Siapa yang tak kenal Martin Luther, tokoh ikonik pergerakan Reformasi kekristenan dunia? Tanpa tindakannya[1] memaku 95 tesis di pintu utama gereja Schloβkirche di Wittenberg, tanpa karismanya menyampaikan khotbah dan kritik berapi-api di hadapan gereja, tanpa kejeliannya mengambil momen yang tepat, sejarah kekristenan akan amat sangat berbeda dari apa yang kita ketahui kini. Martin Luther menciptakan ripple effect yang mengobarkan semangat Reformator lainnya untuk memperjuangkan iman yang kembali kepada Kitab Suci, sehingga tokoh-tokoh besar Reformasi lain yang sering kita dengar, seperti Ulrich Zwingli, John Calvin, Martin Bucer, dan kawan-kawan, kemudian lahir membawa obor Reformasi untuk bertumbuh dan berkembang.
Tetapi di balik sosok besar Luther, tak banyak yang tahu bahwa ada seseorang yang bekerja banyak di belakang layar, sebagai support system Luther. Sosoknya tak banyak dibahas dalam topik Reformasi semata-mata karena terlampaui oleh karisma Luther, namun penulis menemukan bahwa karya hidupnya di dunia justru begitu penting sebagai penopang, pelengkap, dan penyemangat Martin Luther dan tokoh-tokoh Reformator lainnya.
Ia adalah Philipp Melanchthon, seorang akademisi, theolog, dan humanis yang berkomitmen dalam riset dan pengajaran di Universitas Wittenberg. Di sanalah ia bertemu dengan Luther, dan dimulailah ikatan kuat antara keduanya.
Luther dan Melanchthon
Ketika membahas Martin Luther, karena karisma kepemimpinannya, banyak orang terkecoh dengan menganggap bahwa Luther adalah sosok one man show: tokoh yang serba bisa. Hal ini wajar dimengerti, karena karakter kuat Luther yang menawan dan kepiawaiannya memikat pengikutnya. Namun di balik talentanya dalam berkhotbah, kekurangan Luther adalah menyusun theologi secara sistematis. Di sinilah peran Melanchthon masuk, di mana Luther kemudian banyak bersandar pada Melanchthon dalam menyusun theologi sistematika.
Sebagai contoh, salah satu kritik yang dilayangkan oleh Martin Luther terhadap Gereja Katolik Roma adalah mengenai doktrin pembenaran oleh iman (justification by faith). Kritik ini merupakan salah satu pembeda doktrin terbesar antara Gereja Katolik Roma dan Protestan. Di era yang sama ketika Luther menyusun proposisinya, Melanchthon telah menulis Loci Communes (“Theological Commonplaces”) pada 1521, yakni theologi sistematis Reformed yang di dalamnya membahas doktrin justification by faith ini. Tulisan Melanchthon ini kemudian Luther gunakan sebagai basis pengajarannya dalam doktrin pembenaran oleh iman.
Pada praktiknya, dinamika antara Luther dan Melanchthon ini menjadi suatu sifat yang kurang lebih dapat mendefinisikan hubungan pelayanan gerejawi mereka secara berkesinambungan. Melanchthon berperan sebagai tangan kanan Luther dalam pergerakan Reformasi, ia merangkum gerakan, pemikiran, dan tatanan bahasa Luther dalam sistem yang lebih tertata. Sifat Luther yang tegas dan berapi-api, talentanya dalam menyampaikan khotbah yang berkarisma, serta kepribadiannya yang impulsif dan meletup-letup, diimbangi oleh Melanchthon yang diplomatis, sabar, dan amat terukur. Luther yang mencolok, Melanchthon yang lemah lembut. Luther yang blak-blakan, Melanchthon yang berhati-hati. Luther si pembela kebenaran, Melanchthon sang penjaga kedamaian.
Luther berperan sebagai peletak fondasi Reformasi, Melanchthon sebagai pembangun pilar yang menyemen tembok-tembok yang memperkokoh konsep-konsep Reformasi dan doktrin-doktrin yang diperjuangkan. Ketika Luther ibarat menggunakan pedang untuk melibas korupnya Gereja Katolik Roma saat itu, Melanchthon menggunakan jarum kecil untuk merajut pola yang diperlukan jemaat: diplomasi dan edukasi. Peran Melanchthon begitu besar dalam membangun dan merestrukturisasi sistem pendidikan di Jerman, bahkan juga mendirikan beberapa universitas. Oleh perannya yang besar dalam bidang akademia, Melanchthon menjadi sandaran Luther untuk merapikan doktrin dan pengajaran secara sistematis. Akan tetapi, hubungan keduanya bukan semata terbatas hanya pada profesi saja; Melanchthon juga merupakan sahabat karib Luther.
