John Calvin

John Calvin and the Meditation of the Future Life

John Calvin kerap dilihat sebagai seorang theolog sistematika dan biblika yang menyusun bangunan theologi Reformed secara solid dan teruji di dalam koherensi proposisi iman ortodoks yang statis. Keteraturan, rasionalisme, dan kontrol merupakan tiga hal utama di dalam melihat karikatur Calvin semacam ini. Tentu, melihat Calvin sebagai seorang scholar bukan merupakan sesuatu yang salah karena Calvin sendiri memang menempuh jenjang pendidikan akademis yang jelas dan ia memang memiliki kapasitas kognitif yang luar biasa di dalam menganalisis dan mensistematisasi pemikiran theologi dari orang-orang sebelumnya berikut mengembangkan pemikiran tersebut di dalam konteks zamannya sendiri.

Akan tetapi apabila kita menilik pergumulan kehidupan pribadi dan tulisan John Calvin maka kita akan mendapati bahwa Calvin bukan orang yang tidak mengerti kehidupan sehingga ia menghasilkan theologi yang mengawang-awang. Ia sendiri pun mengalami berbagai masa yang penuh kesulitan di sepanjang hidupnya. William Bouwsma menemukan bahwa nampaknya Calvin mengalami perasaan kehilangan dan kesepian di awal-awal pembentukan karakter dirinya melalui kematian ibunya ketika Calvin masih kecil serta pengalaman dijauhkan dari rumah sang ayah karena berbagai alasan yang kemudian malah diperhebat dengan pengalaman pembuangan (exile) dalam tahun-tahun pelayanannya ke depan. Tulisnya lebih jauh, “The loss of mother and home may also have been an element in what seem to me undeniably ambiguous feeling about his father, a mother of particular moment for one whose thought depended so heavily on the understanding of fatherhood.”[1] Bahkan apabila diperhatikan lebih jauh, kehidupan masa muda Calvin yang bertema exile tersebut turut mewarnai pembentukan theologinya di kemudian hari. Rekor pelayanan Calvin pun tidak dilaluinya tanpa kesulitan dan penolakan termasuk oleh kota Jenewa sendiri. Di penghujung hidupnya Calvin tercatat menderita arthritis, batu ginjal, gangguan kandung kemih, hemorrhoids, pendarahan di bagian perut, demam, kejang otot, nephritis, dan gout.[2] Ia tidak pernah melalui kehidupan tanpa penderitaan dan pergumulan.

Sosok Calvin yang mengerti dan mengenal hidup serta penderitaan menjadikannya bukan hanya seorang theolog saja, namun sekaligus juga seorang pastor yang berjuang agar theologi membentuk kehidupan Kristiani yang saleh di dalam kehidupan masa kini yang bergejolak. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila Calvin menyebut Institutes sebagai ikhtisar kesalehan (a sum of piety). Kalimat pembuka Calvin di dalam Institutes bahwa hikmat yang sejati mencakup pengenalan akan Allah dan pengenalan akan diri bukan merupakan omong kosong belaka. Karena di dalam keseluruhan Institutes kita dapat melihat bagaimana Calvin menerapkan seluruh pengertiannya akan Allah dan theologi di dalam konteks pergumulan dan pertumbuhan iman orang Kristen yang hatinya penuh dengan tipu muslihat serta mengambil tempat di dalam dunia yang sudah jatuh. Sehingga theologi di dalam Institutes adalah theologi yang dapat dihidupi karena memiliki aspek praktikal dan pastoral di dalamnya.

Salah satu bentuk ekspresi dari pengertian theologi Calvin, pergumulan manusia tersebut adalah mengenai meditatio futurae vitae yakni perenungan tentang kehidupan di masa depan pasca kematian. Artikel ini akan membahas mengenai meditation of the future life dari Institutes III.9 yang merupakan satu aspek penting di dalam theologi Calvin untuk pembentukan kehidupan Kristiani yang saleh.

Persatuan Mistis dengan Kristus

Seluruh gambaran besar yang dibuat John Calvin mengenai kehidupan Kristiani diletakkannya di dalam figura pengalaman mystical union with Christ. Di dalam pertobatannya, orang percaya dipersatukan dengan Kristus, Sang Mediator Penciptaan dan Penebusan, melalui karya Roh Kudus sehingga ia memperoleh berkat ganda yakni justification dan sanctification. Pengalaman seseorang dipersatukan dengan Kristus meniscayakan adanya semacam proses replikasi yang akan membawa orang tersebut semakin serupa dengan Kristus yang dimulai di dunia ini dan kelak disempurnakan di dalam dunia yang akan datang. Menurut Cornelis Venema: “The work of the triune Creator and Redeemer aims to bring those who are united to Christ to glory, and to repair the brokenness and disorder of sin in human life. Calvin’s treatment of the resurrection of the body and the life everlasting represents, accordingly, his account of the telos of the believer’s union with Christ. In union with Christ, believers are justified, sanctified, and ultimately glorified.”[3] Dengan demikian, pemuliaan orang percaya merupakan sasaran dan tujuan dari persatuan mistis dengan Kristus yang akan digenapi di dalam kehidupan masa datang yang harus dihidupi sementara orang Kristen tinggal di dalam dunia ini.

