Berbicara mengenai tokoh-tokoh Reformasi gereja di abad ke-16, kita mengenal Martin Luther, Ulrich Zwingli, John Calvin, Guilhem Farel (William Farel), Philipp Melanchthon, dan lain-lain. Tetapi mungkin kita tidak begitu akrab dengan salah satu tokoh reformator di Jerman yang bernama Martin Bucer. Artikel ini membahas pemikiran-pemikiran theologis dari Martin Bucer sebagai seorang reformator Strasbourg yang mewakili suatu tipe dari theologi reformatoris. Juga bagaimana Martin Bucer ternyata banyak memberikan pengaruh terhadap kehidupan dan pemikiran theologi John Calvin. Kita dan gereja-gereja Reformed lainnya dapat belajar banyak dari Martin Bucer, khususnya tentang caranya menulis mengenai gereja, dan kegigihannya berjuang untuk keesaan gereja. Di dalam gerakan Reformasi oleh Bucer di Strasbourg, hal ini banyak ia lakukan di dalam karya-karyanya melalui tulisan-tulisan, khotbah, dan juga dalam diskusi-diskusi yang dihadirinya. Jonathan W. Zophy menuliskan dalam bukunya mengenai kota Strasbourg: sebuah kota komersial yang sibuk dan makmur, berpenghuni sekitar 20.000 orang dan terletak di antara negara Jerman, Perancis, Swiss, dan negara-negara kecil lainnya.[1]
Martin Bucer lahir tahun 1491 di Schlettstadt. Sejak kecil ia dididik dalam ajaran Katolik Roma. Sesudah ia menyelesaikan studi di sekolah latin di kota itu, ia dikirim ke biara Dominikan, tinggal dan belajar sepuluh tahun lamanya di sana. Di biara, Bucer berkenalan dengan neo-klasisisme dari Erasmus dan Beatus Rhenanus. Tahun 1518 ia menghadiri suatu diskusi ketika ia tinggal di biara Agustin dan masih dipengaruhi oleh humanisme.[2] Di situ ia mendengar Luther berbicara tentang “kehendak bebas” dan mempertahankan ajarannya “tentang keselamatan” terhadap ajaran skolastik. Hal ini membuat perubahan besar dalam hidup Bucer. Ketika ia yakin akan kebenaran ajaran Luther, ia menerjemahkan beberapa karya Luther dan mulai berkorespondensi dengan Melanchthon, Spalatinus, dan Capito.[3]
Pengaruh Martin Bucer terhadap John Calvin
Perjumpaan Bucer dengan Calvin dimulai pada waktu pelayanan Calvin selama dua tahun di Jenewa bersama Farel, yang berjuang melawan tuntutan pemerintah Jenewa karena mengatur kewenangan gereja, dan terus berjuang mempertahankan kebebasan gereja dari aturan-aturan pemerintah Jenewa. Hal ini membuat Calvin dan Farel dilarang memberitakan firman Tuhan dalam ibadah. Pada bulan April 1538 pemerintah Jenewa memecat mereka sebagai pengajar Kitab Suci dan menyuruh mereka meninggalkan Jenewa. Farel pergi ke Neuchatel. Calvin pergi ke Bern dan sesudah itu ke Basel. Di kota ini Martin Bucer mengirim surat kepada Calvin dan memintanya datang ke Strasbourg untuk memimpin jemaat Perancis yang terdiri dari orang-orang Perancis yang melarikan diri dan mencari perlindungan di Strasbourg.[4] Mula-mulanya ia agak ragu, namun karena Bucer terus mendesaknya melalui surat-suratnya, akhirnya ia memenuhi permintaan Bucer dan berangkat ke Strasbourg. Maka di kota ini Calvin bekerja tiga tahun lamanya sebagai pendeta dari jemaat orang-orang pelarian yang tinggal di Strasbourg. Pada masa itu juga Calvin dipengaruhi oleh reformator-reformator lainnya melalui Bucer. Hall mengutip perkataan McGrath dalam bukunya Life of John Calvin,
Di bawah teladan yang kuat dari pendidik-pendidik Reformasi yang terkemuka seperti Johann Sturm (1507-89) dan Martin Bucer, di sana Calvin menerima bimbingan yang sehat. Ia menemani Bucer dalam misi-misi diplomatik, mengajar di Akademi Sturm yang baru saja didirikan, yang menjadi model bagi Akademi Jenewa, dan mengamati relasi yang harmonis antara gereja dan Negara.[5]
Andrew Atherstone dalam bukunya mengatakan bahwa sebagai pembaharu terkemuka kota Strasbourg, Martin Bucer membujuk Calvin untuk menetap di kota tersebut dengan mengingatkan Calvin tentang contoh nabi Yunus, yang lari dari panggilan Tuhan. John Calvin akhirnya menetap dan pelayanannya berkembang di kota ini. Kemudian dikatakan bahwa Bucer menjadi mentor dan menjadi figur ayah bagi Calvin dan membantunya untuk mengembalikan kepercayaan yang telah hancur dalam kemampuannya sebagai seorang pendeta. Atherstone menulis,
That city’s leading reformer, Martin Bucer, persuaded him to stay by warning him of the example of the prophet Jonah, who ran away from the call of God. So Calvin settled and thrived. Bucer became his mentor and father figure, and helped to restore his shattered confidence in his abilities as a pastor.[6]
