Kemuliaan Para Martir

Roma 8:19-25

Pengharapan Eskatologis

Roma pasal 8 mempunyai keindahan yang unik. Seluruh bagian ini tidak memiliki kalimat perintah.i Seluruhnya merupakan dorongan, ajakan, penghiburan, dan pengajaran yang indah mengenai keberadaan kita yang diizinkan untuk berbagian di dalam kemuliaan Allah. Selain itu pembahasan Paulus dalam pasal ini juga merupakan suatu pembahasan yang bernuansa eskatologis. Paulus berbicara mengenai pengharapan yang dinantikan bukan saja oleh manusia, tetapi juga seluruh makhluk (8:9), mengenai penebusan seluruh ciptaan Tuhan setelah seluruh ciptaan ini jatuh ke dalam dosa karena kejatuhan manusia. Dan sama seperti kejatuhan manusia membuat seluruh ciptaan ini rusak, demikian juga pemuliaan manusia di dalam Kristus oleh Allah Bapa membuat seluruh ciptaan ini mengalami penebusan dan pemuliaan mereka. Eskatologi di dalam Perjanjian Lama berarti kembalinya Israel kepada Tuhan setelah mereka mengalami masa sengsara, yaitu pembuangan.ii Konsep ini juga yang dimengerti oleh Paulus. Maka sama seperti pengharapan orang-orang buangan adalah kembalinya mereka menjadi umat Tuhan dan Tuhan menjadi Allah mereka dengan Sang Mesias menjadi Raja mereka,iii demikian juga pengharapan orang-orang yang diselamatkan adalah untuk dengan sepenuhnya menjadi umat Tuhan dan melihat bagaimana Sang Mesias itu ternyata berkuasa sepenuhnya. Inilah kemuliaan itu. Karena itu, di dalam surat-surat Paulus kita melihat bagaimana pengharapan kedatangan Tuhan dan apa yang menyertainya menjadi tema utama.iv Karena hal itu jugalah maka pernyataan kemuliaan Allah bagi orang-orang percaya merupakan pengharapan yang belum secara sempurna terjadi saat ini, namun menjadi pengharapan yang memberikan kekuatan bagi orang-orang Kristen untuk menghadapi penganiayaan, mempertahankan kehidupan yang suci, dan yang juga memberikan penghiburan bagi setiap anak-anak Tuhan yang harus mengeluh, bersama-sama dengan seluruh ciptaan, karena dosa.v

Pengharapan seperti apakah ini? Pengharapan akan kemuliaan Allah. Sebagaimana dikatakan Ridderbos, “Because of this hope of the glory of God, the church may glory in this affliction. Affliction, suffering, and glory frequently occur in one context, indeed in the former lie the announcement and proof of the later.”vi Pengharapan ini adalah pengharapan bagi orang-orang tertindas. Pengharapan yang sangat didambakan oleh mereka. Orang-orang yang tertindas tentu memerlukan pembebasan, bahkan lebih daripada memerlukan apa-apa yang perlu untuk bertahan hidup. Orang-orang yang tertindas tentu membutuhkan sang pahlawan yang dapat mematahkan belenggu penindasan ini dan menjadikan mereka bebas. Kebebasan sejati… siapakah yang dapat memberikan? Tetapi dunia ini telah penuh dengan pengertian yang salah mengenai pencarian kebebasan ini. Dunia ini juga melihat bagaimana kebebasan, bagi orang-orang tertindas, menjadi suatu kata yang dirindukan lebih daripada hidup itu sendiri. Sebab di dalam kebebasan inilah mereka boleh berhenti tunduk kepada otoritas luar yang menindas mereka. Sebab siapakah yang mau menjalankan hidup tanpa menjadi hidup? “I’m sick of not living to stay alive,” demikian dikatakan oleh syair dari salah satu lagu yang menyuarakan identitas dari generasi yang, katanya, ingin bebas. Seperti ini jugalah yang membuat Marx mengatakanvii bahwa hantu bernama komunisme akan muncul, muncul dari perjuangan kaum tertindas yang tidak lagi punya apa-apa yang perlu dipertahankan sehingga kematian pun tidak dianggap sebagai suatu kerugian. Nothing to lose but all to gain. Pengharapan yang didambakan karena kesadaran bahwa situasi sekarang adalah situasi yang rusak dan jelek dibandingkan dengan apa yang mungkin saya dapatkan di masa yang akan datang. Namun pengharapan-pengharapan palsu yang menindas umat manusia di bawah sang penindas baru yang menyamar dengan topeng mesias ini, adalah pengharapan-pengharapan yang menawarkan jalan keluar dengan cara yang salah. Pengharapan-pengharapan ini menawarkan kebebasan dari segala sesuatu yang dahulu menindas supaya tidak ada lagi otoritas yang berpotensi menindas. Tetapi kebebasan bukanlah ketidakbertundukan. Sebaliknya, kebebasan sejati adalah bebas dari keterpikatan terhadap konsep bebas yang palsu dari dunia dan kembali tunduk kepada otoritas sejati, yaitu firman Tuhan. “…[F]reedom is not threatened, but formed and nurtured by dependence, belonging, relationship, community, and-importantly and most controversially-authority,” demikian dikatakan Richard Bauckham.viii Pengharapan apakah, jika demikian, yang dikhotbahkan Paulus ini? Pengharapan akan kemenangan? Kemenangan atas apa? Atas dosakah? Jika ya, maka dosa apa? Dosa yang selama ini mengikat seluruh dunia di dalam kesia-siaan. Ditaklukkan di dalam kesia-siaan! Tetapi siapakah yang dapat melihat pengharapan itu kalau dia tidak melihat kesia-siaan ini? Maka demikianlah diserukan oleh sang Pengkhotbah.ix Dia berseru mengenai kesia-siaan ini dengan harapan para penikmat kesia-siaan mau belajar untuk mengerti dan mulai melihat pengharapan yang dinyatakan bagi anak-anak Allah. Tetapi teriakan ini hampir selalu sia-sia. Sebab siapakah yang mau mengalihkan pandangan dari apa yang terlihat di dunia ini dan terpukau memandang apa yang tidak dapat dilihat? Kamu berkata segala sesuatu sia-sia? Biarkanlah! Lebih baik yang sia-sia ini daripada yang tidak terlihat, sebab setidaknya saya masih bisa melihatnya.

