Pendahuluan
Dalam Buletin PILLAR Edisi 127 (Februari 2014), banyak sekali artikel bertemakan covenant. Sepanjang covenant antara Allah dan manusia yang tercatat dalam Alkitab, ada satu kalimat yang berulang kali muncul yaitu “Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku.” Sounds familiar?
Ketika membaca kalimat tersebut, kisah apa yang Anda ingat? Mungkin beberapa dari kita akan mengingat peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir. Pada saat itu Allah berfirman,
“… Akulah TUHAN, Aku akan membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir, melepaskan kamu dari perbudakan mereka dan menebus kamu dengan tangan yang teracung dan dengan hukuman-hukuman yang berat. Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah, TUHAN, Allahmu, yang membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir.” (Kel. 6:5-6)
Kalimat tersebut tidak hanya ditujukan kepada bangsa Israel, bangsa yang merupakan pilihan Tuhan pada zaman tersebut tetapi juga kepada kita yang adalah umat Tuhan. Tuhan adalah Allah kita pada zaman ini. Jika demikian, apa hubungannya antara bangsa Israel dan orang Kristen zaman sekarang? Bagaimana kita bisa menjadi umat Allah? Artikel ini akan membahas bagaimana tema “umat Allah” (people of God) tidak hanya terus bermunculan sepanjang Alkitab tetapi juga terus berkembang dan mencapai puncaknya pada Kristus, Sang Imanuel. Mari kita telusuri dan renungkan setiap bagian yang akan di-highlight dalam artikel ini.
Perjanjian Allah kepada Abraham
Kalimat “Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku” pertama kali muncul dalam perjanjian Allah kepada Abraham (biasa disebut dengan Abrahamic Covenant). Sebagai seorang yang lahir di keluarga Kristen, penulis selalu mengasosiasikan atau mungkin ‘mereduksi’ janji ini sebagai janji akan keturunan yang sangat banyak (seperti bintang di langit dan pasir di laut). Akan tetapi, titik berat perjanjian tersebut tertulis dalam Kejadian 17:7,
“Aku [TUHAN] akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu.”
Satu hal yang kita pelajari dari janji di atas adalah bahwa Tuhan adalah Tuhan yang setia. Tuhan tidak terikat dengan janji-Nya tetapi Tuhan memilih untuk datang, menghampiri hidup seorang berbangsa Sumeria dan menyatakan, “Aku akan menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu.” Perjanjian ini bukan perjanjian yang sementara melainkan perjanjian yang kekal. Bukan hanya Abraham yang akan menjadi umat Tuhan melainkan seluruh keturunannya.
Perjanjian Allah kepada Musa
Selanjutnya, kalimat tersebut muncul beberapa kali kepada bangsa Israel (yang adalah keturunan Abraham) melalui Musa (Mosaic Covenant). Kalau perjanjian Abraham berfokus kepada adanya satu bangsa (Israel) yang akan menjadi milik Tuhan, perjanjian yang diturunkan pada zaman Musa berfokus kepada pembebasan bangsa Israel dari Mesir. Dalam konteks pembebasan tersebut, Allah berkata, “Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu” (Kel. 6:6).
Kemudian, setelah Tuhan benar-benar memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir, perkataan yang sama juga dinyatakan oleh Tuhan di Gunung Sinai. Tuhan mengingatkan Israel bahwa Dia telah membebaskan mereka dari Mesir, menyokong mereka di atas sayap rajawali, dan membawa mereka kepada-Nya. Jika mereka terus taat, mereka akan menjadi “harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa” (Kel. 19:4-5).
Tema “umat Allah” ini pun terus bermunculan di sepanjang Kitab Taurat yang ditulis oleh Musa. Allah berkata, “Sebab Akulah TUHAN yang telah menuntun kamu keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu” (Im. 11:45). Dalam kejadian lain, Musa mengingatkan bangsa Israel, “Sedangkan TUHAN telah mengambil kamu dan membawa kamu keluar dari dapur peleburan besi, dari Mesir, untuk menjadi umat milik-Nya sendiri” (Ul. 4:20). Lalu, satu kali lagi Musa berbagian dalam pembaruan covenant, yakni yang tercatat dalam Ulangan 29. Pada saat orang Israel berdiri di hadapan Tuhan di dataran Moab untuk memperbarui covenant yang mereka miliki, Musa menyatakan maksud pertemuan mereka secara singkat.
