Is Jesus a Fair Substitute?

Saya teringat akan sebuah iklan susu anak-anak di mana ada sebuah kue dan 8 orang anak kecil. Di antara ke-8 orang anak kecil itu, ada 1 orang anak kecil yang ceritanya lebih pintar dari anak-anak yang lain karena dia minum susu yang dipromosikan dalam iklan itu. Si anak pintar itu bertugas memotong kue agar terbagi rata sehingga ke-8 anak-anak itu (termasuk dirinya sendiri) mendapatkan porsi yang sama. Setelah kue dipotong menjadi 8 bagian yang sama rata dan semua anak mendapatkan potongan yang sama, lalu datanglah seorang anak yang lebih kecil (mungkin adik dari anak yang memotong kue itu) dan dia juga meminta bagian dari kue itu. Akhirnya si anak kecil yang pintar itu membagi dua kuenya sendiri dan memberikan setengahnya kepada adik kecilnya itu. Saat melihat iklan ini, saya berpikir, “Wah, iklan ini cukup kreatif juga, bisa menggambarkan seorang anak kecil yang mengerti akan konsep keadilan.” Tetapi kemudian saya kembali berpikir, “Hmm… kenapa ketika si adik kecil datang dan meminta bagian dari kue itu, si anak kecil yang pintar ini hanya membagi separuh dari porsi kuenya sendiri? Kenapa dia tidak memberikan seluruhnya kepada si adik kecil?” Lalu saya berpikir lagi bahwa sangat mungkin saya akan melakukan hal yang sama seperti si anak kecil yang pintar itu kalau saya berada di posisinya. Mengapa? Karena itulah konsep keadilan yang kebanyakan kita mengerti.

Saya memiliki seorang adik laki-laki, dan waktu kecil apabila adik saya dibelikan sebuah mainan baru oleh mama sedangkan saya tidak, dengan otomatis akan timbul suatu perasaan iri di dalam hati saya. Saya merasa diperlakukan tidak adil. Saya pikir mama saya tidak fair. Kenapa adik saya dibelikan mainan dan saya tidak? ‘Kan kita sama-sama anak mama. Kok mama pilih kasih sih? Dan saat itu justifikasi saya adalah, “Ah, pasti karena mama lebih sayang adik daripada saya.” Tetapi waktu saya dan adik sama-sama berbuat kenakalan, kemudian mama memarahi dan memukul adik, tidak pernah timbul suatu perasaan iri di dalam hati saya, dan saya juga tidak pernah bertanya-tanya, “Kok mama tidak adil? Kenapa adik dimarahi dan dipukul sedangkan saya tidak?” Waktu itu, mama tidak pernah menjelaskan kepada saya apa itu artinya adil atau apa itu konsep keadilan dengan kata-kata yang ngejlimet dan membingungkan. Kalaupun dia coba menjelaskannya kepada saya, saya yakin pasti saya juga tidak akan mengerti apa yang dibicarakannya. Sekarang saya justru merasa bingung mengapa saat saya belum benar-benar mengerti apa itu konsep keadilan, saya sudah bisa merasakan saat saya diperlakukan tidak fair. Berarti kesadaran akan konsep keadilan itu sebenarnya sudah ditanamkan Tuhan di dalam diri saya sejak saya kecil, sehingga tanpa diajari pun saya bisa merasakan apabila saya diperlakukan dengan tidak adil. Tetapi yang aneh adalah saya hanya merasa diperlakukan tidak adil kalau saya tidak mendapatkan hak saya. Saya tidak pernah ribut-ribut menuntut keadilan kalau misalnya saya yang dibelikan mainan dan adik saya tidak. Dan pada saat itu, saya juga tidak akan ngotot merengek-rengek minta agar mama membelikan mainan juga untuk adik, atau bahkan tindakan yang lebih “ekstrim” lagi – memberikan mainan saya kepada adik saya.

