelum manusia mendapatkan pengalamannya dari interaksi dengan dunia.[2][3]
Sedangkan realitas dunia yang masih asli, yang ada pada dirinya sendiri, yang belum “tercemar” dengan penafsiran dari struktur pemikiran manusia, disebut sebagai dunia noumena. Menurut Kant, dunia noumena ini berada di luar kapabilitas manusia untuk mengetahuinya. Kita hanya bisa mengetahui dunia fenomena, dunia berdasarkan pengalaman keseharian kita. Kant menyebut pemikirannya ini sebagai transcendental idealism. Perseteruan rasionalisme dan empirisisme diperdamaikan oleh Kant di dalam wilayah fenomena. Karena bagi Kant, baik thought maupun what is thought about dari manusia berada dalam wilayah fenomena.
Kant argued that the world as we know it is indeed partly structured by mind, which supplies the forms of intuition (space and time) as well as the categories of the understanding, including such concepts as substance and causality.[4]
Bagi Hegel, pemikiran Kant sudah merupakan satu langkah maju di dalam dunia filsafat. Tetapi pemikiran tersebut masih menyisakan kejanggalan bagi Hegel. Salah satunya adalah tentang dunia noumena, dunia “sebagaimana ada pada dirinya sendiri”. Menurut Hegel itu hanyalah sebuah asumsi pemikiran yang selama ini tak dikritisi. Setidaknya Kant telah gagal di dalam dua hal menurut Hegel. Pertama, Hegel berargumen bahwa dunia noumena, yang tak dapat diketahui itu, akhirnya hanya menjadi sebuah abstraksi kosong yang tidak berarti apa-apa. Bagaimana konsep tentang dunia noumena bisa ada kalau dunia tersebut tidak bisa kita ketahui? Bila kita tidak tahu, bagaimana kita bisa memikirkannya? Hegel melanjutkan, sesuatu hanya bisa eksis atau ada ketika hal tersebut dapat dimanifestasikan di dalam consciousness, baik melalui pancaindra, maupun melalui pemikiran.
Kedua, Kant dianggap terlalu banyak membuat asumsi tentang natur dan asal muasal dari kategori-kategori dalam struktur pemikiran manusia, yang ia katakan bersifat apriori. Kant berasumsi bahwa kategori-kategori tersebut orisinal dan murni, berbeda satu sama lain, dan secara total saling terpisah antara satu dan yang lainnya. Bagi Hegel, justru struktur pemikiran manusia itu bersifat dialektikal—yang berarti setiap kategori saling terhubung, saling membutuhkan untuk membangun sintesis, dan akan selalu berubah. Di sinilah salah satu letak perbedaan kunci antara Kant dan Hegel. Kant percaya kerangka dari consciousness manusia tidak bisa berubah, sedangkan Hegel percaya yang sebaliknya.[5] Consciousness is part of an evolving process, and this process is “dialectical”.
Hegel’s Dialectic
Dialektika merupakan satu dari tiga gagasan sentral dalam pembacaan Hegel terhadap realitas dunia. Menurut Hegel, dunia sebagai manifestasi dari spirit berkembang melalui proses ini. Dia menyatakan ada empat poin di dalam proses terjadinya dialektika. Pertama, tidak adanya asumsi yang dibuat. Kedua, melibatkan seluas-luasnya ide yang mungkin untuk dikaji. Ketiga, ide yang umum harus terus dipertajam menuju ide yang makin spesifik. Keempat, proses ini harus terus terjadi berulang di dalam pembahasan konsep yang ada. Empat syarat ini menjadi inti dari logika dialektik Hegel, di mana ketika sebuah ide dimunculkan sebagai tesis, pada dirinya pasti terdapat kontra sebagai antitesisnya. Antitesis ini diperlukan untuk memunculkan ide baru yang lebih kaya dari ide sebelumnya, suatu bentuk sintesis yang disebut sebagai tesis baru.