Diplomasi dan Persahabatan
Hubungan keduanya bukan berarti tanpa ujian. Seringkali Luther kecewa dengan langkah-langkah yang diambil Melanchthon, yang dirasanya terlalu berhati-hati; seperti Melanchthon yang juga sering frustasi melihat temperamen Luther. Namun, persahabatan keduanya melampaui ujian ini. Meski Luther dikaruniai karisma yang memikat banyak orang, pribadinya yang begitu vokal mengkritik dan menantang suatu poin seringkali membuatnya tidak disukai oleh banyak kalangan, terutama kaum akademisi. Di sinilah Melanchthon hadir lewat karunianya dalam berdiplomasi. Ia menjadi jembatan antara Luther dan banyak kelompok, memberi kesempatan bagi gerakan Reformasi untuk didengar dan kemudian dapat diterima oleh lebih banyak orang. Kita dapat melihat karya Tuhan yang terus memulihkan dan menggunakan perbedaan bukan untuk memisahkan, melainkan untuk saling melengkapi.
Secara jelas karya persahabatan ini terekam dalam Diet Augsburg pada 1530 – yang lahir oleh adanya gejolak politik yang muncul karena Gereja Katolik Roma menganggap Luther memimpin pemberontakan melawan gereja. Melanchthon menyusun Katekismus Augsburg (Augsburg Confession/Confessio Augustana) dan berperan sebagai perwakilan Luther dan kaum Reformasi, sementara Luther tetap berada di Wittenberg, karena kekhawatiran bahwa keberadaannya di Augsburg akan makin memicu konflik atau dijatuhi hukuman mati oleh Charles V (Holy Roman Emperor).
Secara umum, Luther sukses menyatakan bahwa tidak ada niatan apa pun untuk memecah-belah maupun memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma, dan bahwa justru gereja harus kuat dalam persatuan dan kembali ke Alkitab. Secara spesifik, kesuksesan ini hadir oleh keberhasilan Melanchthon dalam menetralisasi kritik bertensi tinggi Luther terhadap gereja, melalui pendekatan dan penyuntingan paparan dengan nada yang lebih diplomatik dalam Augsburg Confession yang ditulisnya.
Persahabatan mereka berlangsung seumur hidup. Luther yang ekstrover, memiliki begitu banyak teman dan kehidupan sosial yang luas, kontras dengan Melanchthon yang introver dan cenderung menjauhi keramaian dan kontroversi. Namun di antara seluruh teman dekat Luther, tidak ada ikatan yang lebih kuat dibanding dengan ikatannya dengan Melanchthon. Di kemudian hari, Luther begitu gelisah dengan kondisi kesehatan Melanchthon yang makin memburuk[1]. Melanchthon juga gusar dengan kematian Luther yang ternyata lebih dulu darinya. Setelah Luther meninggal pada tahun 1546, Melanchthon melanjutkan tongkat estafet Luther sebagai pemimpin Reformasi di Jerman, meskipun posisinya cukup kontroversial, karena tanpa adanya Luther, beberapa keputusan doktrinnya dianggap inkonsisten dan berkompromi dengan Gereja Katolik Roma. Ia terus menulis dan meneruskan karya Reformasi hingga kematiannya empat belas tahun sesudah Luther, dan dikuburkan bersebelahan dengan sahabat karibnya.
Melanchthon: “The Gentle Reformer” dan Pelayanan Kita
Kita dapat belajar dari Philipp Melanchthon, bahwa di balik kuatnya karisma tokoh-tokoh Reformasi, Tuhan juga dapat menggunakan seseorang yang terkesan kerdil dan sederhana sebagai pelayan-Nya. Melanchthon digambarkan bertubuh kurus ceking dan terlihat lemah[2].
Sepanjang sejarah, kita seringkali lebih menitikberatkan tokoh-tokoh “besar” dan menilai mereka besar oleh karena talenta mereka yang menawan dan memikat banyak pengikut oleh keahlian komunikasi mereka. Selaras dengan itu, banyak pengikut Luther memandang Melanchthon sebelah mata karena kepribadiannya yang lemah lembut. Melanchthon dipandang sebelah mata karena dianggap inkonsisten dan kurang tegas. Banyak yang mempertanyakan apa gerangan landasan di balik hubungan Melanchthon yang sifatnya begitu kontras dengan Luther.
