Kekristenan yang Kalah

Profesor Pierre Berthoud membuka sesi kapita selekta (kapsel) siang itu dengan satu pernyataan, “Kekristenan di Eropa sudah lama mengafirmasi dunia.” Pernyataan itu disampaikan pada konferensi dunia World Reformed Fellowship, di Jakarta. Sabtu itu, 10 Agustus 2019, sekitar 1.000 orang dari berbagai negara berkumpul di ibu kota Indonesia dalam rangka memperingati salah satu titik penting dalam sejarah kekristenan. Namun entah mengapa hari itu, peringatan 400 tahun Synod of Dordt, harus dibuka dengan kalimat yang semacam demikian.

Empat ratus tahun lalu, ratusan orang Kristen terpelajar, para rohaniwan, pemimpin gereja dan orang-orang berpengaruh dalam dunia Protestan berkumpul di kota Dordrecht, Belanda. Mereka berkumpul dalam satu kondisi yang sulit. Pada tubuh Protestan sedang berkembang dua arus. Yang satu percaya bahwa pemilihan Allah atas umat-Nya berdasarkan pra-pengetahuan-Nya. Dan yang satu lagi percaya bahwa pemilihan Allah atas umat-Nya berdasarkan kerelaan kedaulatan-Nya semata.

Perseteruan keduanya begitu kuat dan berpengaruh luas. Sampai-sampai bila terus dibiarkan, perselisihan tersebut berpotensi untuk mengganggu stabilitas negara. Efeknya bukan saja bagi gereja, melainkan juga negara. Bukan saja untuk saat itu, tetapi juga untuk masa depan kekristenan. Belanda mungkin sekali terpecah menjadi dua dan berujung pada perang saudara. Pemerintah melihat kemungkinan tersebut, maka negara memfasilitasi. Harus ada sebuah sidang raya untuk menuntaskan permasalahan berlarut-larut ini.

Ternyata kala itu, pertimbangan soal iman yang benar bisa sampai menggoncang sendi-sendi yang penting di dalam kehidupan masyarakat. Berbeda sekali dengan kondisi masa kini, di mana sekularisme dan sekularisasi sangat dominan, pada masa itu iman yang benar, bertanggung jawab, dan sungguh-sungguh tidak pernah terpisah dari pertimbangan publik. Iman juga tidak menjadikan seseorang bodoh, tetapi menjadikan seseorang berpikir secara terstruktur, sistematis, dan strategis. Iman juga tidak menjadikan seseorang malas, melainkan makin giat mengejar koneksi antara iman dan dampaknya terhadap ruang publik. Sebab iman yang sejati memang akan memunculkan satu rasa haus yang akut untuk menelusuri keseluruhan realitas yang sesungguhnya dari keberadaan manusia.

Kali ini kita akan coba merenungkan, apa sebenarnya signifikansi dari sebuah sidang raya berusia 400 tahun pada masa kini? Apa pula manfaatnya? Bagaimana sebuah sidang keagamaan dapat memiliki pengaruh yang nyata pada kehidupan sehari-hari masa kini? Yang di mana keberadaannya dirasa masih dapat berlangsung tanpa perlu menyediakan ruang bagi pergulatan keagamaan. Bukankah justru diskusi keimanan yang paling bersumbangsih selama ini terhadap perpecahan, perseteruan, dan akhirnya, peperangan?

Selain menimbulkan perpecahan, keberadaannya pun kini makin mungil di negara-negara yang dahulu pernah dicap sebagai Negara Kristen. Bukankah kedua hal ini malah makin menegaskan sebuah fakta bahwa kekristenan memang, dan akan selalu, kalah?