Hegel percaya melalui proses dialektika, dunia (yang adalah manifestasi dari spirit) terus berjalan di dalam sejarah hingga ia mencapai kesempurnaannya. Karena ketika sebuah dialektika berjalan dari tesis, antitesis, hingga menghasilkan sintesis, sintesis tersebut menjadi tesis baru yang akan berputar kembali di dalam siklus progres yang sama. Tesis 1 bertemu antitesis 1 menghasilkan sintesis 1, lalu sintesis 1 itu menjadi tesis 2 yang bertemu dengan antitesis 2 menghasilkan sintesis 2 yang akan kembali menjadi tesis 3. Demikian seterusnya. Inilah konsep Hegel tentang kerangka realitas, yang terus bergerak, berprogres di dalam sejarah menuju kesempurnaan. Proses pergerakan dalam sejarah ini merupakan manifestasi dari the spirit tersebut, yang menaungi segala sesuatu dan yang sedang terus beranjak menuju kulminasinya.
Hegel’s Philosophy of History
Hegel melihat bahwa sejarah merupakan wadah pergerakan, perkembangan, dan munculnya consciousness dari the spirit. Hegel secara jelas menyatakan bahwa perkembangan yang dimaksud tidak berbicara pada tataran ide-ide logis, melainkan secara nyata dapat kita saksikan di dalam realitas sejarah. Misalnya, perbandingan antara masyarakat pada zaman Yunani Kuno dan orang-orang yang hidup di zaman Modern, keduanya tentu memiliki hal yang berbeda untuk dipikirkan. Tetapi Hegel mengklaim bahwa bukan saja hal yang mereka pikirkan berbeda, tetapi juga cara mereka berpikir. Sebab setiap zaman memang mewakili tahap kesadaran yang berbeda dalam panggung sejarah. Tetapi semuanya berada di dalam satu jalur yang sama, yang dimanifestasikan spirit di dalam progresnya.
Dalam karya utama pertamanya, Phenomenology of Spirit, Hegel memberikan contoh dari bentuk perkembangan kesadaran ini. Hegel menjabarkan bagaimana arah consciousness berkembang, yaitu dari individual ke arah komunal. Hegel mau menyatakan bahwa manifestasi spirit di dalam membangun kesadaran pasti selalu terwujud secara gamblang di dalam sejarah. Misalnya saja pada konteks Revolusi Prancis, pada saat spirit hadir, ia akan selalu membawa kesadaran revolusioner yang ia manifestasikan sebagai seorang individu (dalam konteks ini Napoleon Bonaparte). Yang sekalipun sebagai individu Napoleon memiliki kesadaran pada dirinya, namun ia sendiri tidak akan menyadari bahwa ia telah dipakai dan memiliki peran penting di dalam sejarah, sebagai bentuk dari manifestasi perjalanan spirit tersebut. Dan setiap individu ini pasti memiliki ciri yang sama, yaitu membangkitkan kesadaran kolektif yang bergerak dalam skema dialektika. Untuk kasus Napoleon pun semacam demikian. Ia hadir sebagai antitesis dari pemerintahan yang menindas, yang kemudian sintesisnya (pemerintahan baru) menjadi sebuah tesis awal yang diperhadapkan dengan antitesis berikutnya. Dari contoh ini, Hegel mau menyatakan satu ide yang extraordinary, bahwa natur dari consciousness terus berubah sepanjang waktu, dan berubah selaras dengan pola yang tampak secara nyata dalam sejarah.
Hegel’s Absolute Spirit
Bagi Hegel, titik akhir dari keseluruhan realitas dan ujung akhir dari seluruh dialektika sejarah adalah the absolute spirit. Semua hal yang ada di dalam dunia sedang bekerja dalam rangka menuju ke sana. Tetapi, sambung Hegel, apa yang ada di belakang, yang telah berlalu di dalam proses sejarah tersebut, nantinya tidak akan hilang atau dibuang, melainkan dilihat sebagai kesatuan dari perjalanan spirit yang sebelumnya belum tuntas. Karena itu, setiap individu di dalam dunia ini bukanlah sekadar komponen sisa dari realitas, melainkan bagian dari “the whole” yang sedang berjalan dan berkembang, yaitu spirit. Atau dengan kata lain, seluruh dunia beserta manusia adalah partikularitas yang bermakna di dalam universalitas atau kesatuan di dalam naungan the spirit.
Hegel menggunakan istilah “the true is the whole”, dan the whole itu adalah spirit, yang di dalamnya termasuk manusia dan seluruh realitas. Realitas sesungguhnya adalah spirit yang terus berjalan melalui proses perkembangan sejarah menuju konsumasi. Spirit berkembang bukan karena ia cacat dan sebelumnya tidak lengkap. Perkembangan di sini merupakan progres penyingkapan akan kebenaran atau realitas di dalam ruang dan waktu. Ibaratnya seperti manusia yang bertumbuh dari anak kecil menuju dewasa. Apakah berarti ketika manusia masih anak-anak ia cacat atau kurang sempurna karena belum dewasa? Tentu tidak. Ketika masih kanak-kanak, ia sempurna sebagai anak-anak pada tahap anak-anak. Anak-anak bukanlah manusia dewasa yang sedang cacat atau belum sempurna.