Ternyata rasa ingin diperlakukan secara adil yang saya rasakan saat saya kecil tidak berubah setelah saya dewasa. Mungkin demikian juga halnya di dalam diri banyak orang. Kita menuntut keadilan apabila hak kita tidak dipenuhi. Saat ini, di kota ini, di negara ini, bahkan di dunia ini, semua orang minta diperlakukan secara adil dan semua orang menuntut keadilan (baca: hak). Bahkan telah banyak hukum dan peraturan yang dibuat demi menegakkan keadilan. Kita lebih ngotot menuntut keadilan apabila kita akan mendapatkan benefit dari keadilan yang ditegakkan itu. Bahkan mungkin hukum-hukum yang katanya dibuat untuk menegakkan keadilan itu timbul dari saking giatnya kita menuntut hak, sehingga hukum-hukum itu dibuat untuk menjamin bahwa hak-hak kita tidak dilanggar. Kita bilang adalah hak kita untuk mendapatkan kenaikan gaji, at least setahun sekali lah. Kalau gaji kita tidak dinaikkan, itu berarti perusahaan tidak fair. Tetapi pada saat yang sama, apakah kita juga siap untuk bersikap fair kepada perusahaan? Apakah kita siap untuk bekerja lebih keras dan lebih baik lagi dari sebelumnya apabila gaji atau posisi kita dinaikkan? Seharusnya ‘kan begitu, kepada siapa diberikan lebih, pasti akan dituntut lebih, itu baru namanya adil. Kalau gaji kita dinaikkan, tetapi kita bekerja sama saja, begitu-begitu saja, atau bahkan lebih sedikit bekerja dari sebelumnya karena toh posisi saya sudah tinggi, tinggal suruh anak buah saja yang mengerjakan. Apakah itu adil? Kalau jawabannya ya, adil untuk siapa? Untuk perusahaan atau untuk kita?

Keadilan semacam ini juga jelas kelihatan di dalam aspek-aspek kehidupan manusia lainnya. Contoh paling sederhana yang pasti kita semua mengenalnya dan temui setiap hari adalah keadilan dalam sistem jual-beli. Dengan tidak kita sadari, hampir setiap hari kita mengadakan pertukaran dengan orang lain. Dalam jual-beli, kita memberikan sejumlah uang kepada orang lain dan orang itu akan memberikan sejumlah barang kepada kita. Dalam artikel berjudul “Dagang” oleh Ev. Yadi S. Lima (lihat Pillar edisi Juli 2006) dikatakan bahwa biasanya kita merasa bahwa barang yang kita tukarkan dengan uang itu bernilai lebih atau setidaknya sama dengan uang yang kita korbankan untuk memperoleh barang itu. Saya kira tidak ada orang yang rela untuk ‘berpisah’ dengan uangnya apabila kita tahu ujung-ujungnya kita akan rugi. Kalaupun kita rela, pasti rasanya akan sangat berat sekali. Seperti Ev. Yadi jelaskan dalam artikelnya, bahwa dalam jual-beli, baik si penjual maupun si pembeli pasti mau sama-sama untung. Everyone wants a win-win solution where nobody loses. Itu baru namanya keadilan dalam tukar-menukar. Sama-sama untung, tidak ada yang rugi. Tapi bagaimana kalau misalnya si penjual dan si pembeli sama-sama rugi. Apakah itu bisa disebut adil? Sebenarnya bisa dikatakan adil juga, karena dua-duanya sama-sama rugi, tidak ada yang untung. Tetapi apakah ada penjual dan pembeli yang mau sama-sama rugi? Saya rasa hampir tidak ada, karena sejujurnya kita lebih tertarik pada ‘untung’-nya ketimbang ‘adil’-nya.

Sampai di sini, kita sama-sama setuju bahwa sebuah pertukaran haruslah adil atau fair. Dengan kata lain, sebuah substitusi (penggantian) haruslah sama atau adil. Misalnya kita membeli sebuah kalkulator di toko A. Setelah kita pulang dan ingin menggunakan kalkulator itu, ternyata kalkulator itu rusak. Keesokan harinya kita kembali lagi ke toko A dan minta agar kalkulator itu ditukar. Ternyata kalkulator yang rusak itu tinggal satu-satunya di toko itu, yang tersedia hanya kalkulator dengan merk atau tipe yang lain. Tentunya kita akan minta agar digantikan dengan kalkulator lain yang harganya sama dengan kalkulator yang telah kita beli itu. Kalau kita mendapatkan ganti kalkulator yang harganya lebih murah daripada uang yang telah kita bayarkan, itu namanya tidak adil dan otomatis kita akan menuntut sisa uang kita kembali.