Penderitaan yang Sekarang Ini

Tetapi di sinilah iman menjadi pembeda yang signifikan. Iman adalah sesuatu yang membuat seseorang lebih mengagumi janji yang tidak terlihat daripada menikmati apa yang dapat terlihat dan melunturkan kekagumannya akan apa yang tidak terlihat. Pemikiran John Calvin dalam “Institutes-nya akan menjelaskan hal ini. John Calvin adalah orang yang identik dengan penyangkalan diri. Makan hanya satu kali sehari, tidur sangat sedikit (dan semua ini dilakukan karena takut kalau Tuhan melihat dia sedang menganggur…),x dan ini semua juga terlihat dari apa yang dia tulis dalam “Institutes buku III-nya. Simak apa yang dia katakan: “For since God knows best how much we are inclined by nature to a brutish love of this world, he uses the fittest means to draw us back and to shake off our sluggishness, lest we cleave too tenaciously to that love.”xi Allah memakai penderitaan untuk mencegah kita memiliki cinta kasih berlebihan bagi dunia ini. Apakah orang Kristen itu identik dengan menderita? Apakah keadaan tidak menderita itu kurang rohani? Kalau begitu mari kita mulai memaku kursi dan tempat tidur kita supaya kita tidak melulu merasakan tempat tidur yang penuh mawar. Tetapi coba perhatikan baik-baik apa yang dikatakan Calvin di atas. Calvin menjelaskan bahwa manusia memiliki inklinasi natural untuk mencintai apa yang tidak perlu dicintai. Manusia punya kecenderungan untuk mencintai apa yang sudah ditaklukkan ke dalam kesia-siaan. Seluruh dunia ini telah menjadi begitu membutakan sehingga cahaya kemuliaan Allah di dalam karya keselamatan-Nya menjadi terhalang. Kalau begitu bagaimana cara memperbaiki mata manusia sehingga dia bisa belajar memandang kemuliaan salib Kristus? Dia perlu dibutakan dulu, seperti Paulus dibutakan. Maka Tuhan kadang-kadang membukakan kepada kita seperti apakah dunia ini sebenarnya supaya kita menyadari bahwa semua ciptaan ini telah ditaklukkan kepada kesia-siaan. Oleh karena itu penderitaan yang menghimpit kita adalah untuk membuat kita sadar bahwa dunia ini tidak seindah yang diharapkan oleh para pemimpi yang mau membangun Utopia seperti dalam tulisan Thomas More,xii tetapi penuh dengan kesulitan dan penderitaan. Dari sinilah kita akan mulai belajar untuk memandang dengan penuh pengharapan saat di mana anak-anak Allah dinyatakan (8:19). Dari sinilah kita belajar untuk merenungkan kehidupan yang akan datang.xiii

