Yesaya
Yesaya 45:15 menyerukan bahwa Allah adalah Allah yang menyembunyikan diri. Mengapa Dia, Allah Israel, menyembunyikan diri dari Israel, umat-Nya? Karena Dia sedang menghukum umat-Nyakah? Sebegitu besarnyakah murka-Nya kepada umat Israel sehingga Dia enggan menyatakan diri-Nya? Tetapi bagian ini tidak berbicara mengenai Allah yang menyembunyikan diri dalam murka-Nya. Bagian ini justru berbicara mengenai penghukuman yang sudah berakhir bagi umat Israel. Tuhan membebaskan mereka dari pembuangan, dan Tuhan juga memulihkan kembali keadaan tanah mereka sehingga orang-orang dapat berkata, “Sungguh, Allah ada di tengah-tengah kamu!” Tetapi jika demikian, mengapa Yesaya mengatakan bahwa Allah adalah Allah yang menyembunyikan diri? Apakah yang dimaksudkan oleh Yesaya? Pada bagian selanjutnya dalam ayat 15 ini Yesaya mengatakan bahwa Allah Israel adalah Juruselamat. Apakah yang menjadi ketersembunyian Allah yang adalah Juruselamat?
Allah adalah Allah yang menyatakan diri-Nya. Dia tidak mungkin dapat dikenal oleh manusia sebagai ciptaan jikalau Dia Sang Pencipta tidak menyatakan diri-Nya. Demikian juga mengenai apa yang Dia telah, sedang, dan akan kerjakan. Kita hanya dapat mengenal apa yang Dia telah, sedang, dan akan kerjakan jika Dia sudah terlebih dahulu menyatakannya kepada kita. Jadi Allah adalah Allah yang tersembunyi karena Dia memang tidak menyatakan diri-Nya ataupun apa yang Dia kerjakan. Ini juga terjadi ketika umat Tuhan, bangsa Yehuda, harus dibuang ke Babel. Yesaya menubuatkan bukan saja pembuangan yang akan terjadi, tetapi juga rencana keselamatan yang Allah rencanakan dan dipulihkannya umat Tuhan. Di dalam pembuangan, Allah menyembunyikan diri-Nya terhadap Israel. Tidak ada lagi laut maupun sungai yang terbelah, tidak ada lagi api yang turun dari langit, tidak ada lagi batu-batu yang menghujam pasukan musuh, dan tidak ada lagi nabi-nabi Baal yang disembelih. Namun ternyata rencana keselamatan-Nya terus berlangsung. Baik di dalam pembuangan sekalipun, tempat di mana umat Tuhan tidak akan merasa nyaman, ternyata Tuhan bekerja menggenapkan keselamatan yang Dia telah rencanakan. Dunia tidak mengetahui apa yang Allah sedang genapkan, tetapi Allah sedang melaksanakan keselamatan bagi umat-Nya.[i]
Luther
Namun Luther memiliki penafsiran yang unik dalam melihat Yesaya 45:15 ini. Dia membenturkan pengertian yang dia dapatkan dari ayat ini dengan theologia gloriae (theology of glory). Orang yang hanya ingin mengenal Allah di dalam kemuliaan dan hormat, tetapi gagal melihat ketersembunyian dan perendahan diri Allah, tidak mungkin dapat mengenal Allah dengan benar. Pada zaman Luther, baik theologi skolastik maupun humanisme dari Erasmus merupakan pengajaran yang ditentang Luther dan dicap sebagai theologia gloriae.[ii] Bagi Luther, theologia gloriae adalah keangkuhan berlebihan akan kemampuan akal manusia untuk mengetahui segala sesuatu tentang Allah. Theologia gloriae juga adalah ketika manusia melihat bagaimana pengenalan akan Allah dapat membawa kepada kemuliaan. Luther melihat hal ini sebagai sesuatu yang membawa manusia menjadikan dirinya sebagai allah melalui pengetahuan theologis dan pencapaian keagamaan yang lain.[iii] Theologia gloriae mencari kemuliaan, keagungan, dan kemegahan sebagai sesuatu yang mendapatkan tempatnya dalam dunia ini.
