Tuhan memanggil Israel keluar dari Mesir. Setelah itu Tuhan memberikan Taurat kepada mereka di Gunung Sinai. Peristiwa luar biasa yang sangat spektakuler. Peristiwa yang juga membuat heran. Mengapa? Sebab Allah menyatakan diri sekaligus menyembunyikan diri-Nya. Allah memberikan firman-Nya, suatu pernyataan diri-Nya yang demikian intim sehingga tidak diberikan kepada siapapun kecuali umat-Nya. Tetapi pada saat yang sama juga gunung itu dipenuhi asap. Gelap gulita melingkupi puncak Gunung Sinai ketika firman diberikan sehingga tidak seorang pun dapat tahan. Tidak seorang pun dapat melihat dengan jelas. Semuanya tersembunyi di dalam kegelapan. Perkataan Salomo ratusan tahun kemudian sangat tepat untuk menggambarkan peristiwa ini: Allah menetapkan matahari, tetapi Dia memutuskan untuk berdiam di dalam kekelaman.[1] Mengapa demikian? Tuhan menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang berbicara kepada umat-Nya melalui Taurat yang akan diberikan. Tetapi Dia juga menyatakan bahwa perjumpaan-Nya dengan umat-Nya dengan pemberian Taurat ini belumlah sempurna. Akan ada perjumpaan yang sempurna di dalam Injil. Itulah sebabnya penulis Ibrani mengatakan bahwa kita datang ke Yerusalem surgawi yang merupakan suatu kumpulan yang meriah.[2] Bukan suatu kumpulan yang penuh dengan misteri dan kegentaran. Maka Taurat diberikan oleh Tuhan sebagai pernyataan diri Tuhan yang menyatakan sifat-sifat-Nya sekaligus menyatakan penantian kegenapan pernyataan diri itu di dalam Kristus yang akan datang. Jadi mengapakah Taurat diberikan oleh Tuhan? Supaya orang Israel tahu bagaimana harus hidup dengan lebih bijak daripada bangsa-bangsa lain. Taurat membuat seseorang hidup lebih bijak.[3] Mengapa demikian? Karena Taurat Tuhan adalah peraturan-peraturan moral yang menyatakan sifat Tuhan sendiri. Pertanyaan yang pernah diajukan ribuan tahun yang lalu oleh Socrates dalam dialog Plato, Euthyphro, didamaikan oleh pengertian Taurat yang menyatakan sifat Tuhan. Socrates mempertanyakan di dalam dialog tersebut, apakah orang-orang kudus itu disukai para dewa karena kekudusannya? Ataukah mereka menjadi kudus karena disukai oleh para dewa? Atau, setelah dialog ini dimodifikasi dalam dunia etika, apakah sesuatu yang baik itu baik pada dirinya sendiri, dan karena itu disukai para dewa? Ataukah yang baik itu menjadi baik karena disukai para dewa? Dewa tunduk pada prinsip abstrak tentang yang baik? Ataukah yang baik itu ditentukan oleh para dewa? Tetapi perdebatan ini terjadi karena pengertian “baik” yang abstrak.
Apakah yang abstrak itu? Yang abstrak berarti tidak berkait dengan pribadi. Yang bukan pribadi tidak mungkin mengatur yang bersifat pribadi. Peraturan abstrak menjadi absurd untuk ditaati. Tetapi tidak demikian dengan Taurat. Taurat menyatakan sifat Allah. Dengan demikian tujuan orang Israel menaati Taurat adalah agar mereka dapat mempunyai hidup yang kudus, yaitu yang makin menyerupai Tuhan, dan juga agar mereka makin mengasihi Tuhan, yang adalah pemilik sifat-sifat yang dinyatakan di dalam Taurat itu. Calvin telah memahami hal ini ketika dia mengatakan, “…di dalam Taurat kita diajarkan kesempurnaan dari kebenaran, maka inilah yang menyusul: menjalankan dengan komplit seluruh Taurat adalah kebenaran yang sempurna bagi Allah.”[4] Adakah kebenaran yang sempurna di luar sifat moral Allah? Tidak. Maka orang Israel diharuskan menaati Taurat bukan dalam kaitan dengan keselamatan saja, tetapi dalam kaitan dengan menjadi semakin menyerupai Allah. Menyatakan kemuliaan sifat Allah melalui menaati Taurat adalah tujuan Tuhan memanggil umat-Nya. Tetapi ternyata Calvin melihat hal yang lebih dalam. Karena selain membentuk umat Tuhan menjadi makin menyerupai Tuhan, Taurat juga membuat umat Tuhan makin mengasihi, mengagumi, dan merindukan Tuhan. Inilah sebabnya Calvin mempunyai konsep mengenai Taurat yang adalah penuntun bagi kerinduan akan Kristus. Lalu apakah kaitan hal ini dengan kebangunan yang sejati? Kebangunan yang sejati harus mempunyai hasil ketaatan kepada Taurat sekaligus kekaguman kepada Tuhan. Lalu mengapa Gereja perlu kebangunan? Karena kalau Gereja tidak mempunyai karakter moral yang baik, atau kalau Gereja memiliki karakter moral yang baik tetapi abstrak, maka Gereja sedang tertidur dan perlu dibangunkan. Inilah konsep Calvin yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan kali ini.