Pandangan Calvin Tentang Kehidupan Masa Kini

Calvin cenderung untuk melihat kehidupan Kristiani di masa sekarang secara negatif dan pesimis. Hal ini tentu berbeda dengan later Calvinism yang nampaknya berusaha untuk menekankan keindahan dan prospek yang optimis dari kehidupan masa sekarang. Kehidupan masa sekarang dilihat oleh Calvin sebagai penuh dengan penderitaan dan kesia-siaan belaka.[4] Tulis Calvin demikian: “Then only do we rightly advance by the discipline of the cross, when we learn that this life, judged in itself, is troubled, turbulent, unhappy in countless ways, and in no respect clearly happy; that all things which are judged to be its good are uncertain, fleeting, vain, and vitiated by many intermingled.[5] Memang ada kesenangan dan kenikmatan yang ditawarkan oleh dunia, namun bagi Calvin semua itu harus diperlakukan dengan kewaspadaan, karena pada dasarnya kehidupan masa kini diwarnai dengan kesulitan, gejolak, ketidakpastian, dan kefanaan. Calvin mengharapkan agar orang Kristen benar-benar menyadari betapa fana dan tidak berharganya kehidupan dunia di masa kini, supaya ia tidak mengasihi dunia ini dengan cinta kebinatangan (brutish love), melainkan akan memperlakukannya dengan hina (contempt). Tidak ada jalan tengah di antara kedua pilihan tersebut bagi Calvin.

Bagi orang Kristen yang sudah terlanjur jatuh hati dengan dunia ini, maka Allah akan memberikan berbagai macam kesulitan yang bertubi-tubi untuk menarik kembali hati orang Kristen tersebut agar kembali kepada-Nya. Ujar Calvin: “To counter this evil (baca: kemelekatan hati orang Kristen kepada dunia) the Lord instructs his followers in the vanity of the present life by continual proof of its miseries.”[6] Bukti penderitaan tersebut dapat mencakup perang, penjarahan, kecelakaan, pembuangan (exile), kekeringan, kemiskinan, dan lain sebagainya. Bahkan Calvin mengatakan bahwa Allah dapat memberikan istri yang bejat (depraved) dan anak-anak yang jahat agar orang Kristen tidak memberhalakan keluarganya sehingga memalingkan devosinya kepada Allah.[7]

Ketika Calvin dengan begitu keras mengajar mengenai betapa sia-sia dan hinanya kehidupan masa sekarang di dunia ini, ia juga memberi batasan kepada para pengikutnya agar mereka melakukannya di dalam konteks yang tepat, yakni: orang Kristen harus membenci dunia hanya sebatas kehidupan dunia yang senantiasa berusaha menundukkan orang Kristen ke bawah dosa.[8] Calvin menginginkan agar pengikutnya tetap menghargai anugerah dan berkat yang Allah berikan di dalam kehidupan masa kini agar mereka tidak menjadi orang yang tidak tahu bersyukur kepada Allah atas kehidupan yang telah diberikannya di dalam dunia.[9]

Kesulitan hidup, pergumulan melawan dosa di dalam dunia masa kini sekaligus cicipan berkat-berkat sorgawi yang Allah berikan sementara orang Kristen masih hidup di dalamnya, seharusnya membuat orang Kristen semakin merindukan dan merenungkan tentang kepenuhan dan kelimpahan kehidupan mendatang di sorga.

Pandangan Calvin Tentang Kehidupan Masa Depan

Calvin melihat sesungguhnya kehidupan di masa kini sebagai sebuah pembuangan (exile), ketika kehidupan masa depan adalah kampung halaman yang sesungguhnya (fatherland). Di sini kita dapat melihat bagaimana pergumulan masa lalu Calvin yang memuat pengalaman kehilangan figur orang tua dan pembuangan yang menjauhkannya dari kampung halaman membentuk pengertiannya akan signifikansi sorga. Tulis Calvin, “For, if heaven is our homeland, what else is the earth but our place of exile? If departure from the world is entry into life, what is the world but sepulcher? And what else is it for us to remain in life but to be immersed in death? If to be freed from the body is to be released into perfect freedom, what else is the body but a prison? If to enjoy the presence of God is the summit of happiness, is not to be without this misery?”[10]

Terlihat jelas kontras yang hendak Calvin sajikan antara kehidupan masa kini dengan kehidupan masa depan: exile-homeland, sepulcher-life, prison-freedom, misery-happiness. Oleh karena itu, orang Kristen harus berhasrat akan tibanya hari kematian pribadinya karena melalui kematian maka kita akan dipindahkan dari tempat pembuangan (exile) menuju ke sorga (heavenly fatherland).[11] Bagi Calvin, pengharapan akan kehidupan kekal setelah kematian merupakan salah satu ciri yang membedakan orang Kristen dengan binatang.[12] Lebih jauh, kematangan rohani seseorang dapat diukur dari seberapa ia bersukacita menanti hari kematian dan kebangkitannya kelak.”No one has made progress in the school of Christ who does not joyfully await the day of death and final resurrection.” tegas Calvin.[13]