Mengenai pengaruh Bucer terhadap Calvin, Heiko A. Oberman juga menuliskan dalam bukunya The Reformation: Roots and Ramifications bahwa Calvin juga belajar dari Bucer di Strasbourg (1538–1541) khususnya dalam urusan organisasi gerejawi dan bagaimana Injil tidak tunduk pada otoritas dewan kota. Oberman mengatakan,
Calvin also learned from Bucer at Strasbourg (1538–1541) that in order to succeed, “Reformation” needs its own ecclesiastical organization, so that the cause of the Gospel is not subject to the authority of the city council.[7]
William R. Estep dalam bukunya Renaissance and Reformation menuliskan, beberapa sarjana melihat pengaruh Martin Bucer-sarjana Alkitab dan kemampuannya tercermin dalam halaman-halaman bukunya terutama dalam doktrin predestinasi. Selanjutnya dua setengah bulan kemudian Calvin menulis sebuah dedikasi terhadap tafsiran surat Roma dari Bucer. Estep mengatakan,
some scholars see the influence of Martin Bucer-and able biblical scholar in his own right-reflected in its pages, particularly in the doctrine of predestination. Two and a half months later Calvin wrote the dedication to his commentary on Romans.[8]
Bucer dalam pandangannya mengenai predestinasi dan pembenaran, iman dan perbuatan, tata gereja dan sakramen, dapat berperan sebagai “pendahulu” yang langsung dari Calvin. Dalam kebersamaan pelayanan dan pergaulan Calvin dengan Bucer di Strasbourg, Calvin dipersiapkan dengan baik untuk tugasnya sebagai reformator dan theolog.
Martin Bucer dan Pelayanannya di Strasbourg
Bucer banyak melakukan reformasi di antaranya terhadap pendidikan dengan mendirikan universitas pada tahun 1524, seminari untuk mendidik pendeta. Selain itu ia juga membuat traktrat yang melawan ajaran gereja Katolik Roma di mana salah satu usaha yang dilakukannya adalah memberikan suatu struktur sendiri kepada gereja. Pada tahun tersebut, ia menerbitkan beberapa karya tentang Perjamuan Kudus, tentang Baptisan Kudus, tentang hari-hari raya gerejawi, dan lain-lain, dan merangkumkan kebenaran-kebenaran pokok untuk anggota-anggota gereja supaya mereka taat kepada Allah dan mengasihi sesama manusia. Periode tahun 1530–1536, Bucer bekerja di bidang penyusunan tata gereja dalam menghentikan pengaruh gereja Katolik Roma dan ajaran dari bidat-bidat. Berdasarkan ajarannya tentang “Predestinasi” dan tentang “Disiplin gerejawi” yang mau ia terapkan sehingga hal ini memenangkan banyak orang. Menurutnya, disiplin gerejawi adalah salah satu ciri gereja yang benar. Di samping itu, Bucer juga mencurahkan perhatiannya pada keesaan gereja dan berusaha mendamaikan Zwingli dengan Luther dengan ajarannya mengenai Perjamuan Kudus sehingga ia menjadi pengantara antara golongan Luther dan Zwingli.[9] Bahkan dikatakan juga oleh Owen Chadwick dalam bukunya bahwa Martin Bucer, tokoh Reformasi dari Strasbourg itu, mencurahkan bagian utama dari karirnya untuk mendamaikan kaum Zwinglian dengan kaum Lutheran. Bucer juga lebih dari sekadar seorang diplomat atau negosiator; ia seorang yang memiliki prinsip di antara yang paling terpelajar dan di antara tingkatan pemimpin Protestan di kota Strasbourg. Chadwick mengatakan,
Martin Bucer, the reformer of Strasbourg, devoted a main part of his career to reconciling the Zwinglians with the Lutherans. Bucer was more than a mere diplomat or negotiator; he was a man of principle and among the most learned and level-headed of the Protestants.[10]
Dalam pelayanannya di Strasbourg, Bucer dan Calvin saling memengaruhi khususnya di bidang tata gereja, jabatan, dan liturgi. Lebih jauh kita melihat ajaran Bucer dalam pelayanannya di kota Strasbourg antara lain pemahaman Bucer tentang gereja adalah pemahaman yang realistis. Menurutnya persekutuan yang benar dari gereja diciptakan oleh Roh Kudus. Gereja sebagai tubuh yang mistik dari Kristus. Kerajaan Allah disamakan dengan jemaat yang benar dari orang-orang yang terpilih. Semuanya ini harus berjalan bersama-sama dengan suatu disiplin yang ketat terhadap anggota-anggota jemaat di dalam gereja dan dengan cinta kasih kepada sesama manusia. Pikiran-pikiran pokok ini kemudian dikembangkan dan dijabarkan dalam ajaran tentang Jabatan, Baptisan Kudus, dan Perjamuan Kudus.