2. …tidak seorang pun dapat berpegang kepada anugerah Injil tanpa meninggalkan kesalahan-kesalahan hidupnya yang lama dan berpindah kepada jalan yang benar, serta melakukan dengan sekuat tenaga tindakan-tindakan pertobatan. (Inst. III.III.1.)
Setelah membahas mengenai dampak dari kebangunan rohani yang memberikan kesadaran akan dosa, apakah yang menjadi kelanjutannya? Dampak selanjutnya yang harus menyertai sebuah kebangunan rohani adalah perubahan hidup dari komunitas Kristen. Kesadaran akan dosa yang palsu tidak ada gunanya. Jika seseorang menyadari dia berdosa tetapi tidak merasa muak, benci, dan dengan segenap hati ingin meninggalkannya, maka dia belum mengalami pertobatan yang sungguh-sungguh. Kesadaran yang sejati akan dosa harus disertai dengan perasaan membenci dosa. Martin Luther membahas empat hal mengenai dosa di dalam penjelasannya mengenai Mazmur 51.[5] Poin terakhir yang dia bahas adalah bahwa manusia menjadi pendosa ketika dia menyadari bahwa dirinya adalah pendosa. Tetapi kalimat yang aneh ini menjadi jelas ketika kita bandingkan dengan poin pertama. Dalam poin pertama Luther mengatakan bahwa setiap manusia adalah pendosa di hadapan Allah dan hal ini terbukti melalui tindakan-tindakannya yang rusak. Berarti secara fakta semua manusia sudah berdosa. Lalu siapakah yang menyadari bahwa dirinya berdosa? Hanya orang yang akan berpaling kepada Allah dan mengharapkan belas kasihan Allah yang menyadarinya. Tidak seorang pun dapat menyadari keberdosaannya hingga level yang sesungguh-sungguhnya kecuali dia kembali kepada Allah dan memohon belas kasihan-Nya. Maka kesadaran akan dosa harus tiba pada level memohon belas kasihan Tuhan. Kesadaran akan dosa akan menjadi identik dengan kenyamanan di dalam dosa jika kesadaran itu tidak disertai dengan hati yang hancur memohon belas kasihan Tuhan. Ini konsep pertobatan yang sejati menurut Martin Luther. Kebangunan rohani adalah ketika pertobatan yang sedemikian terjadi. Tetapi kesadaran ini adalah kesadaran yang diberikan oleh Roh Kudus.[6] Tanpa pekerjaan Roh Kudus maka semua kesadaran akan dosa, semua pengakuan dosa, bahkan semua usaha untuk berubah hanyalah suatu usaha yang dangkal dan sia-sia. Dangkal karena tidak ada yang dapat mengerti betapa merusaknya dosa jika tidak dilihat dengan cara yang sama Allah melihatnya. Sia-sia karena pertobatan yang berusaha dilakukan oleh manusia sama sekali tidak mengubah kerusakan relasinya dengan Allah. Inilah sebabnya Mazmur 51, di dalam pandangan Luther, berbicara tentang permohonan seseorang yang menyadari dosanya kepada Allah dan memohonkan belas kasihan Allah. Permohonan yang didorong oleh kesadaran akan dosa. Kesadaran sejati yang menumbuhkan perasaan benci terhadap dosa yang seharusnya dimiliki oleh hati yang suci. Tetapi bukankah semua manusia memang sudah berdosa? Ya. Tetapi hanya mereka yang menyadarinya dengan benarlah yang akan mencari pengampunan dan memperjuangkan kehidupan di dalam pertobatan.
