Hospitality merupakan salah satu tema yang cukup populer dalam dunia Postmodern saat ini. Senada dengan Levinas, Derrida, dan seperti yang dikutip Hans Boersma dalam buku “Violence, Hospitality, and the Cross” (selanjutnya disingkat VHC) menyatakan bahwa Hospitality adalah: “…an attitude of utter openness, and readiness to give, unconditionally, all my possessions to the stranger knocking on my door.”[1] Kant mengatakan bahwa kita harus menerima orang asing (stranger) namun stranger tersebut harus bersikap baik, dia hanya diberikan hak untuk visit, bukan hak untuk stay. Derrida mengkritik hospitality Kant yang dinilainya tidak tuntas ini. Kita melihat sebuah fobia yang begitu besar atas rapor Modern yang telah menghasilkan banyak violence dalam dunia produksi peradaban Barat ini, di mana hal itu ditandai dengan begitu besarnya hasrat untuk mengerti, menggenggam, mengontrol, sehingga hal tersebut menghasilkan kekerasan (violence). Boersma mengetengahkan permasalahan yang membawa Kekristenan, secara khusus teori-teori mengenai penebusan sebagai masalah (dalam pandangan “full hospitality” Postmodern). Kita akan mencoba untuk merenungkan di satu sisi pergulatan mengenai hospitality dan di sisi yang lain fobia terhadap violence, sehingga apapun yang mengandung kekerasan dipandang sebagai bersalah.
Seperti yang dikutip oleh Boersma dalam VHC, dipaparkan oleh Levinas dan Derrida, total hospitality sebenarnya lahir dari fobia akan kekerasan yang dilahirkan dari hasrat mengontrol dunia Barat. Allah Kristen, dan dalam tradisi Calvinis, yang mempercayai predestinasi benar-benar dipandang sebagai produk kekerasan dalam hidup kemanusiaan kita. Allah yang menetapkan sebagian orang untuk menerima hidup kekal di luar tindakan moral manusia adalah Allah yang melakukan kekerasan. Sorga yang ke dalamnya orang dipaksa masuk akan lebih mirip sebuah penjara; terlebih lagi pandangan bahwa Allah menetapkan sebagian lainnya untuk menerima penghukuman yang kekal tentu lebih sulit lagi dimengerti dalam konteks hospitality. Namun sekali lagi, sebenarnya mimpi utamanya adalah kehadiran hospitality dalam kehidupan saat ini; sebuah utopia yang menurut Boersma tidak mungkin dapat dicapai dalam created order yang telah terinfeksi oleh dosa.
Mimpi Levinas dibangun bersama dengan sakit hatinya terhadap kekerasan peradaban Barat, ditambah keterkejutan besar akan dukungan Heidegger terhadap Rezim Hitler. Levinas dipenjarakan selama 5 tahun selama Rezim Nazi (1940-1945). Hospitality berarti keterbukaan dan penerimaan secara radikal, penolakan terhadap tindakan penghakiman, penghukuman terhadap orang lain. Derrida menyatakan bahwa hospitality berarti pengorbanan diri, bukan mengorbankan orang lain, dia menyadari bahwa hospitality sedemikian memang membawa sebuah resiko yang besar, penerimaan harus diberikan – atas nama hospitality – kepada siapapun juga, yang bisa orang baik namun bisa juga setan.
Kita akan melihat satu doktrin fundamental dalam Kekristenan yang saya percaya dapat menjawab kelelahan zaman ini akan kekerasan yang terus kita jumpai dalam hidup, dalam tatanan yang tepat. Konsep penerimaan Kristen yang sangat jelas dalam theologi Calvinis menyatakan bahwa manusia hanya dapat diterima oleh Allah melalui iman (konsep pembenaran). Konsep penerimaan ini sama sekali tidak dapat dipisahkan dari pembenaran. Calvin memberikan definisi mengenai pembenaran sebagai, “… that man is justified in God’s sight, and that he is justified by faith or works. He is said to be justified in God’s sight who is both reckoned righteous in God’s judgment and has been accepted on account of his righteousness.”[2] Pembenaran Allah atas manusia menjadikannya dapat diterima oleh Allah. Sebuah teori penerimaan yang terdengar sangat Kantian. Namun konsep penerimaan Kristen jelas berbeda dengan limited hospitality Kant, sebab dalam Kekristenan disuguhkan pembenaran yang hanya didasarkan pada iman. Di sini manusia yang tidak memiliki kualifikasi (yang tentu dalam standar performa Kant akan tergeser dari penerimaan) diterima oleh Allah, Calvin menyatakan, “…justified by faith is he who, excluded from the righteousness of works, grasps the righteousness of Christ through faith, and clothed in it, appears in God’s sight not as a sinner but as a righteous man.”[3] Kita melihat bahwa bagi Calvin, pembenaran oleh iman dikontraskan secara langsung dengan pembenaran oleh perbuatan. Iman sama sekali tidak dikredit sebagai sebuah tindakan atau perbuatan kita. Pembenaran oleh iman berarti bahwa Allah menerima kita (the stranger) dengan segala keberadaan kita, bukan dengan performa (works) yang berarti limited hospitality. Namun tidak seperti konsep total hospitality ala Postmodern, penerimaan Allah akan manusia bukan menyingkirkan tindakan atau perbuatan baik.