Dua Dunia
Prof. Pierre Berthoud sore itu menyampaikan makalahnya tentang gambaran kekristenan di Eropa, dan secara khusus Prancis. Sesi kapsel bertajuk “Responding to the Spiritual Condition of Europe” dimulai dengan membuka sejarah dari dua arus yang berkembang di Eropa pasca Dark Ages. Arus yang pertama adalah Reformasi Protestan. Arus yang kedua adalah Renaisans, yang diteruskan dengan Abad Pencerahan. Sebenarnya wilayah Eropa, terutama yang berada di bawah pengaruh Reformasi, mendapatkan efek perkembangan yang sangat positif dalam kehidupan sosial budaya kemasyarakatannya. Ambil saja contoh paling umum, kota Jenewa di Swiss. Aspek-aspek seperti praktik keagamaan, pendidikan, moralitas, kebudayaan, sains, sosial, ekonomi, politik, hukum, dan militer terbangun sebagai sebuah respons terhadap, dan ekspresi dari, progress keimanan masyarakat.

Masyarakat kota, yang sebelumnya hidup uring-uringan (walaupun tidak barbar), mendapatkan standar moralnya yang baru. Padahal mereka sudah Kristen. Protestantisme pada masa itu, di dalam garis Yohanes Calvin, memberikan sebuah titik tolak, dan titik tuju, yang kembali kepada semangat kekristenan yang sesungguhnya. Tentang bagaimana seharusnya orang Kristen berespons kepada Allah yang telah memilih dan mengkhususkan mereka sebagai umat kepunyaan Allah; sebagaimana dinyatakan oleh Alkitab. Penegasan Calvin jelas, bahwa ekspresi orang Kristen, pada wilayah apa pun di dalam dunia, seharusnya lahir dan tumbuh dari statusnya sebagai manusia yang berada di dalam persatuannya dengan Kristus. Unio Cum Christo. Kristus yang adalah Allah, yang adalah Sang Hikmat, yang adalah Pengantara dan Penebus, yang adalah Pembela kita di hadapan penghakiman Tuhan. Dan efek dari persatuan itu nyata di dalam perjalanan sejarah masyarakat Eropa.

Namun, pembacaan dan narasi yang berbeda dibangun oleh dunia. Ihwal kemajuan pasca Abad Kegelapan, itu adalah jasa dari arus Renaisans, yang membawa kembali tradisi pemikiran filsafat Yunani. Buah dari kembalinya manusia kepada rasionalitas dan fakta empiris dianggap menjadi penyebab yang sesungguhnya dari kemajuan masyarakat Eropa. Sedangkan agama, ataupun religiositas, dinilai sebagai biang kerok kemunduran. Dan sialnya, kondisi keagamaan pada masa Dark Ages memang memalukan. Oleh sebab itu, muncullah juruselamat baru yang dianggap sebagai pembawa pembaruan yang sejati. Dia bernama Aufklärung.

Zaman modern dan postmodern (abad 17 hingga saat ini) menjadi etalase dari aksi sekularisasi yang kencang ini, secara khusus di Eropa. Dengan para tokohnya yang terpampang panjang selama ratusan tahun, kondisi masyarakat Eropa pada zaman tersebut dinarasikan oleh pemikiran mereka. Sebut saja beberapa nama seperti Francis Bacon, René Descartes, Denis Diderot, David Hume, Immanuel Kant, Montesquieu, Jean-Jacques Rousseau, Auguste Comte, Adam Smith, Voltaire, Charles Darwin, Thomas Hobbes, Baruch Spinoza, John Locke, dan masih banyak lagi.

Selama ratusan tahun, generasi demi generasi, masyarakat Eropa dididik di dalam paradigma berpikir yang sekuler, atas nama modernitas dan kemajuan dari masyarakat yang berbudaya dan intelektual. Sejarah kebangkitan masyarakat Eropa yang merupakan akibat dari, dan berakar kepada, semangat pembaruan iman akhirnya terlupakan. Iman Kristen warisan Reformasi tak mempunyai tempatnya lagi di hati masyarakat. Akibatnya, ia juga tak mendapatkan tempatnya lagi di ruang publik. Kekristenan telah kalah di tanahnya sendiri.