Bagaimanakah seseorang memperjuangkan kehidupan di dalam pertobatan? Sebelum menjawab ini, mungkin lebih baik kalau kita membahas dahulu pengertian dari pertobatan itu sendiri. Apakah yang dimaksud dengan pertobatan? Calvin mengatakan bahwa pertobatan adalah perubahan hati yang mengagumi kemuliaan Tuhan – kemuliaan diri Allah maupun kemuliaan kasih dan pengampunan-Nya. Calvin mengatakan, “Mengenal Allah, sejauh yang saya pahami, adalah suatu pengertian yang tidak hanya mencakup menerima bahwa ada Allah, tetapi juga mencakup apa yang seharusnya kita berikan dan yang pantas bagi kemuliaan-Nya, dan juga apa yang menjadi keuntungan kita dengan mengenal Dia.”[7] Mengagumi Allah karena Dia adalah Allah, sekaligus mengagumi Dia karena segala berkat yang diberikan kepada kita. Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya dengan cara yang bersifat supranatural sehingga setiap mulut segera mengakui betapa tidak layaknya setiap orang di hadapan Tuhan.[8] Tetapi Tuhan juga menyatakan pemeliharaan-Nya sehingga setiap mulut mengakui besarnya kasih-Nya dan segera berbalik dari dosa-dosa mereka.[9] Maka pertobatan yang sejati adalah perubahan hidup yang didorong oleh kesadaran akan dosa, kesadaran akan kemuliaan Tuhan, dan kesadaran perlunya hidup yang berpadanan dengan kemuliaan Tuhan. Semua inilah yang dirangkum oleh Calvin di dalam konsep agama yang sejati – agama yang dilandaskan oleh kesalehan. Apakah kesalehan itu? Bagi Calvin kesalehan adalah “…rasa hormat yang digabung dengan cinta kasih kepada Allah yang dibangkitkan oleh kesadaran akan berkat-berkat-Nya. Sebab sebelum manusia sadar bahwa mereka berhutang segala sesuatu kepada Allah, bahwa mereka dipelihara oleh pemeliharaan Allah Bapa, dan bahwa Dia adalah sumber dari segala hal yang baik yang telah mereka terima, dan bahwa mereka tidak mungkin mencari apa pun yang baik di luar Dia, maka mereka tidak akan pernah mau sungguh-sungguh melayani Dia.”[10]
Jadi pertobatan itu identik dengan kesungguhan untuk menjalankan hidup yang saleh. Tetapi bagaimanakah caranya? Calvin mengatakan bahwa semua ini hanya dapat dilakukan dengan kembali ke Taurat. Inilah konsep Calvin yang dikenal dengan kegunaan ketiga dari Taurat. Sebelumnya Luther telah membagikan dua kegunaan dari Taurat, yaitu untuk mengarahkan orang kepada Kristus dan untuk mengekang kejahatan di dalam dunia ini. Lalu apakah kegunaan ketiga dari Taurat menurut Calvin? Calvin mengatakan bahwa kegunaan ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah percaya kepada Kristus. “Kegunaan ketiga dan terutama, yang merupakan kegunaan yang paling tepat dari Taurat, menemukan tempatnya di antara orang-orang percaya yang di dalam hatinya Roh Kudus Allah hidup dan bertakhta.”[11] Calvin membeberkan kegunaan tersebut dengan kalimat-kalimat ini ketika mengomentari Mazmur 119: “Di sini [Mazmur 119:5] Sang Nabi menyatakan kegunaan yang agung dari Taurat: melalui pembacaan Tauratlah Tuhan memberikan pengajaran-Nya. Dia juga sekaligus memberikan kesiapan untuk menaatinya di dalam diri orang-orang percaya. Orang-orang percaya berpegang bukan saja pada hukum-hukum tersebut, tetapi juga janji akan anugerah yang ada di dalamnya. Sebab apakah yang dapat dikasihi dari Taurat jika hanya dipenuhi dengan ancaman yang menggelisahkan jiwa di dalam ketakutan? Tetapi Daud menunjukkan bahwa di dalam Taurat dia melihat Sang Penebus, yang tanpa Dia tidak akan ada kesukaan dan hal-hal yang manis.”[12]
Dalam pengertian Calvin inilah kita melihat ada dua hal mengenai Taurat. Yang pertama adalah Taurat mengandung perintah-perintah yang harus ditaati. Tuhan menyatakan kehendak-Nya yang harus ditaati oleh orang percaya. Tuhan juga menyatakan janji-Nya sebagai pernyataan kasih karunia-Nya bagi orang percaya. Tetapi janji ini adalah sesuatu yang akan digenapi di dalam Kristus. Dengan demikian janji tersebut hanya dapat menghibur orang percaya jika dikaitkan dengan pribadi Kristus. Maka Taurat Tuhan menyatakan kehendak Tuhan yang harus ditaati dan juga, yang terutama, menyatakan pribadi Kristus yang harus dikasihi dan dikagumi. Inilah mengapa kesalehan, yang dinyatakan oleh Calvin sebagai ketaatan yang menggabungkan hormat dan kasih, hanya dapat ditumbuhkan melalui firman Tuhan. Taurat menyatakan perintah yang harus ditaati. Taurat juga menyatakan Kristus yang adalah kegenapan dari janji dan anugerah Allah.