Dalam tuntutan hospitality Levinas dan Derrida, kita melihat satu ekstrem yang bahkan menyatakan keterbukaan terhadap monster yang paling berbahaya sekalipun untuk menyatakan hospitality yang total. Dalam konsep “Pembenaran Oleh Iman” Kristen, hal tersebut bukan sama sekali asing. Penerimaan Allah terhadap orang-orang berdosa bukan tanpa resiko untuk dilukai. Dalam memberikan penerimaan tersebut, Allah memberikan Kristus Yesus, Putra tunggal yang dikasihi-Nya untuk menjadi tebusan,[4] sebuah harga yang terlampau mahal ditilik dari theologi Trinitarian Kristen. Paulus menasihatkan jemaat di Efesus agar mereka menjaga diri agar tidak mendukakan Roh Kudus. Calvin mengatakan bahwa Roh Kudus tinggal di antara kita dan dia didukakan ketika kita berlaku fasik di hadapan Allah. Ini sebuah resiko besar yang diambil oleh Allah Sang Pencipta dalam penerimaannya terhadap stranger yang dalam realitasnya adalah orang-orang percaya yang masih bergumul dengan dosa, yang mana hal tersebut mendukakan-Nya. Calvin dalam tata ibadah karangannya, dalam bagian pengakuan dosa mengajak jemaat berdoa demikian, “…namun ya Tuhan, kami berdukacita dalam batin karena telah menyakiti hati-Mu, dan kami dengan rasa menyesal yang tulus menyatakan diri kami dan kesalahan kami layak dihukum, sambil mengharapkan rahmat-Mu datang menolong kesengsaraan kami.”[5] Dia begitu menyadari bahwa dosa adalah tindakan yang aktif menyakiti hati Allah. Konsep hospitality yang begitu besar sebenarnya telah dijawab dalam doktrin Pembenaran Kristen. Bahkan, hospitality Kristen tidak berhenti sampai penerimaan total akan stranger, namun meliputi “pengangkatan” status dan kondisi stranger tersebut, dan yang sesungguhnya merupakan tindakan hospitality melampaui tuntutan Levinas.
Penerimaan oleh iman tidak dilepaskan dari pengampunan dosa. Mengutip Murray, J.V. Fesko yang menyatakan, “…David’s religion, therefore, was not one determined by the concept of good works but by that of the gracious remission of sin, and the blessedness regarded as the epitome of divine favor, had no affinity with that secured by works of merit.” Pengampunan dosa ini membawa satu implikasi yang penting yaitu penerimaan Allah bukan sekedar penerimaan terhadap keberdosaan manusia, yang mana hal tersebut akan mendatangkan cacat pada kesucian Ilahi (konsep kesucian Allah yang sangat ditonjolkan oleh Anselm of Canterbury), namun meliputi pengampunan dosa. Ini yang saya maksudkan dengan pengangkatan status dan kondisi stranger. Dalam hal tersebut diikuti dengan imputasi kebenaran Kristus pada orang berdosa, hal tersebut dilakukan Allah melalui karya Kristus yang mempersatukan kita dengan Diri-Nya. Calvin mengatakan:
“Thus, him whom he receives into union with himself the Lord is said to justify, because he cannot receive him into grace nor join him to himself unless he turns him from a sinner into a righteous man. We add that this is done through forgiveness of sins; for if those whom the Lord has reconciled to himself be judged by works, they will indeed still be found sinners, though they ought, nevertheless, to be freed and cleansed from sin.”[6]
Dalam artikelnya “Kehidupan Kristen Menurut Calvin”, Pdt. Billy Kristanto menyatakan bahwa bagi Calvin, pembenaran dan pengudusan merupakan dua hal yang memang perlu untuk dibedakan namun tidak dapat dipisahkan.[7] Penerimaan Allah atas manusia bukan berdasarkan performa yang baik (seperti yang dikritikkan Derrida terhadap Kant), namun juga bukan tanpa performa (seperti imajinasi ekstrem Levinas). Boersma mempertanyakan hospitality tanpa batas sebagai pembuka jalan bagi violence yang lebih mengerikan: “A politics of absolute hospitality and absolute nonviolence may seem appealing, but it is a recepe for a politics of the worst kind of violence.”[8] Berbicara mengenai penghukuman, dia menyatakan, “Abolishing all external punishment eliminates a much-needed incentive for the perpetrator to stop the cycle of victimization and so removes the perpetrator’s as well as the victim’s hope for peace and justice.”[9]
