Agustinus adalah seorang Bapa Gereja yang paling berpengaruh. Untuk mempelajari dan mengerti pemikirannya maka mengenal konteks kehidupannya merupakan syarat mutlak. Agustinus hidup dalam zaman di mana filsafat Plato sangat berpengaruh. Filsafat Plato berpendapat bahwa dunia keberadaan ini terbagi dua, dunia ide/form dan dunia materi/matter. Dunia ide adalah dunia yang tidak kelihatan, yang sempurna, baik, dan bersifat roh. Sedangkan dunia materi itu dunia yang kelihatan, tidak sempurna, sesuatu yang hanya semu, dan bersifat jahat. Dari pemikiran Plato inilah terbentuk ajaran manichaeism yang merupakan bentuk puncak dari ajaran gnostic. Melalui pemikirannya, Agustinus mempertahankan kekristenan agar tidak terpengaruh filsafat dualisme dari Plato. Salah satunya adalah teori pengetahuan dan doktrin iluminasi dari Tuhan untuk kepastian pengetahuan sejati yang sudah manusia dapatkan.
Menurut Agustinus, epistemologi (knowing) tidak dapat dipisahkan dari ontologi (being). Keberadaan Tuhan (ontologi) yang kekallah yang menjadi dasar bagi segala penilaian agar dapat menghasilkan pengetahuan (epistemologi). Jiwa manusia di dalam keberadaannya mempunyai 2 fungsi rasio – yang tinggi (higher reason) dan yang rendah (lower reason) – juga memiliki standar untuk bisa menilai sesuatu. Standar ini merupakan refleksi dari form dalam diri Allah. Dengan higher reason manusia mencari pengetahuan yang bersifat kekal dan manusia dapat mencapai kebijaksanaan yang disebut sapientia atau wisdom. Dengan lower reason manusia mempelajari sesuatu yang bersifat sementara atau mempelajari alam dan yang manusia dapatkan adalah pengetahuan yang disebut scientia atau knowledge, pengetahuan rasional yang bersifat temporal. Tubuh manusia – yang secara ontologi berada di level paling rendah – mempunyai sensasi melalui panca inderanya untuk mengerti apa yang ada di luar tubuh dan mengetahui proses yang terjadi. Yang didapat dari sensasi ini kemudian dipilah, dianalisis, dan dikelompokkan oleh kesadaran rasional menjadi informasi. Saat manusia mampu untuk mengambil, memilih, dan mengaitkan informasi yang didapat melalui perenungan di hadapan Tuhan, itulah yang disebut kontemplasi. Kontemplasi inilah yang membawa manusia kepada pengetahuan, pengetahuan yang didasarkan pada kebenaran Tuhan.
Pada zaman sekarang ini, banyak mahasiswa yang belajar di kampus dengan tanpa mengerti ilmu apa yang sebenarnya mereka pelajari. Mereka hanya datang ke ruang kuliah, mendengarkan dosen mengajar, dan langsung menganggap bahwa apa yang diajarkan oleh dosen adalah sesuatu yang pasti benar, kebenaran yang mutlak. Tetapi saat mendengarkan pendeta berkhotbah di gereja, mereka juga adalah orang-orang yang menyetujui bahwa firman Tuhan merupakan satu-satunya landasan dalam hidup. Kehidupan menjadi dualistik, tergantung di mana mereka berada. Kalau di kampus, kebenaran yang dipegang adalah apa yang sudah diajarkan dosen, tetapi kalau di gereja, kebenaran yang diterima adalah firman Tuhan. Secara tidak disadari, pemikiran dan gaya hidup seperti ini terjadi pada banyak mahasiswa yang katanya mencintai Tuhan dan mau menjalani hidup berdasarkan kebenaran firman Tuhan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ini dapat terjadi hanya karena mereka sebagai mahasiswa tidak pernah mempelajari sedalam-dalamnya ilmu yang sedang dipelajari, tidak mengerti firman Tuhan secara mendalam, dan tidak membawa seluruh ilmu pengetahuan yang didapatnya untuk diniliai berdasarkan kebenaran firman Tuhan.