Calvin mengatakan bahwa sebelum genap waktunya, Taurat menuntun orang-orang Israel untuk dapat tiba kepada pengenalan akan Kristus yang intim. Demikian kalimat Calvin, “Karena mereka belum tiba pada pengenalan akan Kristus secara intim, mereka menjadi seperti anak-anak yang di dalam kelemahannya belum sanggup untuk menanggung pengenalan yang penuh dari hal-hal surgawi.”[13] Taurat bukanlah sebagai alternatif dari iman kepada Kristus, tetapi justru untuk mempersiapkan umat Tuhan untuk masuk ke dalam relasi yang intim dengan Kristus.[14] Jadi Taurat mempunyai kegunaan untuk mengajar umat Tuhan untuk hidup dengan benar dan juga berelasi dengan benar dengan Kristus. Mendengar firman untuk apa? Untuk ditaati. Itu saja cukup? Tidak! Karena mendengar firman juga berarti mempersiapkan relasi dengan Kristus. Relasi kasih. Relasi yang didorong oleh gairah yang sepenuh hati untuk menyenangkan Dia yang dikasihi. Ketaatan tanpa relasi dengan Kristus adalah ketaatan yang kosong dan kering, ketaatan Farisi yang luar biasa munafik. Kasih dan relasi yang intim dengan Kristus tanpa ketaatan juga adalah bohong. Kasih dan relasi yang kosong dan pura-pura. Tetapi jika Taurat adalah penuntun orang Israel untuk sampai kepada Kristus, maka bagaimana dengan kita yang hidup setelah Kristus datang? Taurat adalah penuntun yang berfungsi sama bagi kita karena, sama seperti dahulu Israel dibimbing oleh Taurat untuk menantikan kedatangan Kristus, demikian juga saat ini kita memerlukan bimbingan untuk menantikan kedatangan kedua Kristus. Jangan lupa kalau pengharapan Israel adalah menantikan Kristus yang mulia. Kedatangan pertama Kristus baru menggenapi sebagian dari pengharapan ini! Masih akan ada kedatangan kedua! Apakah kita menantikan kedatangan kedua? Jika demikian Taurat juga adalah penuntun bagi kita untuk dapat tiba kepada pengenalan yang intim akan Kristus yang akan datang. Inilah guna Taurat bagi kita: menguatkan kita sehingga kita tidak menjadi lelah karena penantian yang demikian lama.[15]
Jadi mengapakah Gereja memerlukan kebangunan? Karena hidup yang baik, yang dijalankan di dalam ketaatan kepada Tuhan harus dimiliki oleh Gereja. Mengapa perlu kebangunan? Karena hati yang menyala-nyala bagi Kristus adalah hal yang perlu terus diperbarui di dalam Gereja. Terus diperbarui hingga Kristus datang. Gereja perlu terus belajar untuk memiliki tingkah laku yang suci dan kecintaan kepada Kristus yang sungguh. Gereja juga perlu belajar untuk mengaitkan keduanya senantiasa. Kalau umat Tuhan tidak mempunyai hidup yang baik, bagaimanakah dunia dapat mempunyai pengharapan untuk melihat teladan hidup yang baik? Kalau Gereja Tuhan tidak mengasihi dan mengagumi Kristus, apakah keunikan Gereja di dalam dunia? Inilah mengapa firman Tuhan dinyatakan kepada umat Tuhan. Untuk meninggikan Anak Allah yang rela merendahkan diri-Nya. Nabi-nabi menyampaikan firman, tetapi bukankah Anak Allah lebih tinggi dari mereka semua? Para utusan menyatakan firman, tetapi siapakah di antara mereka yang kepadanya Allah mengatakan, “Anak-Ku Engkau”?[16] Karena itulah Gereja memerlukan kebangunan. Terlalu banyak hal yang akan segera menarik fokus umat Tuhan dari Kristus. Dalam konsep Luther dan Calvin, pandangan yang sangat rendah akan siapakah manusia berdosa itu (yang sebenarnya adalah pandangan yang sangat akurat) akan membuat manusia berfokus kepada kemuliaan Tuhan. Calvin mengatakan bahwa seseorang tidak akan berada dalam bahaya karena memandang dirinya terlalu rendah, telanjang, kekurangan, dan merana.