Pada zaman Martin Luther gereja adalah pusat. Gereja yang memiliki kuasa, theologi yang sanggup menjawab sesuatu, pemimpin-pemimpin gereja yang memiliki pengaruh politik yang besar, dan keberadaan gereja yang adalah pusat dari seluruh kegiatan… Ah, apakah ini jawaban dari doa “datanglah kerajaan-Mu”? Tetapi Luther mengatakan bahwa inilah theologia gloriae. Theologi yang tidak akan sanggup membuat umat Tuhan mengenal Allah yang sejati. Theologia gloriae gagal melihat Allah yang tersembunyi. Karena itulah Luther mengkontraskan Yesaya 45:15 ini dengan theologi pada zamannya. Menurutnya, bukan theologia gloriae, tetapi theologia crucis (theology of the cross).
Di dalam pemikiran Martin Luther, theologia crucis membawa pengenalan akan Allah yang tersembunyi di dalam penderitaan.[iv] Theologia crucis membawa setiap orang Kristen kembali kepada penderitaan Kristus. Orang yang hanya melihat hal-hal yang kelihatan, dan berharap mendapatkan kemuliaan dari kepercayaannya kepada Tuhan dalam bentuk hal-hal yang kelihatan saja, merupakan orang-orang yang tidak mungkin mengerti theologia crucis ini. Mengapa demikian? Karena hal-hal yang termanifestasi dan terlihat dari kehidupan Kristus di dunia ini bukanlah Kristus yang mulia, tetapi Kristus yang berjalan menuju Golgota. Orang-orang yang lebih memilih untuk mendapatkan penghormatan ketimbang penghinaan, kemuliaan ketimbang salib, sorotan ketimbang pengabaian, kuasa ketimbang kelemahan, adalah orang-orang yang masih melihat kepada theologia gloriae dan pandangan akan theologi yang begitu menyilaukan mata ini membuat salib menjadi tidak terlihat. Dimanakah salib di dalam pengenalan kita akan Allah? Allah yang menyatakan diri di dalam kehinaan dan penderitaan adalah Allah yang dinyatakan oleh Kristus, sebagaimana dikatakan Luther.
Tetapi pengenalan akan salib Kristus juga merupakan pengenalan akan diri yang sungguh di hadapan Tuhan. Tidak ada seorang pun yang dapat membanggakan diri jika sebelumnya dia sudah dengan hancur berlutut di depan salib Kristus dan sadar betapa tidak berharganya dia karena dosa. Luther melihat bagaimana salib menjadi suatu kekuatan dan kemuliaan bagi orang-orang yang demikian. Tetapi dunia ini tidak melihat salib sebagaimana orang-orang yang sujud karena kesadaran akan dosa-dosanya tersebut. Salib adalah suatu kehinaan dan kebodohan. Salib langsung berlawanan dengan kemuliaan, kepandaian, kekuatan, dan segala hal yang mendapat penghargaan dunia ini. Salib? Bermegah? Apakah keuntungan salib? Bukankah salib lambang kegagalan, penderitaan, hukuman, dan kutuk? Tidak ada seorang pun yang mau mencari salib. Karena itu ketika gereja hari ini mengadakan kebaktian kebangunan rohani, memberitakan salib saja tidak cukup. Perlu ada kesembuhan, artis-artis, dan hadiah-hadiah untuk menarik orang. Kristus tidak menarik! Salib tidak menarik! Alangkah bodohnya Paulus, Petrus, dan para rasul… mereka buang seluruh hidup mereka untuk suatu berita yang tidak menarik sama sekali… Benarkah?