Memang kehidupan dunia ini merupakan kehidupan yang, walau penuh penderitaan, tetap mengalami anugerah Tuhan yang menopang dan yang menyatakan kemuliaan-Nya. Tetapi justru pernyataan kemuliaan Tuhan inilah, ditambah fakta begitu kacaunya dunia ini karena dosa, yang membuat anak-anak Tuhan semakin merindukan kedatangan Anak Allah. Apa saja yang menghalangi kita untuk memberikan pandangan kagum kepada kekekalan merupakan sesuatu yang harus dikikis habis. Berkat yang menyatakan “cicipan surga” seharusnya mengarahkan kita untuk merindukan kedatangan Kristus yang akan menyempurnakan pemuliaan kita, anak-anak Allah. Tetapi kalau berkat tersebut malah mengarahkan kita untuk lebih lagi terpikat pada dunia ini, maka keterpikatan ini adalah keterpikatan yang akan menjerat seseorang menjadi makin buta dan gagal melihat Allah di balik semua berkat. Sebagaimana dikatakan Calvin, kalau semua ciptaan Allah yang lain, seluruh mahluk yang tidak berakal budi, bahkan pohon-pohonan dan batu-batuan, merindukan saat anak-anak Allah dinyatakan, masakkan anak-anak Allah, yang telah diberikan berkat berupa terang pengertian yang telah dicerahkan oleh Roh Allah, tetap memberikan pandangan dan fokus kepada dunia ini?xiv Calvin melanjutkan dengan mengatakan: “Let us not hesitate to await the Lord’s coming, not only with longing, but also with groaning and sighs, as the happiest thing of all.”xv

Apakah ini pengertian yang pesimis? Apakah Calvin tidak mengerti adanya anugerah Allah di dalam dunia meskipun dunia telah jatuh? Tidak. Dia tahu bahwa siapapun yang menghina ciptaan dan kehilangan rasa syukur dalam menikmati apa yang telah Tuhan ciptakan, dia sedang berdosa kepada Tuhan.xvi Tetapi apakah pantas kita memiliki cinta kasih kepada dunia dengan melepaskan kerinduan menantikan kemuliaan kedatangan Anak Allah? Dengan melihat sejarah gereja, kita tahu bahwa gereja terus dijaga oleh Tuhan karena sepanjang sejarahnya terdapat orang-orang yang menginginkan Tuhan lebih dari apapun. Mereka adalah orang-orang yang, bukan saja rela kehilangan kemewahan hidup demi ikut Tuhan, tetapi juga rela kehilangan hidup.

Mereka yang Menderitaxvii

Seorang bernama Origen (ca. 185–254) yang sendirinya pernah mengalami penganiayaan, mengatakan bahwa ketika seorang Kristen mengalami penganiayaan, dia akan mengarahkan pandangannya bukan pada penganiayaan yang sedang terjadi, tetapi dia akan berfokus kepada upah yang Tuhan janjikan dan dengan penuh bahagia melihat dengan penuh pengharapan apa yang menjadi bagian orang-orang yang telah bergumul dan bertekun mengalami penganiayaan. Upah yang diberikan kepada orang-orang yang telah menunjukkan dengan segenap kemampuan mereka bahwa mereka menganggap bejana tanah liat yang mereka miliki sebagai sesuatu yang boleh rusak demi menunjukkan cinta kasih mereka kepada Allah.xviii Mereka adalah orang yang menganggap bahwa pengakuan dengan mulut mengenai Kristus yang bangkit di antara orang mati adalah pengakuan yang mutlak harus ada meskipun penganiayaan dan kematian adalah upah dari pengakuan itu.xix Segala jenis penganiayaan yang diterima oleh gereja ini dipakai oleh Tuhan, bukan saja untuk memelihara kemurnian iman dan pengharapan seorang Kristen yang mengharapkan sesuatu yang belum terlihat, tetapi juga untuk menjadi teladan bagi gereja Tuhan sepanjang zaman. Bagaimana mereka menghadapi penderitaan, bagaimana kesetiaan mereka kepada Tuhan Yesus, bagaimana tetap tegar menghadapi penganiayaan, dan bagaimana memiliki kekuatan dari pengharapan yang sejati menjadi suatu pelajaran dan teladan bagi generasi selanjutnya. Pelajaran mengenai betapa mahalnya iman Kristen itu, yang tetap jauh lebih mahal dari nyawa sekalipun. Jika begitu banyak orang lebih rela kehilangan nyawanya daripada kehilangan kemuliaan berada di dalam Kristus, bukankah ini berarti bahwa bagi mereka, nyawa pun masih lebih murah daripada kemuliaan Kristus. Segala kesulitan dan penganiayaan yang mereka alami juga menjadi teladan yang diikuti oleh banyak orang Kristen yang telah kehilangan nyawa demi mempertahankan pujian dari Kristus.