[17] Mengapa tidak? Karena itulah faktanya. Sebaliknya, jika dia mulai menganggap dirinya tinggi, mulia, dan limpah, maka dia berada dalam dosa yang sangat besar karena menyatakan dirinya layak diberikan kemuliaan yang sebenarnya hanya boleh diberikan kepada Allah.[18] Jadi sebenarnya segala hal yang dapat disebut baik dan mulia yang mengalir dari kehidupan seorang berdosa adalah berasal dari Allah. Menyadari kerusakan diri berarti memuliakan Allah untuk setiap hal yang baik yang tidak mungkin secara natural dapat dihasilkan oleh manusia yang telah jatuh. Di sini dapat kita lihat dampak dari kebangunan rohani yang sejati. Kebencian terhadap dosa membuat seseorang berjuang untuk meninggalkan segala perbuatan cemar yang dahulu senantiasa dilakukan. Kemampuan untuk hidup suci yang mampu dijalani membuat seseorang makin mengasihi dan mengagumi Kristus yang mengerjakan semuanya di dalam diri orang percaya. Kasih dan kekaguman kepada Kristus membuat orang percaya menjalani hidup yang berfokus kepada Allah dengan suatu kerinduan untuk memuliakan Dia sambil terus menyadari ketidaklayakan mereka. Tidak ada pembenaran diri ala Farisi yang memandang rendah orang lain. Orang yang merasa semua orang lain perlu suatu kebangunan rohani kecuali dirinya sendiri adalah orang yang sebenarnya paling merana dan paling perlu kebangunan rohani. Orang yang sibuk mengajak orang lain untuk datang ke KKR, tetapi ketika kebaktian dimulai tidak merasa dirinya adalah salah satu orang yang perlu dibangunkan juga adalah orang yang sedang tidur nyenyak di dalam kesibukannya mengatur KKR. Lebih celaka adalah orang yang berdiri di mimbar berteriak, “Celakalah kamu!” tanpa hatinya turut berteriak, “Celakalah aku juga!” Bukankah bibir Yesaya yang menyerukan celakalah Yerusalem juga adalah bibir yang menyadari kenajisannya sendiri sehingga berseru “Celakalah aku! Aku binasa!”?[19] Kekaguman kepada Kristus tidak pernah bisa paralel dengan membanggakan kesucian diri! Tidak! Kekaguman kepada Kristus selalu berjalan beriringan dengan kesadaran akan kecemaran diri. Tidak seorang pun mengikuti Kristus dengan jubah agung seorang suci. Semua pengikut Kristus mengikuti Dia dengan berjalan terbungkuk karena sedang memikul salib yang hina. Jadi mengapakah Gereja perlu kebangunan? Karena Gereja perlu terus memperbaiki hidup sambil terus menyadari kecemaran dirinya. Semakin seorang Kristen sanggup hidup suci, semakin dia menyadari betapa jahat dan cemar dirinya. Semakin seorang Kristen menyadari betapa jahat dan cemar dirinya, semakin dia meninggikan dan mengagungkan kasih Kristus dan kemuliaan-Nya. Semakin dia mengagungkan kasih dan kemuliaan Kristus, semakin dia mengalami kebangunan. Gereja perlu kebangunan untuk mempunyai pertobatan yang sejati. Perjuangan untuk hidup suci yang dibarengi dengan kekaguman dan kecintaan kepada Kristus. Kekotoran hidup orang-orang Kristen, sekaligus mental Farisi dari orang-orang yang sudah menaati moral secara abstrak harus disingkirkan melalui adanya suatu penyampaian firman Tuhan yang membangunkan kembali Gereja Tuhan.
Ev. Jimmy Pardede
Gembala GRII Malang
Endnotes:
[1] Band. 1 Raja-raja 8:12.
[2] Band. Ibrani 12:22.
[3] Band. Mazmur 119:98.
[4] Institutes II.VII.3.
[5] Bernard Lohse, Luther’s Theology and It’s Historical Development (Minneapolis: Fortress Press, 1999) p. 53-55.
[6] Band. Yohanes 16:8-9.
[7] Inst. I.II.1.
[8] Band. Yesaya 6:5.
[9] Band. Kisah Para Rasul 14:15-17.
[10] Inst. I.II.1.
[11] Inst. II.VII.12.
[12] Inst. II.VII.12.
[13] Inst. II.VII.2.
[14] Inst. II.VII.1.
[15] Inst. II.VII.1.
[16] Band. Ibrani 1:1-5.
[17] Inst. II.II.10.
[18] Inst. II.II.10.
[19] Band. Yesaya 6:5.