Tetapi Luther memiliki kalimat yang sangat indah untuk orang-orang dunia yang menghindar dari salib untuk mencari kemuliaan duniawi. Dia mengatakan bahwa segala bentuk kemuliaan yang dicari manusia tidak mungkin diperoleh dengan mencari kemuliaan itu. Mau dapat glory? Tidak bisa dengan mencari glory. Mau dapat kuasa? Tidak bisa dengan mencari kuasa. Mau dapat puji dan hormat? Tidak bisa dengan mencari puji dan hormat.[v] Kristus memperoleh semua glory, kuasa, puji, dan hormat bukan dengan mengejar hal-hal tersebut. Kristus memperoleh semua kuasa, kekayaan, hikmat, kekuatan, hormat, kemuliaan, dan puji-pujian karena Dia berjalan menuju kayu salib.[vi] Inilah theologia crucis.
Moltmann
Moltmann muncul sebagai theolog penting pasca perang dunia dengan usaha untuk kembali mempopulerkan konsep theologia crucis Luther. Theologi yang berbeda dengan theologi akhir abad ke-19. Theologi optimistik abad ke-19 yang melihat kasih sebagai perwujudan dari kerajaan Allah yang diwujudkan oleh manusia adalah bentuk lain dari theologia gloriae. Manusia sanggup membuat kerajaan Allah terjadi di bumi. Kerajaan penuh kasih dan damai. Tetapi sekali lagi terlihat bagaimana Tuhan bekerja di dalam sejarah untuk meruntuhkan optimisme theologia gloriae. Kerajaan penuh kasih yang mau dikejar ternyata berujung pada perang dunia ke-1. Belum selesai trauma dari perang tersebut, lagi-lagi terjadi perang dunia untuk kedua kalinya. Menyadari hal ini, Moltmann mengatakan suatu kalimat yang sangat baik pada halaman pertama buku “The Crucified God” yang dia tulis. Moltmann mengatakan “A theology which did not speak of God in the sight of the one who was abandoned and crucified would have nothing to say to us then.”[vii] Siapakah yang ditinggalkan dan disalibkan itu? Tidak lain itu adalah Anak Allah sendiri. Maka, sebagaimana sudah kita lihat dalam pemikiran Luther, echo dari Yesaya 45:15 kembali terdengar. “Sungguh. Engkau adalah Allah yang menyembunyikan diri…” Allah yang menyembunyikan diri di dalam penderitaan, sebagaimana dikemukakan secara eloquent oleh Martin Luther.
Moltmann memberikan fokus pembahasan mengenai Allah yang menyembunyikan diri di dalam penderitaan ini dengan pembahasan yang berpusat pada Kristus yang datang ke dalam dunia. Dia melihat bagaimana di dalam diri Kristus inilah Allah menyembunyikan diri di dalam penderitaan. Di dalam hidup-Nya di dunia ini, Tuhan Yesus, yang walaupun adalah Anak Allah, dianggap sebagai kebodohan oleh orang-orang “bijak.” Dia dianggap menjalani hidup penuh skandal bagi para tokoh agama yang “suci.” Dia juga dianggap sebagai pengganggu ketenangan menurut pandangan para pemimpin politik saat itu.[viii] Sadarkah mereka akan siapa Dia? Dialah Sang Kebenaran! Dialah Yang Kudus dari Allah! Dialah Raja di atas segala raja! Siapakah para bijak yang bodoh itu di dunia ini? Siapakah para tokoh-tokoh agama yang munafik itu? Siapakah para pemimpin politik kotor yang korup itu? Mengapa Anak Allah rela dipandang remeh oleh mereka? Lagipula mengapa mereka berani memandang remeh Yesus Kristus, Anak Allah, Raja atas segala raja? Karena mereka memang tidak melihat siapa Dia sesungguhnya. Mengapa mereka tidak melihat siapa Dia? Karena Dia adalah Allah yang menyembunyikan diri di dalam penderitaan.