Konsep “Pietas” dari Martin Bucer
Karya-karya Bucer banyak menggunakan pengertian “pietas”. Pengertian pietas adalah inti dari seluruh karya theologinya. Hal ini juga menjadi ciri theologinya jika dibandingkan dengan theologi dari reformator-reformator yang lain termasuk John Calvin.[11] Di dalam penjelasannya mengenai pengertian pietas, Bucer menggunakan Tafsiran tentang Surat Efesus yang ditulisnya pada tahun 1527. Dengan pengertian ini Bucer merangkumkan arti pietas yaitu “percaya kepada Allah” dan “mengasihi sesama manusia” menjadi satu.[12] Selanjutnya Bucer menjelaskan pengertian pietas tentang pembenaran. Menurutnya “pembenaran”, yang pada waktu itu diartikan pembenaran hanya oleh iman, titik fokusnya adalah pada ajaran. Sedangkan pada pietas menurut Bucer, diletakkan pada iman dan perbuatan (kasih) yaitu gaya hidup orang Kristen.[13]
Pemahaman Predestinasi Menurut Martin Bucer
Dalam menjelaskan “predestinasi”, Bucer mengemukakan dua hal yaitu pertama: pemilihan orang-orang kudus (oleh Allah) dan pemisahan mereka dari bangsa/manusia yang akan binasa. Hal yang kedua, pemilihan orang-orang kudus (oleh Allah) sebelum mereka dilahirkan. Menurut Bucer, Rasul Paulus membicarakan tema predestinasi ini untuk menjelaskan bahwa Allah telah memilih orang-orang kudus (orang-orang pilihan-Nya) dan menentukan mereka untuk hidup kekal sebelum mereka dilahirkan (dan dapat melakukan sesuatu).[14] Dikatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat membatalkan keputusan Allah tersebut. Keputusan pemilihan ini diambil oleh Allah sendiri berdasarkan kehendak dan kemurahan Allah dan bukan karena jasa manusia atau prestasi orang-orang yang dipilih Allah. Scott Clark menuliskan bahwa Martin Bucer (1491-1551) yang pernah menjadi rekan pelayanan Calvin membela doktrin tentang “predestinasi ganda” dalam buku tafsirannya yang tebal mengenai surat Roma.[15]
Pandangan Martin Bucer tentang Pembenaran
Adanya perbedaan pendapat di antara Luther dan Zwingli mempersiapkan suasana untuk diskusi yang lebih luas mengenai pengertian yang sebenarnya tentang “Pembenaran” di era Reformasi. Luther yang menganggap bahwa pembenaran ditujukan kepada orang percaya secara individual, menjelaskan hubungannya dengan Allah dan gereja supaya hati nuraninya yang penuh kesukaran itu dapat diringankan. Luther membawa perhatiannya terhadap manusia sebagai individu dan kesadaran subjektifnya yang merefleksikan kebangkitan individualisme yang berkaitan dengan Renaisans.[16] Tapi berbeda dengan reformasi di Swiss yang perhatiannya lebih ditujukan pada reformasi masyarakat. Zwingli melihat Reformasi sebagai sesuatu yang memengaruhi gereja dan masyarakat daripada hanya manusia secara individu. Reformasi Swiss lebih bersifat moral. Zwingli prihatin terhadap pembaharuan moral dan spiritual dari kota Zurich.[17] Bahkan kemudian dalam tahun 1520-an, perbedaan-perbedaan mengenai pembenaran menjadi semakin nyata. Usaha-usaha untuk menengahi mereka akhirnya kita dapat jumpai dalam pandangan Bucer dan Calvin.[18] Bucer akhirnya membuat tulisan yang memperbaiki kesalahan-kesalahan pendekatan yang dilakukan. Dalam satu seri tulisan Bucer, khususnya pada tahun 1530-an, Bucer mengembangkan suatu ajaran tentang “Pembenaran ganda” yang bagi Bucer tampaknya dapat mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh penekanan yang berat sebelah dari Luther atas anugerah Allah. Melalui pemikirannya yang dituangkan dalam tulisan tersebut, Bucer percaya bahwa ia telah berhasil mempertahankan baik realitas anugerah maupun juga keperluan akan ketaatan manusia. Model tentang pembenaran yang akhirnya memengaruhi zaman Reformasi yang selanjutnya dirumuskan Calvin dalam tahun 1540-an dan 1550-an. Maka Calvin menekankan persatuan dengan Kristus menjadi dampak rangkap dua yang disebutnya sebagai “Anugerah ganda”.[19]