Dalam kehidupan bergereja masa kini, tak jarang pula kita datang ke gereja dengan mindset mengidolakan hamba Tuhan tertentu, khususnya hamba Tuhan yang dikaruniai karisma besar dalam menyampaikan khotbah. Kemudian ketika kita berjumpa dengan hamba Tuhan yang kesannya lebih “sederhana”, tidak bertubi-tubi, atau tak se-vibrant hamba Tuhan yang diidolakan, kita menganggap “Pendeta B ini kurang bagus kualitasnya dibandingkan dengan Pendeta A” layaknya mengulas aktor film. Untungnya, kita dapat belajar bahwa apa yang terlihat di mata awam mungkin berbeda di mata Tuhan. Melalui pimpinan Roh Kudus, para Bapa-bapa Reformasi memiliki kejelian untuk terus berkolaborasi dalam pelayanan melalui karunia masing-masing. Melanchthon yang terkesan kecil oleh banyak orang, justru dipercaya oleh tokoh-tokoh besar seperti Martin Luther dan John Calvin[3].
Pun dalam kehidupan pelayanan di gereja, kita tak lagi dapat menilai rekan pelayanan kita berkontribusi lebih kecil daripada kita yang mungkin merasa memiliki lebih banyak karunia. Orang yang bertalenta di bidang komunikasi dan berkhotbah dalam KKR Regional bukan berarti lebih penting daripada orang yang merapikan administrasi gereja di belakang meja. Kita tidak pernah tahu rencana besar Tuhan dalam membangun gereja-Nya.
Philipp Melanchthon yang dikenal sebagai seorang kepala keluarga yang baik, sering mendeskripsikan keluarganya (istri dan keempat anaknya) sebagai “Gereja kecil Tuhan”[4]. Lewat kesaksian hidup Melanchthon, kita diingatkan bahwa kehidupan kita hendaknya selaras dengan Yohanes 3:30: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”
Bukan tidak mungkin bagi Melanchthon untuk menggunakan posisinya untuk berdiplomasi dan memberi dirinya posisi lebih penting dan besar daripada Luther – bagaimana pun, Melanchthon yang menyusun theologi sistematik Luther! Namun Melanchthon tidak mengizinkan dirinya dikorupsi oleh dosa. Ia menyadari perannya dalam rencana besar Allah melalui perjuangan Reformasi dengan tidak berkompetisi akan siapa yang lebih besar di antara para tokoh-tokoh Reformasi – layaknya apa yang mereka perjuangkan, kembalilah kepada Alkitab; Allahlah yang terbesar, yang memberi anugerah bagi kita. Biar kita yang kecil memberi hidup kita untuk dipakai sebagai alat Tuhan.
Meski sosok Melanchthon sering terkubur bayang-bayang Luther, kita kini tahu bahwa peran yang dijalankannya di dunia sebagai alat Tuhan membawa dampak yang begitu besar bagi kekristenan. Tak hanya ia menciptakan kerangka sistematis theologi Reformed yang penting (dan masih menjadi landasan bagi gereja-gereja Lutheran di masa kini), ia semasa hidupnya terus setia membantu Luther dan memperjuangkan Reformasi yang sola Scriptura. Ia pun menciptakan ruang aman dan menjadi support system sahabat-sahabatnya dalam Kristus, mengingatkan mereka akan kebaikan dan kesetiaan Tuhan.
Seperti lirik lagu pujian, “Pakai-pakailah aku jadi pelayan kecil-Mu. Walau aku masih terlalu kecil, Tuhan pakai aku,” kita disadarkan bahwa dalam membangun kerajaan-Nya, Tuhan dapat memberi peran yang besar bagi orang-orang yang bahkan dianggap kecil. Lewat hidup Philipp Melanchthon, kita mengerti bahwa Reformasi tak selalu berarti berapi-api atau bertubi-tubi, bahwa kelemahlembutan tak selalu berarti tak inspirasional, bahwa anugerah dan rencana Tuhan begitu indah, tepat, dan berkesinambungan. Soli Deo gloria.
Christine Atmodjo Morton
Jemaat GRII Pusat
[1] Martin Luther, Luther, Letters of Spiritual Counsel, ed. and transl. by Theodore Tappert, Regent College Publishing, Vancouver, British Columbia, 1960. pp. 146-147.
[2] Kirn, Otto (1910). “Melanchthon, Philipp”. In Jackson, Samuel Macauley (ed.). New Schaff–Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge. Vol. 7 (3rd ed.). New York: Funk & Wagnalls.
[3] Dr. Jordan B. Cooper’s Online Lecture: “Philip Melanchthon in the Reformation and the Lutheran Tradition”. 2 Mar 2019. https://www.youtube.com/watch?v=XO-X7vlO60Q&ab_channel=Dr.JordanBCooper
[4] Kirn, Otto (1910). “Melanchthon, Philipp”. In Jackson, Samuel Macauley (ed.). New Schaff–Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge. Vol. 7 (3rd ed.). New York: Funk & Wagnalls.