Titik akhir dari perkembangan ini adalah ketika kesadaran total tuntas, penuh, dan terkulminasi seluruhnya, ketika semua yang akan dinyatakan telah dinyatakan di dalam ruangnya, dan pada waktunya. Bila ini terjadi, berarti seluruh realitas telah masuk kepada tahap the absolute spirit.
Christianity and Hegel’s Thought
Pada tahap ini penulis mencoba untuk menelusuri keterkaitan pemikiran Hegel dengan kekristenan. Hal ini bukan berarti pemikiran Hegel sejalan dengan iman Kristen (terutama dalam garis tradisi Reformed). Namun, melalui pemahaman yang kita warisi dari John Calvin, kita menyadari bahwa dalam diri manusia terdapat sensus divinitatis, suatu kesadaran akan adanya yang Ilahi[6], yang di dalam dosa kesadaran tersebut ditekan[7]. Manusia berdosa hanya dapat merespons wahyu Allah di dalam dosa. Sehingga apa yang manusia terima tentang Allah, yang termanifestasikan melalui seluruh realitas dunia, telah rusak atau menyimpang atau short of (hamartia). Lalu mengapa manusia masih dapat mengetahui apa yang benar (in a particular sense, not the whole truth)? Karena belas kasihan Tuhan yang menopang. Karena itu respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah, yang muncul dari pemikiran Hegel, mengandung sebagian kebenaran. Tentu yang Hegel maksud sebagai spirit dan the absolute spirit bukanlah Roh Kudus ataupun Allah yang Tritunggal, sebagaimana dinyatakan Alkitab.
Ada beberapa theolog ternama yang bersinggungan secara kritis dengan pemikiran Hegel, seperti Herman Bavinck, Geerhardus Vos, Cornelius Van Til, dan Francis Schaeffer. Masing-masing theolog ini memiliki persetujuan dan kritiknya masing-masing terhadap bagian-bagian pemikiran Hegel. Namun, untuk tulisan kali ini, hanya akan dibahas kritik dan persetujuan kritis dari Van Til.
Salah satu persetujuan kritis Van Til terhadap pemikiran Hegel adalah konsep yang inheren pada teorinya tentang concrete universal. Konteksnya, dalam dunia filsafat klasik terjadi pemisahan yang tegas antara apa yang universal atau general dan apa yang partikular atau specific. Perdebatan klasik yang terkenal tentang tema ini adalah antara Plato dan Aristoteles. Terlepas dari perbedaan pandangan mereka, keduanya sependapat bahwa apa yang universal terdefinisi berdasarkan bentuk abstraknya.[8] Tetapi abstraksi dari konsep universal Plato terpisah dari apa yang partikular. Konsep ini yang disinggung Hegel dalam pemikirannya, sebab bila demikian berarti segala sesuatu yang dibangun dalam pemahaman yang universal menjadi tidak ada dalam realitas.
Misalnya, bila kita katakan “kucing lucu” itu seperti ini, seperti begini, dan seperti begitu, itu berarti di dunia ini tidak “boleh” ada kucing yang wujudnya seperti apa yang kita jabarkan. Karena begitu ada, berarti ciri-ciri yang kita sebutkan sudah berupa ciri-ciri yang partikular, bukan lagi yang universal. Itulah mengapa Hegel katakan, konsep general atau universal bila didefinisikan atau ditentukan berdasarkan bentuk abstraknya saja, realitasnya itu tidak mungkin ada. Jadi bila kita konsisten dengan cara berpikir seperti demikian, tidak ada yang namanya perwujudan “kucing lucu” di dunia.
Maka dari itu, secara tradisi, ortodoksi pemikiran Reformed lebih mengikuti cara pandang Aristoteles dalam melihat relasi antara yang partikular dan universal.[9] Plato menilai wujud yang universal itu sungguh eksis (di dunia “form”)[10], dan secara ontologis mendahului yang partikular (di dunia “matter” ini). Namun bagi Aristoteles tidak. Yang universal itu justru tidak mungkin eksis bila terpisah dari yang partikular. Kenapa kita bisa mendefinisikan ide tentang “kucing lucu”? Ya karena kita pernah melihat kucing yang lucu secara partikular. Itulah kira-kira permainan kucing-kucingan antara Aristoteles dan Plato.