Pandangan Martin Bucer Mengenai Gereja
Pada tahun 1543, Calvin telah memperoleh pengalaman yang jauh lebih banyak tentang tanggung jawab dalam bidang kegerejaan, khususnya selama periodenya di Strasbourg. Martin Bucer, tokoh intelektual di belakang Reformasi di Strasbourg, telah mempunyai reputasi yang sangat tinggi sebagai seorang administrator gereja – sangat mungkin bahwa teori Calvin yang belakangan tentang gereja merefleksikan pengaruh pribadi Bucer. Pandangan tentang keempat jabatan gerejawi, yaitu pendeta, pengajar, tua-tua, dan diaken, berasal dari Bucer, seperti juga perbedaan antara gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Namun, pandangan-pandangan Bucer bahwa disiplin gerejawi, adalah suatu ciri esensial dari gereja (secara teknis, suatu “nota” atau “tanda”) tidak disuarakan oleh Calvin.[20] Pengaruh Bucer dalam kebersamaannya dengan Calvin juga terlihat ketika Calvin memodifikasi pandangannya mengenai gereja dan mengambil sikap yang positif terhadap komunitas yang kelihatan. Mulai tahun 1539 Calvin telah mengembangkan sisi gereja yang kelihatan ini dalam konsepsinya tentang gereja dan pengaruh Bucer tetap terlihat dalam edisi 1543.[21] Hal yang penting juga untuk kita ketahui bahwa peran Bucer dalam pembentukan theologi Calvin sangat penting. Bahkan dikatakan sebelum Calvin mengenal Bucer secara langsung pada tahun 1537, Calvin sudah melakukan korespondensi dengan Bucer dan telah membaca paling tidak tafsiran Bucer tentang Injil Matius dan Yohanes. Di sinode Bern pada tahun 1537, di mana Bucer dan Capiton hadir untuk memperkuat pendekatan kepada Luther yang terimplikasi dalam penandatanganan Concord of Wittenberg, Calvin memberikan kepada kedua Reformator Strasbourg itu sebuah pengakuan iman tentang Perjamuan Kudus yang isinya mengikuti pandangan Bucer.[22] Bucer memahami bahwa gereja dari perspektif Kerajaan Allah di dunia sebagai “pelayan” Kerajaan Allah. Pelayanan adalah jiwa gereja dan hal ini harus nampak dalam segala pekerjaan gereja yaitu sebagai “pelayan” dari ajaran, “pelayan” dari sakramen-sakramen, dan “pelayan” dari disiplin gerejawi.[23] Di dalam menjelaskan mengenai pietas dan persekutuan di dalam gereja, Bucer juga menulis bahwa gereja terjadi ketika setiap orang yang percaya kepada Kristus dan di dalam kepercayaan itu bertumbuh secara bersama dan membentuk sebuah persekutuan. Martin Greschat menuliskan,
The church, wrote Bucer, ensues when individual people who believe in Christ and trust him alone grow together, forming a fellowship.[24]
Penutup
Melalui semua yang telah diperjuangkannya, Martin Bucer telah melakukan banyak perubahan khususnya dalam gereja di kota Strasbourg. Pengaruh pandangan theologinya telah banyak memengaruhi ide-ide dan theologi John Calvin. Martin Bucer adalah seorang pemimpin Reformasi tangguh dari Strasbourg. Bucer meletakkan suatu fondasi yang sangat kuat mengenai apa yang disebutnya “pietas”. Karya-karya Bucer yang dituangkan di dalam tulisan-tulisannya antara lain: tentang tata gereja, jabatan gerejawi, ibadah dan musik gerejawi, liturgi, perjamuan kudus, baptisan, disiplin gerejawi, tafsiran Kitab Suci, dan pendidikan.