Selain adil, sebuah substitusi juga harus sama fungsinya. Seperti contoh kalkulator di atas, tentunya kita tidak akan menerima kalau kalkulator yang rusak tersebut digantikan dengan kapas. Karena yang kita perlukan adalah kalkulator, bukanlah kapas. Atau misalnya saat kita sakit dan memerlukan transfusi darah. Darah yang kita terima haruslah mempunyai golongan darah yang sama atau cocok dengan kita. Kalau kita menerima darah yang tidak cocok dengan golongan darah kita, bukannya menyembuhkan, malahan akan membahayakan kita.

Dalam Roma 6:23 dikatakan, “Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Karena kita berdosa, sudah seharusnya dan sepantasnya kita mati, itulah keadilan (justice). Maut adalah upah dari dosa. Saya rasa kita semua setuju kalau setiap orang yang bersalah pantas menerima hukuman. Kita tidak dapat argue bahwa hukuman itu tidak adil, karena memang sepantasnya dan seharusnya kita menanggung hukuman atas dosa kita sendiri. Misalnya orang yang mencuri atau merampok, sudah sepantasnya kalau dia dihukum menurut hukum yang berlaku. Itu adalah keadilan (justice). Demikian juga, kita pantas dihukum karena kita telah berdosa dan mencuri kemuliaan Tuhan. Mungkin sebagian dari kita akan berkata, “Kenapa saya perlu dihukum? Saya tidak pernah mencuri atau merampok kok! Saya hidup baik-baik dan selalu berusaha untuk berbuat baik kepada orang lain. Kenapa kamu bilang saya berdosa?” Dosa manusia bukan hanya sebatas berbohong, mencuri, merampok, atau membunuh saja. Semua itu hanya merupakan akibat dari natur manusia yang telah rusak total dan kehilangan kemuliaan Allah. Menurut John Calvin, pada dasarnya natur manusia telah dirusak oleh dosa dan tanpa kelahiran baru serta pimpinan Roh Kudus, kita tidak mungkin dapat melakukan kebaikan, memahami kebaikan, ataupun menginginkan kebaikan. Seperti saat saya kecil, tanpa diajari pun saya lebih cepat mengerti akan konsep keadilan (fairness) yang menguntungkan saya daripada konsep keadilan (justice dan righteousness) yang diajarkan oleh Tuhan. Setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk lebih cepat berbuat dosa daripada berbuat kebaikan. Ini adalah natur manusia berdosa yang tidak dapat kita sangkali.

Melalu firman-Nya, mulai dari Kejadian Lama, Tuhan me-reveal bahwa Dia mempunyai rencana keselamatan bagi manusia di sepanjang sejarah. Di dalam kitab Keluaran, kita tahu bahwa Tuhan memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan di tanah Mesir. Bangsa Israel adalah bangsa pilihan yang sangat dikasihi Allah, dan pada Paskah pertama, sebelum Tuhan menjatuhkan tulah kesepuluh atas bangsa Mesir, yaitu bahwa setiap anak sulung di tanah Mesir akan mati, Tuhan memerintahkan Musa agar orang-orang Israel mengambil anak domba atau kambing jantan yang tidak bercela, berumur setahun. Kemudian anak domba itu harus disembelih dan darahnya harus diambil sedikit untuk ditorehkan pada kedua tiang pintu dan pada ambang atas, pada rumah-rumah di mana orang memakannya. Dan saat Tuhan menjatuhkan tulah atas Mesir, apabila Dia melihat ada darah pada kedua tiang dan ambang atas pintu-pintu rumah yang dilewatinya, Dia tidak akan memusnahkan orang-orang yang berada di dalamnya dan mereka akan selamat. Kemudian Tuhan menjatuhkan kematian atas semua anak sulung di seluruh Mesir, dan dengan darah yang tercurah, orang-orang Israel diselamatkan oleh Tuhan dan dilepaskan dari perbudakan di Mesir. Bangsa Israel merupakan gambaran (tipologi) seluruh umat pilihan yang dikasihi Allah. Bangsa Israel dilepaskan dari perbudakan Mesir, sama seperti Tuhan membebaskan kita dari perbudakan dosa yang selama ini membelenggu diri kita. Dan untuk menggantikan darah orang-orang Israel yang seharusnya tercurah,  harus ada korban untuk mengganti curahan darah tersebut, dalam hal ini adalah anak domba atau kambing yang disembelih. Bagi bangsa Israel saat itu, kedatangan seorang Juruselamat adalah suatu harapan yang jauh ke depan. Tetapi bagi kita saat ini, kedatangan Juruselamat itu telah digenapi oleh Yesus Kristus yang telah datang ke dalam dunia, menjadi manusia dan mati di kayu salib menggantikan kita, untuk menanggung hukuman yang seharusnya kita tanggung, sehingga Allah Bapa, dengan keadilan-Nya (righteousness), mengampuni dosa umat-Nya. Kita sudah mengalami anugerah yang luar biasa besar dari Tuhan yang belum tentu dapat dinikmati oleh semua zaman, tetapi sayangnya seringkali kita melupakan dan menyia-nyiakan anugerah itu dan bahkan mempermainkan anugerah keselamatan yang Tuhan telah bayarkan dengan harga yang begitu mahal bagi kita.