Kristus yang Marginal
Demikianlah Anak Allah yang menyembunyikan diri di dalam penderitaan menjalani hidup-Nya di dunia ini. Dia tidak menganggap kemuliaan ilahi yang Dia miliki, yang jauh melebihi kemuliaan siapapun di dunia ini, sebagai sesuatu yang harus dipertahankan.[ix] Dia rela menjadi hamba yang taat kepada Bapa-Nya. Sebagaimana semua manusia dituntut untuk taat, demikianlah Dia taat. Tetapi tidak sama dengan semua manusia yang lain, Dialah satu-satunya yang taat dengan sempurna. Karena itulah, sebagaimana dikatakan dalam surat Filipi, Allah sangat meninggikan Dia.[x] Allah yang meninggikan Dia. Bukan dunia. Dunia tetap berjalan dengan penghinaannya kepada Anak Allah. Siapakah Kristus? Sepanjang sejarah, pengikut Kristus, yaitu domba-domba tebusan-Nya adalah minoritas. Orang-orang marginal yang dikumpulkan melalui Kristus yang tunduk kepada Allah, yang hidup penuh kesederhanaan dan rela menderita, dan taat sampai mati disalib. Domba-domba yang dipanggil untuk hidup sebagaimana sang Gembala telah hidup. Hidup yang dipuji oleh Allah, tetapi tidak dianggap oleh dunia ini. Moltmann mengatakan bahwa Kristus datang menjadi manusia dan menjalani hidup yang tidak ada seorangpun mau jalani kalau mereka boleh memilih.[xi] Tetapi Kristus tidak menjalani hidup di dunia ini dengan terpaksa. Dia dengan rela menjalani hidup yang menuju ke salib.
Tetapi theologia gloriae terus menampakkan diri dalam bentuk yang berbeda-beda. Sekarang pengikut Kristus tidak lagi mau mengikuti Kristus yang dihina, mereka mau Kristus yang dipermuliakan. Mereka tidak mau Kristus yang disalib, mereka mau Kristus yang bangkit. Kristus yang berkuasa mengadakan mujizat, dan bukan Orang hina yang tidak dianggap oleh dunia ini. Karena itu kemuliaan Kristus digantikan oleh segala fenomena kesembuhan dan mujizat. Orang-orang Kristen senang sekali mencari-cari kristus-kristus palsu yang mencelikkan mata orang buta. Kristus-kristus palsu yang bisa mengadakan mujizat dengan begitu banyaknya. Akan kemanakah kekristenan yang seperti ini? Kekristenan yang melupakan Kristus yang disalib pasti akan ditinggalkan oleh Tuhan. Semoga apa yang pernah diserukan Luther boleh kembali diingat pada zaman ini. Kemuliaan tidak didapat dengan mencari kemuliaan! Kemuliaan didapat dengan berjalan ke salib! Inilah Kristus yang diberitakan Alkitab. Kristus yang pergi ke salib!
Moltmann mengatakan bahwa kehidupan praktis Kristen adalah kehidupan yang secara konstan mengikuti Kristus yang disalib. Inilah yang akan mengubahkan seseorang dan lingkungan di mana dia ada.[xii] Tetapi theologia gloriae juga menampakkan diri dalam bentuk pencarian pengakuan akan prestasi keagamaan. Gereja-gereja tidak lagi ingat untuk mengikut Kristus yang disalib. Gereja-gereja mau mengikut Kristus yang menang tanpa kerelaan untuk berjalan ke salib. Gereja-gereja terus mengupayakan untuk menjadi yang terbesar, termegah, dan terhebat dengan cara yang tidak berbeda dengan dunia ini. Mengapa gereja-gereja membuat cabang? Karena banyak cabang itu merupakan prestasi keagamaan. Mengapa adakan KKR? Karena KKR itu prestasi keagamaan. Tidak ada lagi kepekaan untuk mengikut Kristus yang menundukkan diri kepada Bapa-Nya. Yang ada adalah… theologia gloriae. Kalau gereja memang mau jadi yang paling besar, maka kemungkinan yang paling besar adalah menjadi seperti gereja pada abad ke-16 yang besar, megah, kaya, berkuasa, dengan theologi skolastik yang bisa memecahkan masalah apapun, tidak ada rahasia yang tidak bisa dijelaskan. Inilah kemungkinan paling mulia yang bisa dikejar. Tetapi kalau ini sudah tercapai, maka akan ada Martin Luther baru yang akan mengingatkan kembali akan theologia crucis. Dia akan mengingatkan bahwa kemuliaan tidak dicapai dengan mencari kemuliaan. Kemuliaan dicapai dengan berjalan ke salib.