Pada sesi itu, Prof. Andrew McGowan melanjutkan paparan selanjutnya. Bila sebelumnya Prof. Berthoud membicarakan tentang bagaimana kekristenan kehilangan signifikansinya dalam masyarakat, Prof. McGowan menyambung dengan bagaimana kekristenan kehilangan imannya yang semula di dalam gereja. Hal ini tak terlepas dari apa yang telah hilang dari kekristenan pada pembahasan sebelumnya. Karena ketika kekristenan kehilangan pengaruhnya di luar, kekristenan tinggal menunggu waktu untuk terkepung. Akibatnya anak-anak kita, generasi penerus iman Kristen selanjutnya, tidak dapat menemukan sedikit pun iman yang mereka percaya di luar sana.

Ketika mereka berada di luar lingkungan gereja, (dan tentu mereka harus berada di sana untuk bersekolah, bekerja, dan lain sebagainya), lingkungan tersebut dinilai dapat berjalan tanpa perlu ada nilai-nilai kristiani. Mereka bagaikan hadir pada sebuah dunia yang berbeda, dengan mekanisme kehidupan yang berbeda pula, dari dunia yang digambarkan oleh iman kekristenan. Tak heran bila kondisi ini dianggap makin mengonfirmasi pandangan dualisme. Bahwa memang ada wilayah yang sakral, dan ada wilayah yang sekuler. Dan bahwa keduanya pun dapat eksis bersama, sekalipun pada saat bersamaan nilai-nilainya dapat saling berkontradiksi, dan bahkan, saling membunuh.

Celakanya, nilai-nilai pembunuh iman Kristen tersebut dibawa pula masuk ke dalam gereja. Sebab, mau bagaimana lagi? Orang-orang Kristen lahir, besar, tumbuh kembang, dan dididik di dalam dunia. Sudah pasti paradigma dunia meresap, serta menjadi satu, di dalam pola pikir dan cara hidup mereka. Dan pada saat bersamaan, mereka adalah jemaat gereja, aktivis gereja, penatua gereja, dan bahkan, hamba Tuhan di dalam gereja. Jadi sebenarnya, kalau kita mau jujur, omong kosong itu pembagian sakral dan sekuler yang dapat saling co-exist. Tidak ada yang namanya dua domain; yang di mana masing-masing netral dan tidak saling memengaruhi.

Karena sesungguhnya memang tidak pernah ada netralitas, tidak pernah ada skema dua dunia. Hanya ada satu dunia. Yaitu dunia yang dipengaruhi oleh iman Kristen, atau iman Kristen yang dipengaruhi oleh dunia. Dan tak jarang, kekristenan yang berada pada posisi dipengaruhi. Salah satu contohnya adalah liberalisme. Liberalisme, yang berakar pada cara pandang naturalisme (yang biasanya kental kita temukan pada bidang keilmuan sains modern), menjadikan iman Kristen terkebiri dari elemen supra-naturalnya. Wilayah supra-natural dianggap tidak realistis, dan tidak mewakili kebenaran yang sesungguhnya. Ia hanya takhayul yang dibangun manusia, oleh karena manusia masih bodoh, masih primitif. Karena itu mereka masih belum sanggup menjelaskan banyak fenomena yang sebenarnya natural.

Suara naturalisme ini bukan tak punya akar sejarahnya yang panjang ke belakang. Kita dapat menemukan embrionya pada pemikiran Aristoteles, yang memunculkan pemikirannya sebagai negasi dari pemikiran “Form and Matter”-nya Plato. Tetapi untuk kali ini tidak akan kita bahas lebih jauh. Jejak pikiran Aristoteles tadi bisa kita temukan “evolusi”-nya padasalah satu pemikir dan sosiolog terkenal yang bernama Auguste Comte (1798-1857). Comte adalah seorang filsuf Prancis yang merumuskan doktrin Positivisme. Bahwa pengetahuan yang benar hanya bisa manusia dapatkan ketika mereka mendasari mekanismenya pada fenomena natural (alam), beserta dengan properti-properti dan relasi yang ada di antaranya.