Pemahaman Bavinck tentang relasi partikular-universal sejalan dengan pandangan Aristoteles. Bavinck mengatakan, “Abstractions—universals—do not exist in reality. The tree, the human being, the science, the language, the religion, the theology, are nowhere to be found. Only particular trees, human beings, sciences, languages, and religions exist.”[11] Van Til juga senada dengan Bavinck soal ini. Tetapi kritik tentang relasi universal-partikular belum selesai.
Memisahkan antara yang universal dan partikular adalah salah, tetapi menjadikan yang universal melebur dengan yang partikular sehingga tidak ada lagi perbedaan, juga salah. Kembali kepada contoh kucing tadi. Misalnya kita tidak mau terjebak dalam dualisme Plato dengan menghilangkan konsep yang universal tentang kucing dan hanya mau membicarakan kucing secara partikular (kucing A, atau kucing B), karena yang universal tidak eksis terlepas dari yang partikular. Akibat dari pemikiran yang seperti ini adalah pembicaraan tentang “kucing” yang partikular itu menjadi meaningless. Sebab kita membuang konsep kucing secara umum, dan kata “kucing” jadi tidak terdefinisi. Kedua, antara kucing A dan B jadi tidak ada hubungan, padahal mereka sama-sama kucing. Tetapi, bila pada sisi yang lain, kita mengeneralisasi semua yang partikular untuk menyatakan hubungannya dalam genus kucing, bukankah pada akhirnya kita kembali kepada abstraksi universal?
Pandangan bahwa realitas itu universal dan juga konkret, atau tidak memisahkan antara yang bersifat umum dan khusus, menjadi titik persetujuan Van Til terhadap pemikiran Hegel. Karena Hegel menawarkan hubungan antara yang partikular dan universal di dalam konsep spirit-nya. Bahwa yang partikular bukanlah sesuatu yang terlepas dari keseluruhan, melainkan bagian yang integral dari the whole yang adalah spirit. Keterhubungan dengan the whole inilah yang akhirnya memberikan tujuan dan makna atas apa yang partikular. Van Til, seperti Hegel, melihat permasalahan one-and-many hanya bisa dijawab melalui terang dari konsep concrete universal.[12]
Kritik Van Til terhadap Hegel adalah mengenai konsistensi Hegel terhadap konsep concrete universal. Dalam hal ini pemikiran Hegel kontradiktif, sebab ia membangun konsep pemikiran concrete universal dari alur pemikiran yang abstrak. Di dalam sistem pemikiran Hegel, partikularitas musnah oleh yang universal (the absolute spirit). The absolute spirit ini sendiri disodorkan tanpa penjelasan. Pada tahap ini Van Til memiliki kesimpulan yang sama dengan Bavinck, bahwa di dalam idealisme Hegel, semua pernyataan mengenai the absolute spirit akhirnya tanpa konten.
Van Til tidak setuju dengan Hegel mengenai konsep spirit. Bila spirit (apakah ia pribadi, kekuatan, atau apa?) adalah sesuatu yang transenden dan self-existent, Hegel tidak menjabarkannya sebagai yang dapat diketahui secara rasional. Dengan kata lain, konsep Kantian tentang divine incomprehensibility yang dimengerti sebagai rational unknowability masih belum teratasi oleh Hegel. Pada saat yang bersamaan, pengetahuan manusia atas dunia dan sejarah disamakan sebagai pengetahuan atas yang Ilahi oleh Hegel (karena membaca sejarah sama dengan mengenal spirit).