Martin Schultze menilai pandangan Calvin mengenai kehidupan masa kini yang demikian kontras dengan kehidupan masa mendatang merupakan bentuk kontinuitas murni Calvin terhadap asketisme monastik dan dunia-sana yang khas Medieval-Platonik. Lanjut Schultze, “In this sense, Calvin’s theology is thoroughly eschatological, but it reflects an eschatology that repudiates any substantial interest in the transformation of life and its orders by the norms of the law of God.”[14] Akan tetapi pandangan tersebut dibantah oleh Cornelis Venema. Venema menegaskan bahwa terdapat tiga poin diskontinuitas yang juga ada di dalam theologi Calvin dengan Medieval. Pertama, meditation of the future life di dalam theologi Calvin senantiasa dikaitkannya dengan persatuan mistis dengan Kristus. Sebagaimana Kristus telah berada di sorga, demikian pula orang Kristen harus senantiasa mengarahkan hatinya kepada Kristus yang kini di sorga. Venema di dalam tulisannya mengutip pendapat Holwerda yang mengatakan bahwa frasa “contempt for the world” tidak bermula dari Calvin, melainkan dari tulisan Thomas Kempis, yang mengajarkan agar orang Kristen menarik diri sepenuhnya dari dunia. Hal ini berbeda dengan Calvin yang menginginkan agar orang Kristen hidup di dalam antisipasi sorga di dalam persatuannya dengan Kristus. Kedua, Venema menilai bahwa di dalam theologi Calvin terdapat batasan untuk menghina kehidupan masa kini dengan sikap hati menghormati Allah yang telah memberi hidup dan berkat kepada orang Kristen di dalam dunia. Ketiga, di dalam Institutes 3.25 Calvin memparalelkan antara meditation of the future life dengan meditation on the resurrection of Christ. Konsekuensinya, pengharapan Kristiani akan kehidupan masa mendatang merupakan pembaruan dari kehidupan masa kini sebagaimana tubuh kebangkitan Kristus merupakan pembaruan yang memiliki kontinuitas dengan tubuh sebelumnya.

Dengan demikian, apakah aplikasi dari meditation of the future life bagi kesalehan hidup Kristiani? Pada intinya Calvin mengatakan bahwa: “If believers’ eyes are turned to the power of resurrection, in their hearts the cross of Christ will at last triumph over the devil, flesh, sin, and wicked men”.[15] Calvin mengakui secara jujur bahwa tidak ada yang lebih sulit selain mengekang nafsu serta menyangkal diri kita dan membaktikan seluruh hidup kita kepada Allah dan sesama di dalam dunia yang berdosa ini. Oleh sebab itu, berdasarkan 1 Tesalonika 3:5 Calvin mengajarkan bahwa pengharapan kepada kedatangan kedua Kristus sebagai inagurasi dari kehidupan masa depan akan mengenyahkan semua iming-iming dunia yang merintangi kita, dan menyadarkan kepada kita bahwa perjuangan kita di dalam dunia tidak akan berakhir dengan sia-sia, melainkan akan tiba pada kemuliaan sorgawi.[16] Dengan demikian, orang Kristen akan ditopang oleh pengharapan ilahi ketika mereka berjuang untuk mempermuliakan Allah dan dan menikmati Dia. Orang Kristen yang senantiasa menanti sorga juga akan dikuatkan ketika mereka harus melalui kemiskinan dan kesulitan, karena mereka mengerti bahwa semua itu adalah fana dan tidak dapat dibandingkan dengan sukacita kemuliaan sorga. Di lain pihak, orang Kristen yang menikmati kelimpahan materi juga tidak akan sembarangan menyandarkan hidup mereka kepada harta benda. Ada nilai kesederhanaan dan penguasaan diri yang dibangun dari meditation of the future life. Dan yang terakhir, jika orang Kristen menyadari bahwa kehidupan yang akan datang merupakan pembaruan dari kehidupan masa kini, maka orang Kristen juga makin dikuatkan untuk mengelola dunia ini demi menyongsong kehidupan di masa mendatang kelak. Maranatha!

 

Daniel Andrew Kristanto

Mahasiswa Institut Reformed Jakarta


[1] William J. Bouwsma, John Calvin: A Sixteenth Century Portrait. New York: Oxford University Press, 1987. hlm. 11

[2] Ibid., hlm. 30

[3] Cornelis Venema, “Calvin’s Doctrine of The Last Things: The Resurrection of the Body and the Life Everlasting,” dari Theological Guide to Calvin’s Institutes, David Hall dan Peter Lillback, ed. NJ: P&R. hlm. 445.

[4] John Calvin, Institutes of the Christian Religion, ed. John T. McNeill, terj. Ford Lewis Battles (Philadelphia: WJK). 3.9.1.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Ibid., 3.9.4

[9] Ibid., 3.9.3

[10] Ibid., 3.9.4

[11] Ibid., 3.9.5

[12] Ibid., 3.9.1

[13] Ibid. 3.9.5

[14] The Last Thing, 458.

[15] John Calvin, ICR 3.9.6

[16] ICR 3.7.3