Pandangan Comte ini ia terapkan pada pembacaannya terhadap sejarah perjalanan manusia, terutama sebagai masyarakat. “Di dalam pencariannya terhadap kebenaran, sebenarnya manusia itu berada pada tiga tahapan,” demikian tutur Comte. Pertama adalah masyarakat pada tahap theologis, yang menjelaskan segala sesuatu pakai “Tuhan”. Melulu Tuhan, lagi-lagi Tuhan,“Gak cape apa terus-terusan pake kata Tuhan? Apa-apa melulu dikaitkan sama Tuhan. Dasar manusia primitif.” Kira-kira begitu.

Kedua adalah masyarakat metafisik. Sederhananya adalah masyarakat yang sudah mulai berpikir kenapa dan bagaimana segala sesuatu bisa ada. Mereka mulai menyelidiki dan mengajukan pertanyaan. Tetapi tahapan yang paling sempurna adalah masyarakat positif yang mengedepankan sains. Sains dirasa sebagai jalan yang lebih bertanggung jawab dan kredibel di dalam menjawab ketidaktahuan manusia. Sekalipun ia belum bisa menjawab semua, pada akhirnya jalan sains dilihat sebagai satu-satunya jalan yang sanggup membawa manusia kepada kebenaran.

Garis besar dari pemikiran Comte adalah pergerakan kemanusiaan itu selalu berprogres dari yang primitif menuju kepada yang modern. Jadi, masyarakat yang masih terus menggantungkan dasar kebenarannya pada hal-hal yang supra-natural (termasuk agama-agama, dan iman Kristen termasuk di dalamnya), mereka sesungguhnya adalah masyarakat yang masih primitif. Evolusinya belum selesai, mereka masih monyet. Bahasa “halus”-nya kira-kira begitu.

Tidak heran bila nantinya di dalam gereja, Yesus Kristus akan dikhotbahkan sebagai guru moral yang agung, dan bukan Tuhan. Bahwa pokok-pokok ajaran Kristus adalah bagaimana menjadi manusia yang penuh belas kasihan, yang mencintai kaum-kaum terpinggirkan. Dan yang kisah kebangkitan-Nya hanyalah sebuah metafora. Apakah Kristus bangkit? Ya. Ia bangkit di hatiku, dan di hatimu, saja. Ia bukan bangkit secara fisik 2.000 tahun lalu. Ia bangkit di hati para pengikut-Nya; yang karena begitu mencintai-Nya, mereka menjadi terlalu terobsesi dan fanatik. Akibatnya, timbul fantasi kebangkitan dari tokoh besar itu karena keagungan moral-Nya. Hahaha!

Sekarang coba bayangkan, bagaimana bila masyarakat kristiani, mulai dari yang muda hingga yang tua, mulai dari yang terdidik hingga yang sederhana, dibesarkan di dalam pola pikir yang semacam demikian? Kita tidak perlu heran bila suatu saat, cepat atau lambat, mereka meninggalkan gereja beserta dengan iman mereka. Padahal pemikiran Comte itu baru satu dari sekian banyak arus pemikiran lain yang mewarnai dunia. Belum lagi pemikiran filosofi, ideologi, dan kepercayaan dari agama-agama lain. Pun belum termasuk filsafat/pemikiran lain yang secara tidak sadar memengaruhi metodologi orang Kristen di dalam mengerti iman mereka. Misalnya paradigma Higher Criticism pada pendekatannya terhadap pembacaan teks Alkitab, atau budaya musik/liturgi yang memicu kondisi trance (kerasukan roh “kudus”), yang secara tidak sadar telah di-copy gereja dari tradisi ritual shamanisme suku-suku di Afrika, dan sebagainya.