Kebangkitan, Peristiwa yang Marginal
Hal yang diterima oleh orang Kristen adalah bahwa memang Kristus menderita dan mati, tetapi bukankah Dia bangkit? Bukankah Dia menang? Bukankah maut ditaklukkan? Karena Dia sudah menang maka kita memperoleh kemuliaan kita. Ini memang benar. Tetapi bagaimanakah kita memandang kebangkitan Kristus? Apakah ini merupakan sesuatu yang dapat dilihat dari sudut pandang theologia gloriae? Ataukah ini merupakan sesuatu yang tetap harus dilihat di dalam pengertian theology of the cross? Tuhan menyatakan diri kepada orang-orang yang dipilih-Nya, dan bukan kepada dunia.[xiii] Demikian juga ketika Dia bangkit, Dia menyatakan diri-Nya kepada para saksi, bukan kepada dunia.[xiv] Ketika Dia bangkit, yang menjadi saksi jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan yang menjadi murid-Nya ketika Dia masih hidup. Bukankah ini suatu penurunan? Prestasi yang kurang baik. Ada saat di mana 5.000 orang laki-laki mengikuti Dia. Ada saat di mana sejumlah orang banyak memenuhi rumah maupun di tempat terbuka untuk mendengarkan Dia mengajar. Mengapa ketika bangkit Dia menyatakan diri ke sekelompok orang dengan jumlah yang jauh lebih kecil? Karena itu kebangkitan juga merupakan peristiwa marginal, sama seperti kelahiran Kristus, kehidupan-Nya, kematian-Nya. Ketika Dia bangkit, Pilatus tidak mengetahuinya. Begitu juga dengan seluruh penduduk Yerusalem. Berapa banyak yang sadar kalau Dia sudah bangkit?
Paulus mengatakan bahwa jikalau kita memiliki persekutuan dengan Kristus, maka kita akan bangkit juga bersama-sama dengan Dia.[xv] Tetapi seperti apakah kita harus melihat kebangkitan itu? Kebangkitan bukan peristiwa yang mendapatkan kemuliaannya di dunia ini. Paulus dihina orang-orang Athena karena memberitakan kebangkitan Kristus.[xvi] Selama 40 hari Kristus menyatakan bahwa Dia bangkit, tetapi… tidak kepada dunia. Lagi-lagi kepada sekelompok orang-orang marginal yang akan dianggap gila ketika mereka memberitakan kebangkitan Kristus. Yesus Kristus menunjukkan diri kepada murid-murid-Nya. Lalu bagaimana caranya agar dunia tahu? Murid-murid inilah yang harus pergi. KKR, apologetika, debat, dialog agama, penginjilan pribadi, apapun itu. Merekalah yang pergi. Mengapa Tuhan memakai cara ini? Mengapa Dia tidak menyatakan diri kepada dunia? Karena, kembali echo dari Yesaya terdengar. “Sungguh, Engkaulah Allah yang menyembunyikan diri.”