Ketika para mahasiswa berpikir bahwa ilmu yang didapat di kampus adalah pengetahuan yang sesungguhnya tanpa perlu dikaji lagi dengan lebih mendalam, langsung menerima begitu saja semua yang diberikan, mereka sebenarnya tidak tahu apa yang mereka tahu. Itu sebabnya pengetahuan yang didapat dari kampus tidak membuat mereka menjadi lebih bertumbuh dalam pengenalan akan Allah. Seharusnya ketika seseorang mempelajari alam ciptaan Tuhan yang adalah wahyu umum-Nya, dia dapat bertumbuh di dalam pengenalan akan Allah. Tetapi ketika semuanya hanya bersifat informative saja (tanpa kontemplasi), maka ilmu yang mereka pelajari tidaklah dapat disebut sebagai kebenaran karena tidak terkait dengan Allah, Sang Kebenaran. Hal ini bukan hanya terjadi di kampus-kampus. Dalam berbagai bidang, manusia hari ini mempunyai pemikiran seperti ini. Manusia tidak lagi peduli akan benar tidaknya suatu pengetahuan, tetapi lebih kepada kegunaannya. Manusia mengira karena sudah dapat diaplikasikan dalam hidup sehari-hari berarti sudah cukup dan benar pengetahuan yang didapat. Tetapi bagaimana dengan pertanggungjawaban manusia terhadap Tuhan, Sang Pencipta? Bukankah Dia adalah Sang Kebenaran yang absolute sehingga setiap kebenaran baru disebut kebenaran jika dapat dijustifikasi dengan Firman-Nya?
Namun menurut Agustinus, pengetahuan yang sudah dikaitkan dengan Kebenaran Sejati belumlah cukup, sebab pengetahuan tersebut juga harus ditopang oleh Divine Illumination. Bagaimanapun hebat diri manusia itu, dia tetap memerlukan Tuhan untuk memberikan kepastian dalam apa yang manusia cari sebagai pengetahuan dalam hidupnya. Tanpa kepastian dari Tuhan, semuanya menjadi sia-sia, tidak bernilai sama sekali. Inilah yang dimaksud dengan iluminasi dari Tuhan. Tanpa adanya iluminasi dari Tuhan, maka pengetahuan itu tidak bisa disebut sebagai pengetahuan yang sejati sebab pengetahuan itu tidak mempunyai kepastian dalam dirinya sendiri. Ini yang harus manusia sadari bahwa hanya karena kedaulatan Tuhan, manusia dimampukan untuk memahami pengetahuan yang sejati. Iluminasi ini terjadi dalam setiap langkah proses hidup manusia. Manusia tidak mungkin mengerti semuanya bahkan untuk hal yang paling sederhana pun seperti angka 1 atau huruf A jika Tuhan tidak mengiluminasikan kebenaran-Nya kepada diri manusia.
Ada beberapa hal dalam teori iluminasi dari Agustinus ini, yaitu: “Tuhan itu terang dan Tuhan mengiluminasikan kepada setiap manusia secara berbeda-beda; yang kedua, kebenaran yang dapat dipahami oleh manusia adalah karena Tuhan sendiri yang mengiluminasikan; dan pemikiran manusia yang dapat mengerti kebenaran itu dan bisa saling mengerti satu sama lain juga karena Tuhan sendiri yang mengiluminasikan.” Inilah yang dimaksudkan bahwa manusia merefleksikan terang Tuhan seperti bulan merefleksikan cahaya dari matahari.
Hal inilah yang mendasari pemikiran bahwa tanpa Tuhan, manusia tidak bisa berpikir apapun maupun berbuat apapun yang benar. Hanya anugerah Allah, Sang Pencipta langit dan bumi, yang di dalam kedaulatan-Nyalah manusia mampu mengerti dan mendapatkan pengetahuan yang sejati. Dengan demikian, berpengetahuan sejati bukanlah masalah IQ, melainkan kontemplasi di hadapan Tuhan dan anugerah Tuhan di dalam kedaulatan-Nya. To know is spiritual!
Padmaroshantika Diah Rustiarini
REDS – Worldview