Dengan melihat kondisi kekristenan di dalam tubuhnya sendiri, kita menjadi sadar, kekristenan bukan saja telah terkepung dari luar, melainkan juga telah terluka dari dalam. Kekristenan malah mengadopsi nilai-nilai dan pola pikir dunia ke dalam tubuhnya sendiri (terutama oleh generasi penerus). Kalau sudah begini, sekarang kita bisa menarik sebuah kesimpulan. Bahwa kekristenan bukan saja telah kalah di tanahnya sendiri, melainkan, ia juga telah kalah di dalam rumahnya sendiri. Benarkah?

Permasalahan Kita
Dengan melihat dua area yang menjadi medan pertermpuran kekristenan, setidaknya kita menemukan titik problemnya. Pertama, di luar, paradigma kekristenan tak hadir. Tak ada suaranya. Kedua, di dalam, kekristenan sendiri tidak bertulang dan kehilangan arah. Untuk merespons permasalahan ini, saya meminjam pemaparan Herman Bavinck tentang patologi dari kehidupan Kristen.

Secara sederhana, iman Kristen sebenarnya hanya selalu terjebak pada tiga kategori di dalam kejatuhannya: Intelektualisme, Aktivisme, dan Mistisisme. Ketika kita menaruh daya nalar sebagai yang utama, sejarah mencatat bagaimana orang-orang Kristen menjadi liberal. Semua yang dinilai tidak masuk akal pada Alkitab, ditolak sebagai bagian dari iman. Rasionalisme dan Gnostisisme bermain di wilayah ini. “Saya makin rohani ketika saya makin punya pengetahuan” saja. Memang adalah sebuah ironi ketika pembelajaran theologi malah dipakai untuk meruntuhkan kerangka iman kekristenan itu sendiri. Tetapi, faktanya demikian. Dan liberalisme hanya salah satu contoh. Masih ada contoh lain di dalam konteks postmodern, misalnya gerakan emerging church. Tema ini dibahas dengan sangat lugas dan tajam oleh David F. Wells dalam bukunya Keberanian Menjadi Seorang Protestan (ditranslasi dan diterbitkan oleh Momentum).

Lain lagi dengan aktivisme. Ketika iman yang benar hanya dimengerti, dan ditakar, lewat seberapa tingginya aktivitas keagamaan, kita akan terjebak pada pietisme, moralisme, fanatisme, dan antusiasme belaka. Yang penting heboh, dan yang penting ada ekspresi kasat mata. Kontemplasi, pengetahuan, dan pembelajaran terhadap theologi akan dilihat sebagai aktivitas yang tidak berprogres, idle time, dan kegiatan yang kurang rohani. Hanya mengisi otak, dan lebih mudah membawa orang kepada kesombongan. Pembelajaran terhadap pengetahuan digambarkan dengan begitu sinis. “Excessive zeal, or zeal without understanding,” kata Bavinck, menjadi salah satu ciri dari aktivisme.

Terakhir adalah paradigma mistisisme. Penekanan ada pada jiwa manusia; walaupun nanti yang dimengerti sebagai jalan kepada jiwa adalah perasaan. Semuanya hanya soal rasa. Tidak heran bila musik menjadi salah satu alat stimulan yang efektif. Apalagi dengan ritme yang terus berulang dan ditambah dengan kalimat-kalimat menyentuh, orang akan mudah digiring kepada kondisi trance. Sekali lagi kita harus sadar, pola ini adalah pola yang secara tidak sadar telah kita adaptasi dari budaya ritual kepercayaan/agama tribal (salah satunya adalah ritual dari suku-suku di Afrika) yang dibawa kembali oleh New Age Movement. Bahkan Hinduisme pun memiliki ritual yang semacam demikian. Lalu sekarang kita melihatnya sebagai kondisi yang dipenuhi oleh Roh Kudus? William J. Seymour, pionir dari gerakan Pantekosta dan fenomena “Azusa Street”, adalah seorang African American. Silakan akses buku Hans Marris, Gerakan Karismatik dan Gereja Kita, untuk pembelajaran lebih lanjut (yang diterbitkan juga oleh Momentum).