“Kamu sekalian pada hari ini berdiri di hadapan TUHAN, Allahmu: para kepala sukumu, para tua-tuamu dan para pengatur pasukanmu, semua laki-laki Israel, anak-anakmu, perempuan-perempuanmu dan orang-orang asing dalam perkemahanmu, bahkan tukang-tukang belah kayu dan tukang-tukang timba air di antaramu, untuk masuk ke dalam perjanjian TUHAN, Allahmu, yakni sumpah janji-Nya, yang diikat TUHAN, Allahmu, dengan engkau pada hari ini, supaya Ia mengangkat engkau sebagai umat-Nya pada hari ini dan supaya Ia menjadi Allahmu, seperti yang difirmankan-Nya kepadamu dan seperti yang dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni kepada Abraham, Ishak dan Yakub.” (Ul. 29:10-13)
Kalimat terakhir merujuk pada janji yang Tuhan ikrarkan kepada nenek moyang bangsa Israel, yakni Abraham sendiri. Kalimat ini mengaitkan janji yang Tuhan nyatakan kepada Abraham serta janji yang Tuhan berikan kepada umat Israel. Kita dapat mengingat bahwa janji yang diberikan kepada Abraham bukan hanya janji kepada Abraham semata, melainkan juga kepada keturunan Abraham. Dari dua bagian ini, kita melihat bahwa dalam setiap zaman, Allah bermaksud untuk menjadikan manusia umat milik kepunyaan-Nya dan Dia juga menyatakan bahwa Dia adalah Allah yang setia, yang mengingat janji-Nya, bahkan janji yang dibuat-Nya kepada manusia.
“Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Rat. 3:22-23)
Perjanjian Allah kepada Daud
Selanjutnya, selain kepada Abraham dan Musa, tema tentang “umat Tuhan” juga terus bermunculan di sepanjang Perjanjian Lama. Nabi Yehezkiel khususnya membahas covenant Allah kepada Daud. Tuhan, melalui Yehezkiel, berfirman,
“Dan Aku, TUHAN, akan menjadi Allah mereka serta hamba-Ku Daud menjadi raja di tengah-tengah mereka. Aku, TUHAN, yang mengatakannya.” (Yeh. 34:24)
Sepanjang perjalanan hidup Daud, banyak sekali puisi dan nyanyian yang telah dia tulis yang memperlihatkan kedekatannya dengan Tuhan. Salah satu mazmur yang paling terkenal adalah Mazmur 23. Di sana dia menulis di ayat 1, “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.” Di bagian lainnya, Daud juga menyatakan,
“TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?” (Mzm. 27:1)
Dari kedua ayat di atas, kita dapat melihat aspek lain dari tema “umat Tuhan”. Tema “umat Allah” bukan hanya bersifat transenden tetapi juga imanen. Tuhan yang berdaulat, yang harus disembah adalah Tuhan yang sama yang dekat dengan umat-Nya sebagai seorang Pribadi. Tuhan hadir dalam hidup umat-Nya. Sudahkah kita mengecap keintiman relasi kita sebagai umat Tuhan?
Perjanjian Allah kepada Kerajaan Israel
Lalu, di masa suram kerajaan Israel, yakni setelah zaman Raja Ahab, Yoas yang pada saat itu masih berumur tujuh tahun naik ke atas takhta untuk memelihara garis keturunan Daud. Imam Yoyada memimpin pasukan yang pada akhirnya menobatkan Yoas sebagai raja orang Israel.
“Kemudian Yoyada mengikat perjanjian antara TUHAN dengan raja dan rakyat, bahwa mereka menjadi umat TUHAN; juga antara raja dengan rakyat.” (2Raj. 11:17)
“Kemudian Yoyada mengikat perjanjian antara dia dengan segenap rakyat dan raja, bahwa mereka menjadi umat TUHAN.” (2Taw. 23:16)
Dua ayat paralel di atas merujuk pada janji Allah kepada nenek moyang mereka. Mereka diingatkan untuk kembali menghidupi hidup sebagai umat Allah. Narasi di kitab 1 dan 2 Raja-Raja (dan juga versi paralelnya di kitab 1 dan 2 Tawarikh) mencatat banyak sekali raja yang memimpin bangsa Israel. Tidak sedikit kita menemukan raja yang melakukan apa yang jahat di mata Tuhan dan hidup menuruti dosa yang mengakibatkan orang Israel berdosa. Ketika merenungkan pemimpin-pemimpin bangsa Israel yang notabene adalah umat Tuhan, kita akan benar-benar melihat Allah yang setia memelihara umat-Nya dan janji-Nya. Di tengah segala pergolakan yang terjadi di kerajaan Israel, Tuhan masih mengingat perjanjian-Nya kepada nenek moyang mereka, Abraham. Ketika orang Israel tidak setia, Tuhan tetap setia. Demikianlah tema “umat Allah” terus-menerus berkembang pada zaman ini.
Kristus
Dalam artikel sebelumnya yang berjudul “Christ the Perfect Sacrifice”, kita dapat melihat setiap korban yang dilakukan merujuk pada korban yang sempurna yang akan diberikan melalui Yesus Kristus. Demikian pula tema “Aku akan menjadi Allahmu dan engkau akan menjadi umat-Ku” mencapai titik puncaknya melalui perwujudan dalam satu Pribadi, yakni Sang Imanuel, Yesus Kristus.
“Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.” (Ibr. 1:1-2)
Nabi Yesaya secara khusus berperan dalam penjelasan akan tema ini. Kristus, Pribadi yang paling penting, memenuhi peranan-Nya sebagai wujud dari perjanjian melalui kesengsaraan-Nya. Dia adalah hamba Tuhan, memiliki status seorang raja, tetapi mengalami sengsara. Dia menjadi “perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa” (Yes. 42:6).
Yesus Kristus menjadi satu titik fokus yang mempersatukan seluruh Alkitab. Baik “Perjanjian Musa” maupun “Kerajaan Daud” bersatu dalam “Imanuel.” Dialah yang menyatakan, “Inilah darah-Ku, darah perjanjian” (Mat. 26:28). Pribadi Yesus Kristus merupakan pemenuhan yang paling puncak dari seluruh kehendak Allah. Dialah kepala atas Kerajaan Allah dan perwujudan dari perjanjian Allah. Melalui inkarnasi Kristus, janji “Aku akan menjadi Allahmu dan engkau akan menjadi umat-Ku” menjadi lebih nyata.
Seluruh pembelajaran theologi seharusnya membawa kita pada pengenalan Allah dan membuat kita kagum akan apa yang dikerjakan-Nya di kehidupan manusia. Pada bulan ini, ketika kita akan sekali lagi mengingat peristiwa Jumat Agung dan Paskah, mari kita merenungkan apa yang sudah dikerjakan Kristus. Di atas kayu salib Dia menjadi korban yang sempurna dan dalam diri-Nya kita ditebus menjadi milik Allah, menjadi “umat Allah”.
“Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” (Rm. 5:10)
Perjanjian Baru
Sampai pada zaman Perjanjian Baru, tema “umat Allah” terus berlanjut. Di Perjanjian Lama, “umat Allah” direpresentasikan oleh bangsa Israel, sedangkan di Perjanjian Baru “umat Allah” juga merangkum orang kafir seperti engkau dan saya. Beberapa hal yang menarik tentang perjanjian kepada umat Allah di masa yang akan datang dapat ditemukan dalam nubuat nabi Zakharia. Dalam Zakharia 2:11, nabi ini mengantisipasi hari di mana banyak bangsa akan datang kepada Tuhan. Allah berkata, “… pada waktu itu dan akan menjadi umat-Ku dan Aku akan diam di tengah-tengahmu.” Terlebih lagi, dalam Zakharia 8:8, Tuhan berfirman, “… mereka akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allah mereka dalam kesetiaan dan kebenaran.”
Orang-orang yang hidup satu zaman dengan Zakharia didorong untuk berkata benar seorang kepada yang lain (Za. 8:16). Lebih menarik lagi, umat Tuhan mendapatkan aplikasi langsung dari ayat ini pada saat mereka menikmati kesatuan dalam tubuh Kristus. Umat Perjanjian Baru akan “berkata benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota” (Ef. 4:25). Lalu, dalam perkataan Paulus kepada jemaat di Korintus, orang Kristen haruslah berpisah dengan orang tidak percaya, karena Allah telah berfirman, “Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku” (2Kor. 6:16). Panggilan untuk hidup suci ini juga menggambarkan aplikasi yang paling tepat bagaimana Allah menyucikan bangsa Israel dari kenajisan Mesir.
Kesimpulan
Di sepanjang sejarah, kita sudah melihat bagaimana Tuhan memanggil dan menjadikan manusia umat-Nya. Dia memanggil Abraham keluar dari kotanya, Ur – dari seluruh cara hidup dan kepercayaan yang dia miliki. Dia memanggil bangsa Israel keluar dari perbudakan dan kenajisan bangsa Mesir. Dia memanggil bangsa Israel untuk kembali, tidak lagi menyembah Baal tetapi menyembah TUHAN, Allah mereka satu-satunya. Penulis kitab Ibrani menyatakan, “Allah tidak malu disebut Allah mereka” (Ibr. 11:16). Sekarang, pada zaman ini, Dia juga memanggil kita keluar dari hidup kita yang berdosa, dari jalan dan cara pikir kita yang begitu najis. Kita tidak layak dipilih untuk menjadi umat Allah, akan tetapi, dengan anugerah dan darah Kristus kita dipilih dan terlebih lagi “diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah” (Yoh. 1:12). Demikian Allah juga tidak malu menjadi Allah kita. Sungguh ajaib! Jika demikian, apa yang menjadi respons kita? Bagaimana kita menjalani hidup sebagai umat Allah di abad ke-21 ini?
Ezra Yoanes Setiasabda Tjung
Pemuda PRII Hong Kong