Elvis Ratta
Mahasiswa STT-Reformed Injili Internasional
Referensi:
1. Abineno, Dr. J. L. Ch. Bucer dan Calvin: Suatu Perbandingan Singkat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
2. Atherstone, Andrew. The Reformation Faith and Flames. England: Lion Hudson plc, 2011.
3. Berkhof, Dr. H. Sejarah Gereja. Disadur untuk bahasa Indonesia oleh Dr. I. H. Enklaar. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
4. Chadwick, Owen. The Penguin History of The Church 3 “The Reformation”. (London: Penguin Group, 1990), 80-81.
5. Estep, William R. Renaissance and Reformation. Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1986.
6. Greschat, Martin. Martin Bucer: A Reformer and His Times. Trans. by Stephen E. Buckwalter. London: Westminster John Knox Press, 2004.
7. Hall, David W. Penuntun Ke Dalam Theologi Institutes. Surabaya: Penerbit Momentum, 2009.
8. Hall, David W. Warisan John Calvin: Pengaruhnya di Dunia Modern. Surabaya: Penerbit Momentum, 2009.
9. McGrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. Terj. Liem Sien Kie. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
10. Oberman, Heiko A. The Reformation: Roots and Ramifications. Trans. By Andrew Colin Gow. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1994.
11. Walker, Williston. A History of The Christian Church. Fourth Edition. New York: Scribner, 1985.
12. Wendel, Francois. Calvin: Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya. Surabaya: Penerbit Momentum, 2010.
13. Zophy, Jonathan W. A Short History of Reformation Europe: Dances Over Fire and Water. New Jersey: Prentice-Hall. Inc, 1997.
Endnotes:
[1] Jonathan W. Zophy, A Short History of Reformation Europe: Dances Over Fire and Water. (New Jersey: Prentice-Hall. Inc, 1997), 114.
[2] Humanisme pada masa itu menekankan pendidikan klasik. Ad fontes atau “kembali ke asal” menjadi seruan balik dari model pendidikan yang baru.
[3] Dr. J. L. Ch. Abineno, Bucer & Calvin, “Suatu Perbandingan Singkat” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 16-17.
[4] Williston Walker, A History of the Christian Church, fourth edition (New York: Scribner., 1985), 476.
[5] David W. Hall, Warisan John Calvin, Pengaruhnya di Dunia Modern (Surabaya: Penerbit Momentum, 2009), 56.
[6] Andrew Atherstone, The Reformation Faith and Flames (England: Lion Hudson plc, 2011), 112.
[7] Heiko A. Oberman, The Reformation: Roots and Ramifikasi. Trans. by Andrew Colin Gow (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1994), 214.
[8] William R. Estep, Renaissance and Reformation (Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1986), 239.
[9] Dr. H. Berkhof, Sejarah Gereja, disadur untuk bahasa Indonesia oleh Dr. I. H. Enklaar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 148.
[10] Owen Chadwick, The Penguin History of the Church 3 “The Reformation”. (London: Penguin Group, 1990), 80-81.
[11] Dr. J. L. Ch. Abineno, Bucer & Calvin: Suatu Perbandingan Singkat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 24.
[12] Ibid, 74.
[13] Dr. J. L. Ch. Abineno, Bucer & Calvin: Suatu Perbandingan Singkat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 75.
[14] Ibid., 49-50.
[15] David W. Hall, Penuntun ke dalam Theologi Institutes (Surabaya: Penerbit Momentum, 2009), 102.
[16] Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, terj. Liem Sien Kie (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 142.
[17] Ibid, 143.
[18] Ibid, 144.
[19] Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, terj. Liem Sien Kie (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 145.
[20] Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, terj. Liem Sien Kie (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 254.
[21] Francois Wedel, Calvin: Asal Usul dan perkembangan Pemikiran Religiusnya (Surabaya: Penerbit Momentum, 2010), 335.
[22] Ibid, 148.
[23] Dr. J. L. Ch. Abineno, Bucer & Calvin, “Suatu Perbandingan Singkat” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 80.
[24] Martin Greschat, Martin Bucer: A Reformer and His Time.Translated by Stephen E. Buckwalter (London: Westminster John Knox Press, 2004), 149.