Dalam kaitannya dengan zaman sekarang, theologia gloriae akan melihat kebangkitan sebagai suatu kuasa yang akan memperlengkapi orang percaya dengan kemampuan untuk memiliki kuasa, penyembuhan, kekayaan, bebas penyakit, dan semua kemuliaan dunia yang menyertainya. Pengakuan dunia menjadi ukuran berkat Tuhan di dalam Kristus. Inilah kekristenan yang rusak. Rusak karena mau mencari kemuliaan dunia ini. Rusak karena melupakan theology of the cross. Theologia gloriae juga akan melihat kebangkitan sebagai suatu kuasa yang memberikan kekuatan kepada gereja untuk kembali kepada zaman abad pertengahan. Menjadi pusat dan yang mengatur segala sesuatu. Tetapi tidak demikian. Melihat kebangkitan dari perspektif theologia crucis akan memisahkan kuasa kebangkitan dengan kemuliaan duniawi. Kuasa kebangkitan bukan kuasa mujizat dan bebas penyakit. Kuasa kebangkitan juga tidak ada kaitannya dengan kemampuan untuk membuat gedung gereja yang megah. Kuasa kebangkitan tidak identik dengan kemampuan untuk mempengaruhi dunia. Kuasa kebangkitan tidak memiliki kaitan apapun dengan kemampuan manusia yang merasa sanggup untuk melakukan perubahan apa-apa di dunia ini dengan mengandalkan diri. Kuasa kebangkitan bukan untuk kembali kepada kemuliaan gereja abad pertengahan. Dalam sebuah artikelnya, Miroslav Volf, seorang theolog dari Kroasia, membahas tentang ketidakmungkinan gereja menjadi pusat dari suatu masyarakat pluralistik.[xvii] Ini disebabkan karena setiap bidang telah memiliki center mereka sendiri sehingga gereja tidak mungkin lagi dapat mewujudkan mimpi untuk kembali pada abad pertengahan dimana gereja menjadi sang ratu untuk segala bidang. Alasan berikutnya yang diberikan Volf adalah karena memang bukan kita yang harus menjadi center. Kristuslah yang menjadi center, maka kita, orang-orang Kristen, biarlah kita menjadi marginal.[xviii] Sebab bila Kristus yang seharusnya menjadi center ternyata rela menjadi marginal, maka siapakah kita sehingga kita mau mengambil posisi center tersebut?
Kuasa Kebangkitan
Di dalam Roma 4:25, Paulus mengatakan bahwa Kristus diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita. Jika demikian, maka kebangkitan merupakan tanda bahwa pembenaran kita telah terlaksana. Kebangkitan menjadi tanda bahwa pengorbanan Kristus di kayu salib sudah diterima oleh Bapa. Penerimaan yang membuat setiap orang pilihan Tuhan dibenarkan dan dibasuh dosanya. Tidak ada lagi dosa, pelanggaran, cacat, atau apapun yang tidak dihapuskan dalam pengorbanan Kristus. Ini terjadi karena Allah Bapa berkenan kepada ketaatan Kristus. Kristus taat hingga mati di kayu salib. Ketaatan yang memuaskan Bapa. Maka Kristus menjadi korban yang diperkenan oleh Allah. Korban yang membebaskan manusia dari dosa dan yang menaklukkan maut sampai selama-lamanya. Maka kuasa kebangkitan adalah kuasa yang dimiliki yang membebaskan orang-orang pilihan Tuhan dari dosa, dari maut, dan dari murka Allah. Kuasa yang terjadi karena Kristus sanggup memenuhi tuntutan Allah yang sempurna dan suci. Kuasa yang muncul dari perkenanan Allah atas Kristus yang taat untuk… berjalan menuju ke salib. Di manakah kuasa kebangkitan? Kuasa kebangkitan berada pada ketaatan Kristus menggenapi kehendak Allah. Di manakah kuasa kebangkitan? Kuasa kebangkitan berada pada kerelaan Kristus untuk mengambil penghinaan, caci maki, dan penderitaan hingga mati di kayu salib untuk menggenapi rencana Allah. Di manakah kuasa kebangkitan? Kuasa kebangkitan berada pada ketekunan Kristus berjalan menuju salib. Di manakah kuasa kebangkitan? Kuasa kebangkitan berada pada sikap tunduk Kristus dalam meminum cawan murka Allah. Di manakah kuasa kebangkitan? Kuasa kebangkitan berada pada ketaatan Anak Allah yang menyembunyikan diri-Nya di dalam kesengsaraan sehingga Bapa berkenan kepada persembahan Diri-Nya di atas mezbah.