Selama hidup sebelum saya mengenal Kristus, hanya dua macam keadilan (fairness) yang saya kenal. Yang pertama yaitu keadilan yang ber-benefit untuk saya (yang telah saya pelajari secara otomatis sejak saya kecil), dan yang kedua adalah keadilan yang sama rata atau sama benefit-nya untuk semua orang (seperti sila kelima Pancasila yang diajarkan sejak SD). Berdasarkan dua macam keadilan yang saya kenal itu, kematian Kristus menggantikan kita dan menanggung hukuman kita sepertinya tidak fair, karena Tuhan Yesus tidak berdosa, seharusnya Dia tidak perlu dihukum. Kalau Dia tidak berdosa lalu dihukum, berarti itu tidak adil (justice) untuk Dia. Dan ironisnya, keadilan manusia yang mencari benefit untuk dirinya sendirilah yang mengantar Tuhan Yesus dihukum dan mati di atas kayu salib. Kalau Tuhan Yesus tidak berdosa, berarti Dia mati bukan untuk menebus dosa-Nya sendiri, tetapi untuk menggantikan dosa orang lain. Bukan saja Tuhan Yesus tidak mendapatkan keadilan yang menguntungkan Diri-Nya sendiri (baca: keadilan yang sangat kita sukai), dan Dia juga tidak mendapatkan keadilan yang sama-sama fair (baca: keadilan yang kurang kita sukai, tapi boleh lah karena masih sama-sama ‘untung’), malahan Tuhan Yesus mendapatkan bentuk keadilan yang sangat asing dan jauh dari pikiran kita, yaitu keadilan yang „merugikan“ Dia.

Lalu kalau Tuhan Yesus tahu Dia akan diperlakukan dengan begitu tidak adil oleh manusia di dunia ini, mengapa Tuhan Yesus rela mengorbankan diri-Nya untuk mati menggantikan kita? Simply karena Dia mengasihi kita. Di dalam Yoh 3:16 dikatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Dalam benak saya kasih Tuhan bagi manusia pasti adalah kasih yang luar biasa besarnya dan kasih yang sangat-sangat selfless, sehingga Dia rela mengorbankan Anak-Nya yang tunggal yang sangat dikasihi-Nya dan Anak-Nya pun rela mengorbankan Diri-Nya untuk menanggung hukuman atas dosa umat manusia. Di sinilah kasih dan keadilan (righteousness) Allah bertemu dengan sempurna.

Hanya melalui diri Kristus kita dapat mengenal true righteousness. Kita sadar bahwa kita adalah orang berdosa yang telah diselamatkan oleh Tuhan, sedangkan di sekeliling kita masih banyak orang-orang yang belum mengenal Kristus, maka kita harus belajar untuk mengasihi mereka seperti Tuhan mengasihi kita, dan kita juga harus belajar untuk bersikap adil (righteous) kepada mereka dengan memberitakan tentang Kristus yang telah mati di kayu salib untuk menanggung dosa-dosa manusia. Inilah pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya agar kita kerjakan dalam hidup kita. Dan Tuhan juga senantiasa menyertai di dalam segala ketaatan kita mengerjakan semuanya dalam rangka menggenapi rencana kekal Tuhan Allah di dunia ini. Marilah kita bersama-sama belajar untuk menghidupi hidup yang penuh kasih dan adil ini serta senantiasa berespon terhadap anugerah terbesar yang sudah Tuhan berikan kepada manusia ini, Anak-Nya yang tunggal yang telah mati menggantikan umat-Nya di atas kayu salib. Amin.

Mildred Sebastian

Redaksi Bahasa PILLAR