Pada permulaan berdirinya, gereja Tuhan mengalami begitu banyak kesulitan. Mulai dari perpecahan di dalam, penganiayaan di luar, dan ajaran sesat yang berusaha masuk ke dalam. Bayangkan betapa beratnya awal yang harus dilalui oleh gereja. Kalau gereja mau diibaratkan seperti seorang manusia, maka sejak ketika dia masih bayi sekalipun, dia harus mengalami begitu banyak kesulitan-kesulitan. Tetapi sebagaimana dikatakan pepatah, “What didn’t kill you only made you stronger,” gereja justru memperoleh kekuatan untuk terus berdiri di atas satu Fondasi, yaitu Firman yang menjadi manusia, Yesus Kristus. Salah satu dari tiga kesulitan yang sepertinya dengan setia terus mengikuti pertumbuhan gereja ini adalah penganiayaan. Sebelum tahun 64 gereja terdesak oleh tantangan dari orang Yahudi, yang menganggap kekristenan sebagai anak murtad yang harus didisiplin dengan keras. Tetapi pada tahun 64 kesulitan mulai bertambah dengan penganiayaan yang besar dari pihak Romawi. Permulaan penganiayaan itu terjadi ketika sang kaisar gila bernama Nero ingin merombak tata kota Roma. Maka Nero membakar kota Roma dan menimpakan kesalahan itu kepada orang Kristen. Siapakah yang membakar Roma? Orang Kristen. Kalau begitu mereka harus dibakar juga. Maka lilin-lilin yang dibuat dari manusia yang masih hidup mulai dinyalakan di mana-mana di kota Roma. Penganiayaan ini makin besar tersebar di kota Roma karena makin banyaknya tuduhan-tuduhan palsu lainnya kepada orang Kristen. Orang Kristen dianggap sebagai orang-orang yang melakukan upacara keagamaan sambil memakan daging manusia. Mereka juga dianggap sebagai orang-orang yang suka melakukan sihir. Karena berita-berita ini, orang-orang Roma, dengan kekejaman yang tidak terbayangkan, melemparkan orang-orang Kristen kepada binatang-binatang buas, kepada anjing-anjing ganas, dan membakar mereka. Bahkan Nero sengaja membakar orang-orang Kristen di atas salib sebagai penerang jalan masuk ke istananya.

Sekitar tahun 100-an, seorang sastrawan dan seorang konsul Romawi bernama Pliny memberikan satu usulan bagaimana menjerat seorang Kristen. Dia memberikan tiga perintah bagi seorang yang mendapatkan tuduhan sebagai orang Kristen. Yang pertama adalah orang tersebut harus memberikan penyembahan kepada para dewa. Setelah itu dia harus menyembah image dari Kaisar. Lalu yang terakhir dia harus mengutuk Kristus. Pliniy menemukan bahwa tidak seorang pun yang adalah orang Kristen sejati dapat melakukan salah satu dari tiga hal tersebut. Tetapi seiring dengan semakin banyaknya orang-orang yang dihukum mati dengan tuduhan menjadi orang Kristen, Pliny mulai tergerak untuk menyelidiki tuduhan-tuduhan kepada orang-orang Kristen tersebut. Pliny menemukan bahwa selama ini tuduhan mengenai kekristenan yang identik dengan kanibalisme dan kuasa-kuasa kegelapan ternyata tidak benar. Pliny menemukan bahwa yang menjadi “kesalahan” mereka adalah: berkumpul secara rutin, menyanyikan pujian kepada Kristus yang dianggap sebagai Allah, berjanji untuk tidak melakukan perampokan, pencurian, perzinahan, ataupun melanggar janji setia kepada Tuhan. Apakah untuk hal-hal ini seseorang harus dihukum mati? Maka dari penyelidikannya inilah Pliny meminta kepada Kaisar Trajan untuk lebih sungguh-sungguh memberikan tuduhan yang tepat, bukan berdasarkan gosip yang disebarkan oleh orang-orang yang kepercayaannya terancam dengan penyebaran yang cepat dari kekristenan.