Dalam VHC, Hans Boersma mengatakan bahwa komunitas Gerejalah yang semestinya menjadi komunitas hospitality. Boersma menjelaskan mengenai penitential hospitality sebagai kesadaran identitas diri, sebagai komunitas yang telah direstorasi oleh Allah, dan menjalani hidup penyucian secara progresif di mana ada keterbukaan dan aksi saling mengaku dosa di hadapan Allah dan sesama. Dengan kesadaran diri bahwa kita dibenarkan bukan karena jasa diri, maka pengakuan dosa tidak lagi menjadi satu momok yang menyeret kita kepada penghukuman Allah (problem Luther sebelum kesadarannya akan Pembenaran oleh Iman), namun sebaliknya menjadi dorongan untuk semakin menyadari cinta Allah, sebuah hospitality yang tuntas, baik di hadapan Allah maupun sesama kita. Pengakuan dosa bukan monopoli Katolik Roma; Luther percaya adanya 3 ketimbang 2 sakramen dengan mengikutsertakan Pengakuan Dosa, selain Perjamuan Kudus dan Baptisan.[10] Hal ini menjawab pada jantung isu mengenai hospitality. Pengakuan dosa, berarti membuka kelemahan diri, membuka kesalahan, dan membuka benteng diri, dan pada saat yang sama membuka peluang untuk diri mendapatkan violence; namun Pembenaran oleh Iman kembali memberikan sekuritas akan penerimaan baik oleh Allah yang berlanjut pada penerimaan oleh sesama. Hospitality Kristen membuka diri untuk menerima stranger termasuk resiko untuk terluka (seperti yang telah ditunjukkan oleh tindakan penebusan Kristus); namun juga memberi diri untuk diterima oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai stranger yang bersama-sama dipersatukan sebagai tubuh (meliputi tindakan penyucian). Forgiveness without penance means hospitality without boundaries and an invitation to Satan, sin, and death to take over the community of grace.[11]
Kita melihat bahwa theologi klasik “Pembenaran oleh Iman” Kristen telah mengantisipasi kelelahan zaman ini akan model penguasaan dan kontrol ala Modern serta mengayun pada pendulum sebaliknya yaitu hospitality, non violence, bahkan memberikan tantangan lanjutan mengenai fobia violence dalam segala bentuknya. Namun yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: “Benarkah sebagai Gereja Tuhan yang hidup kita bisa dengan lantang menyuarakan bahwa Gerejalah community of hospitality yang sejati? Dan sudahkah kita sebagai Gereja Tuhan memberikan penafsiran yang tepat akan hospitality yang dinyatakan Allah melalui tindakan kita menghidupi doktrin yang sangat dasar ini? Ataukah kita pura-pura atau benar-benar tidak sadar akan teriakan zaman ini, dengan memalingkan muka sembari berapologetika melalui rangkaian argumentasi linguistik (kontra dengan apologetika dalam hidup dan tindakan) bahwa kebenaran memang harus ditegakkan, penghukuman harus dijalankan, demi kemuliaan Allah?” Kiranya Tuhan menyertai kita dalam menggumulkan panggilan kita sebagai Gereja Tuhan yang hidup di tengah zaman ini. GOD be Praised!
Eko Aria
Pembina Pemuda GRII Bintaro
[1] Hans Boersma, Violence, Hospitality, and the Cross. Hlm. 30.
[2] ICR III. 11. 2
[3] ICR III. 11. 2
[4] Konsep ini pun dicerca sebagai violence.
[5] 16 Doktrin dasar Calvinisme BPK 417.
[6] ICR III. 11. 21
[7] Festchrift in honor of Stephen Tong. Hlm. 329.
[8] Hans Boersma, Violence, Hospitality, and the Cross. Hlm. 178.
[9] John Sanders ed. Atonement and Violence. Hlm. 59.
[10] Hans Boersma, Violence, Hospitality, and the Cross. Hlm. 225.
[11] Ibid. Hlm. 224.