Bagi Van Til, hanya doktrin kekristenan tentang Allah Tritunggal saja yang sesungguhnya dapat menyatakan concrete universal yang asli. Di dalam diri Allah tidak ada partikular yang tidak berhubungan dengan yang universal, dan tidak ada yang universal yang sepenuhnya tidak diekspresikan melalui yang partikular.[13] Setiap Pribadi Allah Tritunggal adalah Pribadi yang partikular, dan pada saat yang bersamaan setiap Pribadi memiliki kepenuhan dari keberadaan Allah itu sendiri. Dengan kata lain, di dalam Allah Tritunggal, setiap yang partikular adalah sepenuhnya yang universal, dan yang universal sepenuhnya diekspresikan di dalam yang partikular.[14]
Selain perihal Pribadi-Nya, keharmonisan antara yang universal dan partikular juga berlaku pada atribut-atribut Allah. Allah adalah Allah yang kasih sekaligus adalah Allah yang adil. Kedua sifat ini dapat dibedakan, dan pada saat yang bersamaan tidak dapat dipisahkan. Kedua sifat ini jelas berbeda, tetapi pada saat yang bersamaan kasih Allah itu adil, dan keadilan Allah itu penuh kasih. Allah adalah the original unity-diversity dan the original one-and-many. Implikasinya, realitas juga memiliki elemen tersebut. Kenapa? Karena dunia ciptaan diciptakan secara derivatif oleh Allah, sehingga dunia ciptaan mewarisi karakter Allah yang berbeda secara kualitas.
Tuhan orang Kristen adalah Tuhan yang adalah concrete self-existent being. Itu berarti Ia selama-lamanya adalah concrete universal, dengan atau tanpa dunia ciptaan. Tanpa revelasi pengetahuan yang konkret dari Allah Tritunggal, dan tanpa relasi-Nya dengan dunia sebagai Pencipta, problematika partikular dan universal hanya ditangani secara abstrak. Bahkan termasuk oleh Hegel yang berusaha memberikan kritik terhadap konsep abstract thinking. Van Til setuju atas kritik Hegel terhadap gaya pemikiran abstraksi Yunani Klasik, tetapi ia tidak menemukan solusi yang Hegel tawarkan tepat.
Bagi Van Til jelas, ketika ia menyatakan Allah Tritunggal sebagai concrete universal yang sejati, kebenaran tersebut hanya dapat dimengerti di dalam terang dari pengetahuan Allah Tritunggal, yang diberikan Allah kepada kita melalui pewahyuan Alkitab. Hanya melalui pewahyuan inilah kita baru dapat menghargai dan mengerti kaitan antara kesatuan dan keberagaman di dalam dunia yang kita tinggali ini.
Nikki Tirta
Pemuda FIRES
Referensi:
- Atkinson, Sam; Landau, Cecile; Szudek, Andrew; Tomley, Sarah. 2011. “Reality Is a Historical Process.” In The Philosophy Book, 180-185. New York: DK Publishing.
- Calvin, John, ed. John T. McNeill, and trans. Ford Lewis Battles. 1960. Institutes of the Christian Religion. Philadelphia: Westminster Press.
- Evans, Stephen. 2018. A History of Western Philosophy. Illinois: InterVarsity Press.
- Magnis-Suseno, Franz. 2019. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Van Til, Cornelius. 2016. Christian Theistic Evidences. Philipsburg: P&R Publishing.
- Tseng, Shao Kai. 2018. G. W. F. Hegel. Philipsburg: P&R Publishing.
Endnotes:
[1] Atkinson, Sam; Landau, Cecile; Szudek, Andrew; Tomley, Sarah. 2011. “Reality Is a Historical Process.” In The Philosophy Book, 180-185. New York: DK Publishing.
[2] Ibid.
[3] Evans, Stephen. 2018. A History of Western Philosophy. Illinois: InterVarsity Press. p. 446.
[4] Ibid.
[5] Atkinson, Sam; Landau, Cecile; Szudek, Andrew; Tomley, Sarah, loc. cit.
[6] Calvin, John, ed. John T. McNeill, and trans. Ford Lewis Battles. 1960. Institutes of the Christian Religion. Philadelphia: Westminster Press.
[7] Roma 1:18-21.
[8] Existing in thought or as an idea but not having a physical or concrete existence.
[9] Tseng, Shao Kai. 2018. G. W. F. Hegel. Philipsburg: P&R Publishing. hlm. 87.
[10] Bagi Plato, dunia “form” adalah dunia yang sempurna, dunia yang terpisah dari dunia “matter” kita yang tak sempurna. Segala sesuatu yang ada di dalam dunia “matter” hanyalah bayang-bayang dari apa yang ada dalam dunia “form”.
[11] Herman Bavinck. Reformed Dogmatics. 1:85.
[12] Tseng, Shao Kai, op. cit. hlm. 90.
[13] Ibid.
[14] Tseng, Shao Kai, op. cit. hlm. 92.