Tetapi penganiayaan kepada gereja Tuhan tidak berhenti. Satu per satu para martir memberikan teladan bagaimana seseorang mempunyai kerelaan untuk mati bagi Kristus. Pada zaman Kaisar Markus Aurelius, sekitar tahun 156 atau 157, Polikarpus, seorang bishop tua berumur 86 tahun dari Smirna, dibakar hidup-hidup karena menolak menyangkal Tuhan Yesus. Dia menolak untuk mengatakan kaisar adalah Tuhan. Seorang yang prajurit yang merasa kasihan berusaha membujuk dia untuk mengucapkan kalimat tersebut. Karena gagal maka sang prajurit berusaha membujuk Gubernur Romawi untuk melepaskan orang tua ini. Maka Gubernur itu mengizinkan Polikarpus untuk tidak usah menyebut kaisar Tuhan dan dia akan dilepaskan asalkan dia mengutuk Kristus. Gubernur itu mendapatkan jawaban yang merupakan kalimat yang paling diingat dari Polikarpus,. “86 tahun Yesus Kristus saya layani, dan Dia tidak pernah melakukan satu pun kesalahan kepadaku. Bagaimana mungkin aku mengkhianati Rajaku, yang sudah menyelamatkan aku?” Suatu pernyataan yang amat mahal, karena harus dibayar dengan api yang menjilat habis seluruh daging dalam tubuhnya.

Pada zaman pemerintahan Kaisar Adrian, sekitar 10.000 orang Kristen mati menjadi martir. Banyak di antara mereka dibunuh dengan disalib dan ditusuk dengan tombak pada lambung mereka. Kekejaman demi kekejaman terus berlanjut sehingga makin mengokohkan Kerajaan Roma sebagai kerajaan dengan kekejaman luar biasa. Roma menjadi kerajaan yang memperlakukan umat Tuhan dengan kekejaman yang melanjutkan kekejaman Asyur dan Babel memperlakukan orang Israel. Tetapi kalau orang Israel dan kaum Yehuda dianiaya oleh karena mereka meninggalkan Tuhan dan menyembah berhala, maka orang Kristen dianiaya oleh karena mereka menolak menyembah berhala dan terus berpegang pada Kristus.

Orang-orang Kristen dibakar, diadu dengan binatang buas, dipertontonkan kepada umum, disalibkan, dipancung, ditelanjangi, dan dibaringkan di atas bara api yang dicampur dengan pecahan beling, dan semua kekejaman lain mencerminkan suatu kebencian yang tidak logis dari orang-orang kafir. Mereka membenci orang-orang Kristen dengan begitu besarnya sehingga beberapa gubernur Romawi tidak tahan dan mengajukan permohonan kepada Kaisar Diocletian (285-305) agar tindakan kejam ini dihentikan. Sebab bagaimanakah seseorang dengan akal sehat dan hati nurani dapat tahan melihat pembantaian, pencungkilan mata, pemenggalan anggota tubuh, dan penyiksaan dengan kekejaman yang sulit dikatakan ini? Tetapi heran, mengapa begitu banyak orang yang mengalami siksaan demikian tetap tidak menyangkal iman mereka? Mengapa kekristenan terus menyebar? Mengapa kepercayaan kepada orang Nazareth bernama Yesus ini tidak bisa dihentikan penyebarannya meskipun siksaan bertubi-tubi datang? Karena telah ternyata siapapun yang bertindak melawan pengikut Yesus, dia sedang melawan Allah sendiri. Dan telah ternyata juga bahwa iman yang mereka miliki memberikan pengharapan yang tidak bisa dimatikan dengan penderitaan dan kematian sekalipun.

Sebuah lagu mengatakan, “Darah kaum martir yang belum kering, yang menyinari jalan salib.” Ini merupakan suatu seruan kepada gereja bahwa gereja Tuhan mewarisi suatu tradisi yang sangat mahal. Kerelaan setiap orang Kristen untuk menderita bagi Tuhan menjadi bukti betapa mahal dan berharganya iman yang kita percaya saat ini. Iman yang mengarahkan pandangan kepada saat di mana kemuliaan anak-anak Allah dinyatakan. Kemuliaan inilah yang dinanti dengan begitu tekun oleh orang-orang Kristen. Kemuliaan yang tidak mungkin mau ditukar dengan tawaran dunia ini. Dunia ini mau tawarkan apa? Kekayaankah? Kenikmatan hidupkah? Atau ancamankah? Penderitaankah? Penganiayaankah? Pedangkah? Kematiankah? Tidak satu pun dari hal-hal tersebut yang membuat orang Kristen meninggalkan imannya. Pengharapan menjadi suatu kunci yang begitu mulia sehingga mereka yang teraniaya sanggup menjalani penganiayaan itu dan melewatinya dengan berani demi suatu mahkota yang akan diberikan Tuhan kepada setiap orang yang mengharapkan kedatangan-Nya (2 Timotius 4:8).