Ketiga aspek di atas mengandung kebenaran, sekaligus jebakan. Hanya menekankan salah satu sisi, maka kita akan pincang. Tetapi tidak membangun ketiga kaki yang sehat juga sama saja. Aspek pengertian, semangat pergerakan, dan spiritualitas harus dibangun bersama. Bukan supaya seimbang, melainkan mengejar potensi terbaiknya yang telah Tuhan berikan kepada setiap orang percaya, dan terutama, kepada gereja.

400 Tahun Synod of Dordt dan Panggilan Pemuda Gerakan Reformed Injili?
Setelah 400 tahun lalu sidang raya di Dordrecht hadir sebagai bentuk perjuangan menjaga iman yang tetap murni, apakah 400 tahun setelahnya tidak ada lagi orang-orang yang mau meneruskan perjuangan yang sama? Jawabannya, ada. Sejarah mencatat bagaimana setelah 400 tahun lalu, dan hingga kini, Tuhan selalu membangkitkan orang-orang yang beriman; orang-orang yang intelek, yang rajin, dan yang mempunyai spiritualitas mendalam. Kalau di sepanjang sejarah kekristenan selalu kalah, mustahil pada zaman ini masih terdapat orang-orang yang tetap memelihara iman yang sejati. Jikalau masih ada iman yang semacam demikian, dan pada faktanya masih ada, itu berarti Tuhan masih terus membangkitkan hamba-hamba-Nya hingga saat ini.

Pertanyaan selanjutnya adalah, akankah Tuhan tetap membangkitkan umat-Nya di masa-masa yang akan datang? Panggilan kita (para pemuda Kristen) yang paling sederhana adalah panggilan untuk tidak menjadi ignorant, terutama soal iman dan gereja. Kita dipanggil untuk mengupayakan iman dan melihat jauh ke depan. Memang tidak mudah, tetapi juga jangan berkecil hati. Sebab kita tahu, Allah Roh Kuduslah yang akan terus dengan setia mendampingi gereja.

Secuplik tantangan-tantangan di atas memang nyata. “Benarkah kekristenan hanya kompatibel pada masyarakat primitif? Sehingga ketika masyarakat sudah mulai maju, iman Kristen tidak berlaku lagi dan mulai bergeser kepada negara dan masyarakat kelas ketiga?” Pertanyaan-pertanyaan semacam demikian akan terus muncul untuk menggoncang eksistensi dan signifikansi kekristenan.

Tetapi bukankah kita juga boleh membalas pertanyaan mereka dengan mengacu kepada fakta sejarah yang sesungguhnya? Yang di mana justru karena kehadiran iman Kristen yang sungguh-sungguhlah kemajuan sebuah masyarakat dimungkinkan terjadi. Dan bukankah kehidupan masyarakat tersebut justru malah mulai merosot ketika mereka memutuskan untuk meninggalkan akar keimanan mereka?

Akhir kata sebagai penutup, Tuhan adalah Penjaga Gereja. Ia adalah Penjaga Israel. Empat ratus tahun yang lalu adalah sebuah contoh bagaimana Tuhan dengan setia memelihara kemurnian gereja-Nya. Jikalau di atas “Batu Karang yang Teguh” itu gereja-Nya Ia dirikan, dan tangan kanan-Nya yang kuat itu yang akan selalu menjadi penudungnya, pada akhirnya, benarkah kekristenan adalah pihak yang akan kalah?

Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Maka sahutku: “Ini aku, utuslah aku!” – Yesaya 6:8

“My generation will soon pass. I’ve served my generation for 50 years. Can you continue to spread the spirit of Christianity in your generation for another 50 years? I pray to God to more abundantly grant you the spirit that touched me! I wait for this kind of people to appear!” – Pdt. Dr. Stephen Tong

Nikki Tirta
Pemuda FIRES