Kita sudah membahas sebelumnya mengenai pemikiran Moltmann yang mengatakan bahwa orang Kristen memiliki hidup yang praktis dilakukan dengan mengikuti Kristus yang disalibkan. Demikian juga dalam melihat kebangkitan Kristus. Theologia gloriae menggerakkan gereja untuk melayani bukan untuk Tuhan, tetapi untuk kemuliaan duniawi yang terlihat dan dikagumi di dunia, dan bukan di surga. Kalau gereja membuat cabang karena gereja saingannya membuat cabang, kalau gereja pergi penginjilan karena mau anggota yang lebih banyak dari gereja saingannya, kalau gereja bangun gedung karena gereja saingannya membangun gedung, kekristenan mau dibawa ke mana? Kuasa kebangkitan adalah kuasa konfirmasi Allah akan kesempurnaan korban dari Kristus yang disalibkan. Melihat kuasa kebangkitan tanpa melihat Yesus yang disalib pasti akan menghancurkan gereja. Apakah yang harus kita lakukan? Membuat gereja saya lebih besar dan lebih baik dari gereja lain? Mengerjakan segala sesuatu supaya terlihat memiliki pelayanan yang demikian baik? Berjuang dan bekerja karena menganggap saya sanggup membawa perubahan? Mau menjadi sang superhero yang menolong dunia ini? Jangan salah. Kita sudah memiliki Juruselamat. Kita tidak dipanggil untuk peninggian diri. Kita dipanggil untuk berjalan ke salib dan menyembunyikan diri di dalam kehinaan, sama seperti Kristus menyembunyikan diri di dalam kehinaan.
Kristus berjalan menuju salib. Dia dipakukan di atas kayu salib. Dan sama seperti semua orang terkutuk yang dipakukan di atas kayu salib, tidak ada lagi sisa kemuliaan yang dapat dihargai oleh dunia. Mengapa Dia melakukan ini? Untuk menggenapi kehendak Bapa. Tetapi pada hari yang ketiga Dia bangkit. Mengapa Dia bangkit? Karena kehendak Bapa secara sempurna telah digenapi. Kuasa kebangkitan bukanlah theologia gloriae. Kuasa kebangkitan adalah ketaatan Kristus. Kuasa kebangkitan adalah ketika di dalam Kristus kita menggenapi kehendak Bapa bagi kita, menggenapi kehendak Bapa dengan berjalan ke kayu salib.
Jimmy Pardede
Pembina Pemuda GRII Bintaro
[i] Lihat Edward J. Young, The Book of Isaiah, vol. 3. Grand Rapids: Eerdmans, cetakan kedua, 2001. Hlm. 209.
[ii] Lihat Bernard Lohse, Martin Luther: Its Historical and Systematic Development. Minneapolis: Fortress Press, 1999. Hlm. 36.
[iii] Bandingkan dengan pernyataan Juergen Moltmann, The Crucified God. Minneapolis: Fortress Press, 1993. Hlm. 71
[iv] Martin Luther, “Heidelberg Disputation,” thesis ke-21, dari Martin Luther’s Basic Theological Writings, ed. Timothy F. Lull. Minneapolis: Fortress Press, 2nd edition, 2005. Hlm. 58.
[v] Bandingkan dengan kalimat Luther dalam buku yang sama, hlm. 58.
[vi] Bandingkan dengan Wahyu 5:12.
[vii] Juergen Moltmann, hlm. 1.
[viii] Juergen Moltmann, hlm. 24.
[ix] Lihat Filipi 2:6
[x] Filipi 2:9
[xi] Juergen Moltmann, hlm. 205.
[xii] Juergen Moltmann, hlm. 25.
[xiii] Lihat dalam Yohanes 14:22, 23
[xiv] Lihat 1 Korintus 15:5-7
[xv] Bandingkan dengan 1 Korintus 15:22
[xvi] Lihat Kisah Para Rasul 17:32
[xvii] Miroslav Volf, “Theology, Meaning, and Power,” dari The Future of Theology: Essay in Honor of Jurgen Moltmann, Miroslav Volf, Carmen Krieg, Thomas Kucharz ed. Grand Rapids: Eerdmans, 1996. Hlm. 110.
[xviii] Ibid. Hlm. 111.