Diselamatkan dalam Pengharapan akan Kemuliaan

Paulus mengatakan bahwa pengharapan yang dilihat bukan pengharapan lagi. Bagaimana mungkin orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi orang Kristen saat ini banyak yang tidak hidup di dalam pengharapan sedemikian. Mengapa tidak? Karena bagi mereka iman Kristen adalah iman yang mendapatkan pengharapannya pada apa yang dilihat. Menjadi Kristen tanpa mengerti pengharapan Kristen… alangkah malangnya orang-orang ini. Tetapi orang-orang yang sadar akan kemuliaan yang menanti, mereka akan menjadi orang-orang yang imannya kuat dan teguh. Iman yang mengarahkan pandangan mereka melampaui apa yang kelihatan. Maka apa yang dibahas Calvin mengenai merenungkan kehidupan yang akan datang sangat penting untuk kita pikirkan. Apakah dunia ini begitu memikat sehingga kita menjadi buta akan pengharapan pada hidup yang akan datang? Jika dunia ini terlihat begitu memikat; jika mata kita sudah menjadi buta; jika kita tidak mengerti pengharapan orang Kristen yang melampaui zaman dan melihat kepada Kristus, maka kita tidak akan pernah mengerti mengapa ada orang yang lebih suka disiksa dan bahkan mati daripada menyangkal nama Tuhan. Tetapi jika kita mengharapkan kemuliaan di dalam Tuhan Yesus, yang akan menjadi sempurna saat kita ada bersama-sama dengan Dia, maka kita menantikan kedatangan-Nya dengan tekun. Kedatangan-Nya yang akan menyatakan kesempurnaan dari kemuliaan kita, yang telah ditebus oleh darah-Nya. Kiranya Tuhan memberikan kekuatan kepada kita semua.

Jimmy Pardede

GRII Malang

iLeon Morris, The Epistle to the Romans
(Eerdmans, 1988), 299.
iiLihat Geerhardus Vos, The Pauline Eschatology
(P&R, 1994), 1 & 3.
iiiGeerhardus Vos, The Pauline Eschatology
(P&R, 1994), 4.
ivHerman Ridderbos, Paul: An Outline of His Theology
(Eerdmans, 1997), 487.
vHerman Ridderbos, Paul: An Outline of His Theology
(Eerdmans, 1997), 488.
viHerman Ridderbos, Paul: An Outline of His Theology
(Eerdmans, 1997), 488.
viiDalam Communist Manifesto
viiiRichard Bauckham, God and the Crisis of Freedom
(WJK, 2002), 3.
ixKata untuk kesia-siaan yang dipakai Paulus sama dengan kata yang dipakai dalam Pengkhotbah 1:2 versi Septuaginta.
xJonathan Hill, The History of Christian Thought
(IVP, 2003), 197.
xiJohn Calvin, Institutes
(WJK) III.IX.1.
xii“Utopia” merupakan tulisan Thomas More yang menceritakan tentang sebuah tempat dengan struktur sosial yang sempurna. Kata U-topia sendiri bisa berarti “Eu-topos
” (tempat yang baik), tetapi juga bisa berarti “Ou-topos
” (tempat yang tidak ada).
xiiiJohn Calvin, Institutes
(WJK) III.IX.1.
xivJohn Calvin, Institutes
(WJK) III.IX.5.
xvJohn Calvin, Institutes
(WJK) III.IX.5.
xviBandingkan dengan apa yang dikatakan John Calvin, Institutes
(WJK) III.IX.3.
xviiSumber-sumber: Robert Grant, Augustus to Constantine
(WJK, 2004); John Foxe, The Book of Martyrs
;
xviiiOrigen, “Exhortation to Martyrdom,” Alexandrian Christianity
(WJK, 2006), 394.
xixBandingkan Origen, “Exhortation to Martyrdom,” Alexandrian Christianity
